Kerajaan Saba dan Ratu Sheba (Ratu Bilqis) adalah kisah yang satu sama lainnya tak dapat dipisahkan. Ratu Bilqis- seorang wanita eksotis dan misterius kekuasaan - diabadikan dalam karya-karya besar agama dunia, di antaranya Alkitab Ibrani dan Muslim Alquran. Dia juga muncul dalam lukisan Turki dan Persia, dalam risalah Kabbalistik, dan dalam karya-karya mistik abad pertengahan Kristen, di mana ia dipandang sebagai perwujudan Kebijaksanaan Ilahi dan peramal dari kultus Salib Suci.
Di Afrika dan Saudi Arabia, kisahnya masih hadir sampai hari ini dan, memang, kisahnya telah diceritakan di banyak negeri selama hampir 3.000 tahun.
Hollywood, juga telah merilis versi sendiri epik kisah Solomon dan Sheba dari tahun 1959. Sumber dan sejarah legenda sulit dipahami. Tidak ada pahlawan populer lainnya yang begitu terkenal tapi sekaligus begitu membingungkan. Mencoba untuk memastikan siapa Ratu Bilqis, dimana kerajaan Saba dan pertanyaan lainnya segera muncul datang bertubi-tubi. Mengapa, jika begitu sedikit yang diketahui tentang Saba dan Bilqis, sosoknya telah mewujud menjadi tokoh penting? Kisah Sulaiman dan Ratu Sheba bahkan diikuti mitos sekaligus semangat pendirian negara modern Israel dan Ethiopia.
Legenda Yahudi
Di antara semua kisah yang terkenal di dunia, seperti kisah yang ada di Celtic, Yunani dan India, orang-orang Yahudi telah meninggalkan salah satu warisan terbesar. Kisah Alkitab ditulis pada akhir Zaman Besi hingga periode Persia dan Yunani (600-200 SM). Mereka telah terbukti luar biasa ulet dan abadi serta dampaknya yang luar biasa terhadap sejarah peradaban dunia. Terutama karena pentingnya mereka untuk tiga agama monoteistik. Adanya kisah pertama tentang Ratu Sheba (Ratu Bilqis) ketika melakukan kunjungan ke Raja Salomo (Sulaiman AS) adalah narasi singkat dalam Perjanjian Lama. Berikut tentang kisah kunjungan Ratu Sheba:
10:1 Ketika ratu negeri Sheba mendengar kabar tentang Salomo, berhubung dengan nama TUHAN, maka datanglah ia hendak mengujinya dengan teka-teki. 10:2 Ia datang ke Yerusalem dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dengan unta-unta yang membawa rempah-rempah, sangat banyak emas dan batu permata yang mahal-mahal. Setelah ia sampai kepada Salomo, dikatakannyalah segala yang ada dalam hatinya kepadanya. 10:3 Dan Salomo menjawab segala pertanyaan ratu itu; bagi raja tidak ada yang tersembunyi, yang tidak dapat dijawabnya untuk ratu itu. 10:4 Ketika ratu negeri Syeba melihat segala hikmat Salomo dan rumah yang telah didirikannya, 10:5 makanan di mejanya, cara duduk pegawai-pegawainya, cara pelayan-pelayannya melayani dan berpakaian, minumannya dan korban bakaran yang biasa dipersembahkannya di rumah TUHAN, maka tercenganglah ratu itu. 10:6 Dan ia berkata kepada raja: "Benar juga kabar yang kudengar di negeriku tentang engkau dan tentang hikmatmu, 10:7 tetapi aku tidak percaya perkataan-perkataan itu sampai aku datang dan melihatnya dengan mataku sendiri; sungguh setengahnyapun belum diberitahukan kepadaku; dalam hal hikmat dan kemakmuran, u engkau melebihi kabar yang kudengar. 10:8 Berbahagialah para isterimu, berbahagialah para pegawaimu ini yang selalu melayani engkau dan menyaksikan hikmatmu! 10:9 Terpujilah TUHAN, Allahmu, yang telah berkenan kepadamu sedemikian, hingga Ia mendudukkan engkau di atas takhta kerajaan Israel! Karena TUHAN mengasihi orang Israel untuk selama-lamanya, maka Ia telah mengangkat engkau menjadi raja untuk melakukan keadilan y dan kebenaran." 10:10 Lalu diberikannyalah kepada raja seratus dua puluh talenta emas, dan sangat banyak rempah-rempah dan batu permata yang mahal-mahal; tidak pernah datang lagi begitu banyak rempah-rempah seperti yang diberikan ratu negeri Sheba kepada raja Salomo itu. 10:11 Lagipula kapal-kapal Hiram, yang mengangkut emas dari Ofir, membawa dari Ofir sangat banyak kayu cendana dan batu permata yang mahal-mahal. 10:12 Raja mengerjakan kayu cendana itu menjadi langkan untuk rumah TUHAN dan untuk istana raja, dan juga menjadi kecapi dan gambus untuk para penyanyi; kayu cendana seperti itu tidak datang dan tidak kelihatan lagi sampai hari ini. 10:13 Raja Salomo memberikan kepada ratu negeri Sheba segala yang dikehendakinya dan yang dimintanya, selain apa yang telah diberikannya kepadanya sebagaimana layak bagi raja Salomo. Lalu ratu itu berangkat pulang ke negerinya bersama-sama dengan pegawai-pegawainya.(I Raja-raja 10: 1-13)
Ini adalah kisah yang sejauh ini telah terbukti tidak mungkin untukdiverifikasi. Tapi kisah dalam Alkitab itu memberikan kita cukup petunjuk dan sangat menggoda menelusurinya meskipun banyak dilingkupi misteri. Informasi mengenai 'batu mulia', 'bumbu' dan 'dupa' bahwa ratu dibawa sebagai hadiah dari tanah airnya. Negeri Saba harus menunjukkan negara yang kaya permata dan pohon kemenyan. Hanya beberapa negara dapat membanggakan atribut ini - negara seperti Somalia dan Ethiopia di Tanduk Afrika, dan Oman dan Yaman di Semenanjung Arab selatan. Jadi bisa tanah Sheba telah menjadi salah satu dari mereka? Dan bagaimana dengan nama sendiri? Apa buktinya untuk negeri yang disebut Saba?
Menelusuri Petunjuk
Sebenarnya ada beberapa orang yang disebut kaum Saba dalam Alkitab, satu adalah keturunan anak Nuh Sem, dan lain anaknya Ham. Tetapi juga disebut-sebaut bahwa Saba hanya sebagai nama tempat. Kitab Yehezkiel (27 v.22-24) mengatakan bahwa pedagang perdagangan dengan Tirus datang dari Saba dan Raema, dan mereka membawa rempah-rempah, batu mulia dan emas - barang yang sama persis yang Ratu Sheba/Bilqis bawa bersamanya saat ia datang mengunjungi Salomo/Sulaiman di Yerusalem.
Tuhan memberikan kemampuan luar biasa pada Sulaiman untuk berkomunikasi dengan burung Hud hud dan satu hari melihat bahwa Hud hud hilang. Ketika burung Hud hud kembali, dia menjelaskan bahwa dia telah bepergian ke negeri asing, yang dikenal sebagai Saba, yang diperintah oleh seorang ratu yang sangat kaya dan duduk di singgasana emas dan perak. Sulaiman kemudian mengundang ratu untuk mengunjunginya. Setibanya ia masuk istana, Sebelumnya Sulaiman telah telah membuat dinding dan lantai bangunan yang terbuat dari kaca, dan seperti ada air mengalir di lantai. Ratu Saba/Bilqis mengangkat roknya untuk berjalan di atas air dan tersingkaplah kakinya, yang ditutupi dengan rambut, seperti kambing.
Saba yang dibangun di selatan jazirah Arab pada abad ke-11 sebelum masehi, adalah sebuah peradaban besar. Al Qur’an memaparkan kisah Ratu Saba dan Nabi Sulaiman secara amat rinci. Namun, terdapat kisah lain dalam Al Qur’an tentang kaum ini, yakni perihal kehancuran dahsyat mereka.
Naskah tertua yang menyatakan keberadaan Kaum Saba adalah catatan tahunan peperangan dari zaman raja Assyria, Sargon II. Menurut prasasti ini, Sargon menyebut Saba sebagai salah satu negeri yang membayar upeti padanya. Ini adalah catatan tertua yang secara pasti memberitakan adanya negeri Saba. Catatan kuno yang memberitakan kaum Saba menyatakan bahwa, sama halnya dengan bangsa Phunisia, mereka adalah negeri yang melakukan kegiatan perniagaan, dan sejumlah jalur perdagangan terpenting di utara Arab ada dalam kekuasaan mereka. Penduduk Saba terkenal dalam sejarah sebagai bangsa berperadaban. Prasasti dari para penguasa Saba seringkali berbicara tentang "perbaikan", "pembiayaan", "pembangunan".
Bendungan Ma'rib, yang reruntuhannya masih tersisa hingga kini, adalah bukti penting kemajuan teknologi kaum Saba. Berkat bendungan ini, sebuah negeri hijau terhampar di tengah gurun pasir. Ibukotanya, Ma'rib, diuntungkan oleh bendungan ini, dan menjadi makmur karena berbagai keuntungan geografisnya. Kota ini terletak dekat sungai Adhanah. Kaum Saba memanfaatkan letak ini dengan mendirikan bendungan seiring dengan pembangunan peradaban mereka, dan mulai mengairi wilayah tersebut. Pertanian menjadi makmur dan mereka pun menikmati kesejahteraan hidup yang tinggi.
Dalam hadis Farwah bin Musaik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang Saba’? Apakah Saba’ itu? Apakah ia adalah nama sebuah tempat ataukah nama dari seorang wanita?” Beliau pun menjawab,
لَيْسَ بِأَرْضٍ وَلَا امْرَأَةٍ وَلَكِنَّهُ رَجُلٌ وَلَدَ عَشْرَةً مِنَ العَرَبِ، فَتَيَامَنَ سِتَّةٌ وَتَشَاءَمَ أَرْبَعَةٌ
“Dia bukanlah nama suatu tempat dan bukan pula nama wanita, tetapi ia adalah seorang laki-laki yang memiliki sepeluh orang anak dari bangsa Arab. Enam orang dari anak-anaknya menempati wilayah Yaman dan empat orang menempati wilayah Syam.” (HR. Abu Dawud, no. 3988 dan Tirmidzi, no. 3222).
Dalam riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ada tambahan nama-nama dari anak Saba, “Adapun yang menempati wilayah Yaman, mereka adalah: Madzhij, Kindah, al-Azd, al-Asy’ariyun, Anmar, dan Himyar. Dan yang menempati wilayah Syam adalah Lakhm, Judzam, Amilah, dan Ghassan (HR. Ahmad, no. 2898).
Para sejarawan juga mencatat bahwa nama asli dari Saba’ adalah Abdu asy-Syams. Dan sebagaimana kita ketahui, nama-nama kabilah Arab terambil dari nama anak-anak Saba’.
Awalnya kerajaan Saba’ dikenal dengan dengan Dinasti Mu’iinah sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai Mukrib Saba’. Ibu kotanya Sharwah, yang puing-puingnya terletak 50 km ke arah barat laut dari kota Ma’rib. Pada periode inilah bendungan Ma’rib mulai dibangun. Periode ini antara tahun 1300 SM hingga 620 SM. Pada periode berikutnya, antara tahun 620 SM – 115 SM, barulah mereka dikenal dengan nama Saba’. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibu kotanya.
LETAK GEOGRAFI
Dahulu, secara garis besar wilayah Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian, bagian Utara dan bagian Selatan. Arab bagian Selatan lebih maju dibandingkan Arab bagian Utara. Masyarakat Arab bagian Selatan adalah masyarakat yang dinamis dan memiliki peradaban, mereka telah mengenal kontak dengan dunia internasional karena pelabuhan mereka terbuka bagi pedagang-pedagang asing yang hendak berniaga ke sana. Sementara orang-orang Arab Utara adalah mereka yang terbiasa dengan kerasnya kehidupan padang pasir, mereka kaku dan lugu karena kurangnya kontak dengan dunia luar. Tentu saja geografi kerajaan Saba’ sangat mempengaruhi bagi kemajuan peradaban mereka.
KEHEBATAN KAUM SABA’
Kerajaan Saba’ juga terkenal dengan kekuatan bala-tentaranya, sehingga dapat mengalahkan banyak kerajaan lain di sekitarnya. Allâh Azza wa Jalla mengabadikan kisah Ratu Bilqis ketika dia menanyakan bagaimana pendapat pejabat-pejabat di sekitarnya tentang ancaman yang datang dari Nabi Sulaiman Alaihissallam :
قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ
Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” [an-Naml/27:33]
Pada tahun 24 SM tentara kerajaan Saba’ berhasil menaklukkan tentara Markus Ilyus Galus dari kerajaan Romawi, yang pada saat itu dunia mengenalnya dengan kekuatan bala-tentara yang tidak ada tandingannya.
Negara Saba memiliki tentara yang paling kuat di kawasan tersebut. Negara mampu melakukan politik ekspansi (meluaskan wilayah) berkat angkatan bersenjatanya. Negra Saba telah menaklukkan wilayah-wilayah dari negara Qataban Lama yang memiliki tanah yang luas di benua Afrika. Selama abad 24 SM dalam ekspedisi ke Magrib, angkatan bersenjata Saba mengalahkan dengan telak angkatan bersenjata Marcus Aelius Gallus, seorang Gubernur di Mesir dari Kekaisaran Romawi yang sesungguhnya merupakan negara yang terkuat pada saat itu.
Saba dapatlah digambarkan sebagai sebuah negara yang menerapkan kebijakan yang moderat, namun mereka tidak akan ragu-ragu untuk menggunakan kekuatan bersenjata jika memang diperlukan. Dengan keunggulan kebudayaan dan militer, negara Saba merupakan salah satu "super power" di daerah tersebut kala itu.
Kekuatan angkatan bersenjata Saba yang sangat hebat juga disebutkan di dalam Al Qur'an. Sebuah ungkapan dari komandan tentara Saba yang diceritakan dalam Al Qur'an menunjukkan rasa prcayadiri yang sangat besar yang dimiliki oleh tentara Saba. Sang Komandan berkata kepada sang ratu penguasa Saba :
قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ
"Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuaan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat ( dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan". ( QS an Naml 33).
KEMAKMURAN KAUM SABA’
Kerajaan ini terkenal dengan hasil alamnya sehingga banyak orang yang berhijrah dan berdagang ke sana. Dengan demikian, kerajaan ini bisa menjadi kerajaan yang sangat kaya dan makmur pada saat itu. Allâh Azza wa Jalla mengabadikan keadaan mereka di dalam al-Qur’ân:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allâh) di tempat kediaman mereka, yaitu: dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri [Saba’/34:15]
KEMAKMURAN KAUM SABA’
Kerajaan Saba’ terkenal dengan hasil alamnya yang melimpah, orang-orang pun banyak berhijrah dan bermitra dengan mereka. Perekonomian mereka begitu menggeliat hidup dan sangat dinamis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman mengabarkan tentang kemakmuran kaum Saba’
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun, di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS. Saba’: 15)
Kedua kebun tersebut sangat luas dan diapit oleh dua gunung di wilayah Ma’rib. Tanahnya pun sangat subur, menghasilkan berbagai macam buah dan sayuran. Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid rahimahumallahmengisahkan, apabila ada seseorang yang masuk ke dalam kebun tersebut dengan membawa keranjang di atas kepalanya, ketika keluar dari kebun itu keranjang tersebut akan penuh dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah tersebut. Abdurrahman bin Zaid menambahkan, di sana tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kalajengking, dan ular (Tafsir ath-Thabari, 20: 376-377).
Menurut al-Qusyairi, penyebutan dua kebun tersebut tidak berarti bahwa di Saba’ kala itu hanya terdapat dua kebun itu saja, tapi maksud dari dua kebun itu adalah kebun-kebun yang berada di sebelah kanan dan kiri lembah atau dianatara gunung tersebut. Kebun-kebun di Ma’rib saat itu sangat banyak dan memiliki tanaman yang bervariasi (Fathul Qadir, 4: 422).
Yang membuat tanah di Ma’rib menjadi subur adalah bendungan Ma’rib atau juga dikenal dengan nama bendungan ‘Arim, bendungan yang panjangnya 620m, lebar 60m, dan tinggi 16m ini mendistribusikan airnya ke ladang-ladang penduduk dan juga menjadi sumber air di wilayah Ma’rib.
Literatur sejarah menyebutkan bahwa yang membangun bendungan ini adalah Raja Saba’ bin Yasyjub sedangkan buku-buku tafsir mencatumkan nama Ratu Bilqis sebagai pemrakarsa dibangunnya bendungan ini. Ratu Bilqis berinisiatif mendirikan bendungan tersebut lantaran terjadi perebutan sumber air di antara rakyatnya yang mengakibatkan mereka saling bertikai bahkan saling membunuh.
Dengan dibangunnya bendungan ini, orang-orang Saba’ tidak perlu lagi khawatir akan kehabisan air dan memperbutkan sumber air, karena bendungan tersebut sudah menjamin kebutuhan air mereka, mengairi kebun-kebun dan memberi minum ternak mereka.
KEHANCURAN KAUM SABA’
Sebelum Ratu Bilqis masuk Islam, kaum Saba’ menyembah matahari dan bintang-bintang. Setelah ia memeluk Islam, maka kaumnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Sampai kurun waktu tertentu, kaum Saba’ tetap mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun kemudian, mereka kembali ke agama nenek moyang mereka, menyembah matahari dan bintang-bintang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus tiga belas orang rasul kepada mereka, akan tetapi mereka tetap tidak mau kembali ke agama monotheisme, mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun. Allah pun mencabut kenikmatan yang telah Dia anugerahkan kepada mereka,
فَأَعْرَضُوْا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ العَرِمِ
“Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir al-‘arim.” (QS. Saba’: 16)
Ibukota dari Saba adalah Ma'rib yang sangat makmur, berkat letak geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibukota ini sangat dekat dengan Sungai Adhanah. Titik dimana sungai bertemu Jabal Balaq sangatlah tepat untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan alam ini, kaum Saba membangun sebuah bendungan di tempat dimana peradaban mereka pertama kali berdiri, dan sistem pengairan merekapun dimulai. Mereka benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tingi. Ibukotanya yaitu Ma'rib, adalah salah satu kota termodern saat itu. Penulis Yunani bernama Pliny yang telah mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya, menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.
Ketinggian dari bendungan di Ma'rib mencapai 16 meter, lebar 60 meter dengan panjang 620 meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diari oleh bendungan ini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar termasuk dataran bagian selatan bendungan dan sisanya termasuk dataran sebelah barat seluas 4.300 hektar. Dua dataran ini dikatakan sebagai "Ma'rib dan dua dataran tanah" dalam prasasti Saba'. Ungkapan dalam Al Qur'an menyebutnya "dua buah kebun disisi kiri dan kanan"menunjukkan akan kebun yang mengesankan di kedua lembah ini. Berkat bendungan ini dan system pengairan tersebut maka daerah ini sangnat terkenal memiliki pengairan yang terbaik dan kawasan paling subur di Yaman. J. Holevy dari Perancis dan Glaser dari Austria membuktikan berdasarkan dokumen tertulis bahwa bendungan Ma'rib telah ada sejak jaman kuno. Dalam dokumen tertulis dalam dialek Himer dikatakan bahwa bendungan inilah yang menyebabkan kawasan ini sangat produktif.
Bendungan ini diperbaiki secara besar-besaran selama abad 5 dan 6 M. Namun demikian, perbaikan yang dilakukan ini ternyata tidak mampu memcegah keruntuhan bendungan ini tahun 542 M. Runtuhnya bendungan tersebut mengakibatkan "Banjir Besar Arim" yang disebutkan dalam Al Qur'an serta mengakibatkan kerusakan yang sangat hebat. Kebun-kebun dan ladang-ladang pertanian dari kaum Saba yang telah mereka panen selama ratusan tahun benar-benar dihancurkan secara menyeluruh. Dan kaum Saba' pun segera mengalami masa resesi setelah hancurnya bendungan tersebut. Akhirnya Negeri Saba pun berakhir tak lama setelah hancurnya bendungan Ma'rib.
Banjir Arim yang Dikirimkan Untuk Negeri Saba
Jika kita melihat Al Qur'an serta membandingkannya dengan catatan sejarah tersebut diatas, maka kita akan melihat kesamaan yang sangat mendasar dalam hal ini. Temuan arkeologis dan juga catatan sejarah membenarkan apa yang dicatat dalam Al Qur'an. Sebagaimana disebutkan alam ayat berikut, kaum ini yang tidak mendengarkan peringatan dari Nabi mereka dan yang menolak atas kepercayaan tersebut, akhirnya mereka dihukum dengan banjir bah yang mengerikan. Banjir ini disebutkan dalam Al Qur'an dalam ayat-ayat sebagai berikut :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ، فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasan Allah) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri (kepada mereka dikatakan): " Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS Saba' 15-17).
Sebagaimana ditekankan dalam ayat-ayat diatas, kaum Saba hidup di suatu daerah yang ditandai dengan keindahan yang luar biasa, kebun-kebun yang subur. Terletak di jalur perdagangan, negeri Saba memiliki standar kehidupan yang tinggi dan menjadi salah satu kota yang terkenal dan termodern di masa itu
Disebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sangatlah bagus, apa yang seharusnya dilakukan oleh Kaum saba adalah untuk "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya" sebagaiman disebutkan dalam ayat diatas. Namun mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengakui bahwa kemakmuran negeri yang mereka miliki adalah kepunyaan mereka sendiri, mereka merasa bahwa merekalah yang membuat semua keadaan yang luar biasa tersebut. Mereka memilih untuk menjadi sombong daripada bersyukur dan menurut ungkapan dalam ayat tersebut dikatakan, mereka "berpaling dari Allah"…
Karena mereka mengaku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka merekapun kehilangan semua yang mereka miliki.
Penyebab Hancurnya Bendungan Ma’rib
Penyebab kehancuran bendungan tersebut tentu saja adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akibat dari kaum Saba’ yang kufur akan nikmat Allah terhadap mereka. Namun, Allah menciptakan suatu perantara yang bisa diterima oleh logika manusia agar manusia lebih mudah untuk merenungi dan mengambil pelajaran. Di dalam buku-buku tafsir disebutkan, seekor tikus yang lebih besar dari kucing sebagai penyebab runtuhnya bendungan Ma’rib. Subhanallah! Betapa mudahnya Allah menghancurkan bendungan tersebut, meskipun dengan seekor makhluk kecil yang dianggap eremah, tikus.
Sebab lain yang disebutkan oleh sejarawan adalah terjadinya perang saudara di kalangan rakyat Saba’ sementara bendungan mereka butuh pemugaran karena dirusak oleh musuh-musuh mereka (at-Tahrir wa at-Tanwir, 22: 169), perang saudara tersebut mengalihkan mereka dari memperbaiki bendungan Ma’rib. Allahu a’lam mana yang lebih benar mengenai berita-berita tersebut.
Di dalam Al Qur'an, hukuman yang dikirimkan kepada kaum Saba dinamakan "Sail al-Arim" yang berarti "Banjir Arim". Ungkapan yang digunakan dalam Al Qur'an juga menceritakan kepada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata "Arim" berarti bendungan atau rintangan. Ungkapan "Sail al-Arim" menggambarkan sebuah banjir yang datang dikarenakan runtuhnya bendungan ini. Seorang pengamat Islam telah menetapkan tentang waktu dan tempat kejadian ini dengan petunjuk yang digunakan dalam Al Qur'an tentang banjir Arim. Mawdudi menulis dalam komentarnya:
Kata "Arim" diturunkan dari kata "airmen" digunakan dalam dialek Arabia selatan yang bearti "bendungan, rintangan". Pada reruntuhan yang tersingkap dalam penggalian yang dilakukan di Yaman, kata ini tampaknya sering digunakan dalam pengertian ini. Sebagai contoh dalam prasasti Ebrehe (Abraha) yang dibuat oleh Habesh dari kerajaan Yaman, setelah dilakukan restorasi terhadap dinding besar Ma'rib ditahun 542 dan 543 M, kata ini digunakan untuk pengertian bendungan. Sehingga ungkapan sail al-Arim berarti "sebuah bencana banjir yang terjadi setelah runtuhnya sebuah bendungan."
"Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS Saba 16).
Prasasti Abraha
Setelah runtuhnya dinding bendungan, seluruh negeri digenangi oleh banjir. Saluran yang telah digali oleh kaum Saba dan juga dinding yang dibangun dengan mendirikan penghalang/perintang antar gunung-gunung dihancurkan dan system pengairan pun hancur berantakan. Sebagi hasilnya, daerah yang semula berupa kebun yang indah dan subur berubah menjadi padang gersang. Tidak ada lagi pohon dan tanaman yang tersisa kecuali sejenis pohon cemara dan sejenis pohon bidara.
Reruntuhan bendungan Ma'rib adalah salah satu karya yang paling penting dari kaum Saba. Bendungan ini runtuh dikarenakan banjir Arim yang disebutkan dalam Al Qur'an dan semua daerah pertaniannya dilanda banjir. Daerah itu dihancurkan dengan runtuhnya bendungan. Negeri Saba kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu yang sangat singkat dan dalam waktu yang tidak lama pula negeri ini dihancurkan.
Werner Keller seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku "The Holy Book Was Right (Und die Bible Hat Doch Recht) sepakat bahwa banjir Arim terjadi sebagaima disebutkan dalam Al Qur'an dan ia menulis bahwa keberadaan sebuah bendungan dan penghancuran seluruh negeri dikarenakan runtuhnya bendungan membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al Qur'an tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar-benar adanya.
Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi kering dan kaum Saba kehilangan sumber pendapatan mereka yang paling penting dengan menghilangnya lahan pertanian dan perkebunan mereka. Kaum yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman kepda-Nya dan bersyukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana. Setelah penghancuran yang disebabkan oleh banjir, kaum Saba mulai terpecah-belah. Kaum Saba mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arabia Selatan, Makkah dan Syria.
Dikarenakan banjir ini terjadi setelah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis, peristiwa banjir Arim ini hanya disebutkan dalam Al Qur'an. Kota Ma'rib yang dulunya pernah dihuni oleh Kaum Saba, namun sekarang hanyalah sebuah reruntuhan yang terpencil, tidaklah diragukan lagi bahwa ini merupakan peringatan bagi kita semua agar tidak mengulang kesalahan yang dilakukan kaum Saba. Kaum Saba bukanlah satu-satunya kaum yang dihancurkan dengan banjir.
Bendungan ini hancur sekitara tahun 542 M. Setelah itu, mereka hidup dalam kesulitan, tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh subur di tanah mereka tidak lagi menghasilkan buah seperti sebelum-sebelumnya dan Yaman saat ini termasuk salah satu negeri termiskin dan terkering di Jazirah Arab.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Translate
Sabtu, 18 November 2017
Tafsir Surat An-Nur Ayat 35 Tentang Listrik
Pada zaman modern ini listrik sudah menjadi hal yang sangat di utamakan atau di butuhkan manusia tak bisa lepas dengan listrik. listrik sudah menjadi salah satu kebutuhan utama kehdiupan sehari hari.listrik yang ada di bumi ini berasal dari berbagai sumber . di hasilkan oleh generator yang akan menghasilkan listrik kemana mana.energi listrik ini berasal dari satu sumber dan di ubah menjadi listrik yang kita gunakan sehari hari.
Dari hal tersebut ayat al quran berbicara tentang "AYAT AL QURAN TENTANG LISTRIK",kalo kita ketahui listrik itu sudah ada sejak para nabi ,namun manusia pada zaman dulu belum menemukan listrik , itu karena ilmu dan pengetahuan yang kurang. ALLOH berfirman dalam ayatnya Surat An Nur ayat 35 :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah adalah Nur (cahaya) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya itu, adalah seperti lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita. Pelita itu didalam kaca, dan kaca itu bagaikan bintang yang cemerlang bercahaya-cahaya seperti mutiara. Yang dinyalakah dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon Zaitun ; yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Yang minyaknya saja hampir-hampir cukup menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahayanya diatas cahaya (berlapis-lapis). Allah-lah yang menunjukki kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.(An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur'an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan Al-Qur'an. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais ibnu Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu: "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah."
Sebagian ulama ada yang membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi."
Diriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. ketika disakiti oleh penduduk Taif mengucapkan dalam doanya:
"أُعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَنْ يَحِلَّ بِيَ غَضبك أَوْ يَنْزِلَ بِي سَخَطُك، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ"
Aku berlindung kepada cahaya Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan membuat baik urusan dunia dan akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku murka-Mu, hanya kepada Engkaulah kami mengadrt hingga Engkau rida. Dan tiada daya upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"
Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang ada padanya.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya 'Arasy adalah berasal dari cahaya Zat-Nya."
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ نُورِهِ}
Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)
Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah Swt. sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan)orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)
diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan. Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan.
Firman Allah Swt.:
{كَمِشْكَاةٍ}
seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35)
Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang terkenal. Karena itu, disebutkan sesudahnya:
{فِيهَا مِصْبَاحٌ}
yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)
Yakni pelita yang menyala.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Ketika orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad Saw.; "Bagaimanakah cahaya Allah dapat menembus dari balik langit?" Maka Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus.(An-Nur: 35) Yang dimaksud dengan misykatialah lubang yang ada di tembok rumah (tetapi tidak tembus, digunakan untuk tempat lentera). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang lain.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah lubang (menurut bahasa Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa misykat adalah lubang yang tak tembus.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat ialah besi gantungan lampu besar.
Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling utama, yaitu yang mengatakan bahwa misykat adalah tempat lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita besar.(An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada dalam lampu itu.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misbah ialah cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada orang mukmin.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan misbah ialah lentera.
{الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ}
Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)
Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih.
Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin.
{الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)
Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang artinya terdorong. Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang.
Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar.
{يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35)
Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya.
{زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ}
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)
Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan. Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang paling baik.
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang sahara. Pohon seperti ini menghasilkan minyak yang jernih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang tentang makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon tersebut adalah pohon zaitun yang ada di padang sahara; apabila mentari terbit, sinarnya langsung menerpanya; dan apabila tenggelam, terkena pula sinarnya sebelum tenggelam. Maka pohon zaitun ini menghasilkan minyak yang paling jernih.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula terletak di sebelah barat yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat terbitnya. Tetapi pohon ini terletak di antara arah timur dan arah barat, karenanya ia selalu terkena sinar mentari, baik di pagi hari maupun di petang hari saat matahari akan tenggelam.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi. (An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa apabila mentari terbit, maka sinarnya langsung mengenai pohon itu dari arah timur; dan apabila mentari akan tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar mentari selalu mengenainya, baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang demikian itu berarti pohon ini terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di sebelah barat.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena tidak terkena sinar mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di saat tenggelam. Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia terlindungi dari fitnah apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi Allah meneguhkan hatinya sehingga tidak tergoda. Dia adalah seorang mukmin yang memiliki empat perangai, yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum, adil. Apabila dicoba, sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di antara umat manusia lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di antara orang-orang yang mati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar mentari, baik dari arah timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di tengah-tengah pepohonan lainnya.
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang berada di suatu tempat, yang bayangan buahnya terlihat pada dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena sinar mentari di saat terbit dan tenggelamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat dengan sebelah barat, bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah timur, tetapi ia terletak di antara keduanya.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah pedalaman.
Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni tumbuh di negeri Syam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah ia terletak di sebelah timur atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan perumpamaan yang di buat oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi, bukan pula orang Nasrani.
Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang. Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ}
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur: 35)
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya.
Firman Allah Swt.:
{نُورٌ عَلَى نُورٍ}
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.
Mujahid mengatakan —demikian juga As-Saddi— bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak zaitun.
Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.
Syamr ibnu Atiyyah telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul Ahbar, lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.'(An-Nur: 35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad Saw. jelas di mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang nabi, sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh api).
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang lainnya.
Firman Allah Swt.:
{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)
Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ [بْنِ] الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِمْ مِنْ نُورِهِ يَوْمَئِذٍ، فَمَنْ أَصَابَ يَوْمَئِذٍ مِنْ نُورِهِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ. فَلِذَلِكَ أَقُولُ: جفَّ الْقَلَمُ عَلَى عِلْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari Abdullah Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya pada hari itu. Maka barang siapa yang terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia. Untuk itulah saya ucapkan, "Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah Swt."
Menurut jalur lain yang bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu Abu Amr Asy-Syaibani, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، فَأَلْقَى عَلَيْهِمْ نُورًا مِنْ نُورِهِ، فَمَنْ أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ النُّورِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu melemparkan kepada mereka suatu cahaya dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang terkena cahaya itu, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya, maka sesatlah ia.
Al-Bazzar telah meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur lain dengan lafaz dan teks yang sama.
Firman Allah Swt.:
{وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)
Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ] عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang.
Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya.
Uraian
Dari ayat ini kita bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sudah ada sejak dahulu namun manusia belum mengetahuinnya , dan ilmu yang ada di perumpamakan dengan hal hal lain ,hal hal ini yang dapat menjadikan fakta di balik ilmu itu semua. tak hanyya manusia yang dapat memberikan arti penting itu listrik namun al quran sudah berbicara dahulu sebelum listrik itu ada . kalo kita ambil contoh dalam surat an nur ayat 35 : lampu itu bercahaya cahaya itu berada di dalam pelita atau kaca ,dan bola lampu itu sudah ada kan tu salah satu fakta surat an nur ayat 35 tersebut.jadi ayat al quran tentang listrik itu sangat benar tak bisa di ganggu gugat itullah salah satu bukti kekuasaan Alloh SWT.
Jadi Al quraan tak hannya berbicara masalah ibadah,hukum,iman dan lainnya namun al quraan pun berbicara mengenai teknologi dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini salah satunnya listrik.karena banyak hal yang dapat di galih pada al quran . al quran juga berbicara mengenai teori dasar listrik.
Listrik dan hukum kekekalan energi
Perhatikan potongan surah An-Nuur (24) berikut :
[24:35] … perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah ceruk yang tak bercelah, di dalamnya ada pelita; pelita itu di dalam kaca; kaca itu seakan-akan bintang yang cemerlang; (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …
Allah mengumpamakan “cahaya“-Nya sebagai sesuatu yang tidak sama dengan cahaya yang diketahui pada masa ayat ini diturunkan. Digambarkan bahwa cahayanya ini seperti suatu ceruk (lubang/cekungan) yang tak tembus (kamisykaatin) yang di dalamnya ada pelita/lampu di mana pelita ini berada di dalam suatu kaca (zujaajatin) (yang mengindikasikan ceruk itu terbuat dari kaca, terlebih lagi kamisykaatin dan zujaajatin merupakan bentuk feminin, sedangkan pelita (mishbaahun)merupakan bentuk maskulin), yang mengakibatkan kaca ini terlihat seperti bintang yang terang dilangit malam. Pelita itu sendiri digambarkan seperti dinyalakan oleh minyak yang berasal dari pohon yang diberkati, yaitu pohon zaitun, dimana minyaknya mampu menerangi walaupun tidak tersentuh api.
Apa yang terpikir oleh kita, di masa sekarang, jika mendengar suatu lubang, cekungan, ceruk terbuat dari kaca yang tak memiliki celah yang didalamnya terdapat cahaya dimana cahaya itu dinyalakan tidak menggunakan api sebagaimana lampu-lampu lentera yang digunakan di jaman dulu. Dan terangnya cahaya itu membuat “sang kaca” seperti bintang yang cemerlang ? Tentu saja jawabannya adalah salah satu penemuan terbesar sepanjang sejarah manusia, yaitu penemuan lampu listrik.
Abad 19 merupakan abad dimana ilmu pengetahuan mengenai kelistrikan berkembang pesat. Dimulai denganpenemuan baterai oleh Alessandro Volta, sampai akhirnya penemuan bola lampu(lightbulb) listrik pertama oleh Thomas Alfa Edison.
Bola lampu ini berpijar dengan memanaskan lempengan filamen dengan suhu yang tinggi dengan akhirnya bercahaya. Pemanasan ini dilakukan dengan menggunakan arus listrik melalui kabel yang dihubungkan dengan lampu tersebut.
Lampu tersebut tidak menggunakan minyak dan api, tetapi menggunakan filamen dan listrik sebagai pengganti minyak dan api, dimana filamen tersebut jika dialiri listrik mampu berpendar dan bercahaya. Listrik ini sendiri terbentuk dengan sumber lain yaitu baterai atau pun sumber listrik lainnya. Terkait hal ini di katakan pula dalam ayat tersebut :
[24:35] … (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …
Dikatakan bahwa pelita itu seperti dinyalakan dari minyak yang berasal dari pohon zaitun yang khusus. Mengapa Allah mengumpamakan dengan pohon zaitun? Karena di zaman dulu, terutama di daerah arab dan mediterania, minyak zaitun digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu. Tetapi lebih lanjut Allah menyatakan bahwa pohon zaitun ini, sebagai sumber penghasil “minyak”, bukan pohon zaitun biasa, akan tetapi pohon khusus yang mampu menghasilkan minyak yang mempu menerangi tanpa adanya api.
Seperti halnya kilat, lonjakan listrik sendiri mampu memberikan cahaya yang terang, akan tetapi tidak lama. Untuk membuat listrik itu memberikan penerangan yang lama, dibutuhkan media lain yaitu filamen, dimana listrik disini berfungsi untuk memanaskan filamen sehingga akhirnya filamen berpendar. “Sang pelita” lebih lanjut di katakan sebagai “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, “tidak timur dan tidak barat”. Sebagian tafsir mengatakan bahwa “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” disini mengindikasikan bahwa pohon zaitun disini adalah pohon yang tidak biasa, pohon khusus yang tidak tumbuh di timur maupun di barat.
Hal ini mengindikasikan bahwa pohon tersebut bukanlah pohon zaitun secara fisik, akan tetapi sebagai suatu bentuk sumber energi yang nantinya akan menghasilnya “minyak” yang merupakan simbolisasi dari energi itu sendiri. Listrik sendiri, yang merupakan bentuk energi yang mengalir dari dari kutub positif ke kutub negatif, sering di asosiasikan juga dengan magnet yang memiliki kutub utara dan selatan. Bukan timur dan bukan barat. Dan energi listrikhampir-hampir menerangi, sebagaimana halnya kilat (lightning), dan akan terus menerangi jika disalurkan ke dalam media lain yaitu filamen yang akan berpendar jika dipanaskan dengan energi listrik yang berubah menjadi energi panas, yang disimbolkan dalam ayat ini dengan “minyak”, menggunakan istilah metafora yang mampu diterima pada masa ketika ayat ini diturunkan dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang akan membuktikannya di masa kemudian.
Lebih jauh perlu di perhatikan juga bahwa “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” juga dapat di artikan sebagai “tidak memiliki tempat terbit dan tidak memiliki tempat tenggelam” dalam kaitannya dengan “sang pelita”. Ayat ini memberitahukan kita “sang pohon zaitun” sebagai sumber minyak (baca: sumber energi) menghasilkan “sesuatu” yang mempu memberikan cahaya, akan tetapi “sesuatu” itu tidak lah terbit maupun terbenam.
Tentu saja, listrik sebagai suatu bentuk energi sebagaimana yang diterangkan dalam hukum kekekalan energi, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat di ubah dari dan ke bentuk energi yang lain. Dalam kaitannya dengan lampu, listrik berubah menjadi energi panas sehingga mampu memanaskan filamen yang mengubah energi panas menjadi energi cahaya.
Menurut teori “relativitas umum”, kekekalan energi ini bersifat relatif dan sebetulnya tidak bersifat kekal karena adanya lekukan umum wakturuang “manifold” yang tidak memiliki simetri untuk translasi atau rotasi. Dari sudut pandang agama, tentu saja semua bentuk energi awalnya diciptakan oleh Allah dan dapat dimusnahkan jika Allah berkehendak. Itu lah sebabnya dalam mengindikasikan energi yang dihasilkan oleh “sang sumber energi” atau “pohon zaitun khusus” ini menggunakan istilah “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, yang berarti pada awalnya di ciptakan, dan suatu saat dapat dimusnahkan, akan tetapi dalam proses ditengah-tengah-nya tidak dapat di terbitkan (baca: diciptakan) dan ditenggelamkan (baca: dimusnahkan) oleh manusia, tetapi dapat di ubah dari dan ke bentuk energi lain, wallahu a’lam
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Dari hal tersebut ayat al quran berbicara tentang "AYAT AL QURAN TENTANG LISTRIK",kalo kita ketahui listrik itu sudah ada sejak para nabi ,namun manusia pada zaman dulu belum menemukan listrik , itu karena ilmu dan pengetahuan yang kurang. ALLOH berfirman dalam ayatnya Surat An Nur ayat 35 :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah adalah Nur (cahaya) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya itu, adalah seperti lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita. Pelita itu didalam kaca, dan kaca itu bagaikan bintang yang cemerlang bercahaya-cahaya seperti mutiara. Yang dinyalakah dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon Zaitun ; yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Yang minyaknya saja hampir-hampir cukup menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahayanya diatas cahaya (berlapis-lapis). Allah-lah yang menunjukki kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.(An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur'an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan Al-Qur'an. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais ibnu Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu: "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah."
Sebagian ulama ada yang membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi."
Diriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. ketika disakiti oleh penduduk Taif mengucapkan dalam doanya:
"أُعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَنْ يَحِلَّ بِيَ غَضبك أَوْ يَنْزِلَ بِي سَخَطُك، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ"
Aku berlindung kepada cahaya Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan membuat baik urusan dunia dan akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku murka-Mu, hanya kepada Engkaulah kami mengadrt hingga Engkau rida. Dan tiada daya upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"
Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang ada padanya.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya 'Arasy adalah berasal dari cahaya Zat-Nya."
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ نُورِهِ}
Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)
Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah Swt. sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan)orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)
diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan. Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan.
Firman Allah Swt.:
{كَمِشْكَاةٍ}
seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35)
Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang terkenal. Karena itu, disebutkan sesudahnya:
{فِيهَا مِصْبَاحٌ}
yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)
Yakni pelita yang menyala.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Ketika orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad Saw.; "Bagaimanakah cahaya Allah dapat menembus dari balik langit?" Maka Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus.(An-Nur: 35) Yang dimaksud dengan misykatialah lubang yang ada di tembok rumah (tetapi tidak tembus, digunakan untuk tempat lentera). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang lain.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah lubang (menurut bahasa Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa misykat adalah lubang yang tak tembus.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat ialah besi gantungan lampu besar.
Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling utama, yaitu yang mengatakan bahwa misykat adalah tempat lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita besar.(An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada dalam lampu itu.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misbah ialah cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada orang mukmin.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan misbah ialah lentera.
{الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ}
Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)
Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih.
Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin.
{الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)
Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang artinya terdorong. Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang.
Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar.
{يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35)
Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya.
{زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ}
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)
Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan. Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang paling baik.
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang sahara. Pohon seperti ini menghasilkan minyak yang jernih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang tentang makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon tersebut adalah pohon zaitun yang ada di padang sahara; apabila mentari terbit, sinarnya langsung menerpanya; dan apabila tenggelam, terkena pula sinarnya sebelum tenggelam. Maka pohon zaitun ini menghasilkan minyak yang paling jernih.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula terletak di sebelah barat yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat terbitnya. Tetapi pohon ini terletak di antara arah timur dan arah barat, karenanya ia selalu terkena sinar mentari, baik di pagi hari maupun di petang hari saat matahari akan tenggelam.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi. (An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa apabila mentari terbit, maka sinarnya langsung mengenai pohon itu dari arah timur; dan apabila mentari akan tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar mentari selalu mengenainya, baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang demikian itu berarti pohon ini terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di sebelah barat.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena tidak terkena sinar mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di saat tenggelam. Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia terlindungi dari fitnah apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi Allah meneguhkan hatinya sehingga tidak tergoda. Dia adalah seorang mukmin yang memiliki empat perangai, yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum, adil. Apabila dicoba, sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di antara umat manusia lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di antara orang-orang yang mati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar mentari, baik dari arah timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di tengah-tengah pepohonan lainnya.
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang berada di suatu tempat, yang bayangan buahnya terlihat pada dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena sinar mentari di saat terbit dan tenggelamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat dengan sebelah barat, bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah timur, tetapi ia terletak di antara keduanya.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah pedalaman.
Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni tumbuh di negeri Syam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah ia terletak di sebelah timur atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan perumpamaan yang di buat oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi, bukan pula orang Nasrani.
Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang. Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ}
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur: 35)
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya.
Firman Allah Swt.:
{نُورٌ عَلَى نُورٍ}
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.
Mujahid mengatakan —demikian juga As-Saddi— bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak zaitun.
Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.
Syamr ibnu Atiyyah telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul Ahbar, lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.'(An-Nur: 35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad Saw. jelas di mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang nabi, sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh api).
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang lainnya.
Firman Allah Swt.:
{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)
Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ [بْنِ] الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِمْ مِنْ نُورِهِ يَوْمَئِذٍ، فَمَنْ أَصَابَ يَوْمَئِذٍ مِنْ نُورِهِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ. فَلِذَلِكَ أَقُولُ: جفَّ الْقَلَمُ عَلَى عِلْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari Abdullah Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya pada hari itu. Maka barang siapa yang terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia. Untuk itulah saya ucapkan, "Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah Swt."
Menurut jalur lain yang bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu Abu Amr Asy-Syaibani, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، فَأَلْقَى عَلَيْهِمْ نُورًا مِنْ نُورِهِ، فَمَنْ أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ النُّورِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu melemparkan kepada mereka suatu cahaya dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang terkena cahaya itu, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya, maka sesatlah ia.
Al-Bazzar telah meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur lain dengan lafaz dan teks yang sama.
Firman Allah Swt.:
{وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)
Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ] عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang.
Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya.
Uraian
Dari ayat ini kita bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sudah ada sejak dahulu namun manusia belum mengetahuinnya , dan ilmu yang ada di perumpamakan dengan hal hal lain ,hal hal ini yang dapat menjadikan fakta di balik ilmu itu semua. tak hanyya manusia yang dapat memberikan arti penting itu listrik namun al quran sudah berbicara dahulu sebelum listrik itu ada . kalo kita ambil contoh dalam surat an nur ayat 35 : lampu itu bercahaya cahaya itu berada di dalam pelita atau kaca ,dan bola lampu itu sudah ada kan tu salah satu fakta surat an nur ayat 35 tersebut.jadi ayat al quran tentang listrik itu sangat benar tak bisa di ganggu gugat itullah salah satu bukti kekuasaan Alloh SWT.
Jadi Al quraan tak hannya berbicara masalah ibadah,hukum,iman dan lainnya namun al quraan pun berbicara mengenai teknologi dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini salah satunnya listrik.karena banyak hal yang dapat di galih pada al quran . al quran juga berbicara mengenai teori dasar listrik.
Listrik dan hukum kekekalan energi
Perhatikan potongan surah An-Nuur (24) berikut :
[24:35] … perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah ceruk yang tak bercelah, di dalamnya ada pelita; pelita itu di dalam kaca; kaca itu seakan-akan bintang yang cemerlang; (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …
Allah mengumpamakan “cahaya“-Nya sebagai sesuatu yang tidak sama dengan cahaya yang diketahui pada masa ayat ini diturunkan. Digambarkan bahwa cahayanya ini seperti suatu ceruk (lubang/cekungan) yang tak tembus (kamisykaatin) yang di dalamnya ada pelita/lampu di mana pelita ini berada di dalam suatu kaca (zujaajatin) (yang mengindikasikan ceruk itu terbuat dari kaca, terlebih lagi kamisykaatin dan zujaajatin merupakan bentuk feminin, sedangkan pelita (mishbaahun)merupakan bentuk maskulin), yang mengakibatkan kaca ini terlihat seperti bintang yang terang dilangit malam. Pelita itu sendiri digambarkan seperti dinyalakan oleh minyak yang berasal dari pohon yang diberkati, yaitu pohon zaitun, dimana minyaknya mampu menerangi walaupun tidak tersentuh api.
Apa yang terpikir oleh kita, di masa sekarang, jika mendengar suatu lubang, cekungan, ceruk terbuat dari kaca yang tak memiliki celah yang didalamnya terdapat cahaya dimana cahaya itu dinyalakan tidak menggunakan api sebagaimana lampu-lampu lentera yang digunakan di jaman dulu. Dan terangnya cahaya itu membuat “sang kaca” seperti bintang yang cemerlang ? Tentu saja jawabannya adalah salah satu penemuan terbesar sepanjang sejarah manusia, yaitu penemuan lampu listrik.
Abad 19 merupakan abad dimana ilmu pengetahuan mengenai kelistrikan berkembang pesat. Dimulai denganpenemuan baterai oleh Alessandro Volta, sampai akhirnya penemuan bola lampu(lightbulb) listrik pertama oleh Thomas Alfa Edison.
Bola lampu ini berpijar dengan memanaskan lempengan filamen dengan suhu yang tinggi dengan akhirnya bercahaya. Pemanasan ini dilakukan dengan menggunakan arus listrik melalui kabel yang dihubungkan dengan lampu tersebut.
Lampu tersebut tidak menggunakan minyak dan api, tetapi menggunakan filamen dan listrik sebagai pengganti minyak dan api, dimana filamen tersebut jika dialiri listrik mampu berpendar dan bercahaya. Listrik ini sendiri terbentuk dengan sumber lain yaitu baterai atau pun sumber listrik lainnya. Terkait hal ini di katakan pula dalam ayat tersebut :
[24:35] … (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …
Dikatakan bahwa pelita itu seperti dinyalakan dari minyak yang berasal dari pohon zaitun yang khusus. Mengapa Allah mengumpamakan dengan pohon zaitun? Karena di zaman dulu, terutama di daerah arab dan mediterania, minyak zaitun digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu. Tetapi lebih lanjut Allah menyatakan bahwa pohon zaitun ini, sebagai sumber penghasil “minyak”, bukan pohon zaitun biasa, akan tetapi pohon khusus yang mampu menghasilkan minyak yang mempu menerangi tanpa adanya api.
Seperti halnya kilat, lonjakan listrik sendiri mampu memberikan cahaya yang terang, akan tetapi tidak lama. Untuk membuat listrik itu memberikan penerangan yang lama, dibutuhkan media lain yaitu filamen, dimana listrik disini berfungsi untuk memanaskan filamen sehingga akhirnya filamen berpendar. “Sang pelita” lebih lanjut di katakan sebagai “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, “tidak timur dan tidak barat”. Sebagian tafsir mengatakan bahwa “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” disini mengindikasikan bahwa pohon zaitun disini adalah pohon yang tidak biasa, pohon khusus yang tidak tumbuh di timur maupun di barat.
Hal ini mengindikasikan bahwa pohon tersebut bukanlah pohon zaitun secara fisik, akan tetapi sebagai suatu bentuk sumber energi yang nantinya akan menghasilnya “minyak” yang merupakan simbolisasi dari energi itu sendiri. Listrik sendiri, yang merupakan bentuk energi yang mengalir dari dari kutub positif ke kutub negatif, sering di asosiasikan juga dengan magnet yang memiliki kutub utara dan selatan. Bukan timur dan bukan barat. Dan energi listrikhampir-hampir menerangi, sebagaimana halnya kilat (lightning), dan akan terus menerangi jika disalurkan ke dalam media lain yaitu filamen yang akan berpendar jika dipanaskan dengan energi listrik yang berubah menjadi energi panas, yang disimbolkan dalam ayat ini dengan “minyak”, menggunakan istilah metafora yang mampu diterima pada masa ketika ayat ini diturunkan dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang akan membuktikannya di masa kemudian.
Lebih jauh perlu di perhatikan juga bahwa “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” juga dapat di artikan sebagai “tidak memiliki tempat terbit dan tidak memiliki tempat tenggelam” dalam kaitannya dengan “sang pelita”. Ayat ini memberitahukan kita “sang pohon zaitun” sebagai sumber minyak (baca: sumber energi) menghasilkan “sesuatu” yang mempu memberikan cahaya, akan tetapi “sesuatu” itu tidak lah terbit maupun terbenam.
Tentu saja, listrik sebagai suatu bentuk energi sebagaimana yang diterangkan dalam hukum kekekalan energi, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat di ubah dari dan ke bentuk energi yang lain. Dalam kaitannya dengan lampu, listrik berubah menjadi energi panas sehingga mampu memanaskan filamen yang mengubah energi panas menjadi energi cahaya.
Menurut teori “relativitas umum”, kekekalan energi ini bersifat relatif dan sebetulnya tidak bersifat kekal karena adanya lekukan umum wakturuang “manifold” yang tidak memiliki simetri untuk translasi atau rotasi. Dari sudut pandang agama, tentu saja semua bentuk energi awalnya diciptakan oleh Allah dan dapat dimusnahkan jika Allah berkehendak. Itu lah sebabnya dalam mengindikasikan energi yang dihasilkan oleh “sang sumber energi” atau “pohon zaitun khusus” ini menggunakan istilah “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, yang berarti pada awalnya di ciptakan, dan suatu saat dapat dimusnahkan, akan tetapi dalam proses ditengah-tengah-nya tidak dapat di terbitkan (baca: diciptakan) dan ditenggelamkan (baca: dimusnahkan) oleh manusia, tetapi dapat di ubah dari dan ke bentuk energi lain, wallahu a’lam
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Kerusakan Bumi Akibat Eksploitasi Oleh Manusia
Dewasa ini, banyak kita jumpai tindak-tindak pengrusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Hal ini, jelas sangat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Karena pengrusakan-pengrusakan tersebut lebih banyak dampak negatif dan bahayanya daripada keuntungannya. Tak ayal, hal ini menyebabkan orang lain resah. Penebangan hutan, pengeboman sungai/laut serta tindakan kriminal lainnya seperti pembunuhan, perampokan, tawuran dan yang lainnya telah merajaleladi bumi.
Telah banyak terjadi bencana alam yang kita alami seperti banjir, tanah longsor, puting beliung bahkan tsunami. Hal ini merupakan teguran dari Allah agar kita semua, terutama orang-orang yang telah berbuat kerusakan agar segera bertaubat dan kembali pada jalan yang benar dengan cara melakukan perbaikan-perbaikan setelah mereka melakukan pengrusakan. Karena Allah Maha Adil, ketika Dia memberi peringatan tidak hanya perusak saja yang merasakannya, akan tetapi orang lain pun terkena imbasnya.
Ekologi kini menjadi isu penting dan mendesak bagi umat manusia. Berbagai bencana yang akhir-akhir ini di sering kali terjadi di hampir di seluruh pelosok dunia menuntut manusia untuk meresponnya dengan serius. Hal ini dikarenakan permasalahan ekologi menyangkut keamanan dan keselamatan umat manusia.
Kerusakan ekologi yang menyebabkan berbagai bencana hanya sedikit yang murni merupakan fenomena alam. Sebagian besar adalah akibat ulah manusia yang tidak melestarikan alam. Banyak sekali aktifitas manusia baik secara disengaja ataupun tidak yang berdampak negatif terhadap alam, misalnya penggalian sumber-sumber alam seperti minyak bumi, emas dan timah, penggunaan kendaraan bermotor, pembangunan pabrik-pabrik, pembukaan hutan untuk perkebunan, dan lain sebagainya. Aktifitas-aktifitas tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan apabila diiringi dengan usaha-usaha perbaikan secara konsisten.
Manusia adalah mahluk Tuhan yang diciptakan sempurna dibandingkan dengan mahluk-mahluk lain. Dengan anugerah akal manusia menjadi pemimpin bagi kehidupan di bumi. Islam telah menegaskan peran dan fungsi manusia sebagai pemimpin di atas bumi. Islam pun tentu memberikan arahan-arahan bagaimana menjalankan tugas kepemimpinannya itu di dalam al Quran dan al Hadits. Penulis ingin menelusuri dalil-dalil yang menjadi dasar bagi umat Islam untuk berperilaku arif terhadap alam. Pembahasan akan ditujukan untuk menelusuri ayat-ayat dan hadits apa saja yang memerintahkan manusia untuk memperdulikan lingkungan.
Dalam hubungannya dengan alam, Islam menekankan kepada umatnya untuk memperlakukan lingkungan dengan tidak semena-mena. Keberlangsungan kelestarian alam juga merupakan keberlangsungan kelestarian umat manusia. Bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia sejak ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu. Memelihara bumi adalah manifestasi rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Selain untuk beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan semua makhluk-Nya, khususnya manusia.
Keserakahan dan perlakuan buruk sebagian manusia terhadap alam dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, kekeringan, tata ruang daerah yang tidak karuan dan udara serta air yang tercemar adalah buah kelakuan manusia yang justru merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga lingkungan. Hal ini seringkali tercermin dalam beberapa pelaksanaan ibadah, seperti ketika menunaikan ibadah haji. Dalam haji, umat Islam dilarang menebang pohon-pohon dan membunuh binatang. Apabila larangan itu dilanggar maka ia berdosa dan diharuskan membayar denda (dam). Lebih dari itu Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi.
Tentang memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, banyak upaya yang bisa dilakukan, misalnya rehabilitasi SDA berupa hutan, tanah dan air yang rusak perlu ditingkatkan lagi. Dalam lingkungan ini program penyelamatan hutan, tanah dan air perlu dilanjutkan dan disempurnakan. Pendayagunaan daerah pantai, wilayah laut dan kawasan udara perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41) قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (42)
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali(ke jalan yang benar). Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Arrum Ayat 41-42).
Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat-Nya. Gunung-gunung, lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan
Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda, melainkan juga berupa sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk menutupi keburukan tersebut sering kali mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang melakukan perbaikan di muka bumi, padahal justru merekalah yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Swt.:
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ}
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Ar-Rum: 41)
Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang bunyinya:
"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"
Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari.
Dikatakan demikian karena bila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka semua orang atau sebagian besar dari mereka atau banyak dari kalangan mereka yang menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi.
Oleh sebab itulah kelak di akhir zaman bila Isa putra Maryam a.s. diturunkan dari langit, ia langsung menerapkan hukum syariat yang suci ini (syariat Islam), antara lain membunuh semua babi, semua salib ia pecahkan, dan jizyah (upeti) ia hapuskan. Maka tidak diterima lagi upeti, melainkan Islam atau perang.
Dan bila di masanya Allah telah membinasakan Dajjal beserta para pengikutnya, juga Ya'juj dan Ma'juj telah dimusnahkan, maka dikatakan kepada bumi, "Keluarkanlah semua berkah (kebaikan)mu!" Sehingga sebuah delima dapat dimakan oleh sekelompok orang, dan kulitnya dapat mereka pakai untuk berteduh. Hasil perahan seekor sapi perah dapat mencukupi kebutuhan minum sejumlah orang. Hal itu tiada lain berkat dilaksanakannya syariat Nabi Muhammad Saw. Manakala keadilan ditegakkan, maka berkah dan kebaikan akan banyak di dapat. Karena itulah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui salah satu hadisnya yang mengatakan,
"إنَّ الْفَاجِرَ إِذَا مَاتَ تَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ، وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ"
"Apabila seorang pendurhaka mati, maka merasa gembiralah semua hamba, negeri, pepohonan, dan hewan-hewan dengan kematiannya itu."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Al-Husain. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu Mikhdam, bahwa pernah ada seorang lelaki di masa Ziad atau Ibnu Ziad menemukan sebuah kantung berisikan biji-bijian, yakni biji jewawut yang besarnya seperti biji buah kurma setiap bijinya, tertuliskan padanya kalimat berikut, "Ini adalah hasil tanaman di suatu masa yang ditegakkan padanya prinsip keadilan."
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan kerusakan dalam ayat ini ialah kemusyrikan, tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi.
Firman Allah Swt.:
{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا}
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka. (Ar-Rum: 41)
Maksudnya, agar Allah menguji mereka dengan berkurangnya harta dan jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu kehendak dari Allah buat mereka dan sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan mereka.
{لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum: 41)
Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (Al-A'raf: 168)
Kemudian Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ}
Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. (Ar-Rum: 42)
Yaitu orang-orang dahulu sebelum kalian.
{كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ}
Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Ar-Rum: 42)
Maka lihatlah apa yang telah menimpa mereka disebabkan mendustakan para rasul dan mengingkari nikmat-nikmat Allah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Telah banyak terjadi bencana alam yang kita alami seperti banjir, tanah longsor, puting beliung bahkan tsunami. Hal ini merupakan teguran dari Allah agar kita semua, terutama orang-orang yang telah berbuat kerusakan agar segera bertaubat dan kembali pada jalan yang benar dengan cara melakukan perbaikan-perbaikan setelah mereka melakukan pengrusakan. Karena Allah Maha Adil, ketika Dia memberi peringatan tidak hanya perusak saja yang merasakannya, akan tetapi orang lain pun terkena imbasnya.
Ekologi kini menjadi isu penting dan mendesak bagi umat manusia. Berbagai bencana yang akhir-akhir ini di sering kali terjadi di hampir di seluruh pelosok dunia menuntut manusia untuk meresponnya dengan serius. Hal ini dikarenakan permasalahan ekologi menyangkut keamanan dan keselamatan umat manusia.
Kerusakan ekologi yang menyebabkan berbagai bencana hanya sedikit yang murni merupakan fenomena alam. Sebagian besar adalah akibat ulah manusia yang tidak melestarikan alam. Banyak sekali aktifitas manusia baik secara disengaja ataupun tidak yang berdampak negatif terhadap alam, misalnya penggalian sumber-sumber alam seperti minyak bumi, emas dan timah, penggunaan kendaraan bermotor, pembangunan pabrik-pabrik, pembukaan hutan untuk perkebunan, dan lain sebagainya. Aktifitas-aktifitas tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan apabila diiringi dengan usaha-usaha perbaikan secara konsisten.
Manusia adalah mahluk Tuhan yang diciptakan sempurna dibandingkan dengan mahluk-mahluk lain. Dengan anugerah akal manusia menjadi pemimpin bagi kehidupan di bumi. Islam telah menegaskan peran dan fungsi manusia sebagai pemimpin di atas bumi. Islam pun tentu memberikan arahan-arahan bagaimana menjalankan tugas kepemimpinannya itu di dalam al Quran dan al Hadits. Penulis ingin menelusuri dalil-dalil yang menjadi dasar bagi umat Islam untuk berperilaku arif terhadap alam. Pembahasan akan ditujukan untuk menelusuri ayat-ayat dan hadits apa saja yang memerintahkan manusia untuk memperdulikan lingkungan.
Dalam hubungannya dengan alam, Islam menekankan kepada umatnya untuk memperlakukan lingkungan dengan tidak semena-mena. Keberlangsungan kelestarian alam juga merupakan keberlangsungan kelestarian umat manusia. Bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia sejak ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu. Memelihara bumi adalah manifestasi rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Selain untuk beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan semua makhluk-Nya, khususnya manusia.
Keserakahan dan perlakuan buruk sebagian manusia terhadap alam dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, kekeringan, tata ruang daerah yang tidak karuan dan udara serta air yang tercemar adalah buah kelakuan manusia yang justru merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga lingkungan. Hal ini seringkali tercermin dalam beberapa pelaksanaan ibadah, seperti ketika menunaikan ibadah haji. Dalam haji, umat Islam dilarang menebang pohon-pohon dan membunuh binatang. Apabila larangan itu dilanggar maka ia berdosa dan diharuskan membayar denda (dam). Lebih dari itu Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi.
Tentang memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, banyak upaya yang bisa dilakukan, misalnya rehabilitasi SDA berupa hutan, tanah dan air yang rusak perlu ditingkatkan lagi. Dalam lingkungan ini program penyelamatan hutan, tanah dan air perlu dilanjutkan dan disempurnakan. Pendayagunaan daerah pantai, wilayah laut dan kawasan udara perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41) قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (42)
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali(ke jalan yang benar). Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Arrum Ayat 41-42).
Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat-Nya. Gunung-gunung, lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan
Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda, melainkan juga berupa sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk menutupi keburukan tersebut sering kali mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang melakukan perbaikan di muka bumi, padahal justru merekalah yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Swt.:
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ}
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Ar-Rum: 41)
Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang bunyinya:
"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"
Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari.
Dikatakan demikian karena bila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka semua orang atau sebagian besar dari mereka atau banyak dari kalangan mereka yang menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi.
Oleh sebab itulah kelak di akhir zaman bila Isa putra Maryam a.s. diturunkan dari langit, ia langsung menerapkan hukum syariat yang suci ini (syariat Islam), antara lain membunuh semua babi, semua salib ia pecahkan, dan jizyah (upeti) ia hapuskan. Maka tidak diterima lagi upeti, melainkan Islam atau perang.
Dan bila di masanya Allah telah membinasakan Dajjal beserta para pengikutnya, juga Ya'juj dan Ma'juj telah dimusnahkan, maka dikatakan kepada bumi, "Keluarkanlah semua berkah (kebaikan)mu!" Sehingga sebuah delima dapat dimakan oleh sekelompok orang, dan kulitnya dapat mereka pakai untuk berteduh. Hasil perahan seekor sapi perah dapat mencukupi kebutuhan minum sejumlah orang. Hal itu tiada lain berkat dilaksanakannya syariat Nabi Muhammad Saw. Manakala keadilan ditegakkan, maka berkah dan kebaikan akan banyak di dapat. Karena itulah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui salah satu hadisnya yang mengatakan,
"إنَّ الْفَاجِرَ إِذَا مَاتَ تَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ، وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ"
"Apabila seorang pendurhaka mati, maka merasa gembiralah semua hamba, negeri, pepohonan, dan hewan-hewan dengan kematiannya itu."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Al-Husain. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu Mikhdam, bahwa pernah ada seorang lelaki di masa Ziad atau Ibnu Ziad menemukan sebuah kantung berisikan biji-bijian, yakni biji jewawut yang besarnya seperti biji buah kurma setiap bijinya, tertuliskan padanya kalimat berikut, "Ini adalah hasil tanaman di suatu masa yang ditegakkan padanya prinsip keadilan."
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan kerusakan dalam ayat ini ialah kemusyrikan, tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi.
Firman Allah Swt.:
{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا}
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka. (Ar-Rum: 41)
Maksudnya, agar Allah menguji mereka dengan berkurangnya harta dan jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu kehendak dari Allah buat mereka dan sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan mereka.
{لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum: 41)
Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (Al-A'raf: 168)
Kemudian Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ}
Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. (Ar-Rum: 42)
Yaitu orang-orang dahulu sebelum kalian.
{كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ}
Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Ar-Rum: 42)
Maka lihatlah apa yang telah menimpa mereka disebabkan mendustakan para rasul dan mengingkari nikmat-nikmat Allah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Kamis, 16 November 2017
Keutamaan 10 Ayat Pertama Surat Al-Kahfi
Al-Quran Al-Karim adalah kita yang paling suci, dari kesucian Al-Qur’an ada beberapa surah yang punya kelebihan khusus, diantaranya surah Alkahfi yang mempunyai keagungan dan keutamaan dibanding beberapa surat yang lain. Akan tetapi tidak masih banyak saudara kita dari kaum muslimin yang belum mengetahui keagungan dan keutamaannya, sehingga sebagian besar mereka jarang atau bahkan tidak pernah membaca surah Alkahfi tersebut terlebih lagi untuk di hafalnya khusus pada hari dan malam Jumat.
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم قَالَ : « مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ » وفي رواية ـ من آخر سورة الكهف ـ
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari bagian awal surat Al-Kahfi, niscaya dia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal.” Dan di dalam riwayat lain disebutkan, “(sepuluh ayat) dari bagian akhir surat Al-Kahfi.” (Diriwayatkan oleh Muslim I/555 no. 809, Ahmad V/196 no. 21760, Ibnu Hibban III/366 no. 786, Al-Hakim II/399 no. 3391, dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman V/453 no. 2344).
Salah satu senjata paling ampuh dalam menghadapi Dajjal adalah hafalan 10 ayat pertama QS Al-Kahfi. Bagaimana bisa?Wallahu a’lam.
Namun, bila kita mencoba menghayati ayat-ayat ini, ada beberapa hikmah tentang pengetahuan apa yang harus kita kuasai untuk mengidentifikasi fitnah-fitnah Dajjal di akhir zaman ini.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;
Di ayat pertama ini, Allah memberi perhatian khusus pada karakteristik Al-Quran yang tidak memiliki kebengkokan di dalamnya. Dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa yang dimaksud kebengkokan di sini adalah pertentangan dan perselisihan. Di ayat ini Allah menegaskan bahwa Al-Quran yang Allah turunkan kepada Rasulullah Muhammad mutlak bersih dari kebengkokan dalam bentuk apapun (‘iwajan menggunakan bentuk ismun nakirah, umum, indefinite, bermakna segala bentuk kebengkokan).
Di akhir zaman ini, kita melihat banyak sekali upaya-upaya orang kafir dan bahkan orang yang mengaku muslim untuk mengekspos “kontradiksi” dalam Al-Quran.
Allah Mahatahu akan hal ini. Oleh karena itu, Dia memerintahkan rasulNya untuk memperingatkan umatnya bahwa upaya-upaya semacam ini hanyalah omong-kosong belaka melalui petunjuk umum sebagaimana yang kita dapat dari hadits di atas.
Selain itu, penyebutan kata ‘iwajan dalam ayat tersebut semestinya juga memantik perhatian kita untuk lebih dalam lagi mempelajari Al-Quran agar kita tidak termakan oleh isu “kontradiksi” Al-Quran yang dilancarkan orang kafir. Setidaknya ketika ada pertanyaan semacam ini, “Mana yang benar, urusan langit yang dibawa para malaikat itu naik kembali ke Allah dalam sehari yang kadarnya sama dengan 1.000 tahun atau 50.000 tahun?” kita masih mampu menjawab dengan tepat tanpa didahului keringat dingin. Bagaimana? Anda mampu?
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,
Biasanya, tahapan pendidikan Qur’ani adalah basyiran (kabar gembira) baru kemudian nadziran (peringatan) sebagaimana dalam QS Al-Baqarah: 119. Namun, di ayat kedua QS Al-Kahfi ini tahapannya terbalik, yundzira baru kemudian yubasysyira. Peringatan lebih diprioritaskan daripada kabar gembira. Selain itu, pada yubasysyira terdapat informasi yang jelas tentang target dan kontennya: targetnya adalah al-mu’minin alladzina ya’malunash shalihat dan kontennya adalah anna lahum ajran hasana. Sementara pada yundzira tidak ada info tentang target. Yang ada hanya info konten, yaitu ba’san syadidan min ladunhu. Jadi, selain prioritas peringatan di akhir zaman ini lebih tinggi, targetnya pun lebih luas karena tidak dibatasi sebagaimana kabar gembira.
Secara tersirat, kita harusnya sadar bahwa ayat ini mengindikasikan betapa rusaknya akhir zaman (ya zaman kita ini) sampai-sampai peringatan dan ancaman harus lebih diutamakan daripada kabar gembira. Kita, yang hidup di akhir zaman ini, semestinya tidak boleh terlalu husnuzhzhan terhadap apapun yang kita peroleh dari mayoritas manusia karena sunnatullah generasi akhir zaman adalah lebih banyak rusaknya daripada baiknya. QS Al-Kahfi ayat 2 ini adalah rekomendasi bagi kita, generasi akhir zaman, agar senantiasa mempelajari Al-Quran dan lebih banyak mengingat peringatan di dalamnya, baru kemudian kabar gembiranya.
مَّاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا
mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Nah, kabar gembira di ayat ini cukup sederhana. Beriman DAN beramal shalihlah kamu, maka kamu akan kekal di dalam pembalasan yang baik, yaitu surga. Though it’s more easily said than done, it’s indeed that simple.
وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا
Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.
Nah, ini salah satu bagian paling menarik dari fragmen surah ini, menurut saya. Kebanyakan kita cenderung menganggap bahwa ayat ini berbicara tentang orang Nasrani. Hohoho… Jangan terburu-buru. Coba kita perhatikan lagi, adakah disebutkan dalam ayat ini dan ayat-ayat setelahnya secara spesifik bahwa yang berkata, “Allah mengambil seorang anak,” itu hanya kaum Nasrani? Tidak ada! Bahkan, nanti kita akan lihat bahwa ayat ini juga berkenaan dengan orang-orang sebelum kaum Nasrani.
Yang sangat menarik dari ayat ini adalah betapa Allah memberi porsi khusus untuk peringatan kepada orang-orang yang meyakini bahwa Allah mengambil atau mengangkat seorang anak. Ayat ini, yang merupakan bagian dari fragmen surah yang menurut Rasulullah SAW dapat menyelamatkan kita dari fitnah Dajjal, mengindikasikan bahwa di akhir zaman ini terdapat fitnah yang begitu besar dari sistem-sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa “Tuhan mengambil anak”.
Kita muslimin Indonesia sangat rentan menganggap bahwa ayat ini berbicara tentang Nasrani. Namun, bila kita perhatikan seluruh kebudayaan musyrik di muka bumi ini, mulai dari paganisme sampai Judeo-Christianity, mulai dari Arab pra-Islam sampai Shinto, semuanya meyakini bahwa Tuhan telah mengambil satu atau beberapa anak! Ayat tadi sesungguhnya sedang mengarahkan perhatian kita kepada satu karakteristik dasar dari seluruh kesyirikan di muka bumi! Tidakkah kita memperhatikan?
Selain itu, jika kita mau look into the big picture, akan kita dapati bahwa seluruh teologi musyrik di dunia ini memiliki satu kerangka yang sama, yaitu trinitas. Kesamaan-kesamaan ini telah diungkapkan pula di ayat berikutnya.
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Perhatikan, ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang meyakini “Allah telah mengambil seorang anak” sesungguhnya bukan kaum pertama yang berkata demikian. Sebelum mereka, telah ada kaum lain yang meyakini hal serupa. Abaihim di sana tidak letterlijk bermakna bapak-bapak mereka saja, tapi justru lebih luas, yaitu mencakup juga orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Jalalain.
Baik yang terdahulu maupun terkemudian, semuanya sama-sama buruk, dusta, dan celaka. Dan, karena Rasulullah SAW sudah mengabarkan bahwa hafalan 10 ayat pertama Al-Kahfi dapat melindungi kita dari fitnah Dajjal, maka dapat disimpulkan bahwa semua kaum yang meyakini “Allah telah mengambil anak” pasti punya hubungan dengan Dajjal, baik langsung maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Mulai sekarang, perhatikanlah semua sistem keyakinan semacam ini dan lihatlah betapa mereka semua sesungguhnya sedang berjalan menuju satu pusat yang sama: penyambutan datangnya Al-Masih Ad-Dajjal.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). [18:6] Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. [18:7] Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. [18:8]
Ayat keenam sesungguhnya sedang memperingatkan para da’i bahwa beratnya fitnah di Akhir Zaman akan membuat begitu banyak orang, termasuk keluarga dekat kita, dengan mudah menolak Islam. Begitu dekatnya para penolak Islam ini dengan kita sampai-sampai penolakan mereka akan membuat kita begitu sedih, marah, kecewa, dan khawatir hingga kita pun akan berpikir untuk bunuh diri saja.
Perlu kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan kekhawatiran yang begitu mendalam untuk membuat seseorang berpikir ingin bunuh diri. Dan ayat di atas mengabarkan bahwa kesedihan, kemarahan, kekecewaan, serta kekhawatiran sedalam itulah yang akan kita hadapi ketika kita memutuskan untuk ber-Islam secara sungguh-sungguh, apalagi berdakwah menyeru keluarga kita dan orang-orang dekat kita kepada Islam. Mengapa dakwah kepada diri sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, di Akhir Zaman ini begitu berat? Sebab, ada empat lini kehidupan yang sudah sedemikian parah dirasuki oleh fitnah Dajjal. Lini yang pertama adalah Fun (Kesenangan).
Hari ini, jenis kesenangan apa yang tidak disentuh oleh fitnah Dajjal institusional? Food, fashion, festivity, fitness, dan fandom, semuanya telah dirasuki oleh agen-agen Dajjal, baik dengan maupun tanpa mereka sadari. Bahkan saya yang sedang menulis artikel ini pun bisa jadi telah menjadi agen Dajjal di beberapa kesempatan yang saya lalui dalam kehidupan saya. Na’udzu billahi tsumma na’udzu billah.
Makanan-makanan kita hari ini, cara berpakaian kita hari ini, perayaan-perayaan kita hari ini, definisi kebugaran kita hari ini, dan idola-idola kita hari ini, mayoritasnya adalah hasil indoktrinasi “Dajjal” melalui corong-corong media dan korporasinya. Jika ingin didaftar satu per satu, tentu tidak akan cukup satu postingan ini mendata semuanya. Demikianlah gambaran betapa luasnya pengaruh Dajjal di sektor kesenangan umat manusia hari ini.
Kebebasan mungkin merupakan salah satu kata berkonotasi positif yang paling banyak disalahgunakan hari ini. Atas nama kebebasan, pelacur dibayar bak profesional bermartabat. Atas nama kebebasan, maling pun diusung menjadi pemimpin masyarakat. Atas nama kebebasan, gadis-gadis jelita diperdagangkan di layar kaca dalam kemasan sarat syahwat. Atas nama kebebasan, para orang tua banyak dihin oleh anak-anak mereka sendiri yang sedari kecil mereka jaga dan rawat. Dan yang paling parah, atas nama kebebasan, umat manusia meninggalkan Tuhan layaknya kupon yang masa berlakunya telah lewat.
Arus ateisme dan homoseksualisme menerpa segenap umat manusia dengan kecepatan yang tak pernah disaksikan oleh peradaban-peradaban sebelum kita. Lesbian dan gay kini bukan lagi monopoli mereka yang doyan clubbing saja, namun juga sudah merangsek ke kalangan aktivis masjid. Na’udzu billah. Na’udzu billah. Tsumma na’udzu billah.
Wanita hari ini merupakan salah satu komoditas fitnah paling laris sehingga perlu disebutkan secara khusus. Fitnah wanita hari ini merupakan fitnah multidimensional sehingga tidak bisa dianggap sebagai fitnah dari segi kesenangan semata.
Dari arah pemikiran, para wanita telah dilanda fitnah feminisme (feminism). Dari arah pencitraan, para wanita telah dilanda fitnah standar kecantikan yang hanya mendewakan penampilan fisik (face and figure). Dari arah pergaulan, banyak wanita secara aktif terlibat dalam praktik seks bebas (free sex), baik sebagai subjek maupun objek.
Tidak heran bila Allah memberi ganjaran luar biasa bagi para orang tua yang mampu membesarkan anak perempuan menjadi wanita shalihah yang bertakwa kepada Allah hingga akhir hayatnya.
Pintu fitnah terakhir yang terangkum dalam ayat 6-8 dari QS Al-Kahfi di atas adalah Keuangan. Mayoritas fitnah keuangan ini mengorbit satu dosa besar yang sama yang sejak 14 abad yang lalu telah Allah perintahkan kepada kita untuk menjauhinya, yaitu dosa riba.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [2:275]
Derajat keharaman riba tidak lebih rendah dari derajat keharaman babi. Akan tetapi, hari ini, bukannya menjauhi riba layaknya kita menjauhi babi, kita justru mengkonsumsi riba layaknya kita mengkonsumsi nasi. Sudah jadi kebutuhan pokok. Na’udzu billahi min dzalik.
Dan praktis tak ada satu manusia pun yang bisa lari dari hal ini. Mengapa? Karena uang yang kita pakai pun pada dasarnya memanfaatkan prinsip riba.Dikuasai Rothschild ataupun tidak, bank-bank sentral kita hari ini adalah iblis yang telah menjerumuskan segenap umat manusia ke dalam riba massal.
Kesenangan, kebebasan, wanita, dan keuangan, semuanya adalah sektor-sektor perhiasan dunia yang telah dikuasai oleh agen-agen Dajjal institusional dalam rangka mempersiapkan umat manusia untuk menerima Dajjal personal sebagai tuhan baru mereka.
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?
Di ayat 9 ini, Allah mengarahkan perhatian kita kepada kisah Ashabul Kahfi. Kisah ini sendiri dalam QS Al-Kahfi sebenarnya diceritakan sejak ayat 9 ini sampai ayat 26. Namun, mengapa hanya sampai ayat 10 yang Rasulullah sebut dapat menyelamatkan umatnya dari fitnah Dajjal?
Bagi saya, sekali lagi hanya bagi saya pribadi, ini adalah isyarat bahwa ada beberapa karakteristik mendasar dari peristiwa Ashabul Kahfi yang akan dialami juga oleh orang-orang beriman di masa kekuasaan Dajjal atas umat manusia. Karakteristik yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Ashabul Kahfi adalah para pemuda yang beriman kepada Allah semata di saat mayoritas penduduk negeri dan penguasa mereka menganut paganisme. Produk turunan paganisme hari ini adalah demokrasi dan agama Kristen (akar hari raya Natal disinyalir adalah hari lahir Mitras, sesembahan salah satu sekte pagan Romawi; akar hari raya Paskah/Easter disinyalir adalah pemujaan terhadap Ishtar dari Babilonia, atau Astarte dari Yunani, atau Ashtoreth dari Yahudi).Ashabul Kahfi tidak mampu melawan penguasa dengan tangan dan lisan. Mereka hanya mampu melawan dengan hati yang resisten. (Sekarang, siapa yang bisa menentang kebijakan uang kertas, sistem pemerintahan parlementer, pengambilan hukum dari sumber selain Al-Quran, dan legalisasi zina?)Ashabul Kahfi tidak dimenangkan dalam peperangan. Mereka hanya diselamatkan oleh Allah dari rencana penangkapan yang disusun Kaisar Trajan. (Saat ini pun kita tidak bisa berharap menang dari mayoritas paganis yang menguasai dunia. Kita hanya bisa berharap Allah menolong kita mempertahankan iman tauhid kepadaNya semata.)Ashabul Kahfi melarikan diri dan bersembunyi di gua. (Mungkin ini cara paling efektif untuk menghadapi Dajjal sistemik hari ini? Yah, kita nggak usah segitu banget juga. Maksudnya, kita “mengurung diri” di komunitas yang terpisah sama sekali dari segala hiruk-pikuk fitnah zaman ini sambil terus membangun kemandirian hidup dan kedekatan dengan Allah di komunitas ini.)
Mungkin segini saja karakteristik yang bisa saya data. Kalaupun ada tambahan, pastinya karakteristik itu berasal dari fragmen kisah mereka sebelum mereka tertidur. Mengapa? Karena kisah tidurnya mereka hingga dibangunkan dan pada akhirnya meninggal sudah berada di luar rentang ayat 1 sampai 10. Yang dikabarkan Rasulullah dapat menolong kita dari fitnah Dajjal hanya hafalan ayat 1 sampai 10 dari QS Al-Kahfi.
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.
Nah, ayat 10 cuma sampai sini. Cuma sampai momen ketika Ashabul Kahfi berlindung ke dalam gua dan berdoa seperti di atas. Bagi saya, ini adalah indikasi bahwa karakteristik fitnah yang kita hadapi di akhir zaman ini sangat mirip dengan karakteristik fitnah di zaman Ashabul Kahfi, TAPI mukjizatnya tidak. Kita tidak akan tertidur selama 300 tahun Masehi dan tiba-tiba bangun di zaman Imam Mahdi, Ratu Agung, Satrio Piningit, atau bahkan Kerajaan Tuhan 1000 tahun. Tidak. Fitnahnya mungkin mirip, malah justru lebih parah, tapi kali ini kita akan menghadapinya secara manusiawi, bukan dengan bantuan mukjizat, setidaknya sampai Nabi Isa (atau Yesus) putra Maryam (atau Maria) turun ke bumi.
Oleh karena itu, selagi menunggu mukjizat, yang bisa kita lakukan hanyalah memperkuat keimanan kita sekuat mungkin, berlindung dari segala fitnah zaman ini, sambil terus memohon kepada Allah, “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم قَالَ : « مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ » وفي رواية ـ من آخر سورة الكهف ـ
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari bagian awal surat Al-Kahfi, niscaya dia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal.” Dan di dalam riwayat lain disebutkan, “(sepuluh ayat) dari bagian akhir surat Al-Kahfi.” (Diriwayatkan oleh Muslim I/555 no. 809, Ahmad V/196 no. 21760, Ibnu Hibban III/366 no. 786, Al-Hakim II/399 no. 3391, dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman V/453 no. 2344).
Salah satu senjata paling ampuh dalam menghadapi Dajjal adalah hafalan 10 ayat pertama QS Al-Kahfi. Bagaimana bisa?Wallahu a’lam.
Namun, bila kita mencoba menghayati ayat-ayat ini, ada beberapa hikmah tentang pengetahuan apa yang harus kita kuasai untuk mengidentifikasi fitnah-fitnah Dajjal di akhir zaman ini.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;
Di ayat pertama ini, Allah memberi perhatian khusus pada karakteristik Al-Quran yang tidak memiliki kebengkokan di dalamnya. Dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa yang dimaksud kebengkokan di sini adalah pertentangan dan perselisihan. Di ayat ini Allah menegaskan bahwa Al-Quran yang Allah turunkan kepada Rasulullah Muhammad mutlak bersih dari kebengkokan dalam bentuk apapun (‘iwajan menggunakan bentuk ismun nakirah, umum, indefinite, bermakna segala bentuk kebengkokan).
Di akhir zaman ini, kita melihat banyak sekali upaya-upaya orang kafir dan bahkan orang yang mengaku muslim untuk mengekspos “kontradiksi” dalam Al-Quran.
Allah Mahatahu akan hal ini. Oleh karena itu, Dia memerintahkan rasulNya untuk memperingatkan umatnya bahwa upaya-upaya semacam ini hanyalah omong-kosong belaka melalui petunjuk umum sebagaimana yang kita dapat dari hadits di atas.
Selain itu, penyebutan kata ‘iwajan dalam ayat tersebut semestinya juga memantik perhatian kita untuk lebih dalam lagi mempelajari Al-Quran agar kita tidak termakan oleh isu “kontradiksi” Al-Quran yang dilancarkan orang kafir. Setidaknya ketika ada pertanyaan semacam ini, “Mana yang benar, urusan langit yang dibawa para malaikat itu naik kembali ke Allah dalam sehari yang kadarnya sama dengan 1.000 tahun atau 50.000 tahun?” kita masih mampu menjawab dengan tepat tanpa didahului keringat dingin. Bagaimana? Anda mampu?
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,
Biasanya, tahapan pendidikan Qur’ani adalah basyiran (kabar gembira) baru kemudian nadziran (peringatan) sebagaimana dalam QS Al-Baqarah: 119. Namun, di ayat kedua QS Al-Kahfi ini tahapannya terbalik, yundzira baru kemudian yubasysyira. Peringatan lebih diprioritaskan daripada kabar gembira. Selain itu, pada yubasysyira terdapat informasi yang jelas tentang target dan kontennya: targetnya adalah al-mu’minin alladzina ya’malunash shalihat dan kontennya adalah anna lahum ajran hasana. Sementara pada yundzira tidak ada info tentang target. Yang ada hanya info konten, yaitu ba’san syadidan min ladunhu. Jadi, selain prioritas peringatan di akhir zaman ini lebih tinggi, targetnya pun lebih luas karena tidak dibatasi sebagaimana kabar gembira.
Secara tersirat, kita harusnya sadar bahwa ayat ini mengindikasikan betapa rusaknya akhir zaman (ya zaman kita ini) sampai-sampai peringatan dan ancaman harus lebih diutamakan daripada kabar gembira. Kita, yang hidup di akhir zaman ini, semestinya tidak boleh terlalu husnuzhzhan terhadap apapun yang kita peroleh dari mayoritas manusia karena sunnatullah generasi akhir zaman adalah lebih banyak rusaknya daripada baiknya. QS Al-Kahfi ayat 2 ini adalah rekomendasi bagi kita, generasi akhir zaman, agar senantiasa mempelajari Al-Quran dan lebih banyak mengingat peringatan di dalamnya, baru kemudian kabar gembiranya.
مَّاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا
mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Nah, kabar gembira di ayat ini cukup sederhana. Beriman DAN beramal shalihlah kamu, maka kamu akan kekal di dalam pembalasan yang baik, yaitu surga. Though it’s more easily said than done, it’s indeed that simple.
وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا
Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.
Nah, ini salah satu bagian paling menarik dari fragmen surah ini, menurut saya. Kebanyakan kita cenderung menganggap bahwa ayat ini berbicara tentang orang Nasrani. Hohoho… Jangan terburu-buru. Coba kita perhatikan lagi, adakah disebutkan dalam ayat ini dan ayat-ayat setelahnya secara spesifik bahwa yang berkata, “Allah mengambil seorang anak,” itu hanya kaum Nasrani? Tidak ada! Bahkan, nanti kita akan lihat bahwa ayat ini juga berkenaan dengan orang-orang sebelum kaum Nasrani.
Yang sangat menarik dari ayat ini adalah betapa Allah memberi porsi khusus untuk peringatan kepada orang-orang yang meyakini bahwa Allah mengambil atau mengangkat seorang anak. Ayat ini, yang merupakan bagian dari fragmen surah yang menurut Rasulullah SAW dapat menyelamatkan kita dari fitnah Dajjal, mengindikasikan bahwa di akhir zaman ini terdapat fitnah yang begitu besar dari sistem-sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa “Tuhan mengambil anak”.
Kita muslimin Indonesia sangat rentan menganggap bahwa ayat ini berbicara tentang Nasrani. Namun, bila kita perhatikan seluruh kebudayaan musyrik di muka bumi ini, mulai dari paganisme sampai Judeo-Christianity, mulai dari Arab pra-Islam sampai Shinto, semuanya meyakini bahwa Tuhan telah mengambil satu atau beberapa anak! Ayat tadi sesungguhnya sedang mengarahkan perhatian kita kepada satu karakteristik dasar dari seluruh kesyirikan di muka bumi! Tidakkah kita memperhatikan?
Selain itu, jika kita mau look into the big picture, akan kita dapati bahwa seluruh teologi musyrik di dunia ini memiliki satu kerangka yang sama, yaitu trinitas. Kesamaan-kesamaan ini telah diungkapkan pula di ayat berikutnya.
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Perhatikan, ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang meyakini “Allah telah mengambil seorang anak” sesungguhnya bukan kaum pertama yang berkata demikian. Sebelum mereka, telah ada kaum lain yang meyakini hal serupa. Abaihim di sana tidak letterlijk bermakna bapak-bapak mereka saja, tapi justru lebih luas, yaitu mencakup juga orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Jalalain.
Baik yang terdahulu maupun terkemudian, semuanya sama-sama buruk, dusta, dan celaka. Dan, karena Rasulullah SAW sudah mengabarkan bahwa hafalan 10 ayat pertama Al-Kahfi dapat melindungi kita dari fitnah Dajjal, maka dapat disimpulkan bahwa semua kaum yang meyakini “Allah telah mengambil anak” pasti punya hubungan dengan Dajjal, baik langsung maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Mulai sekarang, perhatikanlah semua sistem keyakinan semacam ini dan lihatlah betapa mereka semua sesungguhnya sedang berjalan menuju satu pusat yang sama: penyambutan datangnya Al-Masih Ad-Dajjal.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). [18:6] Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. [18:7] Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. [18:8]
Ayat keenam sesungguhnya sedang memperingatkan para da’i bahwa beratnya fitnah di Akhir Zaman akan membuat begitu banyak orang, termasuk keluarga dekat kita, dengan mudah menolak Islam. Begitu dekatnya para penolak Islam ini dengan kita sampai-sampai penolakan mereka akan membuat kita begitu sedih, marah, kecewa, dan khawatir hingga kita pun akan berpikir untuk bunuh diri saja.
Perlu kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan kekhawatiran yang begitu mendalam untuk membuat seseorang berpikir ingin bunuh diri. Dan ayat di atas mengabarkan bahwa kesedihan, kemarahan, kekecewaan, serta kekhawatiran sedalam itulah yang akan kita hadapi ketika kita memutuskan untuk ber-Islam secara sungguh-sungguh, apalagi berdakwah menyeru keluarga kita dan orang-orang dekat kita kepada Islam. Mengapa dakwah kepada diri sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, di Akhir Zaman ini begitu berat? Sebab, ada empat lini kehidupan yang sudah sedemikian parah dirasuki oleh fitnah Dajjal. Lini yang pertama adalah Fun (Kesenangan).
Hari ini, jenis kesenangan apa yang tidak disentuh oleh fitnah Dajjal institusional? Food, fashion, festivity, fitness, dan fandom, semuanya telah dirasuki oleh agen-agen Dajjal, baik dengan maupun tanpa mereka sadari. Bahkan saya yang sedang menulis artikel ini pun bisa jadi telah menjadi agen Dajjal di beberapa kesempatan yang saya lalui dalam kehidupan saya. Na’udzu billahi tsumma na’udzu billah.
Makanan-makanan kita hari ini, cara berpakaian kita hari ini, perayaan-perayaan kita hari ini, definisi kebugaran kita hari ini, dan idola-idola kita hari ini, mayoritasnya adalah hasil indoktrinasi “Dajjal” melalui corong-corong media dan korporasinya. Jika ingin didaftar satu per satu, tentu tidak akan cukup satu postingan ini mendata semuanya. Demikianlah gambaran betapa luasnya pengaruh Dajjal di sektor kesenangan umat manusia hari ini.
Kebebasan mungkin merupakan salah satu kata berkonotasi positif yang paling banyak disalahgunakan hari ini. Atas nama kebebasan, pelacur dibayar bak profesional bermartabat. Atas nama kebebasan, maling pun diusung menjadi pemimpin masyarakat. Atas nama kebebasan, gadis-gadis jelita diperdagangkan di layar kaca dalam kemasan sarat syahwat. Atas nama kebebasan, para orang tua banyak dihin oleh anak-anak mereka sendiri yang sedari kecil mereka jaga dan rawat. Dan yang paling parah, atas nama kebebasan, umat manusia meninggalkan Tuhan layaknya kupon yang masa berlakunya telah lewat.
Arus ateisme dan homoseksualisme menerpa segenap umat manusia dengan kecepatan yang tak pernah disaksikan oleh peradaban-peradaban sebelum kita. Lesbian dan gay kini bukan lagi monopoli mereka yang doyan clubbing saja, namun juga sudah merangsek ke kalangan aktivis masjid. Na’udzu billah. Na’udzu billah. Tsumma na’udzu billah.
Wanita hari ini merupakan salah satu komoditas fitnah paling laris sehingga perlu disebutkan secara khusus. Fitnah wanita hari ini merupakan fitnah multidimensional sehingga tidak bisa dianggap sebagai fitnah dari segi kesenangan semata.
Dari arah pemikiran, para wanita telah dilanda fitnah feminisme (feminism). Dari arah pencitraan, para wanita telah dilanda fitnah standar kecantikan yang hanya mendewakan penampilan fisik (face and figure). Dari arah pergaulan, banyak wanita secara aktif terlibat dalam praktik seks bebas (free sex), baik sebagai subjek maupun objek.
Tidak heran bila Allah memberi ganjaran luar biasa bagi para orang tua yang mampu membesarkan anak perempuan menjadi wanita shalihah yang bertakwa kepada Allah hingga akhir hayatnya.
Pintu fitnah terakhir yang terangkum dalam ayat 6-8 dari QS Al-Kahfi di atas adalah Keuangan. Mayoritas fitnah keuangan ini mengorbit satu dosa besar yang sama yang sejak 14 abad yang lalu telah Allah perintahkan kepada kita untuk menjauhinya, yaitu dosa riba.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [2:275]
Derajat keharaman riba tidak lebih rendah dari derajat keharaman babi. Akan tetapi, hari ini, bukannya menjauhi riba layaknya kita menjauhi babi, kita justru mengkonsumsi riba layaknya kita mengkonsumsi nasi. Sudah jadi kebutuhan pokok. Na’udzu billahi min dzalik.
Dan praktis tak ada satu manusia pun yang bisa lari dari hal ini. Mengapa? Karena uang yang kita pakai pun pada dasarnya memanfaatkan prinsip riba.Dikuasai Rothschild ataupun tidak, bank-bank sentral kita hari ini adalah iblis yang telah menjerumuskan segenap umat manusia ke dalam riba massal.
Kesenangan, kebebasan, wanita, dan keuangan, semuanya adalah sektor-sektor perhiasan dunia yang telah dikuasai oleh agen-agen Dajjal institusional dalam rangka mempersiapkan umat manusia untuk menerima Dajjal personal sebagai tuhan baru mereka.
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?
Di ayat 9 ini, Allah mengarahkan perhatian kita kepada kisah Ashabul Kahfi. Kisah ini sendiri dalam QS Al-Kahfi sebenarnya diceritakan sejak ayat 9 ini sampai ayat 26. Namun, mengapa hanya sampai ayat 10 yang Rasulullah sebut dapat menyelamatkan umatnya dari fitnah Dajjal?
Bagi saya, sekali lagi hanya bagi saya pribadi, ini adalah isyarat bahwa ada beberapa karakteristik mendasar dari peristiwa Ashabul Kahfi yang akan dialami juga oleh orang-orang beriman di masa kekuasaan Dajjal atas umat manusia. Karakteristik yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Ashabul Kahfi adalah para pemuda yang beriman kepada Allah semata di saat mayoritas penduduk negeri dan penguasa mereka menganut paganisme. Produk turunan paganisme hari ini adalah demokrasi dan agama Kristen (akar hari raya Natal disinyalir adalah hari lahir Mitras, sesembahan salah satu sekte pagan Romawi; akar hari raya Paskah/Easter disinyalir adalah pemujaan terhadap Ishtar dari Babilonia, atau Astarte dari Yunani, atau Ashtoreth dari Yahudi).Ashabul Kahfi tidak mampu melawan penguasa dengan tangan dan lisan. Mereka hanya mampu melawan dengan hati yang resisten. (Sekarang, siapa yang bisa menentang kebijakan uang kertas, sistem pemerintahan parlementer, pengambilan hukum dari sumber selain Al-Quran, dan legalisasi zina?)Ashabul Kahfi tidak dimenangkan dalam peperangan. Mereka hanya diselamatkan oleh Allah dari rencana penangkapan yang disusun Kaisar Trajan. (Saat ini pun kita tidak bisa berharap menang dari mayoritas paganis yang menguasai dunia. Kita hanya bisa berharap Allah menolong kita mempertahankan iman tauhid kepadaNya semata.)Ashabul Kahfi melarikan diri dan bersembunyi di gua. (Mungkin ini cara paling efektif untuk menghadapi Dajjal sistemik hari ini? Yah, kita nggak usah segitu banget juga. Maksudnya, kita “mengurung diri” di komunitas yang terpisah sama sekali dari segala hiruk-pikuk fitnah zaman ini sambil terus membangun kemandirian hidup dan kedekatan dengan Allah di komunitas ini.)
Mungkin segini saja karakteristik yang bisa saya data. Kalaupun ada tambahan, pastinya karakteristik itu berasal dari fragmen kisah mereka sebelum mereka tertidur. Mengapa? Karena kisah tidurnya mereka hingga dibangunkan dan pada akhirnya meninggal sudah berada di luar rentang ayat 1 sampai 10. Yang dikabarkan Rasulullah dapat menolong kita dari fitnah Dajjal hanya hafalan ayat 1 sampai 10 dari QS Al-Kahfi.
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.
Nah, ayat 10 cuma sampai sini. Cuma sampai momen ketika Ashabul Kahfi berlindung ke dalam gua dan berdoa seperti di atas. Bagi saya, ini adalah indikasi bahwa karakteristik fitnah yang kita hadapi di akhir zaman ini sangat mirip dengan karakteristik fitnah di zaman Ashabul Kahfi, TAPI mukjizatnya tidak. Kita tidak akan tertidur selama 300 tahun Masehi dan tiba-tiba bangun di zaman Imam Mahdi, Ratu Agung, Satrio Piningit, atau bahkan Kerajaan Tuhan 1000 tahun. Tidak. Fitnahnya mungkin mirip, malah justru lebih parah, tapi kali ini kita akan menghadapinya secara manusiawi, bukan dengan bantuan mukjizat, setidaknya sampai Nabi Isa (atau Yesus) putra Maryam (atau Maria) turun ke bumi.
Oleh karena itu, selagi menunggu mukjizat, yang bisa kita lakukan hanyalah memperkuat keimanan kita sekuat mungkin, berlindung dari segala fitnah zaman ini, sambil terus memohon kepada Allah, “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Minggu, 12 November 2017
Sejarah Pertapaan Gunung Pucangan Jombang
Setiap malam Jum’at Legi, Gunung Pucangan selalu ramai dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah. Mereka datang ke tempat keramat tersebut dengan berbagai tujuan, dan konon katanya segala permasalahan hidup bisa terselesaikan di Gunung Pucangan, salah satu tempat keramat yang dipercaya oleh masyarakat sekitar. Gunung yang terkenal sebagai tempat keramat ini terletak di Desa Cupak, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasi Gunung Pucangan ini terletak beberapa kilometer dari Sendang Made dimana setiap tahunnya dijadikan tempat untuk ritual wisuda waranggana atau sinden tayub. Lokasinya yang cukup terpencil yaitu harus melewati hutan jati yang amat sepi tidak membuat warga setempat merasa takut. Tetap saja Gunung ini ramai dikunjungi oleh orang yang membawa niat tertentu.
Di tempat keramat ini bisa kita jumpai beberapa sendang, petilasan dan juga makam keramat. Ada sebuah sendang yang bernama Sendang Drajad yang konon kabarnya sendang ini dipercaya mampu meningkatkan derajat seseorang. Kemudian ada Sendang Widodaren yang dipercaya pada zaman dahulu sebagai tempat mandi para bidadari. Masyarakat percaya bahwa jika seorang wanita mandi di sendang widodaren, atau bahkan sekedar membasuh muka di tempat ini maka ia akan nampak awet muda dan aura kecantikannya keluar. Entah dipercaya atau tidak namun itulah mitos yang beredar di sendang widodaren ini.
Di kompleks yang terkenal sebagai tempat keramat ini terdapat juga makam Maling Cluring dan Maling Adiguna yang konon bisa masuk rumah melalui sorot lampu yang keluar dari celah-celah dinding. Kedua maling ini merupakan maling yang budiman, dan dikenal baik hati serta banyak cerita yang mengisahkan kedua maling ini banyak membantu warga sekitar. Diantara banyak makam di kompleks ini, makam yang paling keramat dan termashur adalah makam dari Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga yang memilih menjadi pertama daripada jadi ratu. Hal ini menyebabkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi dua menjadi Kahuripan dan Dhaha.
Menurut penduduk setempat, apabila malam Jumat Legi tiba maka banyak sekali peziarah yang datang ke tempat ini untuk melakukan berbagai ritual dan juga memberikan sesembahan. Ada yang datang membawa nasi ingkung beserta lauk pauknya untuk dikendurikan atau dimakan secara bersama oleh mereka yang kebetulan hadir di tempat keramat itu. Ketika mereka ditanya, ternyata hajat mereka adalah untuk mengirim doa kepada para leluhur, agar keluarga mereka yang sakit cepat disembuhkan. Ada juga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, anaknya cepat lulus kuliah dan lulus sekolah, serta ada yang ingin lancar dalam usaha.
Menurut mbak Tik, salah satu juru kunci wanita yang menjaga tempat keramat tersebut orang datang ke Gunung Pucangan adalah orang-orang yang banyak mengalami masalah. Mulai dari masalah ekonomi, usahanya yang seret, jabatan tidak naik-naik, tak segera mendapatkan jodoh, dan segala permasalahan hidup lainnya. Meski banyak permasalahan hidup, lebih-lebih masalah ekonomi tetapi bukan berarti orang yang kaya tidak turut datang di tempat keramat ini. Mereka justru datang dengan hajat agar usaha dan pekerjaannya semakin mapan dan semakin baik lagi dari sebelumnya.
Menurut sang juru kunci, untuk semakin menambah yakin agar ritual di Gunung Pucangan membuahkan hasil yang maksimal, biasanya para peziarah terlebih dahulu disyaratkan harus mandi atau membersihkan diri mengunakan air di beberapa sendang yang lokasinya ada di sekitar makam Dewi Kilisuci. Setelah ritual membersihkan diri, peziarah bisa menghadap langsung ke makam Dewi Kilisuci dengan diantar oleh jurukunci. Doa pembuka biasanya dilakukan oleh jurukunci, setelah itu peziarah bisa langsung mengungkapkan maksud kedatangannya, baik dengan suara keras atau cukup dalam hati.
Meski begitu, tidak sedikit pula, yang mengungkapkan maksud dan tujuannya sambil disertai bernadzar. Misalnya, jika apa yang akan dilukukan sukses atau berhasil, ia berjanji akan datang lagi sambil mengadakan syukuran. Yang lebih heboh, bahkan pernah ada yang sukses luar biasa lalu kembali datang lagi sambil membawa seekor sapi untuk disembelih di tempat tersebut. Setelah sapi itu disembelih oleh penduduk sekitar yang kebanyakan terdiri dari keluarga jurukunci makam, daging sapi itu lalu dibagi-bagikan sebagai ungkapan rasa syukur anak nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Gunung Pucangan sebagai tempat ziarah yang favorit banyak orang sebenarnya sudah lama terjadi. Sarana dan prasarana yang terus diperbaiki membuktikan jika tempat ini memang sering menjadi jujugan orang yang ingin ngalap berkah. Berhasil tidaknya, memang tergantung masing-masing peziarah. Yang tidak boleh dilupakan saat ritual adalah menata hati agar iklas dan sabar dalam setiap tindak dan prilakunya. Sebab, iklas dan sabar terkadang menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.
GUNUNG PUCANGAN DI MASA LAMPAU
Pertapaan gunung Pucangan, sebenarnya adalah tempat dimana dahulu sinuwun Bathara Erlangga bertapa-brata, ketika beliau menjalani pelarian selama dua tahun.
Pada malam pernikahannya dengan Dewi Galuh Sekar Kedahaton, puteri Bathara Ring Medang----raja di Medang----Dharmawangsa Teguh, kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang) diserang oleh pasukan Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang).
Dalam tragedi yang disebut Pralaya Medang (prasasti Pucangan/Calcutta Stones) itu, Dharmawangsa Teguh beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas. Kota Watan menjadi lautan api. Istana Medang diratakan dengan tanah. Pasangan pengantin, Erlangga muda dan Galuh Sekar Kedhaton berhasil lolos dari pembunuhan setelah diselamatkan abdi kinasihnya, Narottama dan Ken Bayan.
Selama pelarian, Erlangga keluar masuk hutan dan gunung. Dari Watan, mereka menuju gunung Lawu, Wonogiri, gunung Wilis, gunung Klotok, gunung Mas Kumambang, gunung Tunggorono hingga akhirnya sampai di kabuyutan Sidayu di Girisik (Sedayu, Gresik, Jawa Timur sekarang).
Dewi Galuh Sekar Kedhaton dititipkan di rumah Ki Buyut Sidayu, pemangku wilayah itu. Ken Bayan diperintahkan kembali ke Watan untuk mengumpulkan sisa-sia loyalis mendiang Bathara Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga dan Narottama melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang menurut pawisik niskala----bisikan ghaib----adalah tempat suci. Gunung Pucangan.
Bathara Erlangga menjalani tapa brata di puncak gunung yang merupakan rangkain dari pegunungan kapur Kendeng. Dua tahun kemudian, dia menjelma menjadi sosok kesatria digdaya, konon adalah titisan Sang Hyang Wisnu (Dewata pemelihara perdamaian dan kelestarian alam semesta). Lwaram ditaklukkan, kemudian menantu Bathara Dharmawangsa Teguh itu mendirikan negeri baru di Watan Mas, daerah lereng gunung Pawitra, bernama Kahuripan.
Dari lereng gunung Pawitra (Penanggungan, Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Kahuripan pernah mengalami beberapa kali pemindahan. Diantaranya ke utara Bengawan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang), Patakan (desa Pataan, kecamatan Sambeng, Lamongan, Jawa Timur sekarang) hingga terakhir di Dahanapura/Daha (sekitar kota Kediri, Jawa Timur sekarang).
Saat bertahta di kota Daha inilah, pada Saka Warsa 964 (1042 Masehi), Bathara Erlangga turun dari Singgasana. Pendiri Kahuripan itu memutuskan meninggalkan segala pesona duniawi dan menjalani sisa hidup menjadi seorang Brahmana di tempat dahulu dia bertapa brata. Gunung Pucangan.
Dalam Serat Calon Arang, Bathara Erlangga kemudian dikenal sebagai Resi Gentayu. Menurut Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Resi Erlangga Jatiningrat. Sedangkan pada prasasti Gandhakuti, namanya ditulis sebagai Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan urutan trah pewaris tahta, putri mahkota yang bernama Rakryan I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi, anak Bathara Erlangga dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedhaton adalah yang berhak menduduki singgasana Kahuripan.
Di luar dugaan, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menolak naik tahta. Dia mengikuti jejak ramandanya menjadi seorang pertapa. Meninggalkan segala pesona duniawi. Keadaan ini membuat dua anak Batara Erlangga yang lain, berebut kekuasaan. Mereka adalah Sri Samarawijaya, adik Sanggramawijaya Dharmaparasada Utunggadewi dengan Mapanji Garasakan, anak dari garwa selir.
Seorang Brahmana bernama Mpu Bharada ditugaskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua wilayah. Bengawan Brantas dan Gunung Kawi dijadikan batas. Jenggala (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Mapanji Garasakan dan Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kediri, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Sri Samarawijaya (Kakawin Negarakertagama).
Sementara, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi bertapa dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, puteri Bathara Erlangga itu menetap di puncak gunung Pucangan. Meneruskan ramandanya yang telah mangkat pada Saka Warsa 971 (1049 Masehi).
Hingga akhir hayatnya, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menjadi pertapa wanita di puncak gunung Pucangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Dewi Kili Suci.
PERTAPAAN GUNUNG PUCANGAN SEKARANG
Kini, tempat moksa----sirna jiwa dan raga, kembali ke Sang Pencipta----Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi itu dinamakan Situs Makam Dewi Kili Suci.
Sejak era Islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa sengaja di-visual-kan dalam bentuk makam. Hal ini untuk mengikis sifat musyrik dan menggantinya dengan tradisi ziaroh.
Saat ini, di situs gunung Pucangan, selain makam Dewi Kili Suci, kita juga bisa menjumpai beberapa makam lain. Diantarnya makam Maling Cluring, makam Maling Adiguna dan makam Eyang Ronggo.
Di tempat keramat ini bisa kita jumpai beberapa sendang, petilasan dan juga makam keramat. Ada sebuah sendang yang bernama Sendang Drajad yang konon kabarnya sendang ini dipercaya mampu meningkatkan derajat seseorang. Kemudian ada Sendang Widodaren yang dipercaya pada zaman dahulu sebagai tempat mandi para bidadari. Masyarakat percaya bahwa jika seorang wanita mandi di sendang widodaren, atau bahkan sekedar membasuh muka di tempat ini maka ia akan nampak awet muda dan aura kecantikannya keluar. Entah dipercaya atau tidak namun itulah mitos yang beredar di sendang widodaren ini.
Di kompleks yang terkenal sebagai tempat keramat ini terdapat juga makam Maling Cluring dan Maling Adiguna yang konon bisa masuk rumah melalui sorot lampu yang keluar dari celah-celah dinding. Kedua maling ini merupakan maling yang budiman, dan dikenal baik hati serta banyak cerita yang mengisahkan kedua maling ini banyak membantu warga sekitar. Diantara banyak makam di kompleks ini, makam yang paling keramat dan termashur adalah makam dari Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga yang memilih menjadi pertama daripada jadi ratu. Hal ini menyebabkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi dua menjadi Kahuripan dan Dhaha.
Menurut penduduk setempat, apabila malam Jumat Legi tiba maka banyak sekali peziarah yang datang ke tempat ini untuk melakukan berbagai ritual dan juga memberikan sesembahan. Ada yang datang membawa nasi ingkung beserta lauk pauknya untuk dikendurikan atau dimakan secara bersama oleh mereka yang kebetulan hadir di tempat keramat itu. Ketika mereka ditanya, ternyata hajat mereka adalah untuk mengirim doa kepada para leluhur, agar keluarga mereka yang sakit cepat disembuhkan. Ada juga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, anaknya cepat lulus kuliah dan lulus sekolah, serta ada yang ingin lancar dalam usaha.
Menurut mbak Tik, salah satu juru kunci wanita yang menjaga tempat keramat tersebut orang datang ke Gunung Pucangan adalah orang-orang yang banyak mengalami masalah. Mulai dari masalah ekonomi, usahanya yang seret, jabatan tidak naik-naik, tak segera mendapatkan jodoh, dan segala permasalahan hidup lainnya. Meski banyak permasalahan hidup, lebih-lebih masalah ekonomi tetapi bukan berarti orang yang kaya tidak turut datang di tempat keramat ini. Mereka justru datang dengan hajat agar usaha dan pekerjaannya semakin mapan dan semakin baik lagi dari sebelumnya.
Menurut sang juru kunci, untuk semakin menambah yakin agar ritual di Gunung Pucangan membuahkan hasil yang maksimal, biasanya para peziarah terlebih dahulu disyaratkan harus mandi atau membersihkan diri mengunakan air di beberapa sendang yang lokasinya ada di sekitar makam Dewi Kilisuci. Setelah ritual membersihkan diri, peziarah bisa menghadap langsung ke makam Dewi Kilisuci dengan diantar oleh jurukunci. Doa pembuka biasanya dilakukan oleh jurukunci, setelah itu peziarah bisa langsung mengungkapkan maksud kedatangannya, baik dengan suara keras atau cukup dalam hati.
Meski begitu, tidak sedikit pula, yang mengungkapkan maksud dan tujuannya sambil disertai bernadzar. Misalnya, jika apa yang akan dilukukan sukses atau berhasil, ia berjanji akan datang lagi sambil mengadakan syukuran. Yang lebih heboh, bahkan pernah ada yang sukses luar biasa lalu kembali datang lagi sambil membawa seekor sapi untuk disembelih di tempat tersebut. Setelah sapi itu disembelih oleh penduduk sekitar yang kebanyakan terdiri dari keluarga jurukunci makam, daging sapi itu lalu dibagi-bagikan sebagai ungkapan rasa syukur anak nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Gunung Pucangan sebagai tempat ziarah yang favorit banyak orang sebenarnya sudah lama terjadi. Sarana dan prasarana yang terus diperbaiki membuktikan jika tempat ini memang sering menjadi jujugan orang yang ingin ngalap berkah. Berhasil tidaknya, memang tergantung masing-masing peziarah. Yang tidak boleh dilupakan saat ritual adalah menata hati agar iklas dan sabar dalam setiap tindak dan prilakunya. Sebab, iklas dan sabar terkadang menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.
GUNUNG PUCANGAN DI MASA LAMPAU
Pertapaan gunung Pucangan, sebenarnya adalah tempat dimana dahulu sinuwun Bathara Erlangga bertapa-brata, ketika beliau menjalani pelarian selama dua tahun.
Pada malam pernikahannya dengan Dewi Galuh Sekar Kedahaton, puteri Bathara Ring Medang----raja di Medang----Dharmawangsa Teguh, kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang) diserang oleh pasukan Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang).
Dalam tragedi yang disebut Pralaya Medang (prasasti Pucangan/Calcutta Stones) itu, Dharmawangsa Teguh beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas. Kota Watan menjadi lautan api. Istana Medang diratakan dengan tanah. Pasangan pengantin, Erlangga muda dan Galuh Sekar Kedhaton berhasil lolos dari pembunuhan setelah diselamatkan abdi kinasihnya, Narottama dan Ken Bayan.
Selama pelarian, Erlangga keluar masuk hutan dan gunung. Dari Watan, mereka menuju gunung Lawu, Wonogiri, gunung Wilis, gunung Klotok, gunung Mas Kumambang, gunung Tunggorono hingga akhirnya sampai di kabuyutan Sidayu di Girisik (Sedayu, Gresik, Jawa Timur sekarang).
Dewi Galuh Sekar Kedhaton dititipkan di rumah Ki Buyut Sidayu, pemangku wilayah itu. Ken Bayan diperintahkan kembali ke Watan untuk mengumpulkan sisa-sia loyalis mendiang Bathara Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga dan Narottama melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang menurut pawisik niskala----bisikan ghaib----adalah tempat suci. Gunung Pucangan.
Bathara Erlangga menjalani tapa brata di puncak gunung yang merupakan rangkain dari pegunungan kapur Kendeng. Dua tahun kemudian, dia menjelma menjadi sosok kesatria digdaya, konon adalah titisan Sang Hyang Wisnu (Dewata pemelihara perdamaian dan kelestarian alam semesta). Lwaram ditaklukkan, kemudian menantu Bathara Dharmawangsa Teguh itu mendirikan negeri baru di Watan Mas, daerah lereng gunung Pawitra, bernama Kahuripan.
Dari lereng gunung Pawitra (Penanggungan, Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Kahuripan pernah mengalami beberapa kali pemindahan. Diantaranya ke utara Bengawan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang), Patakan (desa Pataan, kecamatan Sambeng, Lamongan, Jawa Timur sekarang) hingga terakhir di Dahanapura/Daha (sekitar kota Kediri, Jawa Timur sekarang).
Saat bertahta di kota Daha inilah, pada Saka Warsa 964 (1042 Masehi), Bathara Erlangga turun dari Singgasana. Pendiri Kahuripan itu memutuskan meninggalkan segala pesona duniawi dan menjalani sisa hidup menjadi seorang Brahmana di tempat dahulu dia bertapa brata. Gunung Pucangan.
Dalam Serat Calon Arang, Bathara Erlangga kemudian dikenal sebagai Resi Gentayu. Menurut Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Resi Erlangga Jatiningrat. Sedangkan pada prasasti Gandhakuti, namanya ditulis sebagai Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan urutan trah pewaris tahta, putri mahkota yang bernama Rakryan I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi, anak Bathara Erlangga dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedhaton adalah yang berhak menduduki singgasana Kahuripan.
Di luar dugaan, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menolak naik tahta. Dia mengikuti jejak ramandanya menjadi seorang pertapa. Meninggalkan segala pesona duniawi. Keadaan ini membuat dua anak Batara Erlangga yang lain, berebut kekuasaan. Mereka adalah Sri Samarawijaya, adik Sanggramawijaya Dharmaparasada Utunggadewi dengan Mapanji Garasakan, anak dari garwa selir.
Seorang Brahmana bernama Mpu Bharada ditugaskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua wilayah. Bengawan Brantas dan Gunung Kawi dijadikan batas. Jenggala (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Mapanji Garasakan dan Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kediri, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Sri Samarawijaya (Kakawin Negarakertagama).
Sementara, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi bertapa dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, puteri Bathara Erlangga itu menetap di puncak gunung Pucangan. Meneruskan ramandanya yang telah mangkat pada Saka Warsa 971 (1049 Masehi).
Hingga akhir hayatnya, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menjadi pertapa wanita di puncak gunung Pucangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Dewi Kili Suci.
PERTAPAAN GUNUNG PUCANGAN SEKARANG
Kini, tempat moksa----sirna jiwa dan raga, kembali ke Sang Pencipta----Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi itu dinamakan Situs Makam Dewi Kili Suci.
Sejak era Islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa sengaja di-visual-kan dalam bentuk makam. Hal ini untuk mengikis sifat musyrik dan menggantinya dengan tradisi ziaroh.
Saat ini, di situs gunung Pucangan, selain makam Dewi Kili Suci, kita juga bisa menjumpai beberapa makam lain. Diantarnya makam Maling Cluring, makam Maling Adiguna dan makam Eyang Ronggo.
Langganan:
Postingan (Atom)