Selasa, 09 Mei 2017
PELAJARAN DARI KISAH WAFATNYA KHOLIFAH UMAR
Sayyidina Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi SAW yang didaulat menjadi Khalifah kedua dalam sejarah peradaban Islam. Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang bangsawan Quraisy yang berwatak keras dan berani. Di samping itu, Umar bin Khattab juga dikenal sebagai orang yang pandai berdiplomasi, sehingga ia dipercaya menjadi salah seorang diplomat dari kabilah Quraisy. Karena watak dan bakat yang dimilikinya tersebut, Umar bin Khattab menjadi orang yang disegani di kalangan suku Arab ketika itu.
Sahabat Nabi yang sebelumnya sangat gigih menentang ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad, akhirnya menyatakan keislamannya dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat di hadapan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat lain yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Rasa takjub Umar bin Khattab akan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilantunkan oleh adiknya, Fatimah yang telah lebih dulu memeluk Islam, melatarbelakangi pengakuan dan ketetapan hatinya untuk memeluk agama Islam sebagai pilihan jalan hidupnya yang baru. Dan satu hal yang pasti tentunya karena ada hidayah dari Allah SWT akhirnya Umar bin Khattab memeluk Islam, serta didukung oleh do’a Nabi SAW yang meminta kepada Allah supaya Islam dikuatkan oleh salah seorang di antara Amr Bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab.
Kharisma dan ketokohan Umar bin Khattab di kalangan suku Quraisy telah menciutkan nyali orang-orang kafir Quraisy untuk melakukan gangguan terhadap dakwah Nabi SAW. Kharisma Umar bin Khattab juga terlihat tatkala ia berani melakukan hijrah ke Yatsrib secara terang-terangan. Umar bin Khattab adalah satu-satunya orang yang melakukan hijrah secara terang-terangan. Sambil menghunuskan pedangnya, Umar bin Khattab mengancam dengan mengajak duel kepada siapapun yang berani menghalangi jalannya untuk berhijrah. Mendengar ancaman tersebut tidak ada seorang pun dari kafir Quraisy yang berani menghalangi Umar bin Khatab untuk berhijrah.
Kedekatannya dengan Nabi SAW serta kebrilianannya dalam memahami syariat Islam mengantarkan Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua menggantikan Khalifah pertama, Abu Bakar. Bila Abu Bakar mengonsolidasikan Islam dan menyelamatkannya dari kehancuran, maka Umar menjamin pengembangannya. Masa kekhalifahan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 4 hari, (13-23 H/634-644 M). Peranan Umar bin Khattab dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan wilayahnya, di samping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Pada masa kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, Islam menjadi sebuah imperium terbesar di dunia pada waktu itu.
Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar bin Khattab merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan ada yang mengatakan, kalau tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar bin Khattab, Islam belum akan tersebar seperti sekarang.
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah sosok pemimpin umat yang berhasil mengibarkan panji Islam di muka bumi ini, serta membawa peradaban Islam pada masa kejayaan dan kegemilangan. Umar bin Khattab diakui oleh para sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia adalah orang kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan Islam.
Selama pemerintahan Khalifah Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lulu'ah (Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Sebelum matahari terbit hari Rabu itu tanggal empat Zulhijah tahun ke-23 Hijri Umar keluar dari rumahnya hendak mengimami salat subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Masjid agar mengatur saf sebelum salat. Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat saf pertama. Kalau ada orang yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya dengan tongkatnya. Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing, mulai ia bertakbir untuk salat. Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja ia mulai niat salat hendak bertakbir tiba-tiba muncul seorang laki-laki di depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan khanjar tiga atau enam kali, yang sekali mengenai bawah pusar. Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membentangkan tangannya seraya berkata: ”Kejarlah orang itu; dia telah membunuhku!” Dan orang itu adalah Abu Lu’lu’ah Fairuz, budak al-Mugirah. Dia orang Persia yang tertawan di Nahawand, yang kemudian menjadi milik al-Mugirah bin Syu’bah. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta itu. Ia bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggenggam bagian tengahnya khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut Masjid. Begitu salat dimulai ia langsung bertindak. Sesudah itu ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri. Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu. Orang banyak datang hendak menangkap dan menghajar orang itu. Tetapi Fairuz tidak memberi kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke kanan kiri hingga ada dua belas orang yang kena tikam, enam orang meninggal kata satu sumber dan menurut sumber yang lain sembilan orang. Dalam pada itu datang seorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya kepada orang itu sambil menghempaskannya ke lantai. Yakin dirinya pasti akan dibunuh, Fairuz bunuh diri dengan khanjar yang digunakan menikam Amirul mukminin.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab berwasiat untuk membayarkan hutangnya, sebelum wafat ketika dalam keadaan sakit menjelang sakaratul maut setelah ditikam.
Hari itu, saat Umar bin Khaththab menjadi imam shalat shubuh, ia ditikam perutnya sampai luka parah. Si penikam itu semula turut shalat shubuh menjadi makmum di belakang Umar. Orang itu lalu bunuh diri setelah melukai belasan makmum lainnya.
Hadits Bukhari tentang saat-saat terakhir Umar bin Khaththab itu dimuat di bawah ini (No. 3424 dalam kitabnya). Di bagian selanjutnya, terjemahan hadits tersebut diuraikan berdasar tema-tema di dalamnya yang (semuanya) relevan dengan problematika kehidupan saat ini. Setidaknya ada 11 topik dalam hadits di bawah ini, salah satunya tentang hutang-piutang. Kita akan menemukan bagaimana seorang Umar itu menyikapi datangnya maut dengan tenang, ringan, nyaris cool, berbincang tentang pelbagai hal, sekadar seperti seseorang yang akan pergi jauh.
عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُقَبْلَ أَنْ يُصَابَ بِأَيَّامٍ بِالْمَدِينَةِ وَقَفَ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَعُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ كَيْفَ فَعَلْتُمَا أَتَخَافَانِ أَنْ تَكُونَا قَدْ حَمَّلْتُمَا الْأَرْضَ مَا لَا تُطِيقُ قَالَا حَمَّلْنَاهَا أَمْرًا هِيَ لَهُ مُطِيقَةٌ مَا فِيهَا كَبِيرُ فَضْلٍ قَالَ انْظُرَا أَنْ تَكُونَا حَمَّلْتُمَا الْأَرْضَ مَا لَا تُطِيقُ قَالَ قَالَا لَا فَقَالَ عُمَرُ لَئِنْ سَلَّمَنِي اللَّهُ لَأَدَعَنَّ أَرَامِلَ أَهْلِ الْعِرَاقِ لَا يَحْتَجْنَ إِلَى رَجُلٍ بَعْدِي أَبَدًا قَالَ فَمَا أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا رَابِعَةٌ حَتَّى أُصِيبَ قَالَ إِنِّي لَقَائِمٌ مَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ غَدَاةَ أُصِيبَ وَكَانَ إِذَا مَرَّ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ قَالَ اسْتَوُوا حَتَّى إِذَا لَمْ يَرَ فِيهِنَّ خَلَلًا تَقَدَّمَ فَكَبَّرَ وَرُبَّمَا قَرَأَ سُورَةَ يُوسُفَ أَوْ النَّحْلَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ قَتَلَنِي أَوْ أَكَلَنِي الْكَلْبُ حِينَ طَعَنَهُ فَطَارَ الْعِلْجُ بِسِكِّينٍ ذَاتِ طَرَفَيْنِ لَا يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا إِلَّا طَعَنَهُ حَتَّى طَعَنَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا مَاتَ مِنْهُمْ سَبْعَةٌ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ طَرَحَ عَلَيْهِ بُرْنُسًا فَلَمَّا ظَنَّ الْعِلْجُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ نَحَرَ نَفْسَهُ وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ فَمَنْ يَلِي عُمَرَ فَقَدْ رَأَى الَّذِي أَرَى وَأَمَّا نَوَاحِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُمْ لَا يَدْرُونَ غَيْرَ أَنَّهُمْ قَدْ فَقَدُوا صَوْتَ عُمَرَ وَهُمْ يَقُولُونَ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ صَلَاةً خَفِيفَةً فَلَمَّا انْصَرَفُوا قَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ انْظُرْ مَنْ قَتَلَنِي فَجَالَ سَاعَةً ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ غُلَامُ الْمُغِيرَةِ قَالَ الصَّنَعُ قَالَ نَعَمْ قَالَ قَاتَلَهُ اللَّهُ لَقَدْ أَمَرْتُ بِهِ مَعْرُوفًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مِيتَتِي بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِي الْإِسْلَامَ قَدْ كُنْتَ أَنْتَ وَأَبُوكَ تُحِبَّانِ أَنْ تَكْثُرَ الْعُلُوجُ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ الْعَبَّاسُ أَكْثَرَهُمْ رَقِيقًا فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَعَلْتُ أَيْ إِنْ شِئْتَ قَتَلْنَا قَالَ كَذَبْتَ بَعْدَ مَا تَكَلَّمُوا بِلِسَانِكُمْ وَصَلَّوْا قِبْلَتَكُمْ وَحَجُّوا حَجَّكُمْ فَاحْتُمِلَ إِلَى بَيْتِهِ فَانْطَلَقْنَا مَعَهُ وَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ تُصِبْهُمْ مُصِيبَةٌ قَبْلَ يَوْمَئِذٍ فَقَائِلٌ يَقُولُ لَا بَأْسَ وَقَائِلٌ يَقُولُ أَخَافُ عَلَيْهِ فَأُتِيَ بِنَبِيذٍ فَشَرِبَهُ فَخَرَجَ مِنْ جَوْفِهِ ثُمَّ أُتِيَ بِلَبَنٍ فَشَرِبَهُ فَخَرَجَ مِنْ جُرْحِهِ فَعَلِمُوا أَنَّهُ مَيِّتٌ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ وَجَاءَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يُثْنُونَ عَلَيْهِ وَجَاءَ رَجُلٌ شَابٌّ فَقَالَ أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدَمٍ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ ثُمَّ شَهَادَةٌ قَالَ وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافٌ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَلَمَّا أَدْبَرَ إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ الْأَرْضَ قَالَ رُدُّوا عَلَيَّ الْغُلَامَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ انْظُرْ مَا عَلَيَّ مِنْ الدَّيْنِ فَحَسَبُوهُ فَوَجَدُوهُ سِتَّةً وَثَمَانِينَ أَلْفًا أَوْ نَحْوَهُ قَالَ إِنْ وَفَى لَهُ مَالُ آلِ عُمَرَ فَأَدِّهِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِلَّا فَسَلْ فِي بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ فَإِنْ لَمْ تَفِ أَمْوَالُهُمْ فَسَلْ فِي قُرَيْشٍ وَلَا تَعْدُهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ فَأَدِّ عَنِّي هَذَا الْمَالَ انْطَلِقْ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَقُلْ يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ السَّلَامَ وَلَا تَقُلْ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَإِنِّي لَسْتُ الْيَوْمَ لِلْمُؤْمِنِينَ أَمِيرًا وَقُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهَا فَوَجَدَهَا قَاعِدَةً تَبْكِي فَقَالَ يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ السَّلَامَ وَيَسْتَأْذِنُ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ فَقَالَتْ كُنْتُ أُرِيدُهُ لِنَفْسِي وَلَأُوثِرَنَّ بِهِ الْيَوْمَ عَلَى نَفْسِي فَلَمَّا أَقْبَلَ قِيلَ هَذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَدْ جَاءَ قَالَ ارْفَعُونِي فَأَسْنَدَهُ رَجُلٌ إِلَيْهِ فَقَالَ مَا لَدَيْكَ قَالَ الَّذِي تُحِبُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَذِنَتْ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا كَانَ مِنْ شَيْءٍ أَهَمُّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ فَإِذَا أَنَا قَضَيْتُ فَاحْمِلُونِي ثُمَّ سَلِّمْ فَقُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَإِنْ أَذِنَتْ لِي فَأَدْخِلُونِي وَإِنْ رَدَّتْنِي رُدُّونِي إِلَى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ وَجَاءَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ حَفْصَةُ وَالنِّسَاءُ تَسِيرُ مَعَهَا فَلَمَّا رَأَيْنَاهَا قُمْنَا فَوَلَجَتْ عَلَيْهِ فَبَكَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً وَاسْتَأْذَنَ الرِّجَالُ فَوَلَجَتْ دَاخِلًا لَهُمْ فَسَمِعْنَا بُكَاءَهَا مِنْ الدَّاخِلِ فَقَالُوا أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ قَالَ مَا أَجِدُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ أَوْ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ فَإِنْ أَصَابَتْ الْإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلَا خِيَانَةٍ وَقَالَ أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا)الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ (أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الْأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الْإِسْلَامِ وَجُبَاةُ الْمَالِ وَغَيْظُ الْعَدُوِّ وَأَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلَّا فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَعْرَابِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الْإِسْلَامِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَيُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَلَا يُكَلَّفُوا إِلَّا طَاقَتَهُمْ فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَتْ أَدْخِلُوهُ فَأُدْخِلَ فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ الرَّهْطُ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْكُمْ فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالْإِسْلَامُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَيَّ وَاللَّهُ عَلَيَّ أَنْ لَا آلُ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالَا نَعَمْ فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَدَمُ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ ثُمَّ خَلَا بِالْآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ فَبَايَعَهُ فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ
Dari ‘Amru bin Maimun berkata; Aku melihat ‘Umar bin Al Khaththab r.a. di Madinah beberapa hari sebelum dia ditikam. Ia berdiri di hadapan Hudzaifah bin Al Yaman dan ‘Utsman bin Hunaif.
1. Pelajaran tentang Pemungutan Pajak
‘Umar bertanya; “Bagaimana yang kalian berdua kerjakan?. Apakah kalian berdua khawatir membebani penduduk Sawad (yang mereka terkena pajak) dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya? Keduanya menjawab; “Kami membebaninya dengan kebijakan yang sesuai kemampuannya, tidak ada kelebihan beban yang besar”. ‘Umar berkata; “Jika Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyelamatkan aku, tentu akan kubiarkan janda-janda penduduk ‘Iraq tidak membutuhkan seorang laki-laki setelah aku untuk selama-lamanya”. Perawi berkata; “Setelah pembicaraan itu, ‘Umar tidak melewati hari-hari kecuali hanya sampai hari ke empat semenjak dia terkena mushibah (tikaman) itu.
2. Pelajaran tentang Meluruskan Shaf Shalat
Perawi (‘Amru) berkata; “Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan dia kecuali ‘Abdullah bin ‘Abbas pada Shubuh hari saat ‘Umar terkena mushibah (ditikam). Shubuh itu, ‘Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf lalu berkata; “Luruskanlah shaf”. Ketika dia sudah tidak melihat lagi pada jama’ah ada celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka ‘Umar maju lalu bertakbir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau an-Nahl atau seperti surat itu pada raka’at pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat.
3. Pelajaran tentang Tindakan Imam Shalat Manakala Berhalangan
Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak; “Ada orang yang membunuhku, atau katanya; “seekor anjing telah menerkamku”, rupanya ada seseorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati orang-orang di sebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikamnya pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai si pembunuh itu. Dan ketika dia menyadari bahwa dia musti tertangkap (tak lagi bisa menghindar), dia bunuh diri. ‘Umar memegang tangan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan ‘Umar pasti dapat melihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berada di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara ‘Umar. Mereka berkata; “Subhaanalah, Subhaanalah (Maha Suci Allah) “. Maka ‘Abdur Rahman melanjutkan shalat jama’ah secara ringan.
4. Pelajaran tentang Menyongsong Kematian dengan Tenang
Setelah shalat selesai, ‘Umar bertanya; “Wahai Ibnu ‘Abbas, lihatlah siapa yang telah membunuhku”. Ibnu ‘Abbas berkeliling sesaat lalu kembali dan berkata; “Budaknya Al-Mughirah”. ‘Umar bertanya; “O, si budak yang pandai membuat pisau itu? Ibnu ‘Abbas menjawab; “Ya benar”. ‘Umar berkata; “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat ma’ruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka bila orang kafir non arab banyak berkeliaran di Madinah. ‘Abbas adalah orang yang paling banyak memiliki budak. Ibnu ‘Abbas berkata; “Jika anda menghendaki, aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan membunuhnya”. ‘Umar berkata; “Kamu berbohong, (sebab mana boleh kalian membunuhnya) padahal mereka telah telanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat menghadap qiblat kalian dan naik haji seperti haji kalian”.
5. Pelajaran tentang Betapa Hidup Sehari-hari Tetap Berjalan Wajar Walaupun terjadi Tragedi Besar
Kemudian ‘Umar dibawa ke rumahnya dan kami ikut menyertainya. Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkena mushibah seperti hari itu sebelumnya. Diantara mereka ada yang berkata; “Dia tidak apa-apa”. Dan ada juga yang berkata; “Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya”. Kemudian ‘Umar disuguhkan anggur lalu dia memakannya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi susu lalu diapun meminumnya lagi namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyadari bahwa ‘Umar segera akan meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu diikuti oleh orang-orang yang datang dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata; “Berbahagialah anda, wahai Amirul Mu’minin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda karena telah hidup dengan mendampingi (menjadi shahabat) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang terdahulu menerima Islam berupa ilmu yang anda ketahui. Lalu anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil lalu anda mati syahid”. ‘Umar berkata; “Aku sudah merasa senang jika masa kekhilafahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan juga tidak mendapat pahala.” Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakaiannya menyentuh tanah, maka ‘Umar berkata; “Bawa kembali pemuda itu kepadaku”. ‘Umar berkata kepadanya; “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu karena yang demikian itu lebih mengawetkan pakaianmu dan lebih membuatmu taqwa kepada Rabbmu.
6. Pelajaran tentang Penuntasan Hutang
Wahai ‘Abdullah bin ‘Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku”. Maka mereka menghitungnya dan mendapatan hasilnya bahwa hutangnya sebesar delapan puluh enam ribu atau sekitar itu. ‘Umar berkata; “Jika harta keluarga ‘Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani ‘Adiy bin Ka’ab. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta kepada selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu.
7. Pelajaran tentang Meminta Ijin kepada Orang yang Berwenang
Temuilah ‘Aisyah, Ummul Mu’minin radliallahu ‘anha, dan sampaikan salam dari ‘Umar dan jangan kalian katakan dari Amirul Muminin karena hari ini bagi kaum mu’minin aku bukan lagi sebagai pemimpin dan katakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab meminta izin untuk dikuburkan di samping kedua shahabatnya”. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar memberi salam, meminta izin lalu masuk menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha. Ternyata ‘Abdullah bin ‘Umar mendapatkan ‘Aisyah radliallahu ‘anha sedang menangis. Lalu dia berkata; “‘Umar bin Al Khathtab menyampaikan salam buat anda dan meminta ijin agar boleh dikuburkan disamping kedua sahabatnya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakr radliallahu ‘anhu) “. ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak akan lebih mementingkan diriku”. Ketika ‘Abdullah bin ‘Umar kembali, dikatakan kepada ‘Umar; “Ini dia, ‘Abdullah bin ‘Umar sudah datang”. Maka ‘Umar berkata; “Angkatlah aku”. Maka seorang laki-laki datang menopangnya. ‘Umar bertanya: “Berita apa yang kamu bawa?”. Ibnu ‘Umar menjawab; “Berita yang anda sukai, wahai Amirul Mu’minin. ‘Aisyah telah mengizinkan anda”. ‘Umar berkata; “Alhamdu lillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku, lalu katakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke kuburan Kaum Muslimin.
8. Pelajaran tentang Adab Menjenguk Orang Sakit dan Menjaga Hijab
Kemudian Hafshah, Ummul Mu’minin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada ‘Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar karena ada orang yang mau masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafshah dari balik kamar.
9. Pelajaran tentang Pergantian Kepemimpinan Atas Dasar Kemuliaan
Orang-orang itu berkata; “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu’minin. Tentukanlah pengganti anda”. ‘Umar berkata; “Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongam mereka yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat beliau ridla kepada mereka. Maka dia menyebut nama ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan ‘Abdur Rahman. Selanjutnya dia berkata; “‘Abdullah bin ‘Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ketangan Sa’ad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja diantara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhiyanat”.
10. Pelajaran tentang Wasiat Kebaikan untuk Masyarakat
Selanjutnya ‘Umar berkata; “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada Kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebih mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada Ahlu Dzimmah (Warga non muslim yang wajib terkena pajak), yaitu orang-orang yang dibawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu dzimmah) yang berniyat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka”.
11. Pelajaran tentang Sikap Ikhlas terhadap Kekuasaan
Ketika ‘Umar sudah menghembuskan nafas, kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. ‘Abdullah bin ‘Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah radliallahu ‘anha) lalu berkata; “‘Umar bin Al Khaththab meminta izin”. ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; “Masukkanlah”. Maka jasad ‘Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya. Setelah selesai menguburkan jenazah ‘Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata; “Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang diantara kalian. Maka Az Zubair berkata; “Aku serahkan urusanku kepada ‘Ali. Sementara Thalhah berkata; “Aku serahkan urusanku kepada ‘Utsman. Sedangkan Sa’ad berkata; “Aku serahkan urusanku kepada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Kemudian ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata; “Siapa diantara kalian berdua yang mau melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya Sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik diantara mereka menurut pandangannya sendiri. Dua pembesar (‘Utsman dan ‘Ali) terdiam. Lalu ‘Abdur Rahman berkata; “Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku. Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik diantara kalian”. Keduanya berkata; “Baiklah”. Maka ‘Abdur Rahman memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata; “Engkau adalah kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada ‘Utsman tentu kamu akan mendengar dan menta’atinya”. Kemudian dia berbicara menyendiri dengan ‘Utsman dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada ‘Ali. Ketika dia mengambil perjanjian bai’at, ‘Abdur Rahman berkata; “Angkatlah tanganmu wahai ‘Utsman”. Maka Abdur Rahman membai’at ‘Utsman lalu ‘Ali ikut membai’atnya kemudian para penduduk masuk untuk membai’at ‘Utsman”. (HR Bukhari 3424)
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar