Minggu, 16 Oktober 2016

Penjelasan Bahwa Ruh Orang Meninggal Bisa Mendengar

Berbicara tentang masalah apakah orang yang sudah meninggal bisa mendengar atau tidak, maka pembicaraan dalam masalah ini berkutat pada pembahasan sebuah hadits Nabi SAW. Hadits tersebut berbunyi:

{مَا منْ مسلمٍ يمرُّ على قبرِ أخيهِ كان يعرفُه في الدنيا فيسلّمُ عليه إلا ردَّ اللهُ عليه روحَه حتى يردَّ عليه السلامَ} (رواه أبو داود)

“Tidaklah seorang muslim yang melewati kuburan saudaranya (sesama muslim) yang dulu dia kenal (ketika dia masih hidup) di dunia, kemudian dia mengucapkan salam atasnya, kecuali Allah SWT akan mengembalikan ruhnya sehingga dia bisa membalas salam tersebut atasnya”. (HR.Abu Dawud)
Mengenai takhrij hadits di atas, hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan beliau. Beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab al-Manasik pada pembahasan tentang bab ziyaratul qubur. Sanad hadits tersebut berakhir pada sahabat yang mulia Abu Hurairah yang beliau rofa’kan kepada Rasulullah SAW.

Adapun mengenai derajat hadits di atas, maka dalam kitab Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyah disebutkan tentang derajat hadits tersebut. Jawaban tentang hal itu lahir ketika ada pertanyaan mengenai derajat hadits di atas yang dikutip oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab ar-Ruh.

Hadits di atas disebutkan oleh Abu Umar Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar secara mu’allaq yang sanadnya berakhir pada Ibnu Abbas secara marfu’. Beliau menghukumi hadits di atas sebagai hadits yang shahih. Hal tersebut kemudian diikuti oleh sebagian ulama yang juga menshahihkannya.

Hadits di atas juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Baghdad beserta sanadnya dari Abu Hurairah. Hal serupa juga dilakukan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab al-Ilal al-Mutanahiyah. Hanya saja beliau menghukumi hadits di atas sebagai hadits yang tidak shahih.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memasukkan hadits di atas dalam kitab silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah dengan nomor 4493 dengan sanad dari Abu Hurairah.‎‎
QS. An-Naml ayat 80 :‎
إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ وَلاَ تُسْمِعُ الصّمّ الدّعَآءَ إِذَا وَلّوْاْ مُدْبِرِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال ابن التين : لا معارضة بين حديث بن عمر والاية لأن الموتى لا يسمعون بلا شك لكن إذا أراد الله إسماع ما ليس من شأنه السماع لم يمتنع كقوله تعالى انا عرضنا الأمانة الآية وقوله فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها الآية وسيأتي في المغازي قول قتادة أن الله احياهم حتى سمعوا كلام نبيه توبيخا ونقمة انتهى وقد أخذ بن جرير وجماعة من الكرامية من هذه القصة أن السؤال في القبر يقع على البدن فقط وأن الله يخلق فيه ادراكا بحيث يسمع ويعلم ويلذ ويألم وذهب بن حزم وابن هبيرة إلى أن السؤال يقع على الروح فقط من غير عود إلى الجسد وخالفهم الجمهور فقالوا تعاد الروح إلى الجسد أو بعضه كما ثبت في الحديث

“Berkata Ibnut-Tiin : Tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu ‘Umar (yaitu hadits Qalaib Badr) dengan ayat tersebut (QS. An-Naml : 80), sebab orang-orang mati tidak mendengar tidaklah diragukan lagi, akan tetapi apabila Allah ‎ta’ala menghendaki sesuatu yang tidak mampu mendengar menjadi mampu mendengar, maka tidak ada yang menghalanginya. Hal ini sebagaimana firman-Nya : [إِنّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا] “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu” (QS. Al-Ahzaab : 72). [فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ ائْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً] “Lalu Dia berkata kepadanya (langit) dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa" (QS. Fushshilat : 72). Al-Imam Bukhari menukil ucapan Qatadah dalam kitab Al-Maghaazi : “Sesungguhnya Allah menghidupkan mereka sehingga mereka mendengar dari ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai penghinaan dan adzab bagi mereka”. Selesai ucapan Ibnut-Tiin. Ibnu Jarir Ath-Thabari dan sebagian besar Karamiah mengambil pendapat dari kisah ini bahwasannya pertanyaan di dalam kubur itu terjadi pada badan saja, dan Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk mendengar dan mengetahui serta merasakan adanya nikmat dan adzab. Sedangkan Ibnu Hazm dan Ibnu Hubairah berpendapat bahwa pertanyaan terjadi hanya pada ruh saja. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi mereka dan berpendapat lain, yaitu bahwa ruh dikembalikan ke badan atau sebagiannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits”.
Ibnu Hajar kemudian melanjutkan :
أن المصنف أشار إلى طريق من طرق الجمع بين حديثي بن عمر وعائشة بحمل حديث بن عمر على أن مخاطبة أهل القليب وقعت وقت المسألة وحنيئذ كانت الروح قد اعيدت إلى الجسد وقد تبين من الأحاديث الأخرى أن الكافر المسئول يعذب وأما إنكار عائشة فمحمول على غير وقت المسألة فيتفق الخبران

“Bahwasannya mushannif (yaitu Al-Imam Bukhari) menunjukkan satu cara di antara cara-cara menggabungkan dua hadits, yaitu hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah (yaitu sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi : “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwasannya apa yang aku katakan kepada mereka adalah benar”; kemudian Aisyah ‎radliyallaahu ‘anhaa membaca ayat :“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati dapat mendengar” sampai selesai‎). Kemungkinan makna dari hadits Ibnu ‘Umar adalah bahwasannya ucapan terhadap orang-orang kafir yang telah mati dan berada di dalam sumur-sumur Badar terjadi sewaktu Malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepada ruh tersebut setelah dikembalikan ke badan, dan disebutkan dalam hadits lain bahwasannya orag kafir yang ditanya diadzab. Adapun pengingkaran ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ‎mengandung kemungkinan di luar – bukan – waktu pertanyaan, maka dengan ini selaraslah dua hadits tersebut” [Lihat ‎Fathul-Baariy 3/235].‎

Al-Imam Asy-Syaukani dalam Tafsirnya f‎athul-Qadiir tentang ayat [إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ] “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml ayat 80) berkata :
لأنه إذا علم أن حالهم كحال الموتى في انتفاء الجدوى بالسماع أو كحال الصم الذين لا يسمعون ولا يفهمون ولا يهتدون صار ذلك سبباً قوياً في عدم الاعتداء بهم، شبه الكفار بالموتى الذين لا حس لهم ولا عقل، وبالصم الذين لا يسمعون المواعظ ولا يجيبون الدعاء إلى الله.

“Hal itu dikarenakan apabila ia mengetahui,bahwasannya keadaan mereka (kaum kafir) seperti halnya orang mati dalam hal ketidakmampuan mengambil faedah dengan pendengaran atau seperti orang yang tuli yang tidak dapat mendengar, memahami, dan diberi petunjuk, yang itu menjadi satu sebab kuat dalam ketiadaan pelanggaran dengannya. Allah telah menyerupakan mereka (kaum kafir) dengan orang mati yang tidak mempunyai rasa dan akal; dan (mereka juga diserupakan) dengan orang yang tuli yang tidak dapat mendengarkan nasihat dan menjawab panggilan/seruan kepada Allah”.
Kemudian Asy-Syaukani melanjutkan :
وظاهر نفي إسماع الموتى العموم، فلا يخص منه إلا ما ورد بدليل كما ثبت في الصحيح أنه صلى الله عليه وسلم خاطب القتلى في قليب بدر........

“Dhahirnya, (ayat tersebut) meniadakan pendengaran dari orang mati secara umum. Maka tidaklah dikhususkan darinya kecuali apa-apa yang datang dari dalil sebagaimana telah tetap dalam Ash-Shahih (Al-Bukhari/Muslim) bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‎berkata kepada orang-orang kafir yang terbunuh di sumur-sumur Badr…….” [Lihat ‎Fathul-Qadir QS. An-Naml : 80].
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya berkata tentang ayat [إِنّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَىَ]“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml ayat 80) :
أي لا تسمعهم شيئاً ينفعهم, فكذلك هؤلاء على قلوبهم غشاوة وفي آذانهم وقر الكفر, ولهذا قال تعالى: {ولا تسمع الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين * وما أنت بهادي العمي عن ضلالتهم * إن تسمع إلا من يؤمن بآياتنا فهم مسلمون} أي إنما يستجيب لك من هو سميع بصير, السمع والبصر النافع في القلب والبصيرة, الخاضعُ لله ولما جاء عنه على ألسنة الرسل عليهم السلام.

“Yaitu engkau tidak dapat memperdengarkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Demikian juga kafirnya orang yang di dalam hati mereka terdapat penutup dan telinga-telingan mereka terdapat sumbat. Untuk itu Allahta’ala telah berfirman : “dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorang pun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri” ; yaitu yang dapat memperkenankanmu hanyalah Rabb Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dengan pendengaran dan penglihatan yang membawa manfaat di dalam hati dan pandangan orang yang tunduk kepada-Nya serta apa yang dibawa melalui lisan para Rasul ‘alaihimus-salaam [Tafsir Ibni Katsir, 6/210].
Ibnu Katsir dalam penjelasan ayat di atas secara eksplisit menyamakan keadaan kaum kafir dengan orang yang telah mati (mayat) yang dinafikkan dari sifat mendengar. Hal itu semakin kuat dengan penyebutan bahwa Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar yang kuasa memberikan manfaat dari penjelasan dan seruan kepada makhluk-Nya. Di sini seakan-akan Ibnu Katsir menegaskan bahwa sifat melihat dan mendengar yang dinafikkan dari orang kafir secara majazidan orang yang mati secara hakiki itu akan kembali pada kesempurnaan sifat ke-Maha Melihat dan Maha Mendengar dari Allah. Hanya Allah lah yang kuasa memberikan penglihatan dan pendengaran kepada makhluk-Nya.
Mayit Dapat Mendengar

Pendapat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya ar-Ruh. Beliau mengutip hadits di atas sebagai penguat pendapatnya. Beliau juga mengemukakan dalil-dalil lain yang menjadikan pendapatnya tersebut sulit terbantahkan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Amin asy-Syanqiti dalam kitab tafsirnya Adhwa’ul Bayan Fii iidhohil Qur’an Bil Qur’an ketika menafsiri surat an-Naml ayat 80.

 Dalam ash-Shahihain Dari Anas bin Malik,
((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرَكَ قَتْلَى بَدْرٍ ثَلَاثًا ثُمَّ أَتَاهُمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَنَادَاهُمْ فَقَال:َ يَا أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ يَا أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ يَا شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ أَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا فَإِنِّي قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا- فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْمَعُوا وَأَنَّى يُجِيبُوا وَقَدْ جَيَّفُوا قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلَكِنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ أَنْ يُجِيبُوا- ثُمَّ أَمَرَ بِهِمْ فَسُحِبُوا فَأُلْقُوا فِي قَلِيبِ بَدْرٍ)).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali. Setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umayyah bin Khalaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian, sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku.” Umar mendengar ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka bisa mendengar dan bagaimana mereka bisa menjawab. Lihatlah mereka telah menjadi bangkai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab.” Setelah itu beliau memerintahkan, mereka diseret lalu dilemparkan di sumur Badar. (HR. Muslim no. 2874)
Mendapati hal tersebut Umar ibn Khathab heran terhadap apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kemudian beliau SAW bersabda:

{مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ وَلَكِنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ أَنْ يُجِيبُوا} (متفق عليه)

“Tidaklah kalian lebih mendengar terhadap apa yang aku katakan dibanding mereka, hanya saja mereka tidak kuasa untuk menjawabnya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Ibnu Umar juga meriwayatkan hal serupa bahwa Rasulullah SAW berkata kepada orang-orang kafir yang telah tewas dalam perang Badar.

{هل وجدتم ما وعدكم ربكم حقا» ؟ إنهم ليسمعون الآن ما أقول} (متفق عليه)

“Apakah kalian telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Sesungguhnya mereka sekarang benar-benar mendengar apa yang aku katakan”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Aisyah mengingkari hadits Ibnu Umar. Beliau menta’wilkan maksud perkataan Rasulullah SAW tersebut adalah “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwa apa yang aku katakan adalah kebenaran”. Kemudian beliau membaca surat Fathir ayat 80.
Para ahli ilmu sepakat tentang keshahihan hadits Anas ibn Malik dan Ibnu Umar. Dan riwayat yang shahih lebih dikedepankan dibanding pendapat salah seorang sahabat atau yang lainnya. Kedua riwayat tersebut juga tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an.

Dalam kitab ash-Shahihain juga dijelaskan bahwa orang yang sudah meninggal dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarkannya. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Aisyah ruju’ dari ta’wil tersebut dan menyepakati riwayat shahih di atas.

Dalil lain yang menguatkan pendapat bahwa mayit dapat mendengar orang yang masih hidup adalah perintah Rasulullah SAW agar mengucapkan salam kepada ahli kubur ketika melewati kuburan. Hal ini menunjukkan bahwa si pemilik kuburan dapat mendengar dan menjawab salam tersebut. Jika tidak, maka perintah Rasulullah SAW untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur tidak ada gunanya.
Aisyah juga meriwayatkan hadits dari Rasulullah bahwa seorang yang sudah meninggal akan sangat senang apabila diziarahi. Rasulullah SAW bersabda:

{ما من رجل يزور قبر أخيه فيجلس عنده، إلا استأنس به حتى يقوم}

“Tidaklah salah seorang menziarahi kuburan saudaranya kemudian dia duduk di sisinya, kecuali (pemilik kuburan tersebut) akan merasa nyaman dengan hal itu sampai di bangkit (meninggalkannya)”.

Hujjah lain yang dikemukakan oleh Ibnu Qoyyim dalam kitab ar-Ruh adalah masalah mentalqin mayit di sisi kuburan. Bahkan Imam Ahmad menganggap hal itu baik. Jika orang yang sudah meninggal tidak dapat mendengar maka tidak ada gunanya mentalqin mayit di sisi kuburan. Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu dawud:

{سلوا لأخيكم التثبيت، فإنه الآن يُسأل} (رواه أبو داود)

“Mintakanlah ketetapan untuk saudara kalian karena dia sekarang sedang ditanya”. (HR.Abu dawud)

Pada hadits di atas dikatakan bahwa mayit ditanya di alam kubur. Jika dia ditanya dan mendengar pertanyaan, maka hal tersebut menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar.

Kesimpulan

Walaupun para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits yang menjadi pembahasan kita di atas, akan tetapi banyak hadits-hadits shahih lain yang menguatkannya. Dari kesekian hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal bisa mendengar dan menjawab salam orang yang masih hidup.

Bahkan tidak ada ayat al-Qur’an yang menyelihi hadits-hadits di atas. Dan yang perlu diketahui bahwa ayat al-Qur’an yang menjadi dalil pendapat pertama adalah ayat yang berkenaan dengan berhala-berhala yang disembah oleh kaum kafir pada saat itu.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar