Blangkon dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno merupakan sebuah pakaian keseharian yang bisa dikatakan pakaian wajib. Terlebih dalam acara ritual seperti upacara adat, blangkon tidak pernah terlupakan. Blangkon memiliki makna filosofis yang sangat tinggi, walaupun bentuknya sederhana dengan warna biasa. Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan dirinya. Tidak seperti topi yang mungkin hanya dimaknai sebagai penutup kepala dan fashion. Keunggulan blangkon dari penutup kepala lainnya yakni terletak pada makna filosofis yang tersirat di dalam blangkon itu sendiri.
Ketika diri mengetahui makna filosofis yang tinggi di dalam blangkon itu sendiri, maka diri akan mempu menilai bahwa blangkon bukanlah sesuatu yang sederhana melainkan sesuatu yang sangat berharga. Makna filosofis blangkon sendiri terdiri dari beberapa hal sepertihalnya makna yang terkait pada sesuatu yang transedental.
Blangkon pada bagian belakang pasti memiliki dua ujung kain. Hal tersebut secara simbolis dari sendi-sendi agama Islam yakni shahadat tauhid dan shahadat rasul. Dimana dua kain tersebut diikat menjadi satu kesatuan menjadi syahadatain. Pemakaian blangkon pun terletak di kepala yakni sebagai simbolis bahwa syahadatain ditempatkan pada posisi teratas dan terhormat dalam diri manusia. Blangkon pun tidak bisa dan tidak boleh dikenakan di anggota badan yang lainya sebagai simbolis syahadat tidak boleh diletakkan di bawah sebab akan merusak agama atau keimanan, maka harus diletakka di posisi paling atas.
Selain itu juga menunjukkan bahwa apapun yang keluar dari kepala atau akal pikiran harus dilandasi dengan keimanan yang kuat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta memperhatikan aturan-aturan dan nilai-nilai keislaman. Dalam pemikiran yang sebebas apapun yang dilakukan manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya agar berguna dan bermanfaat bagi orang banyak. Alangkah lebih baiknya juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana ajaran islam rahmatan lil’alamin.
Apabila diperhatikan lebih mendalam blangkon memang memiliki keistimewaan tersendiri dalam setiap unsurnya. Sepertihalnya lipatan-lipatan yang melingkar dan dibelangnya terdapat mondolan. Lipatan tersebut berjumlah 17 lipatan dimana 17 tersebut merupakan simbolisme dari 17 rakaat dalam shalat lima waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia hidup harus mengutamakan dan jangan sampai melupakan sholat lima waktu. Selain itumondolan di belakang dengan simbolisme agar manusia tercegah dari tidur dan menutup mata. Tidur disini pun bukan hanya tidur sebagai sitirahat. Namun di dalam hidup manusia tidak boleh tidur, diusahakan harus bisa selalu mengingat Gusti dan selalumelek terhadap segala yang ada sehingga rasa empati, peduli, peka dan roso-pangrosonya terbangun dan selalu menyala. Sehingga manusia bisa selalu berjuang untuk berjalan rahman dan rahim dalam lelaku hidupnya.
Selian itu mondolan pun berada di tengah dan lurus ke atas, yakni memiliki simbolisme bahawa manusia harus berjuang untuk lurus, tegak menuju atau terhadap sang pencipta. Apabila ditarik benang merah makna mondolan merupakan pengingat agar manusia tidak menutup mata terhadap Sang Mahakuasa dan selalu lurus menjalankan perintahnya. Selain itu juga ingat untuk terus selalu berusaha seperti apa yang selalu dimohonkan dalam salat ‘ihdinasyirotol mustaqim’. Bukan hanya itu saja. Sisa kain di samping mondolan apabila dihitung berjumlah 6 yang mengandung simbol rukun iman dalam agama Islam.
Selain itu blangkon juga sebagi simbol pertemuan antara Jagad Alit (Microkosmos) dengan Jagad Gedhe (Macrokosmos).Blangkon merupakan isyarat jagad gedhe karena nilai-nilai trasedental. Sedangkan kepala yang ditumpangi blangkon merupakan isyarat jagad alit. Hal inin terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Oleh sebab itu agar manusia mampu menjalankan tugasnya di muka bumi ini membutuhkan kekuatan dari Tuhan yang disimboliskan dengan blangkon. Setelah manusia mendapatkan kekuatan tersebut resmilah ia sebagai kholifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam seisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu masyarakat Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain hamba Tuhan juga merupakah khalifah di bumi.
Makna filosofi blangkon di atas merupakan versi orang Jawa terutama jawa-islam. Makna tersebut tercipta pada periode penyebaran islam di pulau Jawa. Para penyebar agama islam yang kemudian dikenal sebagai wali Songo menggunakan simbolisasi blangkon sebagai media dakwah. Terutama sunan Kalijaga. Beliaulah orang yang kreatif memakai simbol-simbol kebudayaan sebagai sarana dakwah. Tak heran jika islam mampu diterima secara efektif oleh masyarakat Jawa saat itu sebab banyak memakai adat setempat sebagai medium dakwah.
Itulah makna filosofi blangkon yang sangat luas. Meski blangkon merupakan sesuatu yang sederhana, namun mampu memberikan mata air kearifan yang luhur. Ini menandakan bahwa para pendahulu masyarakat Jawa tidak pernah main-main dalam memaknai hidup. Mereka juga merupakan ahli pikir yang handal. Terbukti mereka mampu menciptakan sesuatu yang sederhana tetapi syarat makna. Itu merupakan hal yang luar biasa dan sulit ditiru. Boleh dikatakan bahwa mereka adalah para intelektual yang mampu menghasilkan karya-karya agung (magnum opus). Karya mereka bersifat abadi, bukan sementara. Buktinya sampai sekarang makna blangkon tetap memiliki relevansi dengan zaman. Meski blangkon tercipta berabad-abad lalu, namun maknanya masih segar sampai saaat ini.
Makna dan filosofi adiluhung dari blangkon adalah makna yang mengungkapkan perasaan dan harapannya dengan simbol-simbol unik dan artistik yang sebenarnya mengandung ajaran yang patut dijadikan pedoman dan teladan, yaitu dimana pun orang jawa berada tetap harus tahu jati dirinya (Jangan sampai Wong Jawa kari separo/ilang Jawane), walaupun secara konsep kita juga harus tetap menjunjung budaya dan adat istiadat di tempat kita sebagaimana pepatah dimana bumi dipijak disitu langit di junjung.
Jati diri tetap harus ada dan dimiliki oleh siapapun karena pada prinsipnya semua suku, agama, ras dan kepercayaan tetap membawa pesan yang baik dan positif untuk menjadi pedoman dan panduan agar hidup kita lebih baik.
Beberapa istilah yang terkandung dalam blangkon yang merupakan filosofi blangkon itu sendiri adalah:
1). Wiron/wiru yang berjumlah tujuh belas lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
2). Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat.
3).Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
4).Kemadha, bermakna menyamakan anak didik atau menganggap sama seperti putra sendiri.
5). Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja.
Makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon ada delapan, yaitu:
1). Motif Modang, mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
2). Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos dan apa adanya
3). Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
4). Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
5). Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
6). Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
7). Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi.
8). Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi.
Ternyata pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya. Seorang pembuat blangkon membutuhkan virtuso skill atau keahlian keindahan. Letak keindahan dari blangkon, selain dilihat dari pemenuhan pakem juga cita rasa sosial. Apalagi pakem blangkon sesungguhnya bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para pemakainya.
Ternyata blangkon memiliki filosofi transcendental antara mahluk dengan pencipta -Nya. Bila diperhatikan maka blangkon akan memiliki dua ujung kain yang mana satu mensimbolkan syahadat Tauhid dan satu lagi mensimbolkan syahadat Rasul. Bila dua syahadat tersebut disatukan maka akan menjadi syahdat ‘ain. Bila pertemuan dua syahadat tersebut diletakan diatas kepala artinya berada di tempat yang terhormat. Harapannya segala pemikiran yang keluar dari kepala didasarkan pada sendi-sendi Islam. Kini dalam perkembangan waktu, dari ikat kepala juga dapat diketahui asal usul seseorang.
Di dalamnya terdapat identitas yang di wakili oleh wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya. Semakin tinggi nilai yang diwakili maka kelas sosial pengguna blangkon dipastikan akan semakin tinggi pula. Namun tetap saja nilai utama yang hendak disampaikan adalah bentuk pengendalian diri. Jangan sampai kepala sebagai pusat dari tindak tanduk tidak terkontrol dengan baik. Nilai filosofis lain yang ada terlihat dari ada tidaknya mondolan adalah bentuk representasi dari orang Jawa khususnya Jogja yang suka menyembunyikan perasaan. Perasaan yang disembunyikan tersebut pada akhirnya akan muncul juga.
Hanya saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Ia hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih, jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya. Terbukti saat ini masyarakat jawa-islam sedikit demi mengalami pergeseran nilai.
Sebagai generasi muda, maka marilah bersama-sama menjaga kearifan lokal dan peninggalan nenek moyang terdahulu. Sebab hal tersebut merupakan kekayaan Bangsa Indonesia yang sangat berharga dan tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar