Sabtu, 11 November 2017

KISAH SYAIKH IBROHIM BRUMBUNG

Langit  terlihat bersih tanpa noda,udara terasa segar masuk pada paru-paru, mataharipun terus menyinari bumi tanpa henti, membakar kulit orang-orang yang sedang disibukkan dengan kegiatan perdagangan di pasar yang terasa sesak, dan kebersihannya masih jauh dari predikat baik, itulah pasar Mranggen Demak Jawa Tengah, tapi dari  sini lah mulai tercium aroma damai agama islam dengan hilir mudiknya para santri yang memakai pakaian rapi lengkap dengan peci dan penampilan klasik tapi islami, dari pasar mranggen inilah ketika terus ditelusuri ketimur dan belok kekiri terus menyusuri jalan kita akan bertemu rel tua yang masih dengan gagah menyangga beban berat kereta api sejak zaman belanda, terus berjalan bertemulah kita dengan papan nama yang masih berdiri tegak di tengah zaman yang terus di terpa oleh arus globalisasi yang tak bisa lagi terbendung yaitu “ Yayasan Pondok Pesantren Ibrohimiyah”  dari sinilah suatu yayasan yang banyak melahirkan  panji panji Allah yang memiliki kekuatan intelektual, spiritual maupun emosional yang terus menegakkan dan meninggikan kalimatullah di muka bumi ini.

KH. Ibrohim beliaulah muassis (pendiri pondok pesantren Ibrohimiyyah) yang namanya tetap harum sampai sekarang, beliau dilahirkan bukan asli dari Mranggen tetapi dari sebuah kota metropolitan Semarang tepatnya di daerah Terboyo pada tahun 1839 M putra dari Raden Thohir bin Yudo Negoro alias raden Syahid bin Raden Surohadi Menggolo alias Sayyid Muhammad. Raden Surohadi Menggolo ini juga dikenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Terboyo, makamnya berada tepat dibelakang Masjid Terboyo Semarang.

Dari silsilah keturunan ini kita tahu bahwa beliau adalah keturunan dari seorang pejuang islam yang sangat gigih yang meletakkan jihad di hati dan keikhlasan yang menemani perjuangan yang ingin menjadikan para keturunannya menjadi pejuang islam dan penyebar islam pula keseluruh pelosok dimana daerah itu tak pernah tersentuh aroma damai islam, dan benar benar membutuhkan pembimbing mental kerohanian   untuk menuju manusia yang sejahtera Dunia dan Akherat. Karena orang tua yang sukses adalah yang mampu mendidik anaknya menjadi lebih hebat dari orang tuanya.

Sehingga Ibrohim kecil pada saat itu langsung dikirim orang tuanya untuk belajar ilmu agama islam ke berbagai pondok pesantren. Yakni:

Ø  Pondok Pesantren Cepaka Nganjuk Jawa Timur.

Ø  Pondok Pesantren Mangun Harjo Jawa Timur

Ø  Pondok Pesantren Langitan Babat Jawa Timur dan

Ø  Pondok Pesantren di daerah Banten Jawa Barat.

Syeh Ibrohim kecil berpenampilan sederhana, kalem, tidak sombong dan sangat bersahaja sehingga banyak teman-temannya yang tak memperdulikannya. Seperti filosofi pohon kelapa ketika akan menyemaikan kelapa agar menjadi tunas kelapa dia harus diletakkan tempat yang asor (rendah) bahkan terkadang di dekat jamban agar tunasnya dapat tumbuh dengan baik setelah tumbuh tunasnya dia akan dipindahkan ke tempat penanaman yang akan membawanya gagah menjulang menantang tingginya langit. Begitu pula dengan syeh Ibrihim kecil beliau selalu menampakkan kesederhanaan dan banyak melakukan Riyadloh atau tirakat sehingga dia terkesan sebagai santri miskin yang tak punya apa-apa dan tak perlu diperhitungkan, padahal beliau sedang melakukan Riyadloh atau tirakat dan hal ini beliau lakukan adalah semata-mata laku prihatin untuk menggapai ilmu yang bermanfaat dan barokah. Inilah yang sulit kita temukan pada para pencari ilmu kita di era modern ini.

Riyadloh atau tirakat yang dilakukan oleh Syeh Ibrohim pada saat itu antara lain:

v  Beliau selalu meminum minuman ekstrak kunir sehingga daya tahan tubuh serta  daya ingat dari Syeh Ibrohim ini sangat kuat.

v  Beliau selalu makan buah pace dimana sekarang terbukti buah pace ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit antara lain untuk menurunkan kadar gula darah dan menurunkan darah tinggi.

v  Beliau selalu masak nasi yang dicampur dengan pasir, sehingga jika nasi sudah matang beliau lalu mengambil ( jumputi/ milihi) nasi yang dicampur pasir ini sambil menghafalkan pelajaran- pelajaran agama yang beliau terima sampai nasi dan pasir benar benar terpisah. Dan hasilnya memang sangat luar biasa, hal ini dibuktikan dengan perhatian dari rekan- rekan beliau yang semula memandang dengan sebelah mata kini menjadi hormat. Hal ini memang ternyata bisa melatih kesabaran, keuletan dan ketelatenan.

Tirakat atau riyadloh ini memang sering dilakukan oleh para santri era salaf (zaman dahulu) guna mengekang hawa nafsu dan meper (mengecilkan) syahwat serta melatih mental mereka ketika nanti selepas dari mondok dan harus diterjunkan di masyarakat agar berkepribadian kuat dan tangguh menghadapi  tantangan hidup.

Syeh Ibrohim ketika nyantri di Pondok pesantren langitan Babat Jawa timur banyak diantara temannya yang tidak menghiraukannya, karena penampilan dari syeh Ibrohim yang ndesani, kalem dan banyak tirakat serta nampak kelelar- keleler (tidak aktif atau cekatan) tiba tiba menjadi sosok yang dihormati dan disegani serta sangat diperhitungkan dikalangan pesantren. Hal ini tidak terlepas dari suatu kejadian di pondok pada saat itu pesantren ada mudzakaroh  ada suatu pertanyaan dari peserta mudzakaroh yang semua santri tidak bisa menjawab. Sejenak mudzakaroh ini terhenti, dengan sangat mengejutkan beliau syeh ibrahim ini tampil menjawab pertanyaan dari peserta mudzakaroh dengan sempurna dan benar adanya, sehingga para santri peserta mudzakaroh menjadi tercengang kagum atas kecerdasan dan kedalaman pengetahuan syeh Ibrahim dalam menjawab pertanyaan dari peserta mudzakaroh. Banyak memang kejadian kejadian yang menjadi pratanda yang mengisyaratkan bahwa ibrahim muda akan menjadi orang berpengaruh dan penyebar aroma damai islam serta penegak Kalimatullah di muka bumi. Seperti suatu kejadian di pondok pesantren, syeh Ibrahim mempunyai teman dekat yang bernama K. Dimyati yang kemudian hari dikenal dengan nama mbah mBengkah (mBengkah ini ini pedukuhan yang ikut Wonosekar kecamatan karangawen). Tidak jarang kedua sahabat ini belajar sampai larut malam. Ketika suatu malam saat jam menunjukkan pukul 02.00 Syeh Ibrohim keluar dari gotakan (kamar pondok) menemui K. Dimyati sambil berkata:

“Dim yah mene iki wetengmu ngelih opo ora?” ( dalam bahasa jawa artinya jam segini perutmu lapar tidak Dim?) langsung dijawab oleh K. Dimyati:

“wah yo jelas ngelih to kang, nanging jam sak yahene iki arep golek mangan nyang ngendi? (wah jelas lapar kang, tapi  jam segini mau mencari  makan kemana?) kemudian syeh Ibrahim berkata lagi:

“Seumpamane ono uwong aweh berkat kowe yo gelem Dim?” ( seandainya ada orang memberi makanan berkat kamu mau Dim?). K. Dimyati menjawab sambil berseloroh:

“Oalah kang mbok ojo ngayoworo, wis wis turu wae kang, ora usah neko neko.”( sudahlah kang jangan menghayal, sudahlah tidur saja, tidak perlu aneh-aneh). Kemudian Syeh ibrahim kembali lagi masuk kekamar.

Beberapa menit kemudian dengan tidak disangka dan diduga ada orang memberi berkat (makanan selamatan) kepada K Dimyati. Heran dan terkejut menyelimuti hati K Dimyati, dengan kegalauan hati K Dimyati berseru memanggil Syeh Ibrahim:

“Kang kang ono berkat tenan iki lho, ayo di pangan bareng!” ( kang ini lho ada berkat beneran ayo dimakan bersama-sama). Alhamdulillah.

Ini semua merupakan peristiwa-peristiwa yang bisa di kategorikan karomah beliau selama berada di pesantren dalam mempelajari syariat islam tetapi pencarian beliau terhadap ilmu tidak berhenti sampai di sini beliau terus mengembara sampai pada daerah Banten Jawa Barat untuk mengaji ilmu Thoriqoh secara langsung kepada shohibul karomah Syeh Abdul Karim yang asli Banten beliau adalah seorang guru Mursyid Thoriqoh Qodriyah Wanaqsabandiyah yang bermukim di Makkah Almukarromah tepatnya di kampung Suqul Lail. Dan setelah khatam belajar ilmu Thoriqoh ini akhirnya Syeh Ibrahim di  baiat menjadi Kholifah dan guru mursyid Thoriqoh Qodriyah Wanaqsabandiyah yang dikembangkan diwilayah kabupaten Demak, tepatnya di desa Brumbung kecamatan Mranggen. Begitulah seharusnya ketika seseorang hendak mempelajari thoriqoh maka harus kaffah terlebih dahulu syariatnya.

Assalamu’alaikum, maka Kunikahi Engkau..........................

Setelah perjalanan panjang pencarian terhadap ilmu yang dirasa cukup untuk menegakkan Kalimatullah di muka bumi ini tibalah saatnya beliau Syeh Ibrahim di minta pulang oleh orang tuanya, dan mulailah Syeh Ibrahim memasuki babak baru dalam kehidupan. Dan orang tuanya Raden Syahid bin Raden Suro Hadi Menggolo menugaskan putranya untuk menyebarkan islam kepelosok daerah yang masyarakatnya buta dalam masalah agama.

Raden Thohir orang tua Syeh Ibrahim sudah mempersiapkan daerah dimana Syeh ibrahim harus mengembangkan agama. Maka dengan penuh hikmah Syeh Ibrahim didawuhi (disuruh) untuk mengembara sesuka hatinya dengan di pesan jika suatu saat beliau bertemu seorang gadis yang berani melontarkan salam kepada Syeh Ibrahim, maka itulah gadis yang akan menjadi jodohnya dan syeh Ibrahim harus menikahinya. Dalam perjalanan panjang dan ayunan langkah kaki yang belum sempat henti tepatnya di daerah Ngemplak sebelah utara Ds. brumbung bertemulah beliau dengan pengikat hati yang dengan lembut melontarkan salam nan penuh kesejukan, sesaat terhentak beliau ingat akan pesan orang tuanya, sehingga beliau meminang dan menikahinya. Sang bidadari qurrata a’yun itu adalah Nyai Hajah Janah yang bertempat tinggal di desa Ngemplak.

Kemudian untuk sementara waktu syeh Ibrahim berada (Ngenger) di kediaman rumah mertuanya di desa ngemplak yang sekarang masuk wilayah kecamatan Mranggen.

Cikal bakal berdirinya Pesantren..........................

Pada tahun 1870 M Masjid Brumbung (sekarang Masjid jami’ Nurul Huda) tidak ada yang mengurus, masjid ini adalah peninggalan seorang sayyidah yang pada saat itu kurang terurus.maka dengan kondisi yang memprihatinkan itu terpanggillah hati beliau untuk mulai mengembangkan syiar islam di daerah Brumbung dan sekitarnya ini dengan menghidupkan serta mengurus keberadaan masjid Brumbung ini dengan kegiatan kegiatan ibadah kepada Allah SWT, maka oleh mertua beliau syeh Ibrahim di minta untuk menempati lahan tanah di desa Brumbung yang sekarang menjadi komplek pondok pesantren Ibrohimiyyah. Sekilas tentang masjid Brumbung yang sekarang bernama masjid Jami’ Nurul Huda ini didirikan oleh seorang waliullah perempuan yang masih keturunan Rosulullah SAW bernama Sayyidah yang juga merupakan seorang pengembara dari negeri Arab pada tahun 1824 M.

Perjalanan hidup berumah tangga dengan nyai hajah Jannah yang menetap di desa Brumbung, Beliau Syeh ibrahim di karuniai seorang putra penerus perjuangan yaitu KH Thoyib yang juga memiliki seorang putra al ‘allamah KH Wahab Mahfudzi, yang kecerdasan dan kewira’iannya telah mewarisi dari kakeknya Syeh Ibrahim, beliaulah KH  wahab Mahfudzi pendiri Pondok Pesantren Assyarifah yang letaknya sebelah barat pondok Pesantren Ibrohimiyyah.

Bendera jihad masih berkibar, semangat masih membara, belum sampai pada separuh perjuangan sang bidadari yang dengan setia selalu menemani perjalanan hidup dalam segala arang melintang, canda tawa kebahagiaan harus di panggil oleh sang Pemilik semua hamba meninggalkan semua yang ada di alam ini, Nyai hajah Jannah harus menghadap Allah SWT.innalillahi wainna ilaihi raji’un.

Sebagaimana Rosulullah saat istri tercintanya meninggal dunia, tak dapat di lukiskan kesedihan hati beliau, begitupun Syeh Ibrahim, tetapi Allah maha Rahim, beliau di karuniai seorang pendamping hidup yang baru, beliaulah nyai hajah Halimah seorang gadis asal kota semarang tepatnya di kampung Wotprau, walaupun sempat di tolak oleh orang tua sang gadis, namun tak lama kemudian hanya selang beberapa hari orang tua sang gadis datang pada Syeh Ibrahim menyerahkan gadisnya untuk di nikahi Syeh Ibrahim, dengan waktu yang terus berjalan, kehidupanpun harus terus mengalir, berkat pernikahan beliau dengan Nyai hajah Halimah ini di karuniai 6 orang anak. Beliau ini adalah:

1.      H. Nur Kembangarum

2.      Hj. Nafi’ah Patebon Kendal

3.      KH. Ichsan Brumbung

4.      KH. Chamim Brumbung

5.      Aminah Kendal

6.      Ridwan Brumbung

KH. Ichsan menurunkan putra bernama KH. Latif mastur yang sekarang meneruskan pondok kakeknya pondok pesantren ibrohimiyyah brumbung serta menjadi Rois Idaroh Wustho Jawa Tengah Thoriqoh Almuktabaroh Annahdliyah.

Kesuksesan yang diraih oleh anak cucu Syeh Ibrahim ini tidak terlepas dari perhatian beliau terhadap keluarga hal ini ditunjukkan beliau agar menjadi qurrota a’yun waj alna lilmuttaqina imama dan benar benar mengharap wa alhiqni bissholihin, maka setiap kali makan beliau selalu berjama’ah dengan semua anakn anak dan istri, karena dengan cara ini beliau dapat menasehati semua personil keluarga secara langsung dan lebih mendekatkan secara emosional, seningga tidak terkesan mendoktrin tetapi akan lebih mudah diterima nasehat nasehat beliau. Di samping itu beliau selalu mengingatkan akan urgensi makan berjama’ah diantaranya adalah:

Ø  Makan berjamah akan lebih membawa berkah.

Ø  Tidak ada rasa dibeda-bedakan dalam kasih sayang antara yang satu dengan yang lain.

Ø  Agar lebih akrab dan bertawadlu’ dengan orang tua.

Ø  Saat mulai makan harus diawali dengan berdoa begitupun juga setelah selesai

Ø  Disaat makan, makanan harus dihabiskan tidak boleh tertinggal walau sebutir nasipun dan jangan berlebihan (isrof).

Beliau Syeh Ibrahim adalah sosok yang sangat memiliki jiwa sosial tinggi, terbukti selain beliau perhatian terhadap keluarga, beliau juga sangat baik terhadap para tamu, pernah suatu ketika beliau kedatangan tamu dari Madinah al munawwaroh tamu itu diantar oleh syeh muhammad dari Bandung Jawa barat, setelah dirasa cukup dalam bersilaturrahminya tamu tersebut mohon pamit, namun saat itu nsyeh ibrahim sedang shalat sunnah di musholla, setelah solat sunnah beliau membuka sajadah dan mengambil uang untuk diberikan pada tamunya, sambil beliau berkata pada tamunya:

“ ini adalah pemberian dan kemurahan dari Allah SWT” . maka dengan perasaan tersontak keheranan seorang tamu dan syeh Muhammad langsung pulang.

Para Penimba ilmu kepada Hadrotussyaikh KH Ibrahim..........

Bermula darim perjalanan panjang meninggikan kalimatullah di daerah brumbung nama seorang yang sangat ‘Alim dan Wara’ Syeh Ibrahim mulai tersebar luas ke berbagai daerah, sehingga banyak orang orang yang haus akan ilmu agama datang kepada beliau untuk menimba sebanyak-banyaknya ilmu itu. Saat itu angka masehi menunjukkan usianya yang ke 1876 M, terlebih lagi kitab kuning yang banyak mereka pelajari dari Syeh Ibrahim.

Tidak hanya dalam hal ilmu-ilmu Syari’at beliau juga mengembangkan ilmu Thoriqoh yaitu Qodriyyah wanaqsabandiyah. Banyak santri santri beliau yang akhirnya menjadi ‘ulama’ besar dan mempunyai pondok pesantren yang berkembang pesat sampai saat ini.

Beliau santri syeh Ibrahim itu adalah:

1.      KH Faqih Kolilan Kendal

2.      KH Dahlan Patebon Kendal

3.      KH Masud Gilisari Waleri

4.      KH Abdurrahman Menur (pendiri PP. Fotuhiyah Mranggen)

5.      KH Muslih Abdurrahman Mranggen

Dalam mengasuh santri beliau Syeh Ibrahim tidak otoriter atau memaksakan kehendak, artinya santri diberikan pelajaran dengan tidak terpaksa akan tetapi pelajaran itu merekan terima dengan ketulusan hati dan penuh keikhlasan. Namun terkadang santri bisa menerima pelajaran beliau dengan sungguh setelah mengalami kejadian aneh diluar kemampuan akal menduga. Hal ini bisa dilihat dari bagaiman beliau memberikan ilmu thoriqoh kepada para santri, seperti suatu peristiwa yang terjadi pada saat Syeh Ibrahim mengutus santrinya KH Faqih untuk mengundang KH Husain untuk di baiat. Tapi saat itu KH Husain menjawab:“InsyaAllah saya akan sowan tapi tidak untuk di baiat karena saya belum merasa sanggup di Bai’at.” Ketika beliau benar benar sowan pada Syah Ibrahim, KH Husain di utus untuk melakukan sholat sunnat dua roka’at di musholla, saat itu waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB ( jam 12 malam). Padahal pada saat itu belum ada lampu listrik atau petromak yang ada adalah lampu gandul (lampu teplok).

Kemudian apa yang diminta oleh Syeh Ibrahim dilakukan oleh KH Husain yaitu melaksanakan solat sunat 2 rokaat. Di akhir solat saat salam yang pertama menoleh kekanan dilihatlah oleh KH Husain cahaya yang terang bak cahaya matahari yang menyilaukan mata, kemudiaan saat salam yang ke dua menoleh kekiri nampak olehnya cahay sejuk bak cahaya bulan purnama. Setelah kejadian yang luar biasa ajaib ini lalu KH Husain siap untuk di baiat dengan tulus Ihkas sepenuh hati.

Disamping kejadian tersebut KH Husain juga merasakan hal yang aneh, yaitu saat beliau sowan atas undangan Syeh Ibrahim , ketika beliau sowan beliau bermaksut membawa oleh oleh berupa telur asin (telur bebek) namun saat mencari telur asin ini dari Kendal terus mampir ke Semarang sampai stasiun Brumbung tidak mendapatkan telur yang dimaksut, maka dengan berat hati KH Husain tidak membawa oleh oleh telur asin. Tapi kejadian menakjubkan terulanhg kembali untuk yang ke sekian kalinya, beliau KH Husain terperanjat karena setelah sampai di ndalemnya Syeh Ibrahim suguhan yang di berikan kepada KH Husain adalah telur asin (telur bebek).

Kesederhanaan, Kerendahan hati, tidak sombong dan tidak keminter (sok pintar) adalah sutau hal yang selalu ditancapkan dalam benak para penimba ilmu yang datang pada beliau, pernah suatu ketika saat Syeh Ibrahim memghendaki untuk mengangkat badal dalam thoriqoh untuk menangani santri santri Thoriqoh yang sudah tersebar sampai ke pelosok penjuru dan sudut sudut bumi. Beliau Sang Guru Mursyid mengundang beberapa santri Thoriqoh untuk diajak berkumpul di Musholla kemudian dengan kalimat penuh kebijaksanaan Sang mursyid menyampaikan maksud dan tujuanya menghadirkan para santri beliau, Sang Mursyid ngendiko:

“ Poro santri kang kinasih, siro kabeh tak tekakke ono ing panggonan kene sak perlu aku arep golek badal kanggo ngopeni santri santri Thoreqoh seng saiki wes akeh jumlahe, mulo ing wengi iki siro kabeh tak jaluk podo nglakoni dzikir kang wus tak wenehake marang siro awit mengko wayah jam 12.00 tumeko sampek aku teko neng kene meneh".

Kemudian Syeh Ibrahim meninggalkan santrinya untuk berzikir. Maka disaat syeh ibrahim ini usai mengutarakan maksud dan tujuannya maka diantara para santri banyak yang mempunyai keinginan untuk di baiat sehingga menjadi Mursyid seperti sang guru Syeh Ibrahim. Dan fitrah manusia mungkin diantara mereka ada yang merasa paling berhak menjagi Badal Mursyid dari Syeh Ibrahim.

Kemudian kesembilan kiyai ini memulai Dzikir sebagaimana pesan Syeh Ibrahim. Kurang lebih saat waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB atau jam setengah dua malam disaat para santri edang asyik masyuk berzikir maka dengan tanpa terduga datanglah seekor ular besar bahkan konon sebesar glugu (pohon kelapa) ular ini berjalan dengan tenang seolah tidak berada di tengah manusia yang sedang asyik masyuk bertaqarrub pada penciptanya, namun walaupun ular tersebut berjalan dengan penuh kerendahan hati dalam sikapnya yang tenang banyak santri yang berhambur keluar dengan langkah kaki yang seolah mengalahkan kuda berlari. Mereka semua menghadap syeh dengan nafas yang tersengal-sengal bagai orang yang akan meniti akhir dari perjalanan panjang pengabdiannya di muka bumi, dengan tidak mengurangi keta’dziman pada sosok berwibawa syeh ibrahim, mereka matur:

“mBah Ibrahim dalem nyusun duko lan bade matur bilih wonten ing musholla wonten sawer engkang ageng sanget, mili kulo sak rencang sami mlajar lan dereng saget ngrampungaken dzikir engkang sampun kadawuhan mbah dateng kulo sak rencang.”

Kemudian dengan kharismatik yang terpancar, beliau mengajak para santri tadi kembali ke musholla, betapa terkejutnya mereka semua, ternyata dari sekian banyak santri yang berhamburan meninggalkan majlis dzikir, masih ada 2 santri yang tetap asyik nmasyuk, tenang dalam keindahan berdzikir, bagi mereka berdua seperti tidak terjadi apa-apa, beliau adalah K Abdurrahman Mranggen (pendiri PP Futuhiyah) dan Abdurrahman Menur (pendiri PP Rohmaniiyyah), maka setelah kedua santri tersebut selesai berdzikir kepada Allah, kembalilah pada posisi awal sembilan santri Syeh Ibrahim untuk menunggu apa yang menjadi dawuh beliau. Dengan suara burung hantu yang memecah keheningan malam, dengan penuh hikmat sang Guru Rohani tersebut menyampaikan petuahnya kepada para santri-santrinya:

“Poro santri kang kinasih kedaden ono ing mbengi iki sejatine minangka pratanda yen poro santri isih durung mantep lan madep anggone taqorrub marang gusti Allah, isih mikir donya lan ugo isih pingin diarani wong kang biso, mulo OJO RUMONGSO DADI WONG, ANANGING DADIO WONG SENG DUWENI RUMONGSO, ing dino iki songko pituduhe Allah, lan kineksen poro santri kabeh, santri loro kang wus ngrampungke dzikir lan ora kagodo donyo tak bai’at dadi mursyid.”

Sungguh filosofi yang memiliki makna sangat dalam, ketika semua orang di dunia ini bisa mengamalkannya tak akan ada kerusuhan, ketika semua orang sadar akan posisi dan capabilitas masing-masing, hidup akan terasa penuh dengan hawa sejuk perdamaian, hidup berdampingan dengan porsi masing masing, keseimbangan alam yang sudah menjadi sunnatullahpun akan terjamin.

SYUBHAT UANG NEGARA..........................

Brumbung tempo dulu adalah merupakan pusat pemerintahan yang dikenal dengan kawedanan termasuk kenaiban (sekarang kantor urusan agama) berada di brumbung, sehingga pemerintah Belanda hanya mengenal brumbung sebagai pusat pemerintahan, maka stasiun kereta api yang berada di daerah kebangarum lebih dikenal dengan nama stasiun Brumbung demikian juga perhutani yang dulu dikenal dengan nama tempat penggergajian atau TPK ini juga dikenal dengan nama TPK Brumbung. Hal ini menunjukkan saat itu Brumbung sudah dikenal dan tersohor baik dimata pemerintah belanda maupun orang-orang pribumi. Sehingga keberadaan syeh ibrahim tidak terlepas dari incaran penjajah belanda. Bahkan Brumbung merupakan target untuk dibumi hanguskan oleh penjajah oleh penjajah karena termasuk benteng pertahanan tentara Hisbullah.

Syeh Ibrahim selalu menekankan untuk tidak mau di ajak bekerjasama oleh pemerintah belanda bahkan para santri dan dzuriyahnya di larang untuk menerima bantuan dari pemerintah Belanda, Syeh Ibrahim menganggap bahwa bantuan dari pemerintah Belanda hukumnya Haram. Doktrin ini sampai pada cucunya, sepaerti halnya pernah terjadi pada KH Latif Mastur pada tahun 1980 M, Madrasah yang Beliau kelola mendapat bantuan dari Bupati Demak (saat itu H. Sukarlan) karena merasa tidak mengajukan bantuan tersebut beliau menanyakan pada kepala desa Brumbung (saat itu Mardjuki) kemudian menanyakan pada DPU Kabupaten dengan pertanyaan yang sama yaitu bantuan ini dari siapa dan halal atau haram, ini semua tidak terlepas dari doktrin yang sejak jauh –jauh hari telah disematkan dalam benak para santri maupun dzuriyahnya, yang awalnya tidak mau menerima bantuan dari pemerintah belanda dan sekarang dari pemerintah resmi Indonesia. Inilah kewaro’an seorang ulama’ agung agar segala sesuatu yang mengalir dalam tubuh nya dan keturunannya adalah barang-barang yang jelas halalnya, Syubhat pun mereka hindari apalagi haram. Subhanallah.

Pada masa hidupnya Syeh Ibrahim adalah ulama’ yang anti penjajah, baik dari cara terhaluspun penjajah Belanda tak bisa mempengaruhi beliau, tersebutlah seorang kiyai di daerah Gubug bernama K Hasan Anwar yang namanya diabadikan pada lembaga pendidikan di Gubug adalah sosok pejuang gigih dan tangguh dalam melawan penjajah Belanda ini sering bersilaturrahmi kepada Syeh Ibrahim untuk meminta nasehat dan petunjuknya dalam menghadapi penjajah Belanda. Setiap kali datang ke Syeh ibrahim, K. Hasan Anwar mengendarai harimau (Macan) sehingga setiap kali datang selalu di ingatkan untuk menambatkan tali harimau ini jauh dari pesantren syeh ibrahim, karena beliau khawatir nanti para santri pada ketakutan, karena kedatangan K. Hasan Anwar sering kali pada malam hari. Setiap kali mau melakukan penyerangan K. Hasan Anwar pasti datang dan mohon do’a restu pada Syeh Ibrahim.

Karena sikap Syeh yang tidak mau kompromi dengan Belanda maka Brumbung merupakan target penyerangan oleh Belanda. Hal ini dibuktikan sampai beliau Syeh Ibrahim tiada. Pada agresi Belanda I sebuah bom mortir yang diluncurkan Belanda untuk menghancurkan pesantren ini tidak berhasil karena bom mortil ini tidak meledak. Dan baru tahun 1950 bom mortir itu diambil dari sebelah selatan musholla ibrohimiyyah ini.

PERJALANAN HAJI TERAHIR DAN WAFATNYA SYEH IBRAHIM

Syeh Ibrahim telah beberapa kali menunaikan ibadah haji , pada waktu menunaikan ibadah haji yang ke tiga yang merupakan perjalan ibadah haji yang terahir. Perjalanan dalam rangka menggapai Ridzo Illahi kali ini beliau mengajak serta sang pendamping hidup nyai Hj Halimah serta mengajak putra beliau yakni KH.Ichsan dan KH.Chamim, serta dan KH.Muslih Abdurrahman yang merupakan santri baru, saat itu perjalanan haji belum seperti sekarang yang menggunakan burung besi, saat itu perjalanan beliau masih menggunakan kapal laut, yang lebih populer dengan istilah kapal semprong. Pada saat kapal berlabuh untuk beristirahat di pelabuhan Tanjung priok Batavia yang sekarang bernama Jakarta, terjadilah perkara yang sangat menghebohkan yaitu kapal yang ditumpangi rombongan haji ini terbakar dengan hebatnya. Saat itu beliau Syeh Ibrahim sedang melaksanakan ibadah Sholat Dluha, sedang penumpang yang lain sudah kalang kabut berhamburan keluar, ada yang dengan paniknya serta merta melemparkan barang-barang bawaanya keluar dari kapal, ada yang hanya menyelamatkan diri sendiri. Sedang kedua putra serta santri syeh ibrahim serta sang istri juga tak kalah paniknya tapi harus menunggu Syeh Ibrahim selesai Sholat Dluha.

Setelah dengan penuh rasa cemas penantian pada Syeh Ibrahim yang melakukan sholat Dluha, akhirnya selesai juga, dengan nada tenang penuh kewibawaan Syeh Ibrahim bertanya: “Ono opo kok podo ribut lan bingung?” . “kapalipun kobong!” jawab salah satu putranya. Syeh Ibrahim lalu menengadahkan kedua tangannya tinggi-tinggi seraya berdoa dan setelah selesai beliau berkata “insya Allah kapal iki ra sido kobong lantaran qudrohe Allah SWT. LAAHAULAWALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ‘ALIYYIL’ADZIM. Beberapa saat kemudian kobaran api makin berkurang dan terus padam.

Ketika berada di Mekah Al Mukarromah Syeh Ibrohim mempunyai azam  untuk pergi ke Thoif dengan maksud membeli budak untuk dimerdekakan ,namun anehnya syeh belum sampai di Thiof, disana sudah tersiar kabar bahwa ada orang Indonesia bernama Ibrohim membeli dan memerdekakan seorang budak.

Selanjutnya beliau Syeh Ibrohim setelah selesai melaksanakan ibadah haji tiba saatnya untuk pulang. Namun karena kelelahan yang amat sangat, beliau menderita sakit sampai dengan kepulangannya ke tanah air. Sampai di Jakarta KH.Ichsan dan KH.Muslich mengurus barang –barang bawaannya sedang  Syeh Ibrohim langsung meneruskan perjalanan untuk pulang.

 Pada saat KH.Ichsan dan KH.Muslich mengurus barang bawaannya sudah diingatkan oleh Syeh Ibrohim bahwa barang bawaanya sudah diingatkan oleh Syeh Ibrohim bahwa barang tersebut tidak usah diurus karena telah hilang. Namun kedua orang ini ngotot dan bersikeras untuk mencarinya hingga akhirnya memang benar-benar tidak diketemukan.  Sampai di rumah kondisi sakit Syeh Ibrohim semakin bertambah hingga pada suatu hari beliau memanggil anak-anaknya dan salah satu santri kinasihnya  yaitu KH.Muslich Abdurrahman. Setelah mereka berkumpul beliau memberikan wasiat yaitu:

“Anakku lan santri kabeh,loro iki minongko dalane sowan marang gusti Allah,mulo yen aku wes kapundut dening gusti Allah aku pesen mbesuk kuburanku ojo nganti dadi papunden ,utomane kanggo poro santri lan wong-wong umum,ojo nganti tumibo syirik”.

Demikian wasiat syeh Ibrohim kepada putra dan santrinya . Tepat  pada hari selasa kliwon bulan shofar 1426 H Jam 11.45 WIB. Beliau Syeh Ibrohim di panggil menghadap kehadirat Allah SWT,untuk menerima hasil jerih payah beliau di dunia berupa jannatun naim, Amin. INNALILAHI  WAINAILAHI ROJI’UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar