Selasa, 10 April 2018

Sejarah Situ Sangiang Dan Makam Sunan Parung

Situ Sangiang merupakan objek wisata dan tempat berziarah andalan di Kabupaten Majalengka. Terletak di Desa Sanggiang, Kecamatan Banjaran, atau berjarak kurang lebih 27 Km dari pusat ibu kota kabupaten Majalengka menuju arah kecamatan Talaga atau Cikijing.  Objek wisata ini memiliki luas keseluruhan sekitar 105 hektar sedangkan luas Situ Sangiang sekitar 14 hektar. Situ Sangiang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga pengelolaannya pun dilakukan oleh pihak Taman Nasionl Gunung Ciremai. Situ ini terkenal dengan sebuah legenda pelet-nya.

Situ Sangiang diyakini sebagai tempat hilangnya atau tilemnya Sunan Talaga manggung dan Keratonnya ketika dikhianati menantunya Patih Palembang Gunung sekira abad ke 15. Keberadaan ikan lele yang sekarang sudah mulai langka, menurut kepercayaan adalah merupakan jelmaan para prajurit dan pengawal kerajaan. Keberadaan ikan tanpa daging yang hidup beberapa tahun kebelakang masih sering kita dengar, sebagai sebuah keajaiban.

Bagi yang berminat wisata ziarah, puncak keramaian biasanya pada bulan Maulud. Pada tersebut biasanya pengunjung berziarah ke makam Sunan Parung (Prabu Pucuk Umun) dimana makamnya berada di samping Situ Sangiang.

Situ Sangiang terletak 800 m atau  sebelum kota Talaga dari arah selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800 m.

Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan.

Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2 dengan intensitas curah hujan rata-rata antara tahun 1990-1997 sebesar 1.802 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 1990 sebesar 3.050 mm/tahun dan terendah terjadi pada tahun 1991 dengan curah hujan sebesar 716 mm/tahun.

Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai.

Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, bersampan, memancing dan berkemah.
Di Wana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam didaerah Majalengka dan sekitarnya.

Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius. Ada yang jauh-jauh datang kesitu, hanya ingin berziarah kemakam wali dan kemudian mandi dipinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.

Sekilas Kisah Kerajaan Talaga

Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu Kerajaan Talaga Manggung adalah kerajaan yang didirikan Pada kira-kira sebelum abad ke-15, oleh Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.

Di Naskah Wangsakerta. Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan Ratna Umalestari, adiknya Prabu Citraganda penguasa kerajaan Sunda Galuh tahun (1303-1311) Masehi. Pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan Bogor ke Kawali, Ciamis. Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1- Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot (kelak menjadi raja pengganti) Prabu Ajiguna Linggawisesa;
2- Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3- Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga di Majalengka.

Dengan kata lain, Prabu Suryadewata adalah putra Prabu Ajiguna Linggawisesa penguasa Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Talaga dan kelak akan melahirkan raja-raja di Kerajaan Talaga sebagai negara bawahan Kerajaan Sunda Galuh dimana ayahnya Prabu Ajiguna Linggawisesa dan kakaknya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Aki Kolot (1340-1350) M berkuasa di Galuh Kawali Ciamis.

Lokasinya kini di kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka, bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi yang dimaksud mungkin Suryadewata putra Maharaja Ajiguna Linggawisesa. Kerajaan di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana.

Ratu SIMBAR KENCANA mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama PALEMBANG GUNUNG, berasal dari Palembang. Patih palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama CITRA SINGA, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata  tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi SUNAN TALAGA MANGGUNG baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa  karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit  anggota badannya sampai ia mati.

Palembang Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan SITU SANGIANG TALAGA. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi Raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada RATU SIMBAR KENCANA atau istrinya Palembang Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kanbar itu maka SIMBAR KENCANA membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya  (digorok) oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari sunan Talalga Manggung) sedatangnya ke sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (desa Kagok).

Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayah handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.

Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya SUNAN PARUNG.
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden Munding  Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.

Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON (SYARIF HIDAYAT TULLOH). Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti PRABU PUCUK ULUM. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama SUNAN WANAK PRIH. Sunan Wanak Prih menjadi raja yang bertempat diwaloang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai putra AMPUH SURAWIJAYA SUNAN KIDAK. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada AMPUH SURAWIJAYA, dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.

Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama SUNAN PANGERAN SURAWIJAYA, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya DIPATI SUARGA. Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya DIPATI WIRANATA. Kemudian kerajaan itu  diturnkan kepada putranya bernama RADEN SACA EYANG hingga abad ke tujuh belas.

Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi KABUPATEN. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama ARIA SECANATA. Setelah itu

Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.

Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati  Raden Sacanata menolak sampai beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama PANGERAN SUMANEGARA. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama NYI RADEN ANGREK. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama KERTADILAGA putra pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama NATAKUSUMAH di CIKIFAI TALAGA, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah BAJU KERA, ARCA-ARCA, GAMELAN, TUAH MERIAM, BEDIL SUNDUT, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.

Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok, hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya.

Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari talaga).
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berjiarah sampai sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang. Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan keturunanya.

SITU SANGIANG dan MAKAM SUNAN PARUNG SAAT INI

Sejak saat itu sampai sekarang, danau ciptaan Raden Panglurah tersebut dinamakan Situ Sangiang yang letaknya di Kampung Wates, Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Banyak keanehan di Situ Sangiang. Antara lain, sampai sekarang tidak pernah ditemukan selembar daun pun yang mengapung di atas situ walau sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang telah berumur ratusan tahun, ini merupakan bukti bahwa situ tersebut ada yang menjaga serta memelihara, yang tak lain adalah Raden Panglurah beserta abdi setianya. Sesekali orang bisa melihat kehadiran ikan lele jelmaan Raden Panglurah yang besarnya sebesar bayi. Namun itu jarang terjadi, kecuali kepada mereka yang kebetulan bernasib baik saja. Namun biasanya orang yang sempat melihat ikan Lele tersebut akan terus berlari menghindar karena takut terkena musibah. Mereka percaya sampai sekarang kemungkinan besar Raden Panglurah masih menyimpan dendam kepada penduduk Talaga. Seiring dengan itu, agama Islam berkembang dengan pesat di Talaga dan sekitarnya. Kini hampir dari setiap rumah terdengar suara orang yang sedang mengaji, dan ada pula yang sedang berzikir mengagungkan asma Allah SWT.

Setelah sekian lama menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, Sunan Parung pun wafat dengan tenang. Makamnya tidak jauh dari tepi Situ Sangiang, dan dikeramatkan sampai sekarang. Di hari-hari tertentu para peziarah berdatangan mengharapkan berkahnya, terutama dari Cirebon. Lokasi makan Sunan Parung agak tinggi dari tepi situ, sehingga kita harus manaiki tangga sejumlah 128 buah. Suasana di dalam makan wali tersebut sangat sakral dan mencekam. Tidak heran jika juru kunci melarang para peziarah untuk bermalam di dalam makam Sunan Parung. Juru kunci tidak bertanggung jawab jika ada peziarah yang memaksa tidur di makam. Alasannya para peziarah belum tentu tahan menghadapi godaan sebab biasanya godaan akan datang dari dalam Situ Sangiang. Godaan itu bisa berbentuk ikan besar, ular, dan sebangsanya yang menakutkan. Di dalam hutan sekitar situ sangiang terdapat pula tujuh buah pohon angsana yang telah berusia ratusan tahun. Dari bawah pohon tersebut terpisah, tapi setelah agak ke atas, ketujuh pohon angsana itu menjadi satu sehingga tampaknya seperti sebuah pohon saja. Itu merupakan keajaiban yang tidak terdapat di tempat keramat lain. Ada beberapa versi tentang pohon angsana itu. Sebagian penduduk mengatakan, bahwa pohon tersebut berasal dari tongkat Sunan Parung. Sebagian lagi mempercayai bahwa pohon itu berasal dari senjata Prabu Talaga manggung Pucuk Umum. Dan sebagian lagi percaya bahwa pohon itu berasal dari tongkat Raden Panglurah yang ia bawa saat baru saja pulang bertapa dari Gunung Bitung. Selanjutnya ditancapkannya, dan berubah jadi tujuh buah pohon hingga sekarang. Tak jauh dari tempat itu, terdapat batu untuk menyembelih binatang sebagai Nazar mereka yang berhasil maksudnya. Namun banyak pula yang hanya berekreasi, sebab Situ Sangiang sekarang dijadikan objek pariwisata yang menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar