Kamis, 09 November 2017

Cintailah Tanah Air Ruhani Dan Jasmani

Cinta tanah air adalah salah-satu dari hal yang alami bagi manusia. Pembawaan manusia adalah mencintai tempat dimana mereka tumbuh di dalamnya. Biasanya, manusia menginginkan tempatnya lahir dan tumbuh itu menjadi tempatnya menua dan menghabiskan hidupnya. Makanya, tidak aneh jika manusia mencintai negaranya setengah mati.

Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefiniskan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ


Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).

Dari definisi ini maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ


Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.

Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا


Artinya, “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda,pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ


Artinya, “Hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).

Dari penjelasan singkat ini maka setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa mencintai tanah air merupakan tabiat dasar manusia, di samping itu juga dianjurkan oleh syara` (agama) sebagaimana penjelasan dalam kitab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikemukakan di atas.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara.

Cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; merupakan tabiat dan fitrah manusia. Seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin. Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”” (QS. An-Nisa’: 66).

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.

Bahkan di dalam Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi kita untuk jihad membela negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika negeri tersebut memiliki keistimewaan, maka mencintainya adalah sebuah ibadah seperti Mekkah dan Madinah.

Namun jika cinta negeri bertentangan dengan agama seperti hijrah dan jihad, sehingga dia lebih mendahulukan cinta negeri daripada agama maka hukumnya haram. Allah mengancam orang-orang yang tidak hijrah karena lebih mencintai kampung halaman mereka.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 97-98).

Tentu dalam jihad yang dibela adalah Islam bukan tanah air. Inilah prinsip yang membedakan seorang muslim dan bukan. Seorang muslim sangat Islam jaya lewat jihad. Sedangkan orang kafir hanya ingin berperang supaya membela tanah airnya, atau karena nasionalisme yang diperjuangkan.

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً ، فَأَىُّ ذَلِكَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا ، فَهْوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ »

Dari Abu Musa, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata, ada seseorang yang berperang (berjihad) untuk membela sukunya (tanah airnya); ada pula yang berperang supaya disebut pemberani (pahlawan); ada pula yang berperang dalam rangka riya’ (cari pujian), lalu manakah yang disebut jihad di jalan Allah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah itu mulia (tinggi) itulah yang disebut jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 7458 dan Muslim no. 1904).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunjukkan niatan jihad yang benar apabila dilakukan ikhlas karena Allah, meraih ridho-Nya. Sedangkan jika seseorang berjihad untuk disebut pemberani atau pahlawan; untuk membela kaum, negeri atau tanah airnya; atau supaya ia tersohor di kalangan orang banyak, maka ini semua adalah niatan yang keliru. Karena setelah ditanya niatan seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas beralih dengan mengatakan bahwa jihad itu untuk membela kalimat Allah, artinya untuk membela Islam.

Hadits di atas bermaksud menerangkan bahwa tidak ada beda antara kita dengan orang kafir jika maksud kita berjihad atau berperang hanyalah untuk membela tanah air semata. Karena niatan orang kafir pun demikian. Seorang muslim haruslah punya niatan untuk berperang untuk “membela Islam” dan bukan untuk membela tanah air. Karena kalau niatannya untuk membela tanah air semata, matinya tidaklah disebut mati syahid.

Dalam QS. al-Baqarah ayat 126, Allah Swt. berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

Nabi Ibrahim As. berdoa agar tanah airnya:
a) Menjadi negeri yang aman sentosa,
b) Penduduknya dilimpahi rizki,
c) Penduduknya iman kepada Allah dan hari akhir.

Dalam ayat yang lain yang serupa dengan ayat di atas ada di QS. Ibrahim ayat 35:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.”

Ini menunjukkan Nabi Ibrahim As. adalah seseorang yang begitu mendalam mencintai tanah airnya. Kemudian di dalam QS. an-Nahl ayat 123 kita diperintah mengikuti millah (jejak) NabiI brahim As.:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad Saw.): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Salah satu dari millah Nabi Ibrahim As. adalah mencintai tanah air. Mengapa harus mencintai tanah air? Dalam kitab Jami’ ash-Shaghir jilid 1 bab huruf Ta’ halaman 222, Rasulullah Saw. bersabda: “Jagalah dirimu dari bumi, maka sesungguhnya bumi itu adalah ibumu.”

Adalah perintah untuk menjaga diri sendiri dan ibu pertiwi (tanah air) dari tindakan-tindakan negatif dari diri sendiri maupun tindakan orang luar.

Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 261, ketika mensyarahi hadits Imam Bukhari dari sahabat Anas Ra.:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا

“Adalah Rasulullah Saw. jika pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah mempercepat jalan untanya dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya.”

Al-Hafidz Ibn Hajar berkata:

وفي الحديث دلالة على فضل المدينة ، وعلى مشروعية حب الوطن والحنين إليه

“Dalam hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaanya kota Madinah, dan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.”

Dalam QS. ar-Rum ayat 41, Allah Swt. berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Di dalam kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan, diriwayatkan ketika turun surat al-Qashash ayat 85:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ

Saat itu Nabi Saw. dilanda rasa rindu yang sangat kepada kota Makkah, karena memang Makkah adalah kota kelahiran dan tempat tinggal beiau, negeri datuk-datuk dan kerabat-kerabat beliau serta kota datuk utama beliau yaitu Sayyidina Ibrahim As. Sehingga ayat tersebut merupakan satu kabar gembira dari Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. dan suatu hal yang benar-benar akan direalisasikan oleh Allah Swt.

Sehingga seakan-akan Allah Swt. mengatakan: “Jangan kamu mengira wahai Muhammad bahwa nasibmu itu sama dengan ayah kamu Ibrahim yang hijrah dari Negerinya Haran satu negeri kafir menuju kota suci dan tidak akan pernah kembali lagi ke Haran. Jangan pula kamu mengira bahwa keadaanmu sama dengan ayah kamu Ismail yang hijrah dari negeri yang suci menuju negeri yang lebih suci.”

Kemudian penulis kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan ini melanjutkan:

و في تفسير الاية اشارة ان حب الوطن من الايمان

“Dan dalam pengertian, kesimpulam serta tafsir dari ayat ini menunjukkan bahwa cinta terhadap negeri adalah sebagian dari iman.”

Hadits memang maudhu’ tapi maknanya shahih. Tapi bagaimana para salaf kita selalu mendengungkan ungkapan-ungkapan itu. Artinya kalau ditolak serta merta juga tidak bisa karena secara makna juga tepat. Oleh karena itu dalam kesimpulan selain menyebutkan derajatnya dalam kacamata musthalah hadits juga harus ditampilkan bahwa secara makna shahih.

Maka seprti redaksi dalam kitab Asna al-Mathalib setelah menyebutkan derajat hadistnya beliau juga menampilkan redaksi “tetapi maknanya shahih” supya sampai dalam kesimpulan jangan sampai ditolak serta merta.

Jadi seperti Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari nampak sering berrbicara dengan ungkapan “Hubbul wathan minal iman”. Bukan berarti beliau berdalil dan mengatakan bahwa itu adalah hadits. Akan tetapi beliau mengajak rakyat untuk mencintai negeri ini. Beliau menggunakan motto itu karena benar adanya secara makna.

Seperti halnya kedudukan motto-motto yang lain seperti hadits-hadits maudhu’ yang lain tapi maknanya shahih seperti “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad”, walaupun maudhu’ tapi maknanya benar bahwa jika menuntut ilmu itu tak akan pernah terikat dengan waktu, usia dan keadaan. Bukan berarti jika itu hadits dhaif kita dilarang untuk menyebutkannya seperti yang didengung-dengungkan saudara-saudara kita dari aliran Salafi-Wahabi.

Kemudian dalam kitab Dalil al-Falihin Syarh Riyadh ash-Shalihin jilid 1 halaman 27 disebutkan: “Maka semestinya bagi orang yang sempurna imannya hendak membuat kemakmuran akan tanah airnya dengan amal shaleh.”

Yang dimaksudkan dengan cinta tanah air itu adalah memakmurkan tanah airnya, memakmurkan dengan amal-amal shaleh atau amal-amal yang baik. Sedangkan tanah air manusia itu ada dua macam:
1) Tanah air jasmani, yaitu bumi tempat kita lahir dan berpijak, dan
2) Tanah air ruhani, yaitu tanah air akhirat, tempat dimana ruh kita berasal dan akan kembali nantinya.

Kedua tanah air kita ini harus dimakmurkan, baik tanah air ruhani maupun jasmani. Dimakmurkan dengan perbuatan-perbuatan baik. Sehingga nantinya kita bisa menuai buahnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar