Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Manusia senantiasa dijaga oleh malaikat. Amal manusia dicatat oleh malaikat yang menyertainya, Raqib dan Atid. Karena semua amal manusia dicatat oleh malaikat dan manusia diberi pilihan, maka ketika seseorang atau masyarakat berada dalam kondisi buruk, mereka diperintahkan untuk melakukan perubahan. Begitu pula sebaliknya, kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. akan berganti menjadi malapetaka jika mereka mengubahnya. Perubahan yang terjadi diinformasikan oleh Allah Swt. hanya akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, baik ke arah baik maupun ke arah buruk. Ketika suatu masyarakat hendak berubah maka masyarakat itu sendirilah yang harus memperjuangkan dan melakukan perubahan, bukan yang lain.
Di samping itu, bukan hanya mereka sendiri yang harus melakukan perubahan, apa yang harus diubah pun dijelaskan dalam ayat ini. Allah Yang Mahatahu menegaskan bahwa yang harus diubah itu adalah segala sesuatu yang terkait dengan apa yang hendak diubah tersebut dan yang meniscayakan terjadinya perubahan. Pangkal dari semua itu adalah pemahaman (mafâhim). Artinya, untuk mengubah suatu keadaan harus dilakukan perubahan mafâhim.
Jika suatu masyarakat hendak mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi ekonomi Islam haruslah dilakukan perubahan pemahaman dalam diri mereka tentang kebobrokan ekonomi kapitalis sekaligus pemahaman tentang kewajiban menerapkan ekonomi Islam dan pemahaman tentang apa dan bagaimana sistem ekonomi Islam. Demikian juga untuk mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam; pemahaman jahiliah yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan sebagai pembentuk masyarakat harus diubah dan diganti menjadi pemahaman yang berdasarkan Islam.
Manusia adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk didiskusikan. Persoalan filsafat yang paling mendasar saat ini adalah persoalan tentang manusia itu sendiri. Siapa manusia? Kapan dan mengapa dia ada? Bagaimana seharusnya manusia yang sempurna? Semua pertanyaan itu terus menjadi persoalan manusia yang dikaji dalam berbagai perspektif psikologis, sosiologis, biologis, dan kajian-kajian lainnya.
Dalam berbagai aliran psikologi, seperti psikoanalisa (klasik) Sigmund Freud, memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dorongan-dorongan biologis yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila psikonalisa menganggap hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sementara aliran behavioral atau perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perlakuan yang dialami. Lain halnya dengan aliran humanistik yang memiliki asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya dan karena itu aliran ini memandang menusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.
Banyak hal yang membedakan antara konsepsi Islam dengan semua teori-teori psikologi. Islam dalam memandang manusia tidak bersifat deterministik, sebagaimana aliran psikoanalisa, juga tidak semata-mata membentuk kepribadian melalui lingkungan (behavioral), juga tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk mengikuti seluruh keinginan pribadinya (humanistic). Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia, yaitu pengganti kedudukan Tuhan di muka bumi. Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh makhluknya dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan tentang ini.
1. Manusia Sebagai Khalifah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)
Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di bumi, untuk kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti ia diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa malaikat belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia menunujukkan kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat kebaikan.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan tujuannya di dunia yaitu ibadah.
2.Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. setiap manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.
Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan (ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan berhasil memasuki telur dan membuahinya. jika manusia menyadari kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu merasa bangga akan dirinya dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.
Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dengan menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh. Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi. Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya, serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.
Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah ia berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang Pengawas tak lengah sedikitpun. Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar mampu melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang penciptanya.
3. Manusia Sebagai Makhluk Perubah
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat. Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.
Manusia Dituntut Untuk Berusaha
Nabi melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:
وَإِذَا ذَكَرَ (أَصْحَابِي) اَلْقَدْرَ فَأَمْسِكُوْا -الطبراني-.
“Jika sahabatku menyebut perkara takdir, maka hentikanlah mereka (membahas takdir)”
Ada dua hal yang perlu kita bicarakan mengenai takdir Allah, yaitu:
Pertama: Takdir merupakan rahasia Allah.
Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu mengetahui jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di luar negara), tatkala mati dalam keadaan apa?
Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau mati biasa. Begitu juga halnya dengan rezki yang diperoleh, berapa banyak jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal ghaib tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:
قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ -الأنعام: 50-.
“Katakanlah:”Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:”Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”.
Kerahasiaan ini ditegaskan dalam firman Allah:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ -الأنعام: 59-.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam firmanNya:
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ -لقمان: 34-.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kedua: Perubahan Takdir.
Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari, Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya adalah mengenai ajal, rezeqi dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.
1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ -الأنبياء: 35 -.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.
Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:
{وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ -الرعد:11-.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:
(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-
“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup menolaknya”.
2) Qada Mu’allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh Allah ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.
Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُون
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah
(لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ) -الترمذي-
“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali doa”.
Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:
(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).
Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan meminta ditambahkan rezkinya.
(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) -البخاري-
“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.
Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34 pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya satu takdir, melainkan ada beberapa takdir.
Sudah menjadi bahasa umum bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna dan yang akan menjadi khalifah di bumi ini. Semua apa yang ada di bumi ini oleh Allah di peruntukkan untuk manusia. Binatang, tumbuh-tumbuhan, air, api, tanah, udara, barang tambang dan lain sebagainya semua untuk memenuhi kebutuhan manusia selama ada di bumi. Artinya bahwa Allah di dalam menciptakan sesuatu ada maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya. Baik itu yang masih bersifat rahasia-belum ditemukan, maupun yang sudah ditemukan dan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Demikian pula Allah di dalam menciptakan manusia dilengkapi dengan anggota badan itu pun ada maksud dan tujuannya. Di dalam menciptakan manusia Allah melengkapi dengan dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan satu mulut.Tujuannya supaya manusia lebih Banyak Belajar melalui penglihatan (mata) dan pendengaran (telinga) serta lebih Banyak Berusaha dan Berjuang dengan tangan dan kaki-nya. Dan Allah memberikan satu mulut pada manusia agar tidak hanya banyak bicara, mengeluh dan meratapi nasib hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar