Menyangkut bid’ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
“Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR. Nasa’i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2.Bid’ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid’ah dengan ungkapan:
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya”
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid’ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid’ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal “berbau agama” atau “berbau ibadah” yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berartibid’ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin’ Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid’ah.
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan “setiap bid’ah adalah kesesatan”, Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ahtersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru “berbau agama” yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, “inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak”. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:
… لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ …(رواه البخاري )
“Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …” (HR. Bukhari)
2. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ahtersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud “sesatnya” muhdatsat dan bid’ah yang sesungguhnya.
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do’a I’tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur’an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan ‘Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid’ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid’ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid’ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.
Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dhalalah/sayyi’ah (bid’ah yang sesat/buruk) danbid’ah hasanah/mahmudah (bid’ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid’ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu: bid’ah diniyyah/syar’iyyah (bid’ah agama/syari’at) dan bid’ah duniawiyah (bid’ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid’ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid’ah I’tiqadiyah (bid’ah aqidah) dan bid’ah ‘amaliyah(bid’ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menyebabkan kafir) dan bid’ah ghairu mukaffirah(bid’ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid’ah mukaffirah, bid’ah muharramah, bid’ah makruhah tahrim, dan bid’ah makruhah tanzih (lihatEnsiklopedia Bid’ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali formatibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik.
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun’ah fii tahqiq ma’na al-Bid’ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به
“Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) ” (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi,“Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri melakukan bid’ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid’ah (syar’iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis“Setiap bid’ah adalah kesesatan”, atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid’ah kepada hasanah & sayyi’ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadisyar’iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid’ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur’an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid’ah, melainkan termasuk dalammashlahat mursalah (kemaslahatan umum).
Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid’ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena “sarana dihukumi menurut tujuannya”(lilwasaa’il hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari’at yang diperintahkan di dalam agama (lihatEnsiklopedia Bid’ah, hal. 29-30).
Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur’an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo’a, berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?
5. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid(pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
“Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.”
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam ‘Aunul-Ma’buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan denganijma’ mayoritas ulama.
Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in sekitar 300 H.). Berarti, statusmujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.
Menolak adanya pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah dhalalah/madzmumah dan bid’ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi’I yang diakui oleh para ulama sebagaimujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).
Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari Isim Ma'rifat.
Jadi kalimat bid'ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya KULLU ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia ber-idhofah kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.
Ulama yang sholeh, bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi'i mengatakan
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengecualian itu pada perkara baru "urusan dunia" atau bid’ah duniawiyyah.
Sangat keliru jika berpendapat bahwa bid'ah yang diperbolehkan atau bid'ah yang tidak masuk neraka adalah bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) karena bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) ada yang hasanah (baik) dan ada pula yang sayyiah (buruk).
Tidak boleh kita mengeneralisir bahwa setiap bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyyah) adalah boleh atau baik sebagaimana kaum sekulerisme menyalahgunakan hadits, ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358).
Bidah (perkara baru) "urusan dunia" atau bid'ah duniawiyyah harus pula ditetapkan kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Jika setiap akan melakukan perbuatan dan merujuk kepada hukum taklifi yang lima maka termasuk perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits.
Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits seperti itulah termasuk ke dalam dzikrullah (mengingat Allah) atau memandang Allah ta'ala sebelum melakukan perbuatan, sebagaimana Ulil Albab, kaum muslim yang menggunakan lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk, ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau hadits atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub) yang sayyiah.
Jadi arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Kesimpulannya,
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, termasuk ke dalam bid’ah hasanah.
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, termasuk ke dalam bid’ah dholalah.
Jadi segala perbuatan atau segala urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya (diwajibkanNya) jika bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah hasanah atau sunnah hasanah.
Siapa yang melakukan sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa melakukan sunnah sayyiah yakni yang mencontohkan atau meneladankan atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau