Dari ‘Amr bin Hubsyiy ia berkata : Sayyidina Al-Hasan bin ‘Aliy pernah berkhutbah kepada kami setelah terbunuhnya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Ia pun berkata :
لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليبعثه ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله
“Sungguh kemarin telah meninggal seorang laki-laki yang tidak didahului orang-orang terdahulu dan kemudian dalam hal ilmu. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya bendera (kepemimpinan), maka ia tidaklah kembali hingga diberikan kemenangan baginya. Dan tidaklah ia meninggalkan dinar dan dirham kecuali 700 dirham yang berasal dari pemberian (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang ia persiapkan untuk pembantu keluarganya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/199, Fadlaailush-Shahaabah no. 922 dan Az-Zuhd hal. 133; serta Ibnu Abi Syaibah 12/75. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/199, Ath-Thabaraniy no. 2717-2725, Ibnu Abi Syaibah 12/73-74, Ibnu Hibbaan no. 6936, Ibnu Sa’d 3/38-39, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8408, dan yang lainnya dari jalan Ibnu Hubairah.
Atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Dr. Wasiyullah ‘Abbas. Dan kedudukannya adalah sebagaimana yang mereka sebutkan (maqbul).
Sebagian orang Syi’ah menggunakan atsar ini untuk menyatakan keilmuan ‘Aliy berada di atas semua shahabat tanpa terkecuali. Tidak Abu Bakr, tidak ‘Umar, dan tidak juga ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum. Tentu saja enggapan ini keliru.
Perlu diketahui bahwa riwayat di atas bukan merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun merupakan perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Jadi statusnya adalah mauquf.
Sanjungan tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah sehingga membenci ‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin ‘Aliy tampil di atas mimbar untuk mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan ‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum. Dan memang, ‘Aliy bin Abi Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu.
Apa yang dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Haritsah) radliyallaahu ‘anhuma saat orang-orang tidak menerima keputusan beliau yang telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan kedudukannya :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم بعثا، وأمر عليهم أسامة بن زيد، فطعن بعض الناس في إمارته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن تطعنوا في إمارته، فقد كنتم تطعنون في إمارة أبيه من قبل، وايم الله إن كان لخليقا للإمارة، وإن وكان لمن أحب الناس إلي، وإن هذا لمن أحب الناس إلي بعده).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberangkatkan pasukan dengan menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada sejumlah orang yang mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah sebagai panglima berarti kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima pada masa sebelumnya. Demi Allah, Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan anaknya ini (Usamah) juga termasuk orang yang paling aku cintai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 1525].
Tentu saja perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk mengunggulkan Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.
Kalaupun toh kita pahami tanpa memandang ‘illat riwayat, maka pujian atau sanjungan serupa (yaitu pujian satu shahabat terhadap yang shahabat lainnya) semisal di atas adalah banyak. Misalnya sanjungan Ibnu Mas’ud terhadap Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
لو أن ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم ترجمان القرآن ابن عباس رضي الله عنه.
“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Sanjungan Qabiishah bin Jaabir terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhuma :
عن قبيصة بن جابر، قال : ما رأيت رجلا قط أعلم بالله ولا أقرأ لكتاب الله ولا أفقه في دين الله من عمر.
Dari Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki pun yang lebih mengetahui (berilmu) terhadap Allah, lebih bagus bacaannya terhadap Kitabullah, dan lebih paham terhadap agama dibandingkan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 472 dengan sanad shahih].
Atau bahkan sanjungan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz radliyallaahu ‘anhu :
وأعلمهم بالحلال والحرام معاذ بن جبل
“Dan orang yang paling mengerti tentang halal dan haram di antara mereka, (yaitu) Mu’adz bin Jabal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3790, Ahmad 3/281, Ibnu Sa’d 2/341 dll., An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar 808, Al-Baihaqiy 6/210, Ath-Thayalisiy no. 2096, dan lainnya. Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaniy dan Al-Arna’uth].
Tiga riwayat yang ‘sebanding’ di atas sudah barang tentu memberatkan orang Syi’ah untuk menukilnya.
Pujian-pujian mereka (para shahabat) kepada yang lain menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tawadlu’ yang mengerti siapa saja yang harus ditinggikan dan siapa saja yang harus direndahkan (yaitu orang-orang munafik dan kafir). Setiap shahabat mempunyai keutamaan. Dan di antara keutamaan-keutamaan yang dimiliki, mereka semua telah berijma’ (sepakat) untuk mengutamakan Abu Bakr dan ‘Umar dibandingkan shahabat yang lain – dalam keutamaan yang bersifat global/umum (bukan keutamaan yang bersifat parsial).
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :
كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت
“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi Syaibah 12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no. 13301; shahih].
Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sendiri yang menegaskan keutamaan mereka berdua.
عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].
عن علي بن ربيعة الوالبي عن علي قال : إني لأعرف أخيار هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر، ولو شئت أن أسمي الثالث لفعلت.
Dari ‘Aliy bin Rabii’ah Al-Waalabiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Sesungguhnya aku mengetahui sebaik-sebaik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Yaitu) Abu Bakr dan ‘Umar. Jika saja aku ingin untuk menyebutkan yang ketiga, niscaya aku lakukan” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 428 dengan sanad hasan].
عن أبي جحيفة قال : كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم. قلت : يا أمير المؤمنين، إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك. قال : أولا أحدثك يا أنا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قلت : بلى ! قال : أبو بكر، قال : أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر ؟ قال : قلت : بلى فديتك ! قال : عمر.
Dari Abu Juhaifah, ia berkata : “Aku dulu berpendapat bahwa ‘Aliy adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminin, sesungguhnya aku tidak berpandangan ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada engkau”. Ia (‘Ali bin Abi Thaalib) berkata : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah tentang orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Aku berkata : “Tentu”. ‘Ali berkata : “Abu Bakr”. Kemudian ia melanjutkan : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu orang yang paling baik setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr ?”. Aku menjawab : “Tentu, berilah kami penjelasan”. ‘Aliy berkata : “Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 404; shahih li-ghairihi).
عن محمد بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟ فيقول عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.
Dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku khawatir untuk menanyakan 'kemudian siapa' (setelah ‘Umar), lalu menjawab : 'Utsmaan. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3671, Abu Daawud no. 4629, dan yang lainnya].
Kalaupun misal kita pertentangkan – (dan sebenarnya kita tidak pernah mempertentangkannya) – antara perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy dengan ‘Aliy yang dua-duanya membicarakan tentang diri ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma; siapakah yang lebih pantas untuk didahulukan ? Tentu saja perkataan ‘Aliy tentang dirinya-lah yang lebih didahulukan daripada selainnya, sebagaimana ma'ruf dalam kaidah-kaidah tarjih ilmu ushul.
Bila kita ikuti logika bathil kaum Syi’ah Rafidlah yang berdalil dengan riwayat Al-Hasan bin ‘Aliy di atas bahwa ‘Aliy itu adalah orang yang paling berilmu dibandingkan seluruh shahabat, maka kita akan menemui beberapa ‘kesulitan’ sebagai berikut :
1. Hadits ditunjuknya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai imam shalat pengganti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya.
عن عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال" ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" فقلنا: لا. وهم ينتظرونك، يا رسول الله! قالت والناس عكوف في المسجد ينتظرون رسول الله صلى الله عليه وسلم لصلاة العشاء الآخرة. قالت فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بكر، أن يصلي بالناس. فأتاه الرسول فقال: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرك أن تصلي بالناس. فقال أبو بكر، وكان رجلا رقيقا: يا عمر! صل بالناس. قال فقال عمر: أنت أحق بذلك. قالت فصلى بهم أبو بكر تلك الأيام. ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم وجد من نفسه خفة فخرج بين رجلين. أحدهما العباس، لصلاة الظهر. وأبو بكر يصلي بالناس. فلما رآه أبو بكر ذهب ليتأخر. فأومأ إليه النبي صلى الله عليه وسلم أن لا يتأخر. وقال لهما "أجلساني إلى جنبه" فأجلساه إلى جنب أبو بكر. وكان أبو بكر يصلي وهو قائم بصلاة النبي صلى الله عليه وسلم. والناس يصلون بصلاة أبي بكر. والنبي صلى الله عليه السلام قاعد.
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan. Setelah sadar beliau bertanya :‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambillkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Kemudian beliau mandi, lalu keluar menuju masjid, namun beliau pingsan lagi. Setelah sadar, beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. ‘Aisyah berkata : “Ketika itu orang-orang beri’tikaf dimasjid sambil menunggu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat ‘Isya’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk mengimami shalat. Utusan itu menemui Abu Bakr, lalu berkata : ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu untuk menjadi imam shalat’. Abu Bakr – dan dia adalah orang yang sangat halus perasaannya – berkata : ‘Wahai ‘Umar, imamilah orang-orang shalat !’. ‘Umar menjawab : ‘Engkau lebih berhak menjadi imam’. Maka Abu Bakr menjadi mam shalat selama beberapa hari. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merasa tubuhnya agak sehat. Lalu beliau keluar untuk shalat Dhuhur dengan dipapah oleh dua orang, salah satunya adalah Al-‘Abbas radliyalaahu ‘anhu. Pada saat Abu Bakr akan menjadi imam shalat, ia melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mundur. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya isyarat agar ia jangan mundur. Nabi berkata kepada kedua orang yang memapah beliau : Dudukkan aku di samping Abu Bakr’. Abu Bakr shalat dengan berdiri mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat Abu bakr. Dan Nabi (ketika itu) shalat sambil duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418].
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu Sebagai pengganti beliau menjadi imam shalat. Padahal di situ ada ‘Umar, ‘Utsman, dan tentu saja ‘Ali bin Abi Thaalib – bersama para shahabat lainnya radliyallaahu ‘anhum. Jika saja memang ilmu ‘Ali bin Abi Thaalib itu adalah paling tinggi di antara shahabat, mengapa beliau tidak menunjuknya sebagai pengganti imam shalat. Padahal, dalam syari’at, hukum secara umum menyatakan seorang imam diangkat atau ditunjuk berdasarkan keutamaan yang ia miliki. Ia ditunjuk berdasarkan kriteria orang yang paling bagus/hapal dan faqih dalam Al-Qur’an-nya.
عن أبي مسعود الأنصاري؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله. فإن كانوا في القراءة سواء. فأعلمهم بالسنة. فإن كانوا في السنة سواء. فأقدمهم هجرة. فإن كانوا في الهجرة سواء، فأقدمهم سلما. ولا يؤمن الرجل الرجل في سلطانه. ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه"
Dari Abu Mas’uud Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus/banyak hafalan/faqih Al-Qur’an-nya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Kalau dalam As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].
Penunjukkan beliau di sini bukanlah penunjukkan yang bersifat kebetulan. Tentu saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memikirkan dengan matang penunjukan ini. Tidaklah beliau memilih Abu, kecuali dengan pertimbangan keutamaannya dan ilmu yang ia miliki. Pertanyaannya : ‘Mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya
Kita di sini tidak akan pernah beralasan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu membelot tidak hadir dalam shalat berjama’ah. Jika alasan itu dipakai, sama saja kita menuduh ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu menjadi bagian orang-orang munafiq.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
”Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua orang sehingga dia bisa mendatangi shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita ’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara sunnah-sunnah huda tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 654].
Na’uudzubillahi min dzaalik !! Sungguh jauh beliau (‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) dari kemunafikan.
2. Hadits tentang wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sepeninggal beliau.
عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه؛ أن امرأة سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا. فأمرها أن ترجع إليه. فقالت: يا رسول الله! أرأيت إن جئت فلم أجدك؟ - قال أبي: كأنها تعني الموت - "فإن لم تجديني فأتي أبا بكر".
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia maksudkan jika beliau wafat’ - . Maka beliau bersabda : “Apabila engkau tidak dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3659, Muslim no. 2386, dan yang lainnya].
Perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah berkaitan dengan hutang-piutang atau sejenisnya. Jika memang ini yang dimaksud, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk menemui ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu karena ia merupakan keluarga beliau yang terdekat.
Perintah ini adalah berkaitan dengan permasalahan yang ditanyakan oleh si wanita tadi. Dan objek yang dijadikan pengganti beliau sbagai tempat bertanya, tentu mempunyai kapasitas ilmu untuk menyelesaikannya. Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewariskan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan ilmu. Dan ilmu itulah yang telah terwarisi oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu untuk menyelesaikan permasalahan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sempurna”[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidzi no. 2682, Ad-Daarimiy no. 349, Abu Dawud no. 3641, Ibnu majah no. 223, dan yang lainnya – shahih].
Tidak mungkin beliau menunjuk seseorang jika tidak punya alasan bukan ?
Pertanyaannya : “Jika memang ‘Aliy bin Abi Thaalb dinyatakan sebagai orang yang paling berilmu seantero shahabat, mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuknya untuk menyelesaikan perkara sepeninggal beliau ?”. Logikanya, jika memang beliau meyakini apa yang diinginkan Syi’ah, tentu beliau akan menunjuk ‘Aliy. Apalagi sifat penunjukkan ini adalah satu hal yang longgar, dapat dipikirkan dan diputuskan melalui pertimbangan, sebagaimana kasus yang pertama. Bukan merupakan keadaan tergesa-gesa, khusus, atau darurat yang membolehkan meninggalkan sesuatu lebih utama kepada yang kurang utama. Tentu saja beliau memikirkan yang terbaik bagi umatnya sepeninggal beliau nanti.
Maka, teranglah bagi kita bahwa pemahaman Syi’ah dengan menggunakan atsar Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma di atas adalah salah.
Ali bin Abi Thalib mengatakan,
وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ -صلى الله عليه وسلم- إِلَىَّ أَنْ لاَ يُحِبَّنِى إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضَنِى إِلاَّ مُنَافِقٌ
“Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)
Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar serta Ustman atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya, mengikuti keyakinannya.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar