Senin, 18 Januari 2016

Kedholiman Akan Membawa Penderitaan Dunia Akhirat

Dewasa ini sudah tidak asing lagi ditengah-tengah masyarakat yang kebanyakan adalah orang-orang muslim dengan berbagai cara melakukan perbuatan yang mengarah kepada penganiayaan diri sendiri dan bahkan ada yang sengaja bunuh diri. Dimana semua tingkah polah orang-orang yang berbuat sedemikian sulit untuk diterima oleh akal sehat, apalagi oleh orang-orang yang beriman. Mereka yang melakukan penganiayaan terhadap diri mereka sendiri sebenarnya melakukannya dengan cara sadar namun sebenarnya mereka sangatlah bodoh, karena samasekali tidak ada manfaat yang diperoleh didalamnya kecuali kemudharatan yang mungkin akan dirasakan secara berkepanjangan. Penganiayaan terhadap diri sendiri di dalam syari’at islam dikenal pula dengan sebutan mendzalimi diri sendiri.

Sehingga, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, hakikatnya dia telah menganiaya dirinya, yakni menjatuhkan diri-nya sendiri kepada siksa-Nya. Allah subhana wa ta’ala berfirman:


وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَـكِن ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.(QS. Huud : 101 )

Manusia adalah makhluk yang diberi akal oleh Allah swt, karenanyalah manusia disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Akal manusia digunakan untuk berfikir tentang segala hal yang ada. Termasuk tentang segala tindakan yang akan dilakukannya. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh cara berfikir mereka terhadap apa yang sedang mereka hadapi.

Kebiasaan-kebiasaan dalam bertindak menimbulkan tabiat dalam diri kita. Hal inilah yang akan disebut dengan kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam bertindak buruk ada yang disebut dengan perbuatan zhalim. Zhalim ini ada yang mengartikan dengan tidak menempakan sesuatu pada tempanya, berbuat aniaya termasuk kepada diri sendiri.

Orang yang zalim adalah orang yang melanggar perintah Allah swt, berbuat apa yang bertentangan dengan hati nurani yang suci, berbuat kejam, tidak syukur ni’mat, menyia-nyiakan amanat, menghianati janji, berbuat menang sendiri, korupsi, penyalahgunaan jabatan, berbuat zina, menyekutukan Allah swt. Semua itu termasuk perbuatan zalim. Intinya segala perbuatan yang menerjang nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan disebut perbuatan zalim.


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ ٱلْأَشْهَٰدُ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya : Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka”. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim, (QS. Hud [11] : 18)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنﱠ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Jagalah diri kalian dari perbuatan zalim, karna sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat”.
(Hadits Shahih, Riwayat Ahmad. LihatShahiihul jaami’ no.101)

Hadist ini berisi peringatan dan bahaya perbuatan zalim sekaligus anjuran untuk berbuat adil (lawan dari zalim).

Definisi zalim adalah memposisikan sesuatu bukan pada tempatnya.
Dan perlu diketahui bahwa Islam tidak mengajarkan kezaliman. Akan tetapi Islam mengajarkan keadilan.

Sebagaimana firman Allah  :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl :90)

Bahkan Allah menafikkan sifat zalim pada diriNya dan melarang hambaNya dari hal tersebut. Sebesar-besar zalim adalah perbuatan syirik. Sebagaimana firman Allah :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”(QS. Luqman : 13)

Dan sebesar-besar perbuatan adil adalah mentauhidkan Allah, baik dalam hal Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma wa Sifat.

Disini kita bisa simpulkan bahwa para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah, mereka semua mengajarkan keadilan(yaitu tauhid) bukan kedzaliman (yaitu syirik.)

Dan termasuk larangan adalah berbuat zalim terhadap orang lain. Mungkin -di dunia- si pelaku bisa bebas bebuat zalim karena merasa memiliki kekuatan dan kemampuan.

Namun, di akhirat kelak, kekuasaan dan kekuatan secara mutlak hanya milik Allah semata. Dia-lah yang akan menegakkan keadilan dianatara hamba-hambaNya yang berbuat zalim. Yaitu dengan mengurangi pahala amalannya dan dipindah ke amalan pihak yang dizalimi sebagai balasan atas perbuatannya. Dan bila masih kurang, amalan buruk orang yang dizalimi akan berpindah padanya. Sungguh betapa gelap perasaannya disaat hal itu terjadi. Na’udzubillah min dzalik.

Penyebutan para pelaku dosa sebagai orang yang-orang yang mendzalimi diri mereka sendiri terdapat dalam beberapa ayat, antara lain firman Allah :
-
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.( QS. An Nisaa : 64 )

Selain itu ada pula yang menyebutkan sebagai tidak memberikan hak diri sendiri, seperti berpuasa terus menerus tanpa berbuka, melakukan shalat terus menerus tanpa tidur padahal tubuhnya sudah tidak kuat lagi, dan yang semisalnya.

Dari pengertian dzalim tersebut diatas,maka mendzalimi diri sendiri berarti adalah melakukan suatu perbuatan yang diarahkan pada dirinya sendiri namun perbuatan tersebut bukan pada tempatnya dilakukan. Kedzalimin terhadap diri merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang kejam bahkan bengis, keji dan hina yang menyebab timbulnya kesengsaraan pada diri sendiri. Namun dzalim itu sendiri sebenarnya mempunyai arti kandungan yang luas, tetapi intinya adalah bahwa perbuatan dzalim itu adalah termasuk semua perbuatan yang dilarang oleh syari’at sehingga ia merupakan perbuatan dosa.

Dalam Al-Qur’an ada pula ayat yang menggambarkan tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri yaitu orang yang mempunyai sifat angkuh sebagaimana firman Allah


وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا


Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, ( QS. Al Kahfi: 35 )

Sunnah secara bahasa adalah jalan yang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak akan berubah.

سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلاً (الأحزاب: 62)

“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”. (Al Ahzab: 62)

فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلاً وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلاً (فاطر: 43)

“Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (Fathir: 43)

Disini kita batasi istilah “Sunnatullah” dalam masalah kezaliman. Ahli bahasa mendeskripsikan zalim sebagai “wadl’u syai’ fi ghairi mahallihi” atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Menurut terminologi agama, para ulama’ tafsir menjelaskan makna kata الظلم dalam alquran adalah kema’shiyatan atau kesyirikan. Jadi, setiap orang yang berbuat ma’shiyat pada dasarnya ia telah berbuat kezhaliman. Dan kezhaliman yang paling besar di dunia ini adalah syirik.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13)

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. (Luqman: 13)

Kita melihat, betapa banyak manusia di dunia ini (termasuk sebagian umat islam) dizhalimi terkait dengan perut mereka, semua orang bergerak dan protes. Tetapi menghadapi kezaliman yang besar, yaitu syirik yang diiklankan, syirik menguasai dunia dan pemerintahan, sementara tidak sedikit orang yang hanya diam. Hal ini menunjukkan bahwa sikap sebagian kaum muslimin terhadap kezhaliman yang besar adalah diam.

Kezhaliman yang dilakukan oleh siapapun di dunia ini, pasti dicatat oleh Allah. Tidak ada satupun kezaliman yang dibiarkan oleh Allah Ta’ala. Hal ini dijelaskan Allah Ta’ala dalam surat Ibrahim ayat 42-47.

وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأَبْصَارُ  42} مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لاَ يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”. (Ibrahim: 42-43)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ  

(dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim). 

Menurut al-Raghib, kata al-ghaflah berarti al-sahwu (teledor, lalai). Dijelaskan Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, kata ghafala al-syay`a berarti tarakahu ihmâl[an] min ghayri nisyân (meninggalkan sesuatu karena ceroboh atau teledor, bukan karena lupa). Sedangkan al-zhulm (kezaliman) di sini menurut Abdurrahman al-Sa’di, mencakup seluruh bentuk kezaliman, baik terhadap Tuhannya, dirinya sendiri maupun terhadap sesama manusia.

Ayat ini memberikan penegasan agar kita tidak memiliki anggapan bahwa Allah Ta’ala itu lalai terhadap perbuatan orang-orang zalim. Hal ini bertujuan agar orang tidak meremehkan sebuah kezaliman, baik itu kezaliman yang dilakukan melalui media dan sebagainya. Karena kezaliman adalah haram terhadap siapapun. Allah Azza Wa Jalla tidak pernah berbuat zalim, padahal Ia adalah sang Khaliq, apalagi kita sebagai seorang makhluk. Jadi jangan sampai ada seorang muslim, meskipun terkadang niatnya baik, tetapi yang terjadi adalah sebuah kezaliman dengan lesannya, perbuatannya, keberpihakannya, TVnya, surat kabarnya, ceramahnya dan lain sebagainya. Karena semuanya akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada satu pun yang luput dari catatannya. Semua tindakan dan perbuatan mereka itu akan diberi balasan dengan balasan yang setimpal.

Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kezaliman/kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas ketaatan menyembah Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.

Apa rahasia dibalik itu? Kenapa seolah-olah Allah Ta’ala membiarkan orang-orang yang berbuat zalim tersebut berkuasa berpuluh-puluh tahun, dan seolah-olah apa yang mereka lakukan adalah benar, sementara apa yang dilakukan kaum muslimin terkesan salah. Apa buktinya Allah Ta’ala tidak akan membiarkan orang zalim?

Jawabnya adalah mereka dibiarkan/ditangguhkan balasannya oleh Allah Ta’ala sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Karena Allah Ta’ala tidak lalai atas perbuatan orang zalim, maka balasan atau hukuman itu pasti ditimpakan kepada pelakunya. Hanya saja, pelaksanaan hukuman itu tidak langsung ditimpakan.

Allah Ta’ala berfirman,

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ

“Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui”. (Al-Qalam: 44)

Maksud Istidraj adalah pemberian nikmat Allah kepada manusia yang mana pemberian itu tidak diridhaiNya. Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.

Dari Utbah bin Amir Radhiallahu Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah”.

Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam membaca firman Allah,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (Al-An’am: 44) (HR. Ahmad, Thabrani dalam Al-Kabir)

Kedholiman Sulit Menerima Nasehat Kebenaran

وَأَنذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُواْ رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُواْ أَقْسَمْتُم مِّن قَبْلُ مَا لَكُم مِّن زَوَالٍ

“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa? (Ibrahim: 44)

Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan agar memberi kabar yang menakutkan kepada orang-orang yang zalim, orang-orang musyrik Makkah, yaitu tentang keluhan dan rintihan yang keluar dari mulut mereka ketika adzab menimpa mereka di akhirat nanti sambil memohon: “Wahai Tuhan kami, berilah kepada kami kesempatan yang lain lagi walaupun beberapa saat saja untuk menaati seruan Engkau dan mengikuti ajaran Rasul Engkau dengan mengembalikan kami ke dunia. Jika kesempatan itu benar-benar diberikan kepada kami pasti kami akan mengikuti perintah Engkau dan menghentikan larangan Engkau, kami benar-benar akan memurnikan ketaatan kepada Engkau saja, kami tidak akan memperserikatkan Engkau lagi wahai Tuhan kami.”

Permohonan mereka itu dijawab oleh Allah Ta’ala dengan tegas: “Bukankah kamu semua, hai orang yang zhalim, dahulu semasa hidup di dunia telah bersumpah bahwa jika kamu mati nanti tidak akan dibangkitkan lagi tidak akan dihisab?”

Mereka itu semua dilukiskan dalam firman Allah:

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (Tidak demikian) bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya) sebagai suatu janji yang benar dari Allah akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”. (An Nahl: 38)

Jika kita benar-benar jujur kepada Allah Ta’ala, maka kita akan cepat merespon perintah dan laranganNya.

Tidak Bisa Mengambil Pelajaran Dari Peristiwa-Peristiwa Sebelumnya

وَسَكَنتُمْ فِي مَسَـاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الأَمْثَالَ

“Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. (Ibrahim: 45)

Ayat ini memperingatkan Rasulullah dan orang-orang yang beriman, bahwa mereka pernah tinggal berdiam di negeri orang-orang yang pernah menganiaya diri mereka sendiri dan berbuat kebinasaan di muka bumi, seperti yang pernah dilakukan oleh kaum `Ad dan Tsamud, kaum Luth, Bani Isra’il, Fir’aun, Raja yang berkuasa pada masa nabi Ibrahim dan sebagainya telah jelas adzab yang ditimpakan Allah kepada mereka, bekas-bekas yang terdapat di negeri-negeri itu berdasarkan kisah-kisah yang tersebut dalam Alquran. Demikian pula Allah Ta’ala telah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi kaum Muslimin tentang akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang zalim itu di dunia dan di akhirat kelak. Seandainya kaum Muslimin melakukan tindakan dan perbuatan seperti yang telah dilakukan orang-orang yang zhalim itu, pasti mereka akan ditimpa adzab pula seperti adzab yang telah ditimpakan kepada orang-orang dahulu yang zhalim itu. Karena itu, wahai kaum Muslimin, ambillah pelajaran dari kisah-kisah dan peristiwa orang-orang dahulu itu.

Membuat Makar Dan Tipudaya Terhadap Islam Dan Kaum Muslimin

وَقَدْ مَكَرُواْ مَكْرَهُمْ وَعِندَ اللّهِ مَكْرُهُمْ وَإِن كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ  {46} فَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan”. (Ibrahim: 46)

Allah Ta’ala menerangkan dalam ayat ini bahwa orang-orang kafir Makkah telah membuat rencana jahat besar untuk mematahkan perjuangan kaum Muslimin dan penutup cahaya Islam dan kebenarannya dengan menegakkan kebatilan. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa setiap rencana jahat mereka pasti diketahui Allah, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sedikit pun. Karena Allah menggagalkan setiap usaha mereka, sehingga cita-cita dan tujuan mereka itu tidak akan tercapai. Sebenarnya usaha mereka itu sangat besar sehingga jika rencana itu digunakan untuk menghancur-leburkan gunung yang sangat kokoh pun akan terlaksana. Tetapi segala rencana mereka betapa pun besarnya tidak akan dapat mengalahkan mukjizat Allah, tidak dapat menghapuskan ayat-ayat-Nya dan tidak mampu menghambat perkembangan agama Islam di muka bumi.

Ayat ini mengisyaratkan kemenangan kaum Muslimin dan kehancuran orang-orang musyrik Makkah dalam waktu yang dekat. Dan ayat ini berlaku juga bagi kaum Muslimin pada masa kini, asal saja mereka meningkatkan daya dan usaha mereka, selalu sabar dan tabah menghadapi berbagai penderitaan, cobaan yang ditimpakan oleh rencana jahat orang-orang kafir.

Dan tidak akan bisa (makar mereka itu) betapa pun besarnya (dapat melenyapkan gunung-gunung) pengertiannya ialah makar tersebut dibiarkan dan tidak memberikan mudharat melainkan hanya terhadap diri mereka sendiri. Yang dimaksud dengan pengertian gunung-gunung di sini, menurut suatu pendapat adalah hakiki, yakni gunung yang sesungguhnya, dan menurut pendapat yang lain bermaksud syariat-syariat Islam yang digambarkan seperti gunung-gunung dalam hal ketetapan dan keteguhannya.

Menurut suatu qiraat yang lain “litazuula” ini dibaca “latazuulu”, yakni dengan harakat fatah pada huruf lamnya kemudian akhir fi’ilnya dibaca rafa’, maka berdasarkan qiraat ini berarti huruf in di sini adalah bentuk takhfif atau keringanan daripada huruf inna yang ditasydidkan huruf nunnya, makna yang dimaksud adalah menggambarkan tentang besarnya makar orang-orang kafir itu terhadap diri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Akan tetapi menurut pendapat yang lain dikatakan, yang dimaksud dengan lafal al-makru ialah kekafiran mereka. Makna yang terakhir ini sesuai pula dengan apa yang disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala lainnya, yaitu,

“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu (mendakwa Tuhan mempunyai anak), bumi belah, dan gunung-gunung runtuh”. (Maryam: 90)

Sedangkan pengertian yang pertama sesuai dengan bacaan yang tertera.

Sungguh Allah Ta’ala sekali-kali tidak akan memungkiri janji-Nya sekali pun betapa besarnya rencana jahat orang-orang kafir itu, janganlah dikira bahwa Allah akan menyalahi janji yang telah dibuat-Nya dengan para Rasul. Janji itu ialah Allah pasti menolong Rasul-rasul-Nya dan orang-orang yang beriman besertanya, sehingga mereka memperoleh kemenangan. Demikian pula Allah tidak akan menyalahi tafsirnya di waktu menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan Allah dalam ayat ini ialah janji Allah mengadzab orang-orang kafir di akhirat nanti sebagaimana tersebut di dalam firman Allah Ta’ala dalam ayat sebelumnya:

إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak”. (Ibrahim: 42)

Pada akhir ayat ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia Maha Perkasa dan Maha Keras siksa-Nya; tidak seorang pun yang sanggup menghindarkan diri dari tuntutan-Nya. Dia pasti membalas dan menyiksa orang-orang yang menghalang-halangi Rasul-rasul-Nya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika makar mereka amat mudah digagalkan. Sebab, semua tipudaya itu berada dalam genggaman kekuasaan Allah Ta’ala.

Takhtimah

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam menghendaki agar seluruh manusia dapat memperoleh kebahagian di dunia dan diakhirat. Sehingga seluruh perilaku manusia diarahkan agar memperoleh sebanyak mungkin kebaikan-kebaikan dan manfaat serta menjauhkan segala macam apa saja yang mendatangkan kemudharatan.

Sejalan dengan itu mengingat perbuatan mendzalimi ( menganiaya ) diri sendiri merupakan suatu perbuatan yang sangat merugikan baik secara jasmani maupun secara kejiwaan maka perbuatan tersebut dilarang oleh syari’at.


عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ  ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ   مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ .   يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ    وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .[رواه مسلم]

Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman: Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian berikan kepada-Ku. Wahai hambaku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin di antara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya  sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikaan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah ada yang dicela kecuali dirinya. (Riwayat Muslim)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits

Menegakkan keadilan di antara manusia serta haramnya kezaliman di antara mereka merupakan tujuan dari ajaran Islam yang paling penting.
Wajib bagi setiap orang untuk memudahkan jalan petunjuk dan memintanya kepada Allah ta’ala.
Semua makhluk sangat tergantung kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan terhadap dirinya baik dalam perkara dunia maupun akhirat.
Pentingnya istighfar dari perbuatan dosa dan sesungguhnya Allah ta’ala akan mengampuninya.
Lemahnya makhluk dan ketidakmampuan mereka dalam mendatangkan kecelakaan dan kemanfaatan.
Wajib bagi setiap mu’min untuk bersyukur kepada Allah ta’ala atas ni’mat-Nya dan taufiq-Nya.
Sesungguhnya Allah ta’ala menghitung semua perbuatan seorang hamba dan membalasnya.
Dalam hadits terdapat petunjuk untuk mengevaluasi diri (muhasabah) serta penyesalan atas dosa-dosa.

Termasuk kedalam makna dzalim yaitu orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ


Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka [1155], dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al’Ankabut: 46)

Yang dimaksud dengan "orang-orang yang zalim" ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Selain Al-Qur’an yang membicarakan tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri, beberapa hadits juga menyinggung tentang perbuatan dzalim pada diri sendiri sebagaimana sabda rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam:


سنن أبي داوود ١٣٠٠: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ الثَّقَفِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ الْأَسَدِيِّ عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي وَإِذَا حَدَّثَنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ قَالَ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ
{ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ}
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ


Sunan Abu Daud 1300: Telah menceritakan kepada Kami Musaddad telah menceritakan kepada Kami Abu 'Awanah dari Utsman bin Al Mughirah Ats Tsaqafi dari Ali bin Rabi'ah Al Asadi dari Asma` bin Al Hakam Al Fazari, ia berkata; aku mendengar Ali radliallahu 'anhu berkata; aku adalah seorang laki-laki yang apabila mendengar dari Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam sebuah hadits maka Allah memberiku manfaat dari haditsnya sesuai dengan kehendakNya. Dan apabila ada seseorang diantara para sahabatnya menceritakan kepadaku maka aku memintanya agar bersumpah, apabila ia bersumpah maka aku membenarkannya. Ali berkata; telah menceritakan kepadaku Abu Bakr dan Abu Bakr radliallahu 'anhu telah benar bahwa ia berkata; aku mendengar Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka'at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya." Kemudian beliau membaca ayat ini: "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

Perbuatan dzalim terhadap diri sendiri mengandung makna yang luas, tidak saja hanya terbatas kepada upaya yang dilakukan seseorang untuk menyiksa fisik anggota tubuhnya sendiri tetapi di dalamnya termasuk semua apa saja yang mendatangkan dosa bagi pelakunya.

Kedzaliman yang dilakukan oleh seseorang yang dilakukannya terhadap dirinya sendiri sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak layak dilakukan karena yang bersangkutan telah melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya dan bertentangan dengan rasa keadilan dan hati nuraninya. Sehingga seyogyanya kedzaliman tersebut tidaklah perlu dilakukan mengingat keharamannya.Sedangkan apabila seseorang telah merasa berbuat kedzaliman pada dirinya sendiri maka segeralah bergegas meminta ampun dan bertaubat.

Sesungguhnya perbuatan dzalim itu merupakan perbuatan yang dilaknat Allah, karena perbuatan dzalim kepada diri sendiri itu hanyalah mendatangkan kemudharatan dan tidak akan sedikitpun mendatangkan kemaslahatan. Untuk itu bagi siapa saja yang suka berbuat dzalim pada dirinya sendiri dengan melakukan berbagai perbuatan yang diharamkan oleh syari’at segera menghentikan kebiasaan yang buruk tersebut

Dan termasuk larangan adalah perbuatan zalim seorang hamba terhadap dirinya sendiri yaitu dengan mengerjakan ma’siat dan meninggalkan ketaatan. Dia lebih memilih kesenangan dunia yang sesaat ketimbang nikmat akhirat yang haqiqi nan abadi. Sungguh merugi orang seperti ini.

Dan termasuk larangan adalah perbuatan zhalim seorang hamba terhadap dirinya sendiri yaitu dengan mengerjakan maksiat dan meninggalkan ketaatan. Dia lebih memilih kesenangan dunia yang sesaat ketimbang nikmat akhirat yang hakiki nan abadi. Sungguh merugi orang seperti ini.

Ketahuilah bahwa orang yang berbuat zhalim sudah dihukum oleh Allah di dunia dengan kegelapan yang hakiki. Yaitu kegelapan hati yang membuat hati itu buta, dimana ia melihat perkara yang mungkar menjadi ma’ruf, yang ma’ruf menjadi mungkar, tidak menerima nasehat, tidak bisa mengambil manfaat dari petunjuk Allah & Rasul-Nya.

Oleh karenanya, waspadalah terhadap perbuatan zhalim sekecil apapun, baik yang terkait hak Allah, hak makhluk, atau bahkan terkait dengan diri sendiri. Jangan sampai kegelapan meliputi kehidupan kita.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar