Upaya pelestarian lingkungan hidup sudah cukup lama dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Beberapa hadis yang khusus berbicara tentang lingkungan hidup dapat ditelususri di berbagai kitab hadis walaupun sebenarnya terdapat banyak kesulitan untuk melacaknya. Kesulitan pokok adalah tidak adanya term yang jelas tentang lingkungan, misalnya kata yang secara special tentang lingkungan.
Term lingkungan hanya dapat diperoleh dengan membaca keseluruhan matan hadis, menterjemahkan dan mengambil kesimpulan dan menetapkannya sebagai obyek pembahasan. Pemahaman terhadap hadis-hadis nabi secara komprehensif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman akan menghasilkan ruh semangat dari nilai-nilai yang terkandung dalam hadis tersebut. Tidak terkecuali pada hadis-hadis yang terkait lingkungan hidup.
Secara umum lingkungan hidup dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu lingkungan hidup di daratan dan di lautan. Hasil penelitian para pakar menyebutkan bahwa luas lautan 60-70% dari seluruh luas bumi.Jika perhitungan ini dilihat dengan menggunakan matematika al-Qur’an dalam hal ini jumlah ayat yang menyebutkan kata laut dan jumlah ayat yang menyebutkan kata darat, maka dijumpai bahwa kata “darat” dalam al-Qur’an disebutkan dalam 13 ayat, dan kata “lautan” muncul dalam 32 ayat. Jadi jumlah ayat yang berhubungan dengan darat dan laut sebanyak 45 ayat. Jika jumlah ayat ini dipersentasikan, maka hasilnya adalah: Luas darat = 13/45 x 100 = 28. 88% dan luas laut = 32/45 x 100 = 71. 11%. Jika mengambil angka kasar matematis tentang luas lautan dan daratan, maka dapat dikatan bahwa jika jumlah seluruh permukaan bumi adalah 100% dan 71 % darinya adalah lautan dengn notasi 71(L) dan δ adalah perkiraan kisaran error, maka hasilnya adalah: 71(L) + 28(D) + δ = 100.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka kebutuhan manusia terhadap laut lebih besar daripada kebutuhan mereka terhadap daratan. Oleh sebab itu, maka kewajiban menjaga dan melestarikan ekosistem laut sudah menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan manusia. Dari sini, maka pembahasan ini berusaha menulusuri beberapa hadis dalam hubungannya dengan konservasi laut dan pantai.
Jika hadis-hadis yang dikaji ditinjau dari sisi ikhtilaf fi al-Hadis, maka ada dua kemungkinan, yaitu perbedaan itu disebabkan karena ikhtilaf al-riwayahataukah perbedaan peristiwa (tanawwu’ fi al-Hadis). Jika yang terjadi adalah ikhtilaf al-riwayah, maka penyelesesaiannya dengan metode al-tarjih dan jika perbedaan itu terjadi karena tanawwu’, maka penyelesaiannya dengan metode al-jam’u.
Redaksi Hadis Tentang Konservasi Laut dan Pantai
Terdapat tiga bentuk redaksi hadis Nabi saw yang menyinggung tentang laut dan pantai:
Hadis tentang Pemanfatan Kayu Disekitar Pantai
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِأَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ فَخَرَجَ فِي البَحْرِ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً، فَنَقَرَهَا، فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ، فَرَمَى بِهَا فِي البَحْرِ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، فَإِذَا بِالخَشَبَةِ، فَأَخَذَهَا لِأَهْلِهِ حَطَبًا»
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw: Seseorang dari kalangan Bani Israil meminta kepada seorang Bani Israil lainnya agar menyimpankan untuknya uang sebesar 100 dinar, dia menerima uang tersebut, kemudian keluar ke pantai, tetapi dia tidak menemukan tumpangan, lalu dia mengambil kayu dan melubangunya kemudian memasukkan uang 100 dinar yang telah dititpkan kepadanya, lalu melemparkan kayu tersebut ke laut, tidak lama kemudian orang yang menipkan uangnya tersebut keluar ke panta dan menemukan kayu tersebut, dia pun memungutnya untuk dijadikan kayu bakar oleh keluarganya.
Hadis tentang Halalnya Memakan Ikan Yang Telah Mati Akibat Seretan Ombak Laut
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: غَزَوْنَا جَيْشَ الخَبَطِ، وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا، فَأَلْقَى البَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا لَمْ نَرَ مِثْلَهُ، يُقَالُ لَهُ العَنْبَرُ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ، فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ فَأَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا، يَقُولُ: قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: كُلُوا فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «كُلُوا، رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ» فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ فَأَكَلَهُ.
Dari Ibnu Juraij dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku ‘Amr, dia berkata, dia pernah mendengar Jabir berkata; ‘Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah di angkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan paus yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al-Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda: ‘Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami! Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.’
Hadis tentang Kesucian Air Laut dan Kehalalan Bangkainya
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَال: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُه”.
Dari Abu Haurairah, dia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya.”
Analisis Hadis
Berdasarkan hadis dalam kategori pertama (hadis Abu Hurairah) dapat diketahui bahwa laut selalu dapat menyeret seluruh benda yang terapung di atasnya ke pantai termasuk di dalamnya kayu-kayu mulai yang kecil bahkan sampai yang berbentuk gelondongan berdasarkan sifat utama yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada laut.
Dalam redaksi hadis di atas menunjukkan bahwa kayu yang dilemparkan ke laut merupakan kayu yang dapat dibelah, dilubangi dan dijadikan sebagai bahan bakar rumah tangga, itu menjelaskan bahwa segala hal yang ada disekitar pantai berfungsi sebagai sumber daya milik bersama yang memiliki manfaat ekologis baik bersifat langsung, tidak langsung, atau pilihan maupun bersifat konsumtif maupun non-konsumtif. Wilayah pesisir tergolong sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan berkelanjutan. Dengan telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa erosi dan pencemaran akan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam.
Pemanfaatan sumber daya milik bersama harus mempertimbangkan faktor internalitas lingkungan dan faktor ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud dengan internalitas lingkungan adalah mengambil peran (bertanggungjawab) untuk mengelola dampak lingkungan yang dapat merugikan keselamatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan eksternalitas lingkungan adalah perilaku yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukannya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Prilaku yang ditunjukkan oleh dua orang dari kalangan Bani Israil dalam hadis pertama (riwayat Abu Hurairah) menunjukkan bahwa mereka memanfaatkan suberdaya milik bersama dengan pertimbangan internalitas lingkungan dan ekstrnalitasnya, yaitu dengan cara memanfaatkan kayu yang terhempas oleh ombak ke pantai dan telah terpisah dari akarnya serta telah mengering dan diperkirakan tidak dapat lagi tumbuh.
Sebagaimana diketahui bahwa disekitar wilayah pesisir pantai khususnya terdapat hutan mangrovetermasuk hutan tropika dan subtropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai serta dipengaruhi pasang surut air laut. Ekosistem hutanmangrove secara ekologis memiliki fungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara berbagai macam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan). Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik sebagai habitat pokok maupun habitat sementara, penghasil sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomi, vegetasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku kertas, kayu bakar, arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna.
Perilaku sebagaiman yang ditunjukkan dalam hadis bahwa orang pertama mengambil kayu yang ada disekitar pantai dan memanfatkannya sebagai tempat penyimpanan barang berharga dan membungnya kembali ke laut tanpa menyertakannya dengannya, sedang orang kedua memungut kayu tersebut untuk dimanfaatkan seabagai kayu bakar. Prilaku mereka terhadap kayu yang ada disekitar pantai menjelaskan bahwa kayu yang mereka manfaatkan bersama tersebut bukanlah kayu yang ditebang dengan sengaja, sebagaimana prilaku masyarakat pesisir saat ini.
Dalam hadis lain, Rasulullah saw mengancam para penebang pohon secara liar dengan Neraka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya dia berkata:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُبْشِيٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ» سُئِلَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ: «هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ، يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ، وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا، وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ»
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Usamah dari Ibnu Juraij dari Utsman bin Abu Sulaiman dari Sa’id bin Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.” Abu Dawud pernah ditanya tentang hadits tersebut, lalu ia menjawab, “Secara ringkas, makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa menebang pohon bidara di padang bidara dengan sia-sia dan zhalim; padahal itu adalah tempat untuk berteduh para musafir dan hewan-hewan ternak, maka Allah akan membenamkan kepalanya di neraka.” Telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Khalid dan Salamah -maksudnya Salamah bin Syabib- keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Utsman bin Abu Sulaiman dari seorang laki-laki penduduk Tsaqif dari Urwah bin Az Zubair dan ia memarfu’kannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti hadits tersebut.”
Dalam hadis ini menunjukkan adanya larang menebang pohon bidara secara liar dimanapun pohon tersebut tumbuh, sebab seluruh komponen yang terkandung pada pohon tersebut memiliki manfaat bagi manusia makhluk hidup lainnya. Dari redaksi hadis ini dapat dipahami bahwa menebang pohon yang menjadi sumber daya milik bersama yang memiliki manfaat ekologis baik bersifat langsung, tidak langsung, atau pilihan maupun bersifat konsumtif dan non-konsumtif memiliki dampak negatif bagi kelanjutan habitat baik yang ada di darat maupun dilaut. Demikian pula halnya dengan hutan mangrove yang jika ditebang secara liar, dan membiarkan sisa-sisa penebangan terhampar begitu saja tanpa pemanfaatan yang layak, dan atau membiarkan pepohonan mangrove mati dengan cara meracuninnya dan menggunakan lahannya sebagai lahan perumahan dan selainnya, maka ekosistem dan keberlanjutan kehidupan laut yang menjadikan akar dan lumut dari mangrove sebagai makanan akan punah dan itu akan berdampak pada ancaman kehidupan tidak saja pada hewan-hewan laut tetapi juga pada manusia dan makhluk hidup yang ada didaratan seperti terjadinya abrasi yang dapat mengancam keselamatan banyak jiwa.
Dengan demikian, maka pelestarian tumbuhan laut baik yang tumbuh dalam laut seperti terumbu karang, dan rumput laut, maupun yang tumbuh di pesisir pantai seperti pohon mangrove menjadi kewajiban sebagaimana yang ditunjukkan oleh dua hadis di atas (riwayat Abu Hurairah dan Abdullah bin Hubsyi)
Pada hadis dalam kategori kedua (riwayat Jabir bin ‘Abdullah) menunjukkan bahwa pemnfaatan hasil laut harus dilakukan secara bijak dengan tidak merusak ekosistem hayati yang terdapat dalam laut. Kata fa alqa yang terdapat dalam redaksi hadis di artikan dengan sesuatu yang terhempas keluar, karena kata tersebut di gandengkan dengan kata al-bahru, maka difahami bahwa yang membuat ikan tersebut mati diakibatkan oleh hempasan ombak laut. Oleh sebab itu Nabi saw menyebutnya dengan istilah rizqan akhrajahullah yang berarti karunia dikeluarkan oleh Allah dari laut.
Menurut Fauzi dan Anna, Manfaat konservasi wilayah pesisir yaitu manfaat biogeografi, keaneka-ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturism, dan peningkatan produktivitas perairan.[9] Manfaat konservasi tersebut, mencakup manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat konservasi wilayah pesisir tidak hanya bersifat terukur(tangible), tetapi ada juga yang tidak terukur(intangible). Manfaat yang terukur mencakup manfaat kegunaan baik untuk dikonsumsi maupun tidak. Sedangkan manfaat tidak terukur lebih tertuju pada manfaat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan kata “alqā al-bahrahūtan mayyitan” dan kata “rizqan akhrajahullāhu”, menjelaskan bahwa pada laut terkandung keragaman hayati di antaranya ada yang bersifat konsumtif dan ada yang tidak, segala bentuk hewan laut yang keluar darinya akibat hempasan ombak yang terseret ke pantai dan merupakan bagian spesies hewan yang biasa dikonsumsi oleh manusia yang hidup disekitar pesisir pantai, maka hewan-hewan tersebut harus diangkat dari pesisir pantai dan dikonsumsi, sebab dalam redaksi hadisnya menyebutkan ikan yang terhempas oleh ombak laut dan telah mati dan Rasulullah saw memerintahkan untuk dikonsumsi, bahkan beliau meminta sebahagian darinya untuk beliau konsumsi juga sebagaimana dalam sabdanya:
كُلُوا، رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ
(Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!). Kata “mayyitan” berarti bangkai, itu menunjukkan bahwa seluruh hewan laut yang telah menjadi bangkai halal dikonsumsi dengan merujuk kepada perintah Nabi saw dalam bentuk sabda (perkataan) untuk memakannya, serta pada praktik Nabi saw yang memakan bangkai ikan paus yang merupakan sisa dari apa yang telah dimakan oleh para sahabatnya.
Di sini, perlu ditegaskan, bahwa hadis tentang bolehnya memakan ikan paus bukan berarti bolehnya memburu ikan paus secara liar, kebolehan memakan ikan dengan spesies ini berlaku jika ditemukan paus yang terdampar dan tidak lagi dapat diselamatkan. Sebab, jumlah habitat ikan paus saat ini sudah sangat sedikit.
Dalam redaksi hadis di atas, menunjukkan kepedulian Rasulullah saw atas keberlanjutan ekosistem laut dan pantai agar mata rantai makanan tidak terputus. Pada sisi lain, hadis tersebut mengandung petunjuk bahwa pemeliharaan ekosistem laut dan pantai harus dibarengi dengan kesadaran bahwa laut mengandung keragaman hayati.
Dalam memanfaatkan keragaman hayati laut, maka tidak dibenarkan perburuan hewan laut dengan cara yang zhalim, yaitu melumpuhkan hewan laut dengan cara pengeboman dasar laut yang mengakibatkan matinya tumbuhan laut seperti terumbu karang dan matinya hewan-hewan laut secara sia-sia karena tidak dikonsumsi, hewan-hewan laut yang mati secara sia-sia di lautan akan mudah mencemarkan laut dan menjauhkan hewan laut lainnya dari wilayah tersebut, sebab makanan mereka telah hilang.
Pada hadis kategori ketiga (riwayat Abu Hurairah) menyebutkan bahwa air laut dapat dijadikan sebagai media bersuci dari hadats dan najis dan bangkainya halal untuk dikonsumsi. Kata “wal hillu maitatahu” menujukkan bahwa seluruh bangkai hewan laut dapat dikonsumsi apakah hewan laut tersebut mati dengan sebab atau tanpa sebab.
Secara umum, hadis yang ketiga ini dijelaskan oleh hadis kedua yang menunjukkan bahwa konservasi pesisir pantai tidak dapat dilepaskan dari ekosistem laut, dan semakin dikuatkan lagi oleh hadis pertama yang menunjukkan larangan membunuh dan memusnahkan tumbuhan laut dan daratan secara liar yang berakibat pada pincangnya ekosistem di laut dan daratan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa pernyataan sebagai kesimpulan, yaitu:
Kewajiban melestarikan tumbuhan laut baik yang tumbuh dalam laut seperti terumbu karang, dan rumput laut, maupun yang tumbuh di pesisir pantai seperti pohon mangrove;
Tidak dibenarkannya perburuan hewan laut dengan cara yang zhalim, yaitu melumpuhkan hewan laut dengan cara pengeboman dasar laut yang mengakibatkan matinya tumbuhan laut seperti terumbu karang dan matinya hewan-hewan laut secara sia-sia karena tidak dikonsumsi, hewan-hewan laut yang mati secara sia-sia di lautan akan mudah mencemarkan laut dan menjauhkan hewan laut lainnya dari wilayah tersebut, sebab makanan mereka telah hilang;
Konservasi pesisir pantai tidak dapat dilepaskan dari ekosistem laut dengan tidak membunuh dan memusnahkan tumbuhan laut dan daratan secara liar yang berakibat pada pincangnya ekosistem di laut dan daratan.
Manfaat Laut Bagi Manusia
Kapal yang berada di lautan membawa manfaat bagi manusia karena mereka dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sebagaimana diterangkan dalam ayat,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164).
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الدَّشْتَكِيّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَتَتْ قُرَيْشٌ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ إِنَّمَا نُرِيدُ أَنْ تَدْعُوَ رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا، فَنَشْتَرِيَ بِهِ الْخَيْلَ وَالسِّلَاحَ، فَنُؤْمِنَ بِكَ وَنُقَاتِلَ مَعَكَ. قَالَ: "أَوْثِقُوا لِي لئِنْ دعوتُ رَبِّي فجعلَ لَكُمُ الصَّفَا ذَهَبًا لتُؤْمنُنّ بِي" فَأَوْثَقُوا لَهُ، فَدَعَا رَبَّهُ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ قَدْ أَعْطَاهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِكَ عَذَّبَهُمْ عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ. قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَبِّ لَا بَلْ دَعْنِي وَقَوْمِي فَلَأَدْعُهُمْ يَوْمًا بِيَوْمٍ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ: {إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ} الآية.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakek, dari Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang Quraisy datang kepada Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya kami menginginkan kamu mendoakan kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas buat kami. Untuk itu maka kami akan membeli kuda dan senjata dengannya, dan kami akan beriman kepadamu serta berperang bersamamu." Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian kepadaku, bahwa sekiranya aku berdoa kepada Tuhanku, kemudian Dia menjadikan bagi kalian Bukit Safa emas, kalian benar-benar akan beriman kepadaku." Maka mereka mengadakan perjanjian dengan Nabi Saw. untuk hal tersebut. Lalu Nabi Saw. berdoa kepada Tuhannya, dan datanglah Malaikat Jibril kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya Tuhanmu sanggup menjadikan Bukit Safa emas buat mereka, dengan syarat jika mereka tidak juga beriman kepadamu, maka Allah mengazab mereka dengan siksaan yang belum pernah Dia timpakan kepada seorang pun di antara makhluk-Nya.” Nabi Muhammad Saw. berkata, "Wahai Tuhanku, tidak, lebih baik biarkanlah aku dan kaumku. Aku akan tetap menyeru mereka dari hari ke hari.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya,"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.” (Al-Baqarah: 164), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari jalur lain melalui Ja'far ibnu Abul Mugirah dengan lafaz yang sama. Ia menambahkan di akhirnya:
وَكَيْفَ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الصَّفَا وَهُمْ يَرَوْنَ مِنَ الْآيَاتِ مَا هُوَ أَعْظَمُ مِنَ الصَّفَا.
(Malaikat Jibril berkata), "Mengapa mereka meminta kepadamu Bukit Safa (agar dijadikan emas), padahal mereka melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang lebih besar daripada Bukit Safa itu?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata yang menceritakan bahwa diturunkan ayat berikut kepada Nabi Saw. ketika di Madinah, yaitu firman-Nya: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163) Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah berkata, "Bagaimanakah dapat memenuhi manusia semuanya hanya dengan satu Tuhan?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia —sampai dengan firman-Nya— sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran dan keesaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Dengan demikian, maka mereka mengetahui bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa, dan Dia adalah Tuhan segala sesuatu serta Yang Menciptakan segala sesuatu.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abud Duha, bahwa ketika firman-Nya berikut diturunkan: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Baqarah: 163), hingga akhir ayat. Maka orang-orang musyrik berkata, "Sekiranya demikian, hendaklah dia (Nabi Saw.) mendatangkan kepada kami suatu tanda (bukti)." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang —sampai dengan firman-Nya—kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)
Adam ibnu Iyas meriwayatkan pula dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Sa'id ibnu Masruq (orang tua Sufyan), dari Abud Duha dengan lafaz yang sama.
Halalnya Setiap Hewan di Lautan
Pelajaran yang bisa kita petik lainnya adalah halalnya hewan laut. Semua yang berada di laut termasuk pula yang memiliki nama yang sama dengan hewan di daratan, tetap halal.
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al Maidah: 96).
Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnu Amr dan Abu Ayyub Al-Ansari radiyalTahu 'anhum, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha'i serta Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan taamuhu ialah semua yang ada di dalam laut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Sammak yang mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah kepada orang banyak, antara lain ia membacakan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat untuk kalian. (Al-Maidah: 96) Bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan oleh laut ke darat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah sesuatu dari laut yang tercampakkan ke darat.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ta’amuhu artinya sesuatu dari laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan hidup, atau yang terdampar dalam keadaan telah mati. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', bahwa Abdur Rahman ibnu Abu Hurairah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya laut sering mencampakkan banyak ikan dalam keadaan telah mati, bolehkah kami memakannya?" Ibnu Umar menjawab, "Jangan kalian makan." Ketika Ibnu Umar kembali kepada keluarganya dan mengambil mushaf, lalu membaca surat Al-Maidah hingga sampai pada firman Allah Swt.: dan makanan (yang berasal)dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Maidah: 96) Maka Ibnu Umar berkata, "Pergilah kamu, dan katakan padanya bahwa ia boleh memakannya, karena sesungguhnya apa yang ditanyakannya itu termasuk makanan yang berasal dari laut."
Hal yang sama dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang mati di dalam laut. Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan oleh hadis, sebagian dari mereka ada yang meriwayatkannya secara mauquf.
حَدَّثَنَا هَنَّاد بْنُ السُّرِّي قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ} قَالَ: طَعَامُهُ مَا لَفَظَهُ مَيِّتًا".
Telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian. (Al-Maidah: 96) Lalu Nabi Saw. bersabda: Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang me-mauquf-kan hadis ini hanya sampai pada Abu Hurairah.
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96) Abu Hurairah mengatakan bahwa ta'amuhu ialah binatang laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati.
Firman Allah Swt.:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Maidah: 96)
Yakni sebagai sesuatu yang bermanfaat dan makanan buat kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.
Firman Allah Swt:
{وَلِلسَّيَّارَةِ}
dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Maidah: 96)
Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanannya. Lafaz sayyarah adalah bentuk jamak dari lafaz siyarun. Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang berada di pinggir laut dan dalam perjalanannya.
Orang lain selain Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan saidul bahri ialah hewan laut yang masih segar bagi orang yang menangkapnya langsung dari laut. Sedangkan yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang telah mati atau yang ditangkap dari laut, kemudian diasin yang adakalanya dijadikan sebagai bekal oleh orang-orang yang dalam perjalanannya dan orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari pantai. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, dan lain-lainnya.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil yang menghalalkan bangkai hewan laut dari ayat ini dan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas, dari Ibnu Wahb; dan Ibnu Kaisan dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah orang dalam suatu pasukan dengan misi khusus ke arah pantai. Dan Nabi Saw. mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin mereka. Jumlah mereka kurang lebih tiga ratus orang, dan perawi sendiri (yakni Jabir ibnu Abdullah) termasuk salah seorang dari mereka.
Kami berangkat, dan ketika kami sampai di tengah jalan, semua perbekalan yang kami bawa habis. Maka Abu Ubaidah ibnul Jarrah memerintahkan agar semua perbekalan yang tersisa dari pasukan itu dikumpulkan menjadi satu. Jabir ibnu Abdullah berkata, "Saat itu perbekalanku adalah buah kurma. Sejak itu Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan sedikit demi sedikit, sehingga semua perbekalan habis. Yang kami peroleh dari perbekalan itu hanyalah sebiji kurma. Kami benar-benar merasa kepayahan setelah perbekalan kami habis."
"Tidak lama kemudian sampailah kami di tepi pantai, dan tiba-tiba kami menjumpai seekor ikan paus yang besarnya sama dengan sebuah gundukan tanah yang besar. Maka pasukan itu makan daging ikan paus tersebut selama delapan belas hari. Kemudian Abu Ubaidah memerintahkan agar dua buah tulang iga ikan itu ditegakkan, lalu ia memerintahkan agar seekor unta dilalukan di bawahnya; ternyata unta itu tidak menyentuh kedua tulang iga yang diberdirikan itu (saking besarnya ikan itu)."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain,dan mempunyai banyak jalur bersumber dari Jabir ibnu Abdullah.
Di dalam kitab Sahih Muslim, melalui riwayat Abuz Zubair, dari Jabir disebutkan, "Tiba-tiba di pinggir laut terdapat hewan yang besarnya seperti gundukan tanah yang sangat besar. Lalu kami mendatanginya, ternyata hewan tersebut adalah seekor ikan yang dikenal dengan nama ikan paus 'anbar." Abu Ubaidah mengatakan bahwa hewan ini telah mati. Tetapi akhirnya Abu Ubaidah berkata, "Tidak, kami adalah utusan Rasulullah Saw., sedangkan kalian dalam keadaan darurat. Maka makanlah hewan ini oleh kalian."
Jabir melanjutkan kisahnya, "Kami mengkonsumsi ikan tersebut selama satu bulan, sedangkan jumlah kami seluruhnya ada tiga ratus orang, hingga kami semua gemuk karenanya. Kami mencedok minyak ikan dari kedua mata ikan itu dengan memakai ember besar, dan dari bagian mata itu kami dapat memotong daging sebesar kepala banteng."
Jabir mengatakan bahwa Abu Ubaidah mengambil tiga belas orang lelaki, lalu mendudukkan mereka pada liang kedua mata ikan itu, dan ternyata mereka semuanya muat di dalamnya. Lalu Abu Ubaidah mengambil salah satu dari tulang iga ikan itu dan menegakkannya, kemudian memerintahkan agar melalukan seekor unta yang paling besar yang ada pada kami di bawahnya, dan ternyata unta itu dapat melaluinya dari bawahnya. Kami sempat mengambil bekal daging ikan itu dalam jumlah yang ber-wasaq-wasaq (cukup banyak).
Selanjutnya Jabir berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami menghadap kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut, maka beliau Saw. bersabda:
"هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ، هَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا؟
Ikan itu adalah rezeki yang dikeluarkan oleh Allah bagi kalian, apakah masih ada pada kalian sesuatu dari dagingnya untuk makan kami'?”
Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu kami kirimkan kepada Rasulullah Saw. sebagian darinya, dan beliau Saw. memakannya."
Menurut sebagian riwayat Imam Muslim, mereka menemukan ikan paus ini bersama Nabi Saw. Sedangkan menurut sebagian dari mereka, peristiwa tersebut terjadi di waktu yang lain. Dan menurut yang lainnya, peristiwanya memang satu, tetapi pada mulanya mereka bersama Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. mengirimkan mereka dalam suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul Jarrah, lalu mereka menemukan ikan besar itu, sedangkan mereka berada dalam pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah.
وَقَالَ مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيم، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمة -مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ: أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ-وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ-أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلّ مَيْتَتُهُ".
Malik telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Salim, dari Sa'id ibnu Salamah, dari kalangan keluarga Ibnul Azraq, bahwa Al-Mugirah ibnu Abu Burdah dari kalangan Bani Abdud Dar pernah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa memakai jalan laut, dan kami hanya membawa persediaan air tawar yang sedikit. Jika kami pakai untuk wudu, niscaya kami nanti akan kehausan. Maka bolehkah kami berwudu dengan memakai air laut?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh kedua orang imam —yaitu Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal— serta empat orang pemilik kitab Sunan,dan dinilai sahih oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban serta lain-lainnya. Dan telah diriwayatkan hal yang semisal dari sejumlah sahabat Nabi Saw., dari Nabi Saw.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah;
حَدَّثَنَا أَبُو المُهَزّم -هُوَ يَزِيدُ بْنُ سُفْيَانَ-سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجٍّ -أَوْ عُمْرَةٍ-فَاسْتَقْبَلْنَا رِجْل جَراد، فَجَعَلْنَا نَضْرِبُهُنَّ بِعِصِيِّنَا وَسِيَاطِنَا فَنَقْتُلُهُنَّ، فَأُسْقِطَ فِي أَيْدِينَا، فَقُلْنَا: مَا نَصْنَعُ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ؟ فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "لَا بَأْسَ بِصَيْدِ الْبَحْرِ"
telah menceritakan kepada kami Abul Mihzam (yaitu Yazid ibnu Sufyan), bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadis berikut: Ketika kami (para sahabat) sedang bersama Rasulullah Saw. dalam ibadah haji atau umrah, maka kami berpapasan dengan iring-iringan sejumlah besar belalang. Maka kami memukuli belalang-belalang itu dengan tongkat dan cambuk kami, hingga belalang-belalang itu mati berguguran dan jatuh ke tangan kami. Lalu kami berkata, "Apakah yang akan kita lakukan, sedangkan kita sedang melakukan ihram?" Maka kami bertanya kepada Rasulullah Saw., dan beliau Saw. menjawab, "Tidak mengapa dengan (membunuh) binatang buruan laut."
Tetapi Abul Mihzam orangnya daif.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الحَمَّال، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُلاثة، عَنْ مُوسَى بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا عَلَى الْجَرَادِ قَالَ: "اللَّهُمَّ أهْلك كِبَارَهُ، وَاقْتُلْ صِغَارَهُ، وأفسدْ بَيْضَهُ، وَاقْطَعْ دَابِرَهُ، وَخُذْ بِأَفْوَاهِهِ عَنْ مَعَايِشِنَا وَأَرْزَاقِنَا، إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ". فَقَالَ خَالِدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَدْعُو عَلَى جُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِ اللَّهِ بِقَطْعِ دَابِرِهِ؟ فَقَالَ: "إِنَّ الْجَرَادَ نَثْرَة الْحُوتِ فِي الْبَحْرِ". قَالَ هَاشِمٌ: قَالَ زِيَادٌ: فَحَدَّثَنِي مَنْ رَأَى الْحُوتَ يَنْثُرُهُ.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah Al-Jamal, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah, dari Allasah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jabir dan Anas ibnu Malik, bahwa Nabi Saw. apabila mendoakan kebinasaan belalang mengucapkan seperti berikut:Ya Allah, hancurkanlah yang besarnya, bunuhlah yang kecilnya, rusaklah telurnya, dan binasakanlah sampai ke akar-akarnya, dan cekallah mulutnya jauh dari penghidupan dan rezeki kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa(Maha Memperkenankan doa). Lalu Khalid bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau mendoakan kebinasaan sampai ke akar-akarnya bagi salah satu dari balatentara Allah?" Nabi Saw. menjawab: Sesungguhnya belalang itu dikeluarkan oleh ikan paus dari hidungnya di laut. Hasyim mengatakan, "Ziyad telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seseorang yang pernah melihat ikan paus menyebarkannya."
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah secaramunfarid.
Imam Syafii telah meriwayatkan dari Sa'id, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengingkari orang yang berburu belalang di tanah suci.
Ayat ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama fiqih yang berpendapat bahwa semua hewan laut boleh dimakan dan tiada sesuatu pun darinya yang dikecualikan. Dalam asar terdahulu yang bersumber dari Abu Bakar As-Siddiq dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah semua hewan yang hidup di laut. Dan ada sebagian dari mereka yang mengecualikan katak, tetapi selainnya diperbolehkan, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui riwayat Ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id ibnu Khalid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Abdur Rahman ibnu Usman At-Taimi:
"نهى عن قتل الضفدع".
Bahwa Rasulullah Saw. melarang membunuh katak.
Menurut riwayat Imam Nasai, melalui Abdullah ibnu Amr, disebutkan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الضِّفْدِعِ، وَقَالَ: نَقِيقُها تَسْبِيحٌ.
Rasulullah Saw. telah melarang membunuh katak. Dan beliau Saw. mengatakan bahwa suara katak adalah tasbih (nya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa hewan buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, sedangkan yang tidak boleh dimakan ialah katak (laut).
Mereka berselisih pendapat mengenai selain keduanya. Menurut suatu pendapat, selain dari itu boleh dimakan; dan menurut pendapat lain, tidak boleh dimakan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa hewan yang semisal dari hewan darat dapat dimakan, maka hewan yang semisal dari hewan laut dapat dimakan pula. Dan hewan yang semisal dari hewan laut tidak dapat dimakan, maka hewan yang semisal dari hewan darat tidak dapat dimakan, maka hewan yang semisal hewan laut tidak dapat dimakan pula. Semua pendapat yang telah disebutkan di atas merupakan keanekaragaman pendapat yang ada di dalam mazhab Imam Syafii rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, hewan laut yang mati di laut tidak boleh dimakan, sebagaimana tidak boleh dimakan hewan (darat) yang mati di darat, karena berdasarkan keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ}
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai. (Al-Maidah: 3)
Dan telah disebutkan di dalam sebuah hadis hal yang semakna dengan pengertian ayat ini.
فَقَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي -هُوَ ابْنُ قَانِعٍ-حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى بْنِ أَبِي عُثْمَانَ قَالَا حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ زَيْدٍ الطَّحَّانُ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِياث، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا صِدْتُموه وَهُوَ حَيٌّ فَمَاتَ فَكُلُوهُ، وَمَا أَلْقَى الْبَحْرُ مَيِّتًا طَافِيًا فَلَا تَأْكُلُوهُ".
Untuk itu, Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi (yaitu Ibnu Qani'). telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi dan Abdullah ibnu Musa ibnu Abu Usman; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Yazid At-Tahhan, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Ibnu Abu Zi-b, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Hewan yang kalian buru dalam keadaan hidup, lalu mati(dibunuh oleh kalian), maka makanlah hewan itu; dan hewan yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati terapung, janganlah kalian memakannya.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Ismail ibnu Umayyah dan Yahya ibnu Abu Anisah, dari Abuz Zubair, dari Jabir dengan lafaz yang sama, tetapi hadisnya berpredikat munkar.
Jumhur ulama dari kalangan murid-murid Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpegang kepada hadis ikan paus yang telah disebutkan sebelum ini, juga kepada hadis lainnya yang mengatakan:
"هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ"،
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.
Yang telah diketengahkan pula sebelum ini.
وَرَوَى الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الشَّافِعِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أحِلَّت لَنَا ميتتان ودَمَان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ".
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu ialah ikan dan belalang, dan dua jenis darah itu ialah hati dan limpa.
Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi telah meriwayatkannya pula. Hadis ini mempunyai banyak syawahid (bukti-bukti) yang menguatkannya. Dan hadis ini telah diriwayatkan pula secara mauquf.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3314).
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Seluruh hewan air yaitu yang tidak hidup kecuali di air adalah halal. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Ulama-ulama tersebut mengatakan bahwa bangkai dari hewan air adalah halal.”
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan,
حيوان البحر إذا خرج منه ما لا يعيش إلا عيش المذبوح كالسمك بأنواعه فهو حلال، ولا حاجة إلى ذبحه، وسواء مات بسبب ظاهر كصدمة، أو ضرب الصياد أو غيره أو مات حتف أنفه، وأما ما ليس على صورة السموك المشهورة ففيه ثلاث مقالات: أصحها الحل
“Jika ada hewan di laut yang tidak bisa hidup kecuali di air seperti ikan dan semacamnya, maka hukumnya halal. Tidak diharuskan menyembelih hewan air tersebut. Boleh jadi matinya karena benturan atau mati begitu saja tanpa disembelih, tetaplah halal. Adapun hewan air yang bukan berbentuk ikan, para ulama Syafi’iyah berselisih pendapat. Namun pendapat yang lebih tepat, selama hewan tersebut adalah hewan air, maka halal.”
Perbandingan Lautan dengan Kalimat Allah
Lihatlah bagaimana lautan dijadikan bahan i’tibar (pelajaran) untuk merenungkan kalimat Allah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi: 109).
Dalam ayat lainnya disebutkan,
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27).
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya semua pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena dan lautannya dijadikan tintanya, lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan melakukan anu dan sesungguhnya Aku akan melakukan anu," niscaya habislah lautan itu dan patahlah semua penanya.
Qatadah mengatakan bahwa orang-orang musyrik pernah mengatakan, "Sesungguhnya kalam Allah ini pasti akan ada habisnya dalam waktu dekat." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena.(Luqman: 27) Yakni sekiranya pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena dan tintanya adalah lautannya ditambah dengan tujuh lautan lagi yang semisal, niscaya tidak akan habis-habisnya keajaiban Tuhanku, hikmah-hikmah-Nya, ciptaan-Nya, dan ilmu-Nya.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya perumpamaan ilmu para hamba semuanya di dalam ilmu Allah, sama dengan setetes air bila dibandingkan dengan semua lautan. Allah Swt. telah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan hal ini, yaitu: Katakanlah, "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku.”(Al-Kahfi: 109) Bahwa seandainya semua lautan yang ada menjadi tintanya untuk menulis kalimat-kalimat Allah, dan semua pepohonan yang ada menjadi penanya, tentulah semua pena patah dan lautan itu menjadi kering; sedangkan kalimat-kalimat Allah masih tetap utuh, tiada yang dapat menghabiskannya. Karena sesungguhnya seseorang tidaklah mampu memberikan penghormatan kepada-Nya dengan penghormatan yang semestinya, dan tiada seorang pun yang dapat memuji-Nya dengan pujian Allah terhadap diri-Nya sendiri. Sesungguhnya Tuhan kita adalah seperti apa yang dikatakan-Nya, tetapi di atas segala sesuatu yang kita katakan. Sesungguhnya perumpamaan kenikmatan dunia dari awal hingga akhir di dalam nikmat ukhrawi sama dengan perumpamaan sebiji sawi di dalam besarnya dunia ini secara keseluruhan.
Yakni seandainya laut dijadikan sebagai tinta untuk mencatat kalimah-kalimah Allah dan semua pepohonan dijadikan sebagai penanya, niscaya semua pena itu akan patah dan semua air laut kering kehabisan; sedangkan kalimah-kalimah Allah masih tetap utuh, tiada sesuatu pun yang dapat membatasinya. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mampu memperkirakan batasannya dan tiada seorang pun yang dapat memuji-Nya sesuai dengan apa yang selayaknya bagi Dia, melainkan hanya Dia sendirilah yang mengetahui pujian itu sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Sesungguhnya pujian Tuhan kami adalah seperti apa yang difirmankan-Nya, dan berada di luar jangkauan apa yang kita katakan.
Menurut suatu riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan bantahan terhadap orang-orang Yahudi.
قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُحَمَّدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَوْ عِكْرِمَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ أَحْبَارَ يَهُودَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ: يَا مُحَمَّدُ، أَرَأَيْتَ قَوْلَكَ: {وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ العِلْمِ إِلا قَلِيلا} ؟ [الْإِسْرَاءِ: 85] ، إِيَّانَا تُرِيدُ أَمْ قَوْمَكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَلَّا". فَقَالُوا: أَلَسْتَ تَتْلُو فِيمَا جَاءَكَ أَنَّا قَدْ أُوتِينَا التَّوْرَاةَ فِيهَا تِبْيَانٌ لِكُلِّ شَيْءٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا فِي عِلْمِ اللَّهِ قَلِيلٌ، وَعِنْدَكُمْ مِنْ ذَلِكَ مَا يَكْفِيكُمْ"
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa para pendeta Yahudi berkata kepada Rasulullah Saw. di Madinah, "Hai Muhammad, bagaimanakah pendapatmu tentang ucapanmu:'dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit' (Al-Isra: 85) Apakah engkau bermaksud kami ataukah kaummu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua-duanya." Mereka berkata, "Bukankah kamu sering membaca apa yang diturunkan kepadamu menyatakan bahwa sesungguhnya kami telah diberi kitab Taurat yang di dalamnya terdapat penjelasan segala sesuatu?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya kitab Taurat itu menurut ilmu Allah adalah sedikit, dan bagi kalian dari isi kitab Taurat itu terdapat apa yang menjadi kecukupan bagi kalian.
Allah menurunkan pula firman-Nya sehubungan dengan pertanyaan mereka itu, antara lain ialah firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena. (Luqman: 27), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah dan Ata ibnu Yasar. Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, bukan Makkiyyah. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, ayat ini adalah Makkiyyah. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda