Minggu, 14 Oktober 2018

LEGENDA KI DANAWANGSA DAN BERDIRINYA DESA SITANGGAL BREBES

Masyarakat Sitanggal boleh bangga kini Desanya pelan tapi pasti telah berubah menjadi kota. Wajah Sitanggal kini sudah sangat berbeda dibandingkan dengan Sitanggal dulu. Kini Sitanggal berubah semakin maju dan sangat maju. Maka tidaklah heran jika tokoh-tokoh nasional asal Brebes  mengusulkan Sitanggal menjadi Ibu Kota Kabupaten Brebes. Konon jika dipindah di wilayah Tengah di Sitanggal maka Kabupaten Brebes akan berkembang semakin maju.

Tapi tahukah warga Sitanggal akan asal mula keberadaan Desanya. Tahukah warga Sitanggal itu sendiri akan sejarah yang terukir di Desanya. Bung Karno sang proklamator sering mendengungkan slogan "JAS MERAH" kepada seluruh rakyat negeri nusantara ini. Yang maknanya jangalah sampai  melupakan sejarah. Ya emang kini orang kadang lupa atau melupakan sejarah. Padahal dalam sejarah ada banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Dalam sejarah orang menjadi tahu urutan perkembangan zaman. Orang yang kini ada menjadi sadar bahwa perkembangan yang kini tidak luput dari perkembangan masa lampaunya. Sejarah juga dapat menciptakan karakter mengharagai leluhur Desa, leluhur bangsa, sejarah membuat arif dan melegakan hati kita untuk memaafkan satu sama lainnya.

Sitanggal adalah sebuah Desa yang terletak di wilayah Brebes tengah. Sitanggal berada pada jalur tengah yang melintas membujur dari Jatibarang, Sitanggal, Ketanggungan hingga Ciledug. Sitanggal terletak di barat sungai Pemali, kurang lebih 5 km dari sungai pemali. Sebuah sungai yang pada masa hindu kuno yaitu pada masa kerjaan Tarumanegara  ketiga dikenal dengan sungai Cipamali. Nama Cipamali erat sekali dengan sebutan sunda. Istilah Kerajaan sunda itu sendiri baru muncul pada masa pemerintahan Tarumanegara ketiga yaitu masa kekuasaan Raja Purnawarman yang berkuasa dari tahun 395-434 M.

Kekuasaan Tarumanegara ketiga di masa kerajaan Purnawarman membentang dari barat dan ke timur hingga sungai cipamali, ciserayu dan purwalingga (sekarang Purbalingga). Dapat dipastikan Letak Sitanggal yang di sebelah barat sungai Cipamali adalah masih dalam kekuasaan Tarumanegara III. Walau Sitanggal masuk dalam wilayah kerajaan Tarumanegara III, namun  tidak ada catatan pasti apakah sudah muncul pemukiman perkampungan Sitanggal. Pendek kata pada masa Hindu yaitu masa Kerajaan Hindu Tarumanegara III belum ada pemukiman di Sitanggal. Hal ini berbeda dengan Desa Kedungbokor dan Wanacala yang dimungkinkan sudah ada pemukiman. Hal tersebut masuklah akal, karena moda transportasi pada masa itu adalah sungai. Sungai Cipamali yang pada saat itu lebar dan panjang, memungkinkan orang bermukim di tepian Cipamali.

Kekuasaan Kerajaan Pasundan, walau pun berganti-ganti Raja dan berganti-ganti Ibukota namun hingga abad ke-16 masih bertahan. Hal ini dibuktikan dengan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceritakan tentang perjalanan Bujangga Manik seorang pendeta hindu sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci di Jawa dan Bali pada abad ke-16. Naskah kuno tersebut disimpan di perpustakaan Budiian, Oxford University sejak 1627. Dalam naskah kuno tersebut batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (sekarang sungai Pemali), Sungai Ciserayu (sekarang sungai Serayu) provinsi Jawa Tengah. Pada masa Pajajaran wilayah kekuasaanya juga mencakup wilayah Sumatera bagian Selatan. Berikut peta wilayah Kerajaan Sunda Galuh pada tahun 932-1579 Masehi.

Seiring dengan perkembangan Agama Islam di dunia maka Islam pun masuk ke wilayah kerajaan Hindu Sunda. Islam mulai masuk tatar tanah pasundan mulai abad ke-7, namun penyebarannya secara signifikan barulah sangat terasa pada abad ke-13. Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475M), Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) (1482-1521 M)  yang menganut Islam.

Sebagaimana diketahui Sitanggal adalah sebuah Desa di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Namun karena letaknya di sebelah barat sungai Cipamali maka Sitanggal pada masa kuno adalah salah satu wilayah yang termasuk kedalam wilayah Kerajaan Sunda Galuh yang ber Ibukota di Pakuan Pajajaran (lebih dikenal dengan Kerajaan Pajajaran, sekarang Pakuan adalah Kota Bogor). Di Jawa sendiri (Jawa tengah dan Jawa timur) pada abad ke-12 berkuasa Kerajaan Kediri (116-1222), lalu muncul Kerajaan Singasari (1222-1292), lalu Kerajaan Majapahit (1292-1519), Kemudian muncul Kerajaan Islam Demak (1478-1561), Kerajaan Islam Pajang (1561-1575), lalu muncul mataram Islam (1575-sekarang). Wilayah inti Kerajaan majapahit membentang dari Bali hingga barat Jawa Tengah yaitu sungai Pamali.

Sejarah Desa Sitanggal

Dusun yang sekarang dikenal dengan Sitanggal maka dahulunya dikenal dengan Citanggal, berasal dari kata Caitanggal. Sebagaimana lazimnya penamaan nama Dusun atau desa pada Kerajaan Pasundan. Bahwa banyak Desa yang berada di tepian sungai diberi nama dengan kata depan cai atau ci. Untuk Dusun atau Desa yang masuk wilayah Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Brebes di era kini masih banyak yang hingga sekarang menggunakan istilah ci, contohnya Cikakak Ketanggungan, Cigedog Kersana dan Ciampel Kersana. Beberapa mengalami Transformasi akibat pengaruh budaya Jawa yang kuat contohnya Cilosari sekarang Losari dan Citanggal menjadi Sitanggal.

Sitanggal di Era Kuno Periode (700-1875 M)

Dusun Citanggal pada masa dahulu diperkirakan dimukimi oleh orang pada masa penyebaran Agama Islam pertama di Kerajaan Sunda Galuh yaitu pada abad ke-7 (butuh rujukan). Dalam hal ini dimungkinkan sudah ada orang yang tinggal dan pergi di Sitanggal sejak kerajaan Hindu Pasundan.  Seiring dengan perubahan moda transportasi dari sungai menjadi darat, maka Citanggal sudah mulai berbentuk dusun pada abad ke-14 hingga abad ke-15 yaitu pada masa Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Hal tersebut sejalan dengan perkembangan Agama Islam di Kerajaan Pasundan Galuh. Citanggal sebagai bagian dari kerajaan Pasundan pada era kuno hingga berkembangnya agama Islam di Pasundan tentu merujuk pada nama sebuah kali. Hal tersebut layaknya pemberian nama-nama Desa di Daerah Pasundan. Belum diketahui secara pasti dalam babad Sitanggal kuno. Maka sungai atau kali yang dmaksud sekarang kali yang mana. Ada yang merujuk bahwa yang dimaksud adalah kali buangan yang pernah menjadi tempat pertapaan Ki Danawangsa (Lurah pertama), sebuah kali buangan yang sekarang terletak  di sebelah timur Lapangan Sitanggal atau sebelah timur RS Amanah Mahmudah dan di sebelah barat Puskesmas Sitanggal. Atau bahwa kali yang dimaksud adalah Desa yang terletak sebelah barat Pasar Sitanggal kurang lebih 200m yaitu kali sena. Kali yang terletak di sebelah barat perempatan Sitanggal dan di sebelah timur SD 1 Sitanggal. Namun diperkirakan kali yang dimaksud dalam Citanggal merujuk ke sungai yang sekarang lebih dikenal dengan kali Sena. Sebuah sungai yang kemudian karena ada seorang kaya yaitu Mbah Sena yang tinggal di bantaran sungai maka dikenal dengan sungai kali Sena.

Hancurnya Kerajaan Pasundan akibat diserang oleh Kesultanan Banten yaitu oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579 mengakibatkan pengaruh Sunda di wilayah barat sungai Cipamali mengendur. Selanjutnya sejalan dengan meningkatnya pengaruh Kerajaan Mataram Islam mulai dari tahun 1575 maka pengaruh budaya Jawa makin meningkat menyebrang ke barat sungai Pemali. Rasa-rasanya Citanggal yang mulai ada di abad ke-7 di era Kerajaan Hindu Pasundan, maka setelah mencengkeramnya Kerajaan Mataram Islam hingga terbentuknya Kadipaten Brebes yaitu di abad ke-17, maka nama Citanggal sudah mulai berubah menjadi Sitanggal. Sebagaimana sejarah mencatat lahirnya kadipaten Brebes pertama adalah dengan mulai berkuasanya Tumenggung Arya Surlaya di tahun 1678-1683. Kadipaten Brebes lahir dan berada di wilayah Kerajaan Jawa Mataram Islam.

Dapat dipastikan sejak lahirnya Kadipaten Brebes sebagai Kadipaten Baru, sebuah kadipaten pecahan dari Kadipaten Tegal, maka dusun yang dulunya dikenal dengan Citanggal adalah salah satu daerah kekauasaan Kadipaten Brebes yang membentang hingga sungai Losari. Dusun ini terus berkembang dan menggantikan popularitas Desa yang lebih lama ada di barat sungai Cipamali yaitu Kedungbokor dan Wanacala. Dusun Citanggal yang sekarang dikenal dengan Sitanggal kemudian Menjadi Desa Sitanggal pada bulan Syuro tahun 1875 M, yaitu setelah masuknya sosok tokoh yang bernama Danawangsa yang kemudian menjadi Lurah pertama Desa Sitanggal pada tahun 1875 Masehi.

Kehidupan masyarakat Sitanggal di era kuno awalnya bergantung pada sungai. Untuk transportasi di awal mulai mukimnya orang perorang pada abad ke-7 mereka masih menggunakan sungai Cipamali sebagai andalan yang terletak di timur. Selain sungai Cipamali segelintir orang-orang tersebut juga memanfaatkan Kali  Rambatan di Selatan, di sebelah barat memanfaatkan Kali babakan Ketanggungan  dan sungai Cilosari. Hal itu karena Kali Sena sendiri tidak terlalu lebar dan tidak panjang.

Seiring dengan perkembangan zaman masyarakat beralih ke moda transportasi darat dengan kuda dan kerbau. Pada era ini kehidupan masyarakat mulai menetap penuh membentuk komunitas dusun. Hal ini berbeda dengan kondisi pada awal abad ke-7 yang mana walaupun sudah ada mukimin di citanggal namun mereka masih nomaden. Pada abad ke-13 masyarakat yang bermukim mulai menetap dan menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Namun hingga abad ke-19 sebagian lahan pertanian masih berupa hutan dan semak-semak.

Sitanggal di Era Modern (1875-Sekarang)

Nah, Sejarah berdirinya Desa Sitanggal tak luput dari nama seorang pendirinya yang dikenal dengan nama Ki Danawangsa. Petilasannya pun sampai kini masih ada yaitu di komplek Pemakaman Umum Desa yang dibangunnya ya di Makam Desa Sitanggal. Bagaimana orang mengenalnya, wong diantara makam-makam yang lain, makam Ki Danawangsa sangat sederhana. Makamnya bahkan sangat sederhana, makam orang biasa banyak yang dibangun mencolok, namun makam sang legenda Desa nampak biasa saja.

Hal itu konon karena ketika anak turunannya bermaksud membangunnya, kadang datang semacam wangsit dari tokoh yang selama ini dianggap sakti mandraguna ini yang isinya melarang untuk dibangun. Wangsitnya menyiratkan permintaan agar makamnya dibiarkan apa adanya, sejajar dengan masyarakat kebanyakan lainnya yaitu kaum dhuafa.Padahal semasa hidupnya sosok Ki Danawangsa yang mendirikan Desa Sitannga dan menjadi lurah Pertama, telah melahirkan banyak warisan budaya dan pembangunan (heritage) yang tak ternilai harganya bagi warga Masyarakat Desa Sitanggal.

Untuk tidak menambah rasa penasaran marilah kita simak akan sejarah pendiri Desa Sitanggal yaitu Ki Danawangsa........Ki Danawangsa sebenarnya bukanlah nama sebenarnya. Nama Ki Danawangsa adalah nama samaran, nama perjuangan dalam merebut kemerdekaan dan menegakan tegaknya  bumi pertiwi. Nama sebenarnya dari Ki Danawangsa adalah Haji Abdul Syukur. Di Aceh dikenal dengan Teuku H. Abdul Syukur.  Ki Danawangsa adalah salah seorang pejuang rakyat Aceh....anak buah dari pasukan Teuku Umar dan Istrinya Cut Nyak Din. Setelah pergolakan Aceh mengalami peredaan akibat bombardir pasukan Belanda, maka sebagian anak buah dari Teuku Umar dan Cut Nyak Din bertekad tetap melanjutkan perjuangan perang melawan kolonial Belanda.

Pihak Belanda pun selalu mengendus keberadaan pasukan Teuku H. Abdul Syukur ini. Maka untuk tidak tertangkap Belanda mereka pun selalu berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Gunung dan hutan menjadi rumah dan pelindung utama laskar Haji Abdul Syukur.

Sejalan meredanya perlawanan pasukan Teuku Umar akibat ditangkap Belanda, di Tanah Jawa sedang bergolak Perang Diponegoro yang dikenal sebagai perang Jawa. Pasukan Haji Abdul Syukur pun bertekad ke Jawa untuk bergabung dengan Pasukan Pangeran Diponegoro yang menyebar di seluruh antero tanah (pulau) Jawa.  Maka bergeraklah pasukan Haji Abdul Syukur dari Sumatera menuju pulau Jawa. Diperkirakan tahun 1825 Masehi laskar Haji Abdul Syukur tiba di Sumedang setelah melewati Banten dan Tasikmalaya. Laskar Haji Abdul Syukur sendiri sebenarnya dipimpin langsung oleh Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i, seorang ulama dari Aceh yang sekaligus Ayahanda dari H. Abdul Syukur. Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i didampingi oleh dua orang anaknya yang pemberani yaitu putranya H. Abdul Syukur dan Putrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Mujibah. Selain itu diikuti pula oleh anak buahnya, anak buahnya yang cukup dikenal adalah Haji Malik dan haji Abdul Rohim.

Di Sumedang sebagian pasukan dari Aceh tersebut membubarkan diri sebagai siasat perjuangan menghadapi penangkapan-penangkapan oleh pasukan Belanda. mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok  yang lebih kecil untuk tidak mencurigakan Belanda. Di tanah Jawa sebagian dari mereka ada yang kemudian menetap menjadi petani, pedagang, sebagian besar yang lain tetap meneruskan perjuangan bergerilya melawan pasukan Belanda. Mbah guru besar putranya, yaitu H. Abdul Syukur, putrinya Mujibah dan teman perjuangan yang setia meneruskan perjalanan ke arah timur. Mereka terus mencoba mempertahankan hidup dan melangsungkan perjuangan dengan cara bergerilya. Di Jawa kemudian mereka bersatu dengan pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro melawan pasukan Belanda. Kebetulan pada kurun waktu tersebut terjadi perang di hampir seluruh kadipaten di tanah Jawa terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kadipaten-kadipaten di pesisir utara yang diam-diam membenci terhadap kekejaman tentara Belanda, membenci terhadap penjajahan Belanda diam-diam ataupun secara terang-terangan melakukan perlawanan, mereka berada di belakang dan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Perang ini meluas sampai ke Kerajaan Banten yang mendukung sepenuhnya perjuangan Pangeran Diponegoro. Perang yang terjadi antara tahun 1825-1830, yang kemudian disebut Perang Diponegoro. Karena wilayah meluas hampir di seluruh tanah Jawa, maka perang tersebut sering dikenal dengan istilah Perang Jawa. Perang yang cukup menguras energi pasukan pasukan Belanda. Perang yang telah membunuh banyak pasukan Belanda. Perang yang bayak menghabiskan keuangan pemerintah Hindia Belanda apalagi terjadi tidak berselang lama dari perang Aceh Raya yang memakan waktu puluhan tahun untuk menaklukkannya.

H. Abdul Syukur beserta dengan Bapaknya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakak perempuannya Mujibah Imam Syafi'i serta teman-teman seperjuanagn meneruskan perjalanan dari Sumedang ke Timur melalui hutan belantara, melalui desa-desa. Di suatu pedukuhan memasuki wilayah Kadipaten Brebes rombongan H. Abdul Syukur bertemu dengan Ki Sutawiyana. serombongan pejuang dari Aceh ini sempat bermalam di rumah Ki Sutawiyana, mereka juga secara diam-diam juag selama perjalanan bertemu dengan para simpatisan Pangeran Diponegoro. Rombongan ini kemudian terus melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kadipaten Tegal, tidak jarang di tengah perjalanan mereka harus berhadapan dengan pasukan Belanda, menghindar dari kepungan pasukan Belanda. Sebab berita tentang mobilitas pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien dari Aceh ke Jawa sebenarnya telah diketahui Belanda malalui para telik sandinya. Dengan melalui jalan yang berliku sebagai taktik menghadapi dan menghindari penangkapan pasukan Belanda, sampailah rombongan H. Abdul Syukur di suatu desa di sebelah timur Kelurahan Tegal Arum. Di Desa tersebut keberadaan mereka sempat diketahui oleh Belanda. Mereka melakukan penyamaran-penyamaran setelah telik sandi mereka di kademangan Banjaran memberitahu akan penyisiran oleh pasukan Belanda. H. Abdul Syukur dan rombongannya selamat. Pasukan Belanda pulang tanpa membawa hasil.

Desa tempat persembunyian H. Abdul Syukur beserta keluarga dan rombongannya diberi nama Desa Dermasandi. Keluarga Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) putranya H.A bdul Syukur, putrinya Mujibah Imam Syafi'i kemudian menetap di Desa tersebut (Dermasandi). Di Dermasandi Mbah Guru dibantu oleh kedua orang anaknya berjuang mengadakan sarasehan-sarasehan, dakwah,dan  pengajian-pengajian umum yang diperkuat oleh saudara-saudara dari Aceh. Dakwah Mbah Guru dan kedua orang anaknya mulia meluas, warga desa dan sekitarnya desa Darmasandi makin banyak yang mengikuti.Mbah Guru kemudian mendirikan masjid dan pesantren kecil tempat pengembangan  dakwah dan alat perjuangannya melawan pemerintahan Hindia Belanda. Di masjid dan pesantren kecilnya itulah para santri dan pengikut Mbah Guru terus memperdalam ilmu agama. Hingga kini masjid dan pesantrennya masih ada.
Masa pengembangan dakwah ini pelan-pelan terus berkembang sejak tahun 1830 M.

Sementara dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh kelicikan Belanda pada kurang lebih tahun 1830-an, praktis perang Diponegoro dapat dipadamkan oleh pemerintah Belanda. Namun, Mbah Guru beserta putranya H. Abdul Syukur dan putrinya Mujibah tetap terus melanjutkan perjuangan melalui dakwah di Desa Dermasandi. Sementara orang tuanya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakaknya Mujibah menetap di Desa Dermasandi, H. Abdul Syukur melalang buana ke arah barat sambil melanjutkan perjuangan secara bergerilya.

Selanjutnya untuk lepas dari telik sandi Belanda H. Abdul Syukur mengganti namanya dengan nama samaran Ki Danawangsa. keberadaan Ki Danawangsa di desa tersebut sempat tercium oleh Kadipaten Tegal. Keadaan Kadipaten Tegal dan hampir semua kadipaten di tanah Jawa praktis jatuh dan dipengaruhi kekuasaan Belanda semenjak dipadamkannya perang Diponegoro.

Pada masa itu Pemerintahan Kadipaten Tegal dipegang oleh R.M.A Reksonegoro VI yang berkuasa antara tahun 1821-1857, yang meninggalnya dimakamkan di Desa Tegal Arum Kecamatan Adiwerna. Beliau keturunan Ki Gede Sebayu. Kadipaten Tegal dan sebelah baratnya Kadipaten Brebes ada di bawah payung Kerajaan Mataram Islam. Namun, dengan taatnya penguasa Mataram sejak kekalahan Pangeran Diponegoro, Adipati Tegal R.M.A. Reksonegoro dan Adipati Brebes saat itu dipegang oleh Singosari Panoto Yudha harus tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Di Margadana Ki Danawangsa sempat mendapatkan kendala, Beliau dan teman-teman setianya dihadang oelh segerombolan Begal dan Kecu yang tertarik oleh iming-iming uang sayembara apabila dapat menangkap hidup atau mati dan menyerahkan Ki Danawangsa kepada pasukan Belanda pemerintahan distrik Tegal. Namun, Begal dan Kecu tidak sanggung melawan Ki Danawangsa, mereka semua dapat dikalahkan. Ki Danawangsa seakan mendapat kemukjizatan karena gerombolan Begal dan Kecu tersebut kemudian mau bertaubat, bahkan berbalik setia berjuang melawan Belanda sebagai simbol keangkaramurkaan. Segala hasil jerih payah mereka pun kemudian dimanfaatkan untuk perjuangan melawan penjajahan Belanda. Mencuatlah stigma yang dimunculkan oleh Belanda didukung oleh kadipaten-kadipaten di bawah pengaruh Belanda seakan-akan Ki Danawangsa memimpin para Begal dan Kecu. Pola ini diterapkan sebagai siasat Belanda dan siasat para adipati untuk memberi jarak perjuangan antara Ki Danawangsa dan rakyat yang tak sudi di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga setiap Ki Danawangsa dan kawan-kawan muncul di suatu desa terkesan dan dicap sebagai pengacau, maling, begal dan kecu, pembuat keonaran dan ontran-ontran yang perlu ditangkap. Setelah para begal dan kecu setia pada Ki Danawangsa, pasukan kadipaten Tegal dan Belanda mengobrak-abrik gerakan di Margadana. Namun, Ki Danawangsa dan kawan-kawan telah meninggalkan Margadana dan bergerak menuju Desa Lawa sebelah utara Jatibarang. Di Desa Lawa Ki Danawangsa menyusun kekuatan lagi melalui pengajian dan dakwah islam, sehingga berkembanglah para santri di Desa Lawa, yang kemudian dibentuk paguyuban santri Lawa. Keberadaan Ki Danawangsa di Desa Lawa sempat tercium oleh antek-antek Belanda. Kemudian tempat paguyuban santri lawa diserbu dan dihancurkan.

Ki Danawangsa mundur, menghindari pertumpahan darah yang terlalu banyak. Sampailah beliau di Desa Kampir. Ki Danawangsa teringat sewaktu perjalanan dari Sumedang pernah bertemu dengan seseorang yang bernama Sutawiyana di suatu pedukuhan. Bahkan beliau beserta rombongan mbah guru sempat bermalam.  Pedukuhan tempat Ki Sutawiyana tinggal kemudian dikenal dengan nama padukuhan Sitanggal.

Konon menurut cerita, Dukuh/Desa Sitanggal sendiri sudah ada sejak kerajaan Pasundan dan dahulunya konon Sitanggal masuk wilayah Pasundan. Nama Sitanggal kuno adalah Caitanggal, yang kemudian lebih dikenal dengan citanggal. Citanggal sebagai bagian dari kerajaan Pasundan pada era kuno tentu merujuk pada nama sebuah kali. Layaknya pemberian nama-nama Desa di Daerah Pasundan. Belum diketahui secara pasti dalam babad Sitanggal kuno. Maka sungai atau kali yang dmaksud sekarang kali yang mana. Ada yang merujuk bahwa yang dimaksud adalah kali buangan yang pernah menjadi tempat pertapaan Ki Danawangsa, yang sekarang di sebelah timur Lapangan Sitanggal. Ada yang merujuk bahwa kali yang kemudian menjadi nama desa adalah kali sena, yang terletak di sebelah barat perempatan Sitanggal.

Sudah barang tentu Dukuh/Desa Sitanggal tempat Ki Sutawiyana tinggal,saat itu belumlah banyak penghuninya. Salah seorang tokoh yang tinggal di Desa itu ya Ki Sutawiyana. Selain cerita tentang nama sitanggal yang dinisbatkan pada nama sebuah kali, maka konon dulu ceritanya sebelum dikenal dengan istilah Sitanggal. Di Pedukuhan tersebut ada pohon besar yang diatasnya dihuni oleh puluhan ribu tawon yang menghasilkan madu asli. konon ceritanya setiap tanggal satu di pohon besar tersebut selalu muncul madu, pohon tersebut konon terletak di sekitar makam Sitanggal (sekarang / saat ini). Setiap tanggal satu banyak orang-orang dari luar desa baik dari Kadipaten Brebes, Cirebon dan Tegal datang ke pedukuhan tempat Ki Sutawiyana tinggal untuk mencari madu. Pada tanggal satu mereka mengadakan acara selamatan. Bila dihubungkan antara pohon penghasil madu yang konon berada di sekitar pemakaman yang juga dekat kali sena, maka sangat mungkin pada masa kuno kali yang dimaksud dengan citanggal adalah yang sekarang dikenal orang dengan kali sena.

Dulunya Padukuhan Sitanggal  hanya dikenal dengan penghasilan madunya setiap tanggal satu (istimewanya) penanggalan jawa. Kedatangan Ki Danawangsa ke padukuhan ini dengan menemui Ki Sutawiyana membawa berkah tersendiri. Ki Sutawiyana menerima kedatangan Ki Danawangsa dengan sangat gembira dan senang hati. Beliau menerima dan bahkan kemudian mengakuinya sebagai anak angkat. Sehubungan dengan kondisi padukuhan ini masih sarat hutan, maka Ki Sutawiyana menyarankan Ki Danawangsa untuk melakukan babad alas. Ki Danawangsa kemudian melakukan babad alas dibantu oleh semua teman-temannya. Babad alas persis dimulai pada saat penanggalan jawa yaitu tanggal satu. Tanggal satu dalam terminologi jawa adalah tanggal siji, sitanggal artinya tanggal siji.

Padukuhan ini kemudian terus berkembang setelah babad alas oleh Ki Danawangsa, tanah yang dahulunya terdiri atas hutan belantara kini mulai tampak ladang, kebun, pekarangan dan kemudian menjadi sawah. Tentu tanah hasil babad alas pada masa itu menjadi bagian kepemilikan dari Ki Danawangsa. Rumah-rumah penduduk terus bertambah. para pendatang yang mencari madu setiap tanggal satu mulai berani dan tertarik tinggal di pedukuhan tersebut. Padukuhan yang babad alasnya oleh Ki Danawangsa persis pada tanggal satu penanggalan jawa, padukuhan yang setiap tanggal satu berdatangan para pendatang yang mengadakan selamatan untuk mencari madu, kemudian disebut (dikenal) dengan nama Padukuhan (desa) Sitanggal, sitanggal dalam makna jawa tanggal siji.. Jadi nampak sekali ada hubungan yang erat antara citanggal pada masa kerajaan Pasundan yang bermetamorfose menjadi Sitanggal setelah babad alas yang dilakukan oleh sosok yang dikenal sakti mandraguna yaitu Ki Danawangsa yang dimulai pada tanggal 1 Syura atau 1 Muharam 1252 H atau dalam penanggalan masehi kira-kira tahun 1831 M.  Situasi daerah saat itu semakin mereda dari perang. keberadaan Ki Danawangsa tidak terlalu dikejar-kejar Belanda. Menetaplah Ki Danawangsa beserta Ki Sutawiyana yang setiap harinya bertani, bercocok tanam dan sebagainya.

Dalam cita-cita Ki Danawangsa sesekali  muncul pemikiran bahwa dalam angan-angan perjuangan yang telah dilakukan dengan susah payah belum terwujud, dan rasa dongkol kepada penjajah selalu menghantui. Maka Ki Danawangsa sering menyamar pura-pura jual kayu bakar ke Brebes yang bertujuan untuk ingin melihat situasi daerah.

Datanglah Ki Danawangsa dengan spikul kayu dan bersembunyi sama penjual kayu-kayu yang lain. Kebetulan tempat penjualan kayu tersebut di depan Pendopo Kadipaten Brebes. Dalam penjualan kayu bakar Ki Danawangsa dan temannya selalu bercanda (ngobrol) sambil menanti pembeli datang.

Tiba-tiba di depan Pelataran Pendopo muncul seorang putri, yaitu putri Siti Habibah. Si Putri berjalan kian kemari sambil menikmati udara segar. Setiap langkah Si Putri selalu melempar senyum dan ajakan yang sangat bijaksana. Hari semakin sore, kayu pun belum ada yang beli dan si putri sambil memberikan lemparan pandangan dengan disertai senyum simpul (ketawa kecil) masuklah si putri ke Pendopo Kadipaten. Ki Danawangsa berunding dengan temannya, kayu dititipkan sama temannya dan besok Ki Danawangsa akan datang lagi di tempat penjualan kayu bakar tersebut. Pulanglah Ki Danawangsa dengan berjalan kaki sambil melihat situasi daerah Brebes. Sesampai di rumah, Ki Danawangsa bercerita panjang lebar sama Ki Sutawiyana. Soal situasi daerah dan peristiwa-peristiwa yang sejak pagi sampai sore yang dia lakukan Ki Sutawiyana hanya tersenyum simpul saja.

Setiap malam Ki Danawangsa jarang tidur sore. Selalu berdzikir, berdoa. Bayangan si putri Khabibah  tak pernah musnah. Setelah beberapa hari kemudian Ki Danawangsa pergi ke Brebes, bertemu dengan teman penjual kayu bakar dan penjual kayu cerita bahwa kayu kemarin dibeli oleh pihak Pendopo. Ternyata pembeli kayu milik Ki Danawangsa adalah si Putri Khabibah maka terjadilah saling kenal antara Ki Danawangsa yang menyamar menjadi penjual kayu bakar dan si Putri Adipati putri Khabibah. Persahabatan keduanya pun makin dekat, erat dan supel. Hingga didengar oleh telinga sang Adipati yaitu Adipati Arya Singasari Panatayudha I.

Maka kemudian Adipati memanggil penjual kayu bakar dalam hal ini Ki Danawangsa. Adi pati pun mempertemukannya dengan Si Putri Siti Kabibah dan benar apa yang selama ini Adipati dengar. Ketika keduanya diminta keterangan oleh Adipati dan Adipati melarang hubungan keduanya terutama kepada Ki Danawangsa malahan sang putri mohon ampun beribu ampun, bukan kang mas Danawangsa yang bersalah, melainkan sang putri sudah kadung tresna. Sang putri Siti Khabibah dengan menangis malahan menyatakan  cintanya. Selama Ki Danawangsa dan si putri menjalin persahabatn saat-saat itu kondisi kesehatan Ki Sutawiyana jatuh sakit dan meninggal. Maka Ki Danawangsa sering bermain ke rumah Ki Kertawiyana adik dari Ki Sutawiyana yang rumahnya di padukuhan sebelah selatan.

Melihat ketulusan hati sang putri dan tangisnya tidak meluluhkan hati sang Adipati. Kanjeng Adipati dengan tegas  tidak berkenan kalau putrinya menjalin hubungan dengan Ki Danawangsa. Si Putri pun berontak, sambil sujud dihadapan ayahnya Kanjeng Adipati Arya Singosari Panathayudha I.  Bagaimanapun si putri sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan Ki Danawangsa. Kanjeng Adipati geram, dan saking  geramnya diusirlah sang Putri. Namun Si Putri Siti Khabibah tetap menghadap dan bersujud, hingga Keduanya saling rangkul merangkul. Melihat glagat itu  Kanjeng Adipati tergugah dan dengan  terpaksa memerintahkan kepada panakawan-panakawan Pendopo agar dipersiapkan andong-andong dengan kudanya sekalian. Arak dia kemana saja ! asal pernikahan jangan disekitar pendopo, Ujar Kanjeng Adipati. Kemudian seluruh abdi dalem pendopo mempersiapkan andong dan kudanya beriring-iring disertai pasukan kudanya menuju pernikahan di padukuhan yang Ki Kertawiyana tempati.

Tersebarlah suara bahwa penikahan Ki Danawangsa diiring-iring banyak andong maka dukuh tersebut dinamakan Andong. Rombongan andong dan pasukan kuda pulang ke pendopo kanjengan dan esok harinya Ki Danawangsa dan Siti Habibah kembali ke Sitanggal untuk menempati rumah almarhum Ki Sutawiyana diantar sama Ki Kertawiyana. Ki Danawangsa da Siti Habibah menempati rumah terpencil, tak satupun rumah tangga yang dekat, tapi kehidupannya sangat harmonis.

Seperti biasanya Ki Danawangsa senang mencari sahabat, senang bermasyarakat sehingga ketika ada berita bahwa akan adanya pembentukan kepala suku/lurah, maka masyarakat memintanya. Sebenarnya Kanjeng Adipati kemudian sudah memafkan kedua anak dan menantunya dan berniat mengukuhkan Ki Danawangsa sebagai Lurah Desa Sitanggal. Namun sejarah menyebut bahwa rakyat Desa Sitanggal dengan sendirinya mufakat memilih Ki Danawangsa menjadi Lurah. Maka Jadilah Ki Danawangsa terpilih menjadi lurah yang pertama di Desa Sitanggal. Kanjeng Adipati pun merasa turut bangga.

Dibawah kepemimpinan Ki Danawangsa jangankan masyarakat desa sendiri desa-desa lainpun simpati kepadanya. Beliau senang berorganisasi, anak-anak muda dibina, dibentuk suatu paguyuban jamiyah sambil dilatih memukul terbang jawa. Orang-orang jualan yang datang dari penjuru desa berceceran dipinggir jalaqn oleh ki lurah diperintahkan agar semua orang jualan ditampung kumpul dari satu ditempatkan di tanah milik Ki Lurah.

Semakin hari pedagang dari antar desa berdatangan. Salah satu pedagang dari jatibarang sepulang dagang dari Sitanggal bercerita bahwa di Desa Sitanggal ada lurah yang manampung padagang yang diajak cerita kebetulan orang blok Jatibarang Utara (Desa Lawa). Seorang desa Lawa merasa terpanggil dan datang ke Sitanggal menghadap Ki Lurah yang kebetulan orang tersebut pernah menjadi anak asuhannya waktu masih bergerilya sambil mendirikan Paguyuban Santri Jawa. Orang yang dari Desa Lawa tidak pangling, bahwa Ki Lurah betul-betul orang yang bekas memimpin gerilya lewat pondok pesantren Lawa. Tersebarlah berita Ki Lurah Sitanggal, yang kemudian datang rombongan dari pesantren Lawa, minta pekerjaan membuka tanah lahan perladangan. Ki Lurah selalu memberikan apa-apa yang diminta oleh rombongan pesantren Lawa, baik alat-alat pertanian, maupun bibit-bibitnya. Namun setelah mereka dapat ladang cukup untuk dioleh,  masing-masing pinjam bibit padi sama Ki Lurah. Beberapa kali mengelola tanaman, Ia belum pernah menikmati hasil karena masih hewan-hewan pemakan padi, seperti burung, babi hutan, tikus dan lain-lain.

Saat itu orang-orang Lawa bingung karena punya tanggungan sama Ki Lurah. Kemudian secara bersama-sama orang-orang Lawa menghadap dan pinjaman alat-alat pertanian berserta bibit padinya tidak dapat mengembalikan dan diperhitungkan dengan lahan mereka masing-masing. Walaupun demikian Ki Lurah tetap memberikan pesangon dan selalu memberikan arahan-arahan yang baik.

Rombongan Lawa tidak putus atas tetap membuka ladang semakin luas ke arah selatan.  Di sebelah selatan orang-orang Lawa buka lahan, di sana ada harapan panen, sebab sampai tanaman hampir dipanen belum pernah terserang hama tikus dll. sangkin senangnya orang-orang Lawa mengadakan pengajian dan Ki Lurah diundang. Setelah bubar pengajian Ki Lurah omong-omong dengan para santri bahwa yang terakhir ini kamu akan selalu memetik hasil tanamannya, makanya kalau mau bercocok tanam padi di tanah yang mencil itu. Konon tanah yang mencil oleh Ki Lurah dinamakan SiKancil

Dari pernikahan Ki Lurah dengan Siti Habibah, Ki Danawangsa dikarunia 8 orang anak. Terdiri atas 6 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Anak pertama laki-laki yaitu Wangsadriya (H. Tayib), anak kedua laki-laki yaitu Haji Abdul Karim (lebih dikenal dengan Kaji Sirad), anak ketiga adalah perempuan yaitu Siti Maesaroh yang lahir kembar dengan anak kedua H. Abdul Karim.

Menurut kepercayaan masyarakat jawa (setempat), jika lahir anak kembar semacam itu dapat membawa musibah bagi keluarga. Sehingga Ki Lurah menitipkan Siti Maesaroh kepada seorang tokoh masyarakat di Desa tegalglagah (belum diketahui siapa namanya), sebuah Desa di sebelah utara Sitanggal. Ki Lurah memberikan bekal harta, sawah ladang, emas dan lain-lain bagi kesejahteraan anak yang dititipkannya yaitu Siti Maesaroh. Posisi sejarah anak ketiga dititipkan, bagaimana anak keturunannya, apakah menjalin hubungan keluarga dengan saudara-saudara yang lain atau tidak sampai kini kurang diketahui. Sebab Siti Maersaroh dititipkan oleh Ki Lurah semenjak masih bayi cemenang cenang setelah aqiqah.

Mungkin garis kehidupan dan sejarah baninya ikut lebur dan menyatu dengan keluarga yang diikutinya. Anak keempat laki-laki yaitu Haji Sulaiman lebih dikenal dengan Manten Mun Ambyah. Anak kelima perempuan yaitu Rimbi yang kemudian menikah dengan Arif (Haji Abdul Salam). Anak keenam laki-laki yaitu Dasian dengan telang anak Seba. Anak ketujuh laki-laki yaitu Darsipan. Anak ke delapan laki-laki yaitu Runda dengan telang anak Naisah. Anak keturunan Runda berkembang dan beranak pinak di Daerah Andong. Sekarang Desa Siandong, makam keluarga besar bani Naisah berada di lancipan pasar Lanjaman Desa Sitanggal berbatasan dengan Desa Siandong sekarang.

Selama kepemimpinan Ki Lurah Desa Sitanggal berkembang pesat. pada masa-masa awal kepemimpinannya Ki Lurah membangun Balai Desa. Untuk kesejahteraan rakyatnya saluran irigasi dibangun. Sebelah timur desa yaitu di sungai (sekarang terkenal dengan istilah buangan terletak di sebelah timur lapangan) dibangun pintu air, bekasnya sampai sekarang masih ada. Di sebelah barat selatan sekarang timur pedukuhan blewah dibangun pintu air yang sampai sekarang terkanal dengan sebutan Pintu Danawangsa. Ki Lurah membangun lumbung desa untuk menyimpan hasil panen. Untuk pertumbuhan ekonomi desa Ki Lurah juga membangun saran Pasar Desa. Yang menurut sejarah awalnya bernama Pasar Danawangsa. Kemudian posisi kepemilikan pasar berpindah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Ki Lurah juga membangun sarana beribadatan yaitu Masjid, yang pembangunannya kemudian diteruskan dan didukung sepenuhnya oleh pihak keluarga dan masyarakat, Terutama keluarga dari Haji Abdul Karim (Kaji Sirad) putra kedua Ki Lurah Danawangsa. Kemakmuran warga masyarakat Sitanggal begitu meningkat semenjak kepemimpinan Ki Lurah. Warga masyarakat mampu membayar pajak kepada pemerintah kadipaten dengan baik. Ki Lurah juga mampu memberikan Upeti yang cukup untuk Pemerintahan.

Atas suksesnya dalam membangun tanah perdikan Sitanggal menjadi desa yang maju  Kanjeng Adipati Arya Singasari Panatayudha I mengukuhkan gelar kepada H. Abdul Syukur (nama sebenarnya) dengan gelar Ki Lurah Danawangsa. Posisi Ki Lurah yang kenyataannya adalah menantu dari Kanjeng Adipati, kerja keras Ki Lurah dalam babad alas dan membangun menempatkan posisi Sitanggal seakan-akan sebagai tanah perdikan yang istimewa di mata Kanjeng Adipati Arya Singasari Panata Yudha I (1809-1836) hingga Adipati-adipati seterusnya.

Tidak ada petunjuk yang pasti Ki Lurah Danawangsa memerintah hingga tahun berapa, namun diperkirakan menjadi Lurah Pertama dari tahun 1831-1900. Jabatan periode kedua Lurah Sitanggal berikutnya dipegang oleh H. Sulaeman anak keempat dari Ki Danawangsa yang diperkirakan menjadi lurah hingga masa kemerdekaan.

Nama Ki Danawangsa kini diabadikan menjadi nama PKBM Danawangsa yang bergerak dalam bidang sosial pendidikan baik PAUD, Sekolah Kesetaraan, Sekolah Keaksaraan, Taman Baca Masyarakat, Pendidikan Kursus, dan Kesetaraan gender. Hal ini sesuai dengan visi misi Ki Danawangsa yaitu membangun Sitanggal tiada henti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar