Berikut ini suatu permasalahan ringkas yang kami ketengahkan guna menerangkan perkara yang samar yang terjadi secara berulang-ulang ditengah masyarakat dan terkadang kita bingung mengambil sikap yakni perkara yang berkaitan dengan mensholati jenazah. Masalahnya akan sederhana jika memang jenazah yang terbujur kaku didepan kita adalah seorang yang telah kita kenal kebaikan agamanya semasa hidupnya, namun akan menjadi masalah jika jenazah tersebut adalah orang yang tidak kita ketahui secara jelas keadaan agamanya atau mungkin kita ketahui dia bukanlah dari orang yang baik agamanya namun kita ragu, ataukah juga mungkin dia adalah seorang yang kafir namun karena dekatnya hubungan kekerabatan antara kita sehingga kitapun bingung dan bingung dalam menentukan sikap, maka berikut itu bimbingan syari'at secara singkat melalui penjelasan para ulama.
Berkata imama Ahmad rahimahullah dalam ushul sunnah nya :
و من مات من أهل القبلة موحدا يصلى عليه ، و يستغفر له و لايحجب له الإستغفار ، و لا تترك الصلاة عليه لذنب أذنبه صغيرا كان أو كبيرا ، أمره إلى الله تعالى
"Barang siapa yang wafat dari kaum muslimin dalam keadaan mentauhidkan Allah maka disholati jenazahnya, dan dimohonkan ampunan atasnya dan tidak boleh dihalangi darinya istigfar, serta tidak boleh tidak mensholatinya karena dosa yang dia perbuat baik dosa itu tergolong dosa kecil ataupun dosa besar, perkaranya (urusan dia diadzab atau tidak) diserahkan kepada Allah."
Keterangan singkat :
--------------------------------
√ Keterangan yang semisal dengan perkataan imam Ahmad rahimahullah ini terucap dari sekian banyak para ulama salaf yang tersebar di kitab-kitab aqidah mereka.
√ Kondisi manusia semasa hidup sampai wafat dapat dikelompokkan menjadi beberapa kondisi, diantaranya :
1. Orang yang tidak berintisab kepada Islam dan menetapkan intisabnya kepada agama selain Islam, maka orang seperti ini jika wafat dalam keadaan seperti tersebut, maka tidak boleh disholati dan tidak boleh dido'akan. Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
ما كان للنبي و الذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا ألى قربى
"Tidalah patut bagi nabi dan orang-orang mukmin untuk memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walau mereka (orang-orang musyrik) itu adalah kerabat mereka."(Qs At-taubah : 113)
2. Orang yang menampakan keislamannya akan tetapi dia menyembunyikan kekufurannya, maka orang seperti ini jika dia wafat dalam keadaan demikian maka bagi orang yang mengetahui keadaannya tidak boleh mensholati jenazahnya. Karena dia tergolong sebagai orang munafiq, Allah berfirman :
لا تصل على أحد منهم مات أبدا
"Janganlah engkau sholat atas salah seorang dari mereka selama-lamanya" (Qs At-taubah : 84)
Adapun orang yang tidak mengetahui keadaannya (artinya tidak tahu kalau dia menyembunyikan kekufurannya) maka dia boleh mensholati jenazahnya.
3. Orang yang zhohir dan batinnya Islam dan dia termasuk orang-orang yang bertakwa yang melakukan amalan shalih, jika dia wafat maka jenazahnya disholati. Bahkan mensholati jenazahnya adalah pahala yang besar, sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya : "Barangsiapa yang mensholati jenazah maka baginya pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkan jenazahnya sampai dikuburkan (setelah ikut mensholatinya) maka baginya pahala dua qirath."(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
4. Barang siapa yang wafat dalam keadaan dia berintisab kepada Islam (artinya dia sebagai seorang Islam) dan sepanjang hidupnya tidak didapati padanya hal-hal yang membatalkan keislamannya(seperti kekufuran dan kesyirikan), hanya saja didapatinya padanya kadang melakukan dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan maka orang seperti ini disholati jenazahnya. Hal yang menunjukan hal ini adalah :
a. Orang tersebut tetap adalah seorang muslim, dan sebagaimana keyakinan ahlus sunnah bahwa seseorang tidak keluar dari Islam selama dia tidak melakukan amalan yang membuat keislamannya menjadi batal serta ahlus sunnah tidak mengkafirkan seseorang yang melakukan dosa-dosa besar. Hal ini berbeda dengan keyakinan khawarij dan yang semadzhab dengan mereka yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Bahkan ahlus sunnah berkeyakian bahwa pelaku dosa besar berada di bawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka dia akan diadzab dan jika Allah berkehendak maka dia tidak akan diadzab. (Silahkan merujuk pada kitab-kitab aqidah para imam salaf)
b. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan sholat terhadap sejumlah pelaku maksiat di zaman beliau dan hal itu berlangsung sampai pada zaman ini. Hanya saja terkadang Rasulullah tidak mensholati sebagian yang wafat dalam keadaan punya hutang dan beliau memerintahkan para sahabat yang lain untuk mensholatkan orang-orang tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka metahdzir/beri peringatan keras terhadap yang hidup agar tidak meremehkan masalah utang piutang.
5. Orang yang berintisab kepada Islam akan tetapi pada dirinya ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan atau yang membatalkan pokok Islam,
Seperti :
- Dia berdo'a kepada selain Allah,
- Menyembelih kepada selain Allah
- Dan lain-lain dari syirik akbar
Jika dia melakukan amalan itu dalam keadaan bodoh/jahil dan belum sampai kepadanya ilmu dan penjelasan maka orang ini diberikan udzur dan disholati. Hal ini berdasarkan hukum berada pada zhohirnya(yang nampak pada keadaan zhohir orang ini yaitu dia berintisab kepada Islam dan mengakui kebenaran Islam dan meyakininya hanya saja karena dia bodoh). Dikecualikan dari hal ini adalah jika dia melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang ma'lumun bidharuriy (telah diketahui oleh semua orang) baik di kalangan para ulama ataupun selain mereka akan kekufurannya, seperti menghinakan al-qur'an, menghina Rasulullah, mengingkari kerasulan nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, maka orang ini tidak disholati, karena ia telah kafir, dihukumi dan diperlakukan di dunia sebagai orang kafir.
Dalam hadits diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari suatu kesusahan di dunia, maka Allah akan melapangkannya dari kesusahan pada hari kiamat; barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang sedang mendapakan suatu kesulitan, Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutup cela seorang muslim, Allah akan menutup kesalahannya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.” [HR. Muslim]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Salmah Ibn al-Akwa’, bahwa kepada Nabi saw dihadapkan jenazah seseorang untuk dishalatkan. Nabi bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka (para shahabat) menjawab: Tidak. Kemudian Nabi saw menyalatkannya. Setelah itu kepada Nabi saw dihadapkan jenazah yang lain. Nabi saw bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka menjawab: Ya. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepada para shahabat: Shalatkanlah jenazah temanmu ini. Abu Qatadah berkata: Wahai Rasulullah, saya yang menanggung hutangnya. Kemudian Nabi menyalatkan jenazah itu.” [HR. al-Bukhari]
Dari hadits terakhir, di samping diperoleh pelajaran bahwa seseorang dibenarkan menanggung hutang dari orang yang telah meninggal dunia, sesungguhnya juga terkandung pelajaran bahwa agar seseorang berusaha semaksimal mungkin untuk segera melunasi hutangnya, sehingga jangan sampai meninggal dunia masih mempunyai hutang.
Dalam Sebuah Hadits Diriwayatkan
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ فَغَسَّلْنَاهُ وَ كَفَّنَّاهُ وَ حَنَّطْنَاهُ وَ وَضَعْنَاهُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم حَيْثُ تُوْضَعُ اْلجَناَئِزُ عَنْدَ مَقَامِ جَبْرِيْلَ ثُمَّ آذَنَّا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ فَجَاءَ مَعَنَا [فَتَخَطَّى] خُطًى ثُمَّ قَالَ: لَعَلَّ عَلَى صَاحِبِكُمْ دَيْنًا؟ قَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ فَتَخَلَّفَ [قَالَ: صَلُّوْا عَلىَ صَاحِبِكُمْ] فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَّا يُقَالُ لَهُ أَبُوْ قَتَادَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هُمَا عَلَيَّ فَجَعَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ِ يَقُوْلُ: هُمَا عَلَيْكَ وَ فىِ مَالِكَ وَ اْلمـَيِّتُ مِنْهُمَا بَرِيْءٌ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ فَصَلَّى عَلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِصلى الله عليه و سلم إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُوْلُ [وفى رواية: ثُمَ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقَالَ]: مَا صَنَعَتِ الدِّيْنَارَانِ؟ [قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا مَاتَ أَمْسِ] حَتىَّ كَانَ آخِرَ ذَلِكَ [و فى الرواية الأخرى: ثُمَّ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقاَلَ: مَا فَعَل الدِّيْنَارَانِ؟] قَالَ: قَدْ قَضَيْتُهُمَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اْلآنَ حِيْنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ
Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu anhu berkata, “Ada seorang laki-laki meninggal dunia, lalu kami memandikan, mengkafani dan memberinya wewangian. Kemudian kami letakkan jenazahnya untuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di tempat dimana jenazah biasa diletakkan yaitu di makam Jibril. Selanjutnya kamipun memberitahu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menyolatkannya”. Lalu Beliau datang bersama kami kemudian melangkah satu langkah dan bersabda, “Barangkali kawan kalian ini mempunyai hutang?”. Mereka menjawab, “Ya, yaitu sebanyak dua dinar”. Maka Beliaupun mundur (tidak jadi menyolatkannya). Beliau berkata, “Sholatkanlah teman kalian ini!”. Lalu ada seseorang di antara kami yang bernama Abu Qotadah berkata, “Wahai Rosulullah!, hutangnya yang dua dinar itu menjadi tanggunganku”. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hutang dua dinar itu sekarang menjadi tanggunganmu dan dibayar dari hartamu dan mayit itu telah terlepas dari dua dinar tersebut”. Abu Qotadah menjawab, “Ya”. Lalu RosulullahShallallahu alaihi wa sallam pun menyolatkannya. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila setiap kali bertemu dengan Abu Qotadah, beliau bertanya (dalam sebuah riwayat, kemudian beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya), “Apa yang dilakukan oleh uang dua dinar itu?”. (Ia berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya ia baru saja meninggal dunia kemarin)”, sehingga ia menjadi akhir dari itu. (Di dalam riwayat yang lain disebutkan, Kemudian Beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh uang dua dinar itu?)”. Dia menjawab, “Aku telah melunasi hutangnya yang dua dinar itu, wahai Rosulullah!”. Lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sekarang, kulitnya telah menjadi dingin (dari adzab)”. [HR al-Hakim, al-Baihaqiy, ath-Thoyalisiy dan Ahmad: III/ 330].
Dari Abu Qotadah berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا دُعِيَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا فَإِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرٌ قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا وَ إِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ قَالَ لِأَهْلِهَا: شَأْنَكُمْ بِهَا وَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهَا
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila diajak (untuk menyolati) jenazah maka Beliau bertanya (terlebih dahulu) tentangnya. Jika ia dipuji dengan kebaikan maka iapun berdiri untuk menyolatkannya. Namun jika jenazah itu dikomentari selain itu maka ia Beliau akan berkata kepada keluarganya, “Terserah kalian!”. Dan Beliau tidak menyolatkannya. [HR Ahmad: V/ 299, 300, 301, Ibnu Hibban: 3057 dan al-Hakim: 1388. Berkata al-Hakim: Ini adalah hadits shahih atas syarat al-Imam al-Bukhoriy dan Muslim, dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya]
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ ;’’ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (84)
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan(jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar berlepas diri dari orang-orang munafik, jangan menyalatkan jenazah seorang pun dari mereka yang mati, dan janganlah berdiri di kuburnya untuk memohonkan ampun baginya atau berdoa untuknya; karena sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafirannya.
Hal ini merupakan hukum yang bersifat umum berlaku terhadap setiap orang yang telah dikenal kemunafikannya, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin orang-orang munafik.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عُبَيد بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ أَبِي أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عمر قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ أُبَيٍّ -جَاءَ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ قَمِيصَهُ يُكَفِّن فِيهِ أَبَاهُ، فَأَعْطَاهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَامَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَامَ عُمَرُ فَأَخَذَ بِثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُصَلِّي عَلَيْهِ وَقَدْ نَهَاكَ رَبُّكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهِ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا خَيَّرَنِي اللَّهُ فَقَالَ: {اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ} وَسَأَزِيدُهُ عَلَى السَّبْعِينَ". قَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ! قَالَ: فَصَلَّى عَلَيْهِ [رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، آيَةَ: {وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Isma'il, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika Abdulah ibnu Ubay mati, maka anaknya yang juga bernama Abdullah datang menghadap Rasulullah Saw. dan meminta baju gamis Rasul Saw. untuk dipakai sebagai kain kafan ayahnya. Maka Rasulullah Saw. memberikan baju gamisnya kepada Abdullah. Kemudian Abdullah meminta kepada Rasul Saw. untuk menyalatkan jenazah ayahnya. Maka Rasulullah Saw. bangkit untuk menyalatkannya. Tetapi Umar bangkit pula dan menarik baju Rasulullah Saw. seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan jenazahnya, padahal Tuhanmu telah melarangmu menyalatkannya?" Rasulullah Saw. bersabda:Sesungguhnya Allah hanya memberiku pilihan. Dia telah berfirman “Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” Dan aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali. Umar berkata, "Dia orang munafik." Tetapi Rasulullah Saw. tetap menyalatkannya. Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. (At-Taubah: 84)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abu Usamah Hammad ibnu Usamah dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Munzir, dari Anas ibnu Iyad, dari Ubaidillah (yakni Ibnu Umar Al-Umari) dengan sanad yang sama. Antara lain disebutkan bahwa Nabi Saw. tetap menyalatkannya, maka kami (para sahabat) ikut salat bersamanya, lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka. (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Ubaidillah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hal yang semisal dengan hadis ini melalui hadis Umar ibnul Khattab juga. Untuk itu, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq; telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab r.a. mengatakan, "Ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah Saw. diundang untuk ikut menyalatkan jenazahnya. Maka Rasulullah Saw. bangkit untuk menyalatkannya. Ketika beliau berdiri di hadapan jenazah itu dengan maksud akan menyalatkannya, maka aku (Umar) berpindah tempat hingga aku berdiri di depan dadanya, lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan musuh Allah —si Abdullah ibnu Ubay— ini yang telah melakukan hasutan pada hari anu dan hari anu?' seraya menyebutkan bilangan hari-hari yang telah dilakukannya. Rasulullah Saw. hanya tersenyum, hingga ketika aku mendesaknya terus, maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Minggirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Allah telah berfirman kepadaku:Kamu mohonkan ampun bagi mereka. (At-Taubah: 80), hingga akhir ayat. Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukannya lebih dari tujuh puluh kali, lalu mendapat ampunan, niscaya aku akan menambahkannya.' Kemudian Rasulullah Saw. menyalatkannya, berjalan mengiringi jenazahnya, dan berdiri di kuburnya hingga selesai dari pengebumiannya. Umar berkata, 'Saya sendiri merasa aneh mengapa kali ini saya berani berbuat demikian kepada Rasulullah Saw. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat berikut,' yaitu firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah)seorang-pun yang mati di antara mereka. (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat. Sesudah itu Rasulullah Saw. tidak pernah lagi menyalatkan jenazah orang munafik, tidak pula berdiri di kuburnya hingga beliau wafat."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Tirmuzi di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Setelah Allah Swt. melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik dan berdiri di kubur mereka untuk memohonkan ampun bagi mereka, maka perbuatan seperti itu terhadap orang-orang mukmin merupakan amal taqarrub yang paling besar, yakni melakukan kebalikannya; dan pelakunya akan mendapat pahala yang berlimpah, seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab hadis yang lainnya melalui hadis Abu Hurairah r.a. yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ شَهِدَ الْجِنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ". قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: "أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ"
Barang siapa yang menyaksikan jenazah hingga menyalatkannya, maka baginya pahala satu qirat; dan barang siapa yang menyaksikannya hingga mengebumikannya, maka baginya pahala dua qirat. Ketika ditanyakan, "Apakah dua qirat itu?" Maka Nabi Saw. bersabda, "Yang paling kecil di antara keduanya besarnya sama dengan Bukit Uhud."
Adapun mengenai berdiri di kubur orang mukmin yang meninggal dunia. maka Imam Abu Daud menyebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnu Musa Ar-Razi telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abdullah ibnu Buhair, dari Hani' (yaitu Abu Sa'id Al-Bariri maula Usman ibnu Affan) dari Usman ibnu Affan yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila telah selesai dari mengebumikan jenazah, maka beliau berdiri di kuburannya dan bersabda:
"اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ".
Mohonkanlah ampun bagi saudara kalian, dan mintakanlah keteguhan buatnya, karena sesungguhnya sekarang ia akan ditanyai.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Menyalaati Orang Yang Meninggalkan Shalat (Tarkush Shalah)
Apakah orang yang tarkush-shalah (meninggalkan shalat), dapat dihukumi sebagai orang kafir, sehingga jika meninggal, tidak boleh dishalati? Mengingat ada sebuah hadis riwayat Muslim dari Jabir ra yang menyatakan bahwa:
بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة
...“yang membuat perbedaan antara seseorang dengan orang kafir itu adalah meninggalkan shalat”. (Al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I/136)
Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak shalat, jika kelak meninggal, tidak boleh dishalati , karena ia sama dengan orang kafir.
Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat dengan merinci dan membedakan dua macam orang yang meninggalkan shalat.
Yang pertama, jika orang yang meninggalkan shalat itu karena meyakini bahwa shalat itu bukan kewajibannya seperti yang diyakini oleh orang-orang non muslim, maka orang seperti itu dihukumi kafir dan kelak jika meninggaal dunia, jenazahnya tidak boleh dishalati.
Yang kedua, jika orang yang tidak shalat atau meninggalkan shalat hanya karena malas tetapi sebenarnya masih mengakui kewajibannya sebagai muslim maka orang ini kelak jika meninggal dunia, jenazahnya masih boleh dishalati, hanya saja yang menyalatinya tidak perlu dari kalangan orang yang alim.
Mayat orang islam harus di rawat meskipun tidak pernah shalat selama dia tidak menyatakan kekufuran,dalam perkataan atau perbuatan. Dan selama masih meyakini bahwa shalat itu hukumnya wajib, meskipun dia tidak pernah shalat, maka dia masih diperlakukan sebagaimana kaum muslim yang lain seperti dimandikan, dikafani dan dishalati.
Dasar Pengambilan
1- فتح القريب
(والثانى أَنْ يَتْرُكَهَا كَسْلاً) حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا حَالَ كَونِهِ (مُعْتَقِدًا لِوُجُوبِهَا فَيُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَصَلَّى) وَهُوَ تَفْسِيْرٌ لِلتَّوبَةِ (وإِلاَّ) وَإِنْ لَمْ يَتُبْ (قُتِلَ حَدًّا) لاَكُفْرًا (وَكَانَ حُكْمُ المُسْلِمِيْنَ) فِى الدَّفْنِ فِى مَقَابِرِهِمْ وَلاَ يُكْمَسُ قَبْرُهُ وَلَهُ حُكْمُ المُسْلِمِيْنَ أَيْضًا فِى الغُسْلِ وَالتَّكْفِيْنِ وَالصَّلاَةِ عَلَيْهِ.
"Kedua, ialah ia meninggalkan shalat karena malas sehingga waktunya habis selama ia beri'tikad akan kewajiban shalat atasnya. Maka ia diminta untuk taubat. Kemudian jika ia bertaubat, dan shalat-dan ini adalah penjabaran taubat-(maka ia tidak dibunuh. pent) tetapi bila ia tidak taubat, maka ia harus dibunuh sebagai hukuman, bukan karena kekafiran. Status hukumnya adalah status hukum muslimin dalam hal dimakamkan di pemakaman muslim serta makamnya tidak diratakan. Bagi orang tersebut juga berlaku hukum kaum muslimin dalam hal dimandikan, dikafani dan dishalati".
بغية المسترشدين ص 92
(مسئلة ب) وَيَجِبُ تَجْهِيْزُ كُلِّ مُسْلِمٍ مَحْكُوْمٍ بِإِسْلاَمِهِ وَاِنْ فَحِشَتْ ذُنُوْبُهُ وَكَانَ تَارِكًا لِلصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا مِنْ غَيْرِ جُحُوْدٍ وَيَأْ ثَمُ كُلُّ مَنْ عَلِمَ بِهِ لَوْقَصَّرَ فىِ ذَالِكَ لأَِنَّ لاَ اِلهَ اِلاَّ الله وِقَايَةٌ لَهُ مِنَ الْخُلُوْدِ فىِ النَّارِ هَذاَ مِنْ حَيْثُ الظَّاهِرِ وَاَمَّا بَاطِنًا فَمَحَلُّ ذَالِكَ حَيْثُ حَسُنَتِ الْخَاتِمَةُ بِالْمَوْتِ عَلَى الْيَقِيْنِ وَالثَّابَتِ عَلَى الدِّيْنِ فَاْلأَعْمَالُ عُنْوَانٌ
(Masalah Ba') Wajib mengurus mayat setiap muslim yang telah ditetapkan keislamannya meskipun sangat keji dosa-dosa yang telah dilakukan dan dia meninggalkan shalat dan lainnya tanpa menentang kewajiban. Setiap orang yang mengetahuinya adalah berdosa atau bersikap teledor atau masa bodoh terhadap hal tersebut. Karena kalimah tauhid adalah penjagaan baginya dari kekal dalam neraka. Ini adalah dari segi lahir. Adapun dalam segi batin maka tempatnya adalah sekira dia memperoleh husnul khatimah dalam kematiannya secara yakin dan tetap dalam agama. Adapun amal-amal ibadah adalah tanda-tanda dari keyakinan tersebut.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar