Sabtu, 14 April 2018

Hukum Dan Tatacara Fidyah

Shalat merupakan kewajiban setiap muslim yang tidak dapat diwakilkan pada orang lain, baik seseorang tersebut mampu atau tidak mampu melaksanakannya. Orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja meninggalkan shalat, maka harus segera menggantinya.

Apabila seseorang telah meninggal dunia dan masih menanggung puasa, dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa walinya lah yang harus menggantinya, karena telah dipertegas bahwa hutang harus dibayar. Shalat dan puasa merupakan ibadah badaniyah yang hukumnya bisa disamakan. Maka, apabila orang yang meninggal dan masih menanggung shalat, shalatnya harus digantikan oleh walinya sebagaimana puasa.

Banyak terjadi perbedaan pendapat tentang adanya qadha’ dan fidyah shalat yang ditanggung oleh orang yang meninggal. Diantara ulama’ masyhur yang menolak adanya fidyah dan qadha’ untuk menggantikan tanggungan orang yang meninggal dunia adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i. Dalam beberapa kitabnya, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa shalat yang ditanggung oleh orang yang sudah meninggal tidak perlu diqadha’ atau dibayar fidyahnya. Akan tetapi ada sebuah pendapat bahwa Imam Syafi’i mengatakan tentang bolehnya qadha’ dan fidyah shalat. Imam Syafi’i mengatakan demikian karena memang ada hadits yang menjelaskannya. Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa shalat yang ditanggung orang yang meninggal hanya dibayar fidyahnya tanpa harus diqadha’.

Demi adanya kehati-hatian, karena memang ada hadits yang menjelaskan demikian, maka lebih baik untuk melakukan qadha’ atau fidyah sebagai ganti tanggungan shalat orang yang telah meninggal. Masalah apakah nanti diterima atau tidak, itu sudah menjadi hak Allah dalam memutuskannya.

Termaktub Dalam Hadits

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من مات وعليه صيام صام عنه وليه.

Dari Aisyah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meninggal dan masih menanggung puasa, maka berpuasalah walinya atasnya.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها؟ قال نعم. فدين الله أحق أن يقضي.

Dari Ibnu Abbas r.a berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada nabi, dia bertanya: Ya Rasulallah, ibuku meninggal dan beliau masih menanggung puasa satu bulan, apakah saya boleh mengqadha puasa atasnya? Nabi menjawab: Boleh. Dan hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan. (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”

Dari kedua hadits tersebut jelas bahwa jika seseorang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka harus dibayar (diqadha’) oleh walinya. Memang hadits tersebut tidak mengatakan tentang hal shalat, akan tetapi hukum mengqhada’ shalat dapat diqiyaskan dengan hukum mengqadha’ puasa, karena keduanya sama-sam merupakan ibadah badaniyah yang pada hakikatnya tidak bisa diwakilkan.

Dalam hadits yang ke dua dipertegas bahwa hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan. Maka, demi berhati-hati dalam hal ini, lebih baik untuk mengqadhanya. Masalah diterima atau tidaknya, sudah menjadi keputusan Sang Pembuat Hukum.

Fidyah adalah memberi makan orang miskin sebagai pengganti seseorang yang meninggalkan kewajiban shalat sebagaimana orang yang meninggalkan puasa. Pembayaran fidyah ini sebanyak satu mud (6 ons) bagi setiap shalatnya.

“Dan bagi orang yang berat melakukannya , wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah: 184)

Dalam beberapa dalil memang hanya ada fidyah puasa, akan  tetapi dengan illat  shalat disamakan  dengan puasa, maka pada pentasharufan  atau pengalokasian fidyah shalatpun untuk orang miskin juga. Adapun orang faqir tentunya lebih utama untuk mendapatkannya karena kondisinya yang lebih memperhatinkan dibandingkan si miskin. Dengan penyebutan spesifik ini pula (menyebutkan kata ‘Miskin’ dalam Al-Qur’an), pembagian fidyah tidak teruntuk 8 golongan dalam pembagian zakat (I’anat at-Thalibin: 2/244). Dan perlu dicatat ini adalah ranah pendapat di kalangan madzhab Syafi’i.

Pendapat Ulama’ Tentang Qadha dan Fidyah Shalat Bagi Mayit

Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan mengenahi perihal kewajiban qadha shalat, bahwa apabila sesorang dengan tanpa adanya halangan meninggalkan shalat maka seseorang tersebut wajib mengqadha shalatnya. Sehingga apabila seseorang meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, maka hendaknya wajib diqadha ataupun dibayar fidyahnya.

Akan tetapi dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian dari mereka menerima adanya qadha’ atau fidyah, sedang yang lainnya menolak.

إِنَّ عَبْد الله ابن عمر رضي الله عنهما أَمَرَ امْرَأَةَ جَعَلَتْ أُمُّها على نَفْسِهَا صلاةً بِقُباءَ يعني ثم ماتت فقال صلّي عنها (رواه البخاري)

“Sesungguhnya Abdullah bin Umar r.a. memerintahkan perempuan yang ibunya pernah bernadzar shalat di Quba’, lantas ibu itu meninggal sebelum sempat melakukannya. Ibnu Umar berkata kepada perempuan itu : Lakukanlah shalat untuk (mengqodhoi shalat) ibumu.” (H.R Bukhari)

Hal ini didukung dengan sebuah nukilan:

(فَائِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلاَ قَضَاءَ وَلاَ فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ -كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ- أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ يُصَلِّىَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي وَجْهٍ – عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا – أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلاَةٍ مُدًّا (إعانة الطالبين – ج ۱ / ص۳۳ )

Disebutkan  bahwa: Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa. Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)

Pendapat ini juga diperkuat oleh ulama’ Syafi’iyah, seperti yang disebutkan oleh al-Ibadiy dari Asy-Syafi’i bahwa: “Sesungguhnya shalat itu harus diqodho’kan oleh orang lain, baik orang mati itu berwasiat untuk hal ini atau tidak.” Adalah karena ada hadits yang menjelaskannya. Bahkan imam as-Subki melakukan qadha’ shalat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya.

Tentang pahala tersebut akan sampai atau tidak kepada mayit, dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zain, bahwa Nabi pernah mengerjakan shalat sunnah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit.

ومن صلاة النفل صلاة ركعتين في القبر

Termasuk salah satu dari shalat sunnah dua rakaat pada malam pertama untuk menghibur mayit di dalam kubur.

واختلفوا في العباده البدانيه كالصوم والصلاة وقرأة القرأن والذكر. فمذهب الإمام أحمد وجمهور السلف وصولها وهو قول بعض أصحاب أبي حنيفه نصّ على هذا الإمام أحمد في رواية محمد ابن يحي الكحّال قال: قيل لأبي عبد الله: الرجل يعمل الشيء من الخير من صلاة أو صدقة أو غير ذلك فيجعل نصفه لأبيه أو لأمه؟ قال: ارجو أو قال: الميت يصل إليه كل شيء من صدقة أو غيرها.

Dalam sebuah nukilan tersebut dijelaskan bahwa Imam Ahmad dan Jumhur Ulama’ menyatakan bahwa pahala ibadah yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya. Hal itu dipertegas oleh penjelasan dari sebagian sahabat Abu Hanifah di dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahhal  bahwa Abi Abdillah pernah ditanya tentang sampainya pahala melakukan shalat dan shadaqah yang dihadiahkan kepada ibu atau bapaknya. Maka kemudian Abi Abdillah mengatakan bahwa pahala tersebut akan sampai kepada keduanya.

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dibayarkan fidyah satu mud beras untuk tebusan untuk satu sholat yang ditingalkanya jadi menurut mazhab ahli sunah waljamaah boleh menghadiahkan pahala amalnya maupun sholatnya, untuk orang lain (mayit) dan pahala itu bisa sampai.

Oleh sebab itu, apabila seseorang yang telah meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat, menurut madzhab Syafi’i diperbolehkan walinya mengqadha shalat yang telah ditinggalkan.  Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hanya perlu dibayarkan fidyahnya oleh ahli warisnya.

Akan tetapi banyak Ulama’ yang menolak adanya qadha’ dan fidyah shalat untuk orang yang telah meninggal dunia. Dengan alasan bahwa shalat merupakan ibadah badaniyah yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali dirinya sendiri yang melaksanakannya.

والمشهور في مذهب الشفعي ومالك أن فضله لا يصل. وذهب أهل البدع من اهل الكلام أنه لا يصل إلى الميت شيء البتة لا دعاء ولا غيره

Dalam nukilan tersebut dijelaskan bahwa penjelasan yang paling masyhur tentang penolakan pendapat sampainya pahala perwakilan ibadah kepada mayit adalah dari kalangan madzhab Syafi’i dan Maliki.

Seluruh Ulama’ sepakat bahwa mewakili orang dalam hal puasa dan shalat dari orang yang hidup tidak sah sama sekali. Baik orang yang diwakili itu mampu melakukan ibadah ataupun tidak mampu.

Empat Madzhab mengatakan tidak sah menggantikan orang mati sebagaimana menggantikan orang hidup.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa kitab fiqih bahwa orang yang meninggal dan masih menanggung shalat maka tidaklah perlu untuk diqadha atau dibayar fidyahnya, seperti salah satu nukilan:

(تنبيه)من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه

“Barang siapa meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, tidaklah wajib diqadha’ atau dibayar fidyahnya.”

Demikian juga boleh mengqodho sholat orang yang meninggal menurut pendapat Imam Syibromalisi, Al-Ibadi, Ishaq, Atha, Ibnu Asyirin , Ibnu Daqiqi Al-Id dan Tajuddin As-Syubky.

Memang diakui, Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi’I ” Orang yang meninggal yang masih ada qodhoan shalatnya tidak ada perintah atau suruhan untuk mengqodho atau membayar Fidyah sholat orang tersebut”. Namun perlu kita ketahui banyak ulama berpendapat sangat baik membuatkan Fidyah sholat orang yang meninggal tersebut, diantaranya Imam Al-Qolyuby, Imam Nawawi, Imam Al-bughowy, Imam Ar-Rofi’I dan Imam Algoffal menjelaskan begini :

انه يطعم عن كل صلاة مدا

Artinya : Memberi makan satu mud (675 gr) dari setiap sholat wajib yang ditinggalkan.

Pemikiran beliau-beliau ini dikiaskan atau dianalogikan mereka kepada masalah shoum (puasa) yang nashnya begini :

من مات وعليه صيام صام عنه وليه (متفق عليه)

من مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا (رواه ابن ماجه)

Pendapat-pendapat Ulama Syafi’iyah ini sejalan dengan ijtihad Imam Abu Hanifah Rohimahulloh dan menurut As-Syafi’iyah setiap satu sholat wajib Fidyahnya satu mud (675 gr). Sehari semalam 5 x shalat wajib, sedangkan 1 tahun = 360 hari x 5 waktu =1800 x sholat wajib.1 tabung beras (4 kg) = 6 mud.

Bila orang meninggal berusia 45 tahun umpamanya, maka 45 tahun dikurang umur sebelum dewasa 15 tahun = 30 tahun dikurangi lagi ketaatan 15 tahun misalnya, tinggal yang perlu dibayar Fidyahnya 15 tahun lagi.

Kalau beras yang dipersiapkan untuk Fidyah ada 20 tabung, maka cara pelaksanaannya sebagai berikut :

15 tahun x 360 hari x 5 waktu = 27000 waktu.

20 tabung itu = 120 waktu. 27000 waktu : 120 mud = 225 kali.

Selanjutnya faqir A mensedekahkan kepada faqir B 113 kali dan faqir B mensedekahkan kepada Faqir A sebanyak 112 kali jumlahnya = 225 kali.

Dengan demikian selesailah Fidyah orang tersebut.

Imam Abu Hanifah hanya membolehkan dibayar Fidyah sholat orang yang meninggal dengan syarat :

a. Ada wasiat untuk dibuat Fidyah dari orang yang wafat itu

b. Makanan pokok, juga boleh dengan uang seharga 1/2 sha’ (1,9 kg).

c. Sehari semalam dihitung 6 kali sholat wajib dengan witir.

d. Tidak boleh sedekah berputar ( faqir A mensedekahkan kepada faqir B dan faqir B kembali mensedekahkan kepada faqir A dan seterusnya.

Kesimpulannya Imam Abu Hanifah Rahimahulloh tidak membolehkan membayar Fidyah orang yang meninggal tanpa ada wasiat dari orang yang meninggal tersebut.

Menjalankan fidyah shalat

Misal, beras yang tersedia adalah 100 kg, maka untuk fidyah shalat  adalah 12600 dibagi 150 mud, hasilnya adalah 84, ini artinya beras yang 1 kwintal tersebut mesti diserahterimakan (sodaqohkan) sebanyak 84 kali. Teknisnya, misal ada 2 org yang melakukan yaitu A dan B, maka pertama pihak ahli waris meniatai beras tsb kemudian dipasrahkan ke pihak A misalnya untuk menjalankan fidyah, dari pihak A diniati (niat fidyah) lalu disedekahkan kepada B, dari B sedekahkan lagi kepada A dan begitu seterusnya hingga 84 kali. Jika selesai tinggal puasanya

Menjalankan fidyah puasa romadon

Misal, beras yang tersedia adalah 100 kg, maka untuk fidyah puasa adalah 210 dibagi 150 mud, hasilnya adalah 1,4, ini artinya beras yang 1 kwintal tersebut mesti diserahterimakan (sodaqohkan) sebanyak 1,4 kali. Kita genapkan saja 2 kali. Teknisnya, misal ada 2 org yang melakukan yaitu A dan B, maka dari pihak A diniati lalu disedekahkan kepada B, dari B sedekahkan lagi kepada A, nah ini sudah dua kali berarti selesai. Tinggal beras tadi terakhir kali diterimanya oleh siapa apakah A atau B. Maka pembagian beras tersebut untuk fakir miskin terserah menurut siapa yang terakhir kali menerima.  Misal dari 1 kwntal tersebut 25 kg untuk A dan 25 kg untuk B, kemudian sisanya yng 50 kg dibagikan kpada fakir miskin. Atau disedekahkan kembali kepada ahli waris juga tidak apa-apa, misalnya karena si ahli waris tersebut fakir.

Niat fidyah:

Pertama, ahli waris niat mewakilkan untuk melaksanakan fidyah kepada pihak yang menjalankan fidyah, misalnya kepada salah satu pihak A atau B dari dua orang yang telah dimintai untuk menjalankan fidyah.

Selanjutnya tinggal pelaksanaan sebagaimana yang dilakukan pada poin no.3 diatas. Pihak A atau B selama menjalankan fidyah itu setiap kali mau menyedekahkan diniati dahulu:

Ini niatnya:

NIAT UNTUK FIDYAH SHALAT:

Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

Saya niat fidyah dengan beras ini yang sejumlah .....(sebutkan berapanya, misal tadi 150 mud)untuk mengqodhoi  shalat yang difardukan si fulan bin fulan yang jumlahnya ....waktu (sebutkan berapa waktu) fardhon lillahi ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

NIAT UNTUK FIDYAH PUASA

Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi shiyaami romadhon

.....yaumin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala

Saya niat fidyah dengan beras ini yang sejumlah .....(sebutkan berapanya, misal tadi 150 mud)untuk mengqodhoi  puasa romadhon si fulan bin fulan yang jumlahnya ....hari (sebutkan berapa) fardhon lillahi ta’ala.

Catatan:

Misal tadi beras tsb 100 kg, maka setiap kali A menyerahkan ke B, beras tadi mesti dipindahkan kepada B begitu juga sebaliknya hingga sejumlah giliran yang sudah dihitung, misal untuk shalat sebanyak 84 kali, maka artinya beras tsb berpindah sebanyak 84 kali juga dan untuk puasa 2 kali, jadi total bolak balik serah terima dan pindahnya beras adalahh sebanyak 86 kali, begitu juga niatnya, sebab setiap hendak menyerahkan (misal A ke B dan sebaliknya) mesti diniati terlebih dahulu .

Ingat! Niat dibaca setiap kali mau menyerahkan beras dari pihak A ke B atau sebaliknya

A: baca niat: Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Lalu katakan: Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

B: saya terima, lalu baca niat: Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

Terus dilakukan sampai selesai, begitu juga niat fidyah puasa.

Semoga Bermanfaat

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar