Islam hanya mengenal pembunuhan terhadap hewan HARUS DENGAN CARA MENYEMBELIH DENGAN KETENTUAN MENYEBUT NAMA ALLAH TERLEBIH DAHULU….
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai, dan darah, dan daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih kerana yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan mati dipukul, dan mati jatuh, dan mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan yang disembelih atas nama berhala…..” (QS Al-Ma’idah: 3)
Syarat Penyembelihan :
1. Hewan yang disembelih harus dalam keadaan hidup.
Hewan yang telah mati sebelum disembelih, maka ia termasuk bangkai yang haram untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ......
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai…” [QS. Al-Baqarah : 173].
Catatan :
Haram hukumnya mengambil dan memakan daging yang diambil dari bagian tubuh hewan yang masih hidup. Daging yang terambil tersebut termasuk katagori bangkai, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Apa saja yang dipotong dari bagian tubuh hewan yang masih hidup, maka ia termasuk bangkai” [HR. Abu Dawud no. 2858 dan Ibnu Majah no. 3216; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/203].
2. Memotong kedua urat leher dan tenggorokan, sehingga darahnya mengalir.
Syarat ini berlaku pada hewan yang dapat dikendalikan, sedangkan hewan buruan atau hewan yang kabur dan tidak dapat disembelih dengan cara biasa, maka boleh dimakan setelah membidiknya dengan senjata di bagian manapun dari badannya. Diperbolehkan pula untuk memakan hewan buruan yang diburu dengan menggunakan anjing yang terlatih untuk berburu.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَاقُو الْعَدُوِّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجِلْ أَوْ أَرْنِي مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ وَسَأُحَدِّثُكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ قَالَ وَأَصَبْنَا نَهْبَ إِبِلٍ وَغَنَمٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَرَمَاهُ رَجُلٌ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِهَذِهِ الْإِبِلِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَإِذَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا شَيْءٌ فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا
Dari Raafi’ bin Khadiij ia berkata : “Ya Rasulullah, besok kita akan menghadapi musuh, sedangkan kita tidak mempunyai pisau untuk menyembelih (hewan yang akan kita makan) ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Segera cari apa saja yang bisa mengalirkan darah untuk menyembelih, sebutlah nama Allah, kemudian makanlah; asalkan bukan gigi dan kuku. Aku akan jelaskan padamu bahwasannya gigi itu pada hakekatnya tulang, sedangkan kuku itu adalah alat penyembelihan masyarakat Habasyah. Kemudian Raafi’ bin Khadiij berkata : “Kami banyak memperoleh harta rampasan perang berupa onta dan kambing. Ada seekor onta yang lepas, kemudian dibidik oleh seseorang dengan anak panah sehingga tertangkap. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya onta-onta ini mempunyai sifat liar seperti yang dimiliki oleh binatang liar. Jika ada yang tidak dapat kamu kendalikan, maka perlakukanlah (penyembelihan) sebagaimana tadi (yaitu membidiknya dengan anak panah)” [HR. Al-Bukhari no. 2488, 2507, 5509 dan Muslim no. 1968].
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا فَاذْبَحْهُ وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرَهُ وَقَدْ قَتَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّهُمَا قَتَلَهُ وَإِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ غَابَ عَنْكَ يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيهِ إِلَّا أَثَرَ سَهْمِكَ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيقًا فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ
Dari ‘Adi bin Haatim ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku : “Apabila kamu melepas anjing pemburu, maka sebutlah nama Allah. Apabila ia menangkap hewan hewan buruan untukmu, jika hewan buruan itu kamu temukan masih dalam keadaan hidup, maka sembelihlah. Dan jika hewan itu kamu temukan telah dibunuh oleh anjingmu tanpa dimakannya, maka makanlah. Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu lalu hewan buruan tersebut kamu temukan dalam keadaan terbunuh, maka kamu jangan memakannya karena kamu tidak tahu apakah anjingmu atau ataukah anjing lain tersebut yang membunuhnya. Apabila kamu membidikkan panah, maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang telah kamu panah tersebut baru kamu temukan setelah satu hari sedangkan di tubuhnnya tidak ada luka lain kecuali luka akibat anak panahmu, maka makanlah. Apabila kamu menemukan tenggelam di dalam air, maka jangan kamu makan” [HR. Al-Bukhari no. 5484 dan Muslim no. 1929].
3. Menggunakan alat penyembelihan yang dapat melukai selain tulang dan kuku.
Dalilnya adalah hadits Raafi’ bin Khadiij radliyallaahu ’anhu sebagaimana telah disebutkan di atas.
4. Penyembelih adalah seorang muslim atau Ahli Kitab, boleh laki-laki atau perempuan.
Kebolehan sembelihan dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah berdasarkan firman Allah ta’ala :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
”Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu..” [QS. Al-Maaidah : 5].
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ‘anhumaa ketika mengomentari ayat di atas berkata : ”Makanan mereka, yaitu sembelihan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 3/459 secara mu’allaq].
Tidak diperbolehkan penyembelihan dilakukan oleh penyembah berhala, Majusi, dan yang semisalnya. Hal ini telah menjadi satu kesepakatan, karena mereka semua tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih (yaitu menyebut nama berhala atau tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah). Allah ta’ala berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala....”[QS. Al-Maaidah : 3].
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wanita diperbolehkan untuk menyembelih adalah hadits Ka’ab bin ’Ujrah radliyallaahu ’anhu :
أن امرأة ذبحت شاة بحجر فسئل النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك فأمر بأكلها
”Bahwasannya seorang wanita menyembelih seekor kambing dengan menggunakan batu. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, dan kemudian beliau memerintahkan untuk memakannya” [HR. Al-Bukhari no. 5504].
Catatan :
Kebolehan penyembelihan yang dilakukan oleh Ahli Kitab adalah jika diketahui bahwa mereka tidak menyebut nama selain Allah ketika menyembelih. Namun jika telah diketahui bahwa mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih (misalnya menebut nama ’Isa ’alaihis-salaam atau yang semisalnya), maka haram hukumnya sembelihan mereka tersebut berdasarkan firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...” [QS. Al-Maaidah : 3].
5. Penyembelih adalah seorang yang berakal, sama saja apakah ia telah baligh atau belum baligh selama ia telah mencapai tamyiz.
Maka tidak sah sembelihan orang gila (majnun), anak-anak yang belum berakal, atau orang yang mabuk. Ini adalah madzhab jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabillah, dan Syafi’iyyah. Adapun Ibnu Hazm mensyaratkan baligh.
6. Menyebut nama Allah.
Jika seseorang sengaja meninggalkannya – padahal ia mampu untuk mengucapkannya (untuk menyebut nama Allah) – maka sembelihannya tidak boleh dimakan. Ini merupakan madzhab jumhur ulama. Namun apabila ia lupa ketika menyembelihnya, maka tidak mengapa (sembelihannya tetap boleh untuk dimakan). Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
”Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” [QS. Al-An’am : 121].
Adapun menurut Asy-Syafi’i – yang diriwayatkan dari Ahmad – menyebut nama Allah hanyalah sunnah saja. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :
إِنَّ قَوْمًا قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ أَمْ لَا ؟. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
”Ada sekelompok orang yang bertanya : ’Ya Rasulullah, ada orang yang memberi kami daging yang kami tidak tahu apakah penyembelihannya dengan menyebut nama Allah atau tidak?’. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab :”Sebutlah nama Allah, dan makanlah” [HR. Al-Bukhari no. 2057].
Selain itu pendapat ini juga berdalil dengan kebolehan yang diberikan oleh Allah untuk memakan sembelihan Ahli Kitab, padahal kita tahu bahwa mereka tidak menyebutkannya atau setidaknya ada keraguan (tidak bisa memastikan) mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Adanya keraguan dalam hal syarat, maka hal itu menunjukkan keraguan pada hal yang disyarati. Dan di sini menunjukkan bahwa menyebut nama Allah itu bukanlah termasuk syarat (wajib) dalam penyembelihan.
Terdapat pembahasan yang agak panjang mengenai hal ini. Namun, sebagai seorang muslim yang baik, tidak selayaknya bagi kita untuk meninggalkan penyebutan nama Allah dalam penyembelihan ketika kita mampu untuk mengucapkannya. Ini satu perwujudan sikap kehati-hatian dalam syari’at Islam.
Adab-Adab dalam Menyembelih
1. Berbuat baik (ihsan) dalam menyembelih.
Dilakukan dengan beberapa perkara, yaitu :
a) Menajamkan pisau/alat penyembelihan.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Dari Syaddaad bin Aus ia berkata : Dua hal yang aku hafal dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau berkata : ”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh (dalam qishash) maka berbuat baiklah dalam cara membunuh. Apabila kalian menyembelih, maka berbuat baiklah dalam cara menyembelih. Maka hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya” [HR. Muslim no. 1955, Ibnu Majah no. 3170, ’Abdurrazzaq no. 8630-8634, dan Ibnul-Jarud dalam Al-Muntaqaa no. 899].
b) Menjauhkan dari pandangan hewan sembelihan ketika menajamkan pisau.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قام رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته وهي تلحظ إليه ببصرها فقال : أفلا قبل أتريد أن تميتها موتًا
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Apakah sebelum ini kamu hendak mematikan dengan beberapa kematian ?” [HR. Al-Baihaqi 9/280 no. 19141, Al-Hakim 3/233, ‘Abdurrazzaq no. 8608; shahih].
c) Menggiring kambing menuju tempat penyembelihan dengan baik.
عن محمد بن سيرين أن عمر رضي الله عنه رأى رجلاً يجر شاة ليذبحها فضربه بالدرة وقال سقها لا أم لك إلى الموت سوقاً جميلاً
Dari Muhammad bin Siiriin : Bahwasannya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu melihat seorang laki-laki menarik seekor kambing untuk disembelih, lalu ia memukulnya dengan tongkat. Maka ‘Umar berkata dengan mencelanya : “Giring hewan ini kepada kematian yang baik” [HR. Al-Baihaqi 9/281].
Riwayat di atas adalah lemah karena adanya inqitha’ (keterputusan) antara Ibnu Sirin dengan ‘Umar. Akan tetapi makna hadits ini adalah shahih.
d) Membaringkan hewan yang akan disembelih.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy bertanduk yang kaki-kakinya hitam, perutnya hitam, dan sekitar matanya hitam. Kemudian dibawakan kepada beliau kambing dengan ciri-ciri tersebut. Beliau berkata kepada ‘Aisyah : “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan : “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan : “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya [HR. Muslim no. 1967 dan Abu Dawud no. 2792].
An-Nawawi berkata :
وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب إِضْجَاع الْغَنَم فِي الذَّبْح , وَأَنَّهَا لَا تُذْبَح قَائِمَة وَلَا بَارِكَة بَلْ مُضْجَعَة ; لِأَنَّهُ أَرْفَق بِهَا , وَبِهَذَا جَاءَتْ الْأَحَادِيث , وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ , وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء وَعَمَل الْمُسْلِمِينَ عَلَى أَنَّ إِضْجَاعهَا يَكُون عَلَى جَانِبهَا الْأَيْسَر ; لِأَنَّهُ أَسْهَل عَلَى الذَّابِح فِي أَخْذ السِّكِّين بِالْيَمِينِ , وَإِمْسَاك رَأْسهَا بِالْيَسَارِ
“Hadits ini menunjukkan sunnahnya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi dalam keadaan berbaring karena lebih mudah bagi kambing tersebut. Dan hadits-hadits yang ada menuntunkan demikian, juga kesepakatan kaum muslimin. Ulama sepakat dan juga amalan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya karena cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri” [Syarh Shahih Muslim 13/130].
e) Tempat atau bagian yang akan disembelih.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : الذَّكَاةُ فِي حَلْقِ اللُّبَّةِ
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Penyembelihan itu dilakukan di sekitar kerongkongan” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 8615; shahih].
Ibnu Qudamah telah berkata dalam Al-Mughni ketika menjelaskan tentang tempat/bagian penyembelihan sebagai berikut :
وأما المحل فالحلق واللبلة وهي الوهدة التي بين أصل العنق والصدر ولا يجوز الذبح في غير هذا المحل بالإجماع
”Adapun tempat/bagian penyembelihan adalah di tenggorokan dan leher, yaitu wahdah (cekungan/lekuk) yang terletak antara pangkal tenggorokan dan dada. Tidak diperbolehkan untuk menyembelih di tempat/bagian selain ini menurut ijma’ [selesai].
2. Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat.
عن نافع أن بن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة
Dari Naafi’ : Bahwasanya Ibnu ’Umar membenci daging sembelihan yang ketika disembelih dihadapkan selain dari arah kiblat” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 8585; shahih].
3. Meletakkan telapak kaki di atas sisi hewan sembelihan.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
Dari Anas ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir” [HR. Al-Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966].
Jika Sampai Kepala Hewan Terpotong Saat Penyembelihan
Yang lebih afdhal, kita tidak memotong secara sengaja kepala binatang yang disembelih sampai dia betul-betul mati. Beberapa ulama menilai makruh memotong anggota badan hewan yang disembelih sampai dia benar-benar telah mati. Diantara ulama yang memakruhkan adalah Atha, Amr bin Dinar, Imam Malik dan Imam as-Syafii.
Hanya saja, hukum makruh di atas berkaitan dengan teknis menyembelih. Artinya hal itu tidak mempengaruhi status keabsahan ibadah qurban dan kehalalan binatang yang terpotong kepalanya ketika menyembelih.
Imam Ibnu Qudamah mengatakan,
ولا يقطع عضو مما ذكي حتى تزهق نفسه؛ كره ذلك أهل العلم؛ منهم عطاء، وعمرو بن دينار، ومالك، والشافعي، ولا نعلم لهم مخالفا.
Tidak boleh memotong bagian hewan yang disembelih, sampai dia benar-benar mati. Para ulama memakruhkan hal itu, diantaranya Atha, Amr bin Dinar, Imam Malik, dan Imam as-Syafii. Dan saya tidak mengetahui adanya ulama yang berbeda dengan pendapat mereka dalam hal ini.
Kemudian Ibnu Qudamah melanjutkan,
وقد قال عمر – رضي الله عنه -: لا تعجلوا الأنفس حتى تزهق. فإن قطع عضو قبل زهوق النفس وبعد الذبح، فالظاهر إباحته؛ فإن أحمد سئل عن رجل ذبح دجاجة، فأبان رأسها؟ قال: يأكلها. قيل له: والذي بان منها أيضا؟ قال: نعم.
Umar bin Khatab mengatakan, ‘Jangan buru-buru dipotong badan hewan, sampai dia mati.’ Jika ada anggota badan yang terpotong, sebelum benar-benar mati, dan itu dilakukan setelah disembelih, yang dzahir, bagian potongan itu hukumnya halal. Karena Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang menyembelih ayam, sampai terpotong kepalanya. Jawab beliau, ‘Boleh dia makan.’ Beliau juga ditanya, ‘Anggota badan lainnya yang terpotong, boleh dimakan?’ jawab beliau, ‘Ya.’
Ibnu Qudamah kemudian menyebutkan beberapa riwayat sahabat,
قال البخاري: قال ابن عمر وابن عباس: إذا قطع الرأس. فلا بأس به. وبه قال عطاء، والحسن، والنخعي، والشعبي، والزهري، والشافعي، وإسحاق، وأبو ثور، وأصحاب الرأي
Al-bukhari meriwayatkan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengatakan, ‘Apabila kepala hewan terpotong, tidak masalah dimakan.’ Ini merupakan pendapat Atha, Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, as-Sya’bi, az-Zuhri, as-Syafii, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan ulama kufah.
Di bagian akhir, Ibnu Qudamah menyebutkan alasan mengapa hal itu halal,
وذلك لأن قطع ذلك العضو بعد حصول الذكاة، فأشبه ما لو قطعه بعد الموت
Hal itu karena terpotongnya anggota badan tersebut, terjadi setelah penyembelihan. Sehingga disamakan sebagaimana ketika dia dipotong setelah benar-benar mati. (al-Mughni, 9/401).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar