Wahyu Keprabon atau Pulung kekuasaan adalah restu ghaib dari TUHAN untuk seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi penguasa atau pemimpin, karena kekuasaan sejatinya adalah takdir yang sudah ditentukan.
Takdir inilah yang berperan akan hilang atau turunnya Wahyu Keprabon. Tetapi, walaupun Wahyu Keprabon merupakan sebuah takdir, namun seseorang bisa mendapatkannya dengan laku spiritual mesu rogo dan mesu jiwo.
Tapi sejatinya semua laku spiritual yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan Wahyu Keprabon merupakan rangkaian dari takdir yang sudah digariskan guna mempersiapkan seseorang atau wadah yang akan ketempatan Wahyu Keprabon pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan dan kepemimpinan selalu diselimuti aura spiritual. Kekuasaan selalu dikaitkan dengan sosok pemimpin yang sakral karena melibatkan campur tangan TUHAN, oleh sebab itulah hanya orang yang ketempatan Wahyu Keprabon saja yang bisa menjadi seorang penguasa.
Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon/Pulung Kekuasaan inilah yang diyakini layak menjadi seorang Raja/Pemimpin.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah sosok pemimpin sejati yang di anggap sebagai Satrio Pinilih yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Konsep Wahyu Keprabon dalam khasanah kekuasaan Kerajaan-Kerajaan di Jawa lebih dominan daripada konsep legitimasi hak-hak lainnya seperti silsilah atau keturunan. Seperti yang terjadi saat ini, keturunan Raja-Raja Mataram tidak menjadi penguasa di Negeri ini.
Konsep Wahyu Keprabon lebih menjelaskan kekuasaan mutlak seorang Raja/Pemimpin, bahkan ada anggapan jika menentang Raja itu sama halnya dengan melawan TUHAN, karena seorang Raja adalah penerima Wahyu Keprabon atau yang mendapat restu dari TUHAN untuk menjadi pemimpin.
Sesungguhnya, konsep Wahyu Keprabon ini menjadikan kedudukan Raja menjadi tidak stabil, sebab Wahyu Keprabon bisa pergi dari seseorang dan berpindah kepada orang lain yang di anggap lebih pantas menjadi wadahnya.
Jadi, Wahyu Keprabon tidak bersifat langgeng yang bisa dimiliki oleh seseorang beserta keturunannya, karena Wahyu Keprabon akan memilih siapa yang pantas menjadi wadahnya dan akan meninggalkan seseorang yang sudah tidak pantas lagi menjadi wadahnya (isi kang nggoleki wadah, dudu wadah kang nggoleki isi).
Oleh karena itulah, tampuk kekuasaan di Negeri ini selalu berpindah-pindah Dinasti sejak jaman Kerajaan dahulu.
Terlebih lagi adanya kepercayaan tentang jatah waktu kekuasaan ini sering dinyatakan dalam sebuah ramalan, bahwa menjelang akhir masa kekuasaan sering dikatakan bahwa Wahyu Keprabon telah hilang.
Hal itu juga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seorang Raja/Pemimpin untuk mempertahankan kekuasannya, sehingga keruntuhan sebuah Dinasti benar-benar terjadi sesuai yang diramalkan.
Pihak yang diramalkan ketempatan Wahyu Keprabon akan semakin kuat dan percaya diri karena meyakini bahwa ini adalah momentumnya untuk berkuasa, sedangkan pihak yang diramalkan kehilangan Wahyu Keprabon akan kehilangan kepercayaan diri yang akan membuatnya semakin lemah.
Hilangnya Wahyu Keprabon juga sering menimbulkan gejolak politik yang drastis maupun kekacauan-kekacauan lain yang memicu runtuhnya sebuah Dinasti/Kerajaan.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit (Wiwatikta), maka tidak ada lagi Wahyu agung yang di turunkan dibumi Nusantara ini. Terlebih setelah Raja-Raja besar di tanah Jawa ini banyak yang memilih moksa dan tinggal dalam dimensi keabadian atau alam kelanggengan, maka sudah tidak ada lagi Wahyu yang di turunkan di tanah Jawa Dwipa.
Kalaupun ada, itu hanya berskala kecil sehingga setelah masa Kerajaan Wilwatikta (Majapahit), maka tidak ada lagi pemimpin besar yang disegani dan memiliki pengaruh besar.
Tidak ada lagi karya-karya besar yang dihasilkan, tidak ada lagi pusaka-pusaka ampuh yang bisa dibuat oleh para Empu, tidak ada lagi bangunan-bangunan megah yang menggambarkan kejayaan sebuah Negara.
Setelah masa Kerajaan Wilwatikta (Majapahit) berakhir, tanah Jawa telah kehilangan pamornya. Tidak ada lagi kejayaan karena yang ada hanyalah Kerajaan-Kerajaan kecil yang tidak bisa bertahan lama.
Bahkan kemudian, tanah Jawa menjadi jajahan dan jarahan bangsa-bangsa lain dari tanah seberang. Lalu setelah jaman Kerajaan berakhir, Nusantara berganti ke jaman Republik yang masih terus dilanda kekisruhan meskipun statusnya telah merdeka.
Tanah Jawa tetap menjadi bahan perebutan kekuasaan dan jarahan dari orang-orang yang tidak berbudi luhur. Dan sampai hari ini Negeri ini masih tetap menangis karena masih tetap dijajah namun bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh bangsa kita sendiri, dijajah dan dijarah oleh orang-orang yang menghianati amanat rakyat.
Di tanah Jawa tidak ada lagi peranan dan campur tangan dari para Sang Hyang, Bhatara, Dewa yang merupakan para leluhur orang Jawa yang telah hidup dalam di alam kelanggengan (moksa).
Mereka tidak lagi membantu Negeri ini untuk keluar dari masalahnya, mereka tidak akan turun ke tanah Jawa untuk memberikan wejangan dan petunjuk untuk membangun sebuah peradaban besar jika tidak ada seorang Kesatria yang menerima Wahyu Keprabon dari TUHAN.
Karena tanpa hal itu, mereka tidak akan turun dari Kahyangan ke tanah Jawa Dwipa karena Wahyu Keprabon ibarat sebuah pintu dimensi yang mengharuskan mereka untuk masuk ke dalam urusan rumah tangga yang besar, yaitu membangkitkan kejayaan Nusantara.
Artinya, tanpa Wahyu Keprabon, maka perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara akan berjalan sendiri tanpa adanya pengayoman dari para leluhur Nusantara, sehingga tidak akan ada kejayaan yang semestinya bisa diraih seperti kejayaan pada masa lalu. Karena Negeri ini hanya berjalan sendiri tanpa kendali, sehingga terus menuju keterpurukan.
Dalam hal kepemimpinan tertinggi, ada satu hal yang membedakan Nusantara, khususnya pulau Jawa dengan wilayah lainnya di seluruh Dunia, yaitu tentang Wahyu Keprabon yang di turunkan oleh TUHAN kepada seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin besar Nusantara. Dengan itu pula, maka Bangsa ini baru akan perkasa dan kembali memimpin Dunia.
Dalam konteks kebudayaan Jawa, Wahyu bukan seperti Wahyu yang diterima oleh para Nabi. Wahyu di artikan sebagai karunia dari TUHAN yang diperoleh Manusia secara ghaib.
Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh TUHAN kepada seseorang yang di anggap pantas menjadi wadahnya. Sedangkan Manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan “mesu raga” dan “mesu jiwa” dengan jalan tirakat, puasa, bersemedi, bertapa dan laku kebatinan lainnya.
Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan Wahyu, kerena sejatinya Wahyu tidak bisa dicari, Wahyu hanya akan datang atas kehendak atau anugerah TUHAN.
Jadi semua usaha yang dilakukan untuk mendapatkan Wahyu sejatinya merupakan sebuah rangkaian takdir yang memang telah digariskan untuk mempersiapkan seseorang agar kuat atau pantas ketempatan Wahyu.
Disebutkan dalam kitab Babad Tanah Jawa, bahwa turunnya Wahyu atau Pulung digambarkan sebagai cahaya terang bagaikan bulan purnama dan bisa juga berwujud gumpalan cahaya atau seberkas sinar putih yang jatuh dari angkasa dan menyatu dalam tubuh seseorang yang sedang “mesu raga” dan “mesu jiwa“, baik sedang bersemedi atau bertapa.
Sedangkan dalam lakon wayang, tanda-tanda akan turunnya Wahyu datang berupa wangsit pada seorang Resi, Brahmana atau Pendeta atau orang yang sudah bersih jiwanya melalui mimpi.
Wangsit yang diterima itu lalu diberitahukan kepada orang lain, dalam hal ini biasanya orang yang sedang berguru atau menuntut ilmu kepadanya, atau kepada orang lain agar ia melakukan hal tertentu untuk mendapatkan sesuatu yang besar di kemudian hari, misalnya dengan jalan menyepi atau bertapa.
Namun keputusan tentang siapa yang akan memperoleh Wahyu sepenuhnya berada di tangan Sang Maha Pencipta, sedangkan Manusia hanya bisa berupaya untuk mendapatkannya.
Tidak mudah untuk menjalani laku “mesu raga” dan “mesu jiwa” untuk menerima Wahyu Keprabon, tidak sembarangan orang bisa dan sanggup menjalaninya karena hanya orang yang bersih hatinya dan tenang jiwanya yang dapat terpilih untuk memangkunya.
Jadi, orang yang tidak ditakdirkan menerima Wahyu Keprabon tidak akan kuat menjalani laku tirakat untuk mendapatkannya.
Khusus untuk seorang pemimpin besar Nusantara yang akan membawa Negeri ini pada kejayaannya kembali dan memimpin Dunia, maka dia harus orang yang ketempatan Wahyu dari TUHAN. Setidaknya ada lima Wahyu yang harus didapatkan, antara lain:
1. Wahyu Purba
Kata Purba dalam bahasa Sanskerta berarti kekuasaan atau wewenang. Wahyu Purba berarti suatu kebenaran Illahi yang bersifat mengatur atau menguasai yang mengandung makna bahwa didalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk Manusia itu sepenuhnya di atur dan dilakukan oleh kekuasaan Illahi. Tegasnya, satu-satunya pengatur dan pemerintah di alam semesta beserta segala isinya adalah TUHAN itu sendiri.
“Owah ono gingasring kahanan iku soko kersaning Pangeran Kang Murbahing Jagad”
Artinya: “Perubahan itu hanya atas kehendak Tuhan Yang Menguasai Jagad (alam semesta)”
Jika semua Manusia berpegang pada kaidah ini, maka kita tidak akan merasa takut kekurangan, menderita karena tidak punya jabatan, mengalami ketidak adilan, kehilangan kemerdekaan atau kebebasannya.
Kita akan tetap bisa menjalani hidup dengan tekun, sabar dan ikhlas dengan tidak perlu harus ambisius demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sehingga ketenangan akan didapatkan dalam arti yang sebenarnya.
Namun pada kenyataannya dalam menjalani kehidupannya, banyak orang yang masih saja mengukur nilai-nilai kehidupannya dengan ukuran yang tidak menentu. Kadang mengukur sesuatu dengan kebenaran Illahi, tetapi terkadang mengukur suatu tindakan itu selaras dengan kepentingannya sendiri.
Akibatnya, tatanan kehidupan menjadi tidak menentu, kacau dan terus merugikan pihak lain. Bahkan pada akhirnya timbulah sifat serakah dan angkara murka.
Inilah yang sedang terjadi saat ini, sehingga menyebabkan Bangsa ini semakin terpuruk dan jauh dari kejayaan yang semestinya. Miskin meskipun tanah ini memiliki segalanya.
Pemimpin besar Nusantara harus memiliki Wahyu Purba, artinya ia sudah berada pada kondisi hati yang telah benar-benar merasa cukup dan bersyukur. Tidak ada lagi keserakahan dan ambisi keduniawian.
Pemimpin yang memiliki Wahyu Purba adalah orang yang telah mengenal siapa TUHAN dan siapa dirinya sendiri.
Jika seseorang belum bisa memahami tentang kesadaran akan hakekat TUHAN-nya, maka Wahyu yang selanjutnya tidak akan pernah ia dapatkan. Sebab, bagaimana bisa ia mendapatkan wahyu yang lainnya jika ia sendiri tidak mengenal siapa TUHAN dan siapa dirinya sendiri dengan benar.
Artinya, dia hanya orang biasa yang tidak tahu bahwa tujuan hidup didunia ini adalah untuk kembali kepada TUHAN dalam keadaan yang lebih baik agar mendapatkan kedudukan yang baik di sisi TUHAN.
“Lamun siro kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, siro kudu weruh alamiro pribadi. Lamun siro durung mikani alamiro pribadi adoh ketemune”
Artinya: “Jika engkau ingin mengetahui alam keabadian, engkau harus lebih dulu mengenali alam pribadimu. Jika engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauh alam keabadian itu dari dirimu”
2. Wahyu Sejati
Sejati berarti ada, nyata, yang tunggal atau tidak dualistis. Wahyu Sejati berarti suatu kebenaran yang bersifat tunggal. Artinya, bahwa kebenaran itu tidak memiliki sifat ganda atau berpasangan yang terdiri dari dua hal yang berbeda sifatnya atau berlawanan, seperti terang dengan gelap, panas dengan dingin, benar dan salah, dan lain sebagainya.
“Ora ono kesakten sing mandhi papesthen, awit papesthen iku wis ora ono sing biso murungake”
Artinya: “Tidak ada kesaktian yang bisa menyamai kepastian TUHAN, karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian TUHAN”
Ini suatu pelajaran hidup bahwa didalam kehidupan alam semesta dan segala isinya termasuk Manusia, hanya terdapat satu kebenaran yang sejati, yaitu Kebenaran Illahi.
Jika Manusia hidup dalam kaidah-kaidah ajaran kebenaran yang sejati, maka kehidupannya akan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan yang dapat menumbuhkan sifat cinta, kasih, toleransi, gotong-royong dan saling membantu, sehingga peradaban yang ada atau sedang dibangun akan semakin maju dan bisa mensejahterakan semua pihak.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini, Manusia percaya bahwa hidup itu diatur oleh TUHAN dan percaya pada kebenaran TUHAN tapi tetap melakukan ketidakbenaran dan kejahatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan di muka Bumi.
Semua itu terjadi sebagai akibat dari sudah terjadinya pelanggaran terhadap hukum kebenaran Illahi, sehingga Negeri ini semakin terpuruk di segala bidang, tanpa henti dan bahkan sedang menuju kehancuran.
Jadi, orang yang bisa memimpin dan membawa Nusantara pada kejayaan adalah orang yang memiliki Wahyu Sejati. Artinya, dia sudah benar-benar mengerti tentang arti dari kebenaran hidup ini dan dengan teguh menjalani kehidupan dengan tidak pernah mengingkari hakekat kebenaran, apalagi melanggar aturan TUHAN.
Dia juga sudah selesai dengan dirinya sendiri dan keluar sebagai pemenangnya. Karena tanpa hal itu, seseorang hanya akan menjadi sosok yang mudah terjebak dengan kesenangan duniawi.
3. Wahyu Cakra Ningrat
Cakra Ningrat berarti lingkaran ilmu pengetahuan yang tinggi. Wahyu Cakra Ningrat berarti petunjuk dari TUHAN berupa ilmu pengetahuan yang bersifat paripurna.
Dengan petunjuk tersebut, orang yang mendapatkannya akan memiliki cara pandang yang sangat luas dan bijaksana. Ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu, baik yang umum di masyarakat atau yang khusus, bahkan yang telah hilang dimasanya. Sehingga dalam keadaan apapun, ia bisa terjaga dari nafsu yang tidak sesuai dengan tujuan hidup Manusia yang sebenarnya.
Pemimpin Nusantara haruslah orang yang memiliki Wahyu Cakra Ningrat, karena pemimpin yang akan membangkitkan kejayaan Nusantara haruslah seseorang yang cerdas dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terlebih ilmu agama dan kasampurnan.
Pemimpin Negeri ini harus menguasai berbagai ilmu kehidupan, mulai dari yang bersifat ilmiah sampai yang bersifat batiniah atau yang berhubungan dengan kebutuhan duniawi hingga ukhrawi. Mulai dari ilmu agraria sampai dengan ilmu sejarah, geografi dan astronomi.
Mulai dari masalah dunia nyata hingga pada kehidupan alam ghaib. Bahkan idealnya pemimpin Negeri ini harus seseorang yang sakti mandraguna dan bisa mengendalikan gejolak di alam nyata dan di alam ghaib karena kemampuan tersebut sangat dibutuhkan untuk memimpin Bangsa ini dalam menghadapi gejolak yang terjadi.
Hanya dengan mendapatkan Wahyu Cakra Ningrat inilah seorang pemimpin bisa mengatasi masalah-masalah yang terjadi di Negeri ini.
Pemimpin Negeri ini haruslah seorang spiritualis sejati yang bisa menjadi pemimpin lintas dimensi, baik dimensi nyata maupun dimensi ghaib sehingga ia akan mampu mengatasi gejolak-gejolak yang terjadi, baik yang nyata maupun yang ghaib.
Namun kenyataannya, saat ini para petinggi Negeri ini hanya sibuk mencari popularitas, menumpuk harta dan mengejar jabatan saja. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib Negeri ini, semua sibuk memperkaya diri dengan cara-cara yang bahkan tidak dibenarkan oleh norma maupun agama.
4. Wahyu Makutha Rama
Makutha Rama berarti kebenaran TUHAN yang bersifat memancar. Wahyu Makutha Rama berarti suatu petunjuk hidup yang berasal dari pancaran cahaya TUHAN. Dan karena sumbernya langsung dari TUHAN, maka seseorang yang mendapatkan Wahyu ini akan terbimbing dalam setiap tindakannya.
Makna dari Wahyu Makutha Rama adalah pelajaran hidup untuk membimbing dan menyadarkan Manusia bahwa tujuan dan kewajiban Manusia didunia ini adalah untuk mencerminkan atau memancarkan sifat-sifat TUHAN.
Semakin banyak seseorang bisa mencerminkan sifat-sifat TUHAN dalam kehidupannya, maka akan semakin besar berkah dan kasih sayang dari TUHAN yang didapatkan, sehingga apapun tindakannya akan berujung pada kemuliaan yang tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang-orang disekitarnya.
Pemimpin besar Nusantara harus mendapatkan Wahyu Makutha Rama karena untuk mengembalikan kejayaan Nusantara, pemimpin Negeri ini harus mendapatkan bimbingan langsung dari Sang Maha Pencipta.
Segala tindakannya harus berdasarkan petunjuk dari TUHAN, bukan atas dasar keinginan dan egonya sendiri karena setiap keputusannya akan membawa dampak bagi banyak orang.
Tapi kenyataan yang terjadi, para pemimpin Negeri ini tidak lagi mendapatkan Wahyu Makutha Rama sehingga tidak ada yang mendapatkan bimbingan dari TUHAN, karena sebelumnya tidak mendapatkan beberapa Wahyu yang diperlukan.
Mereka lupa dengan amanah yang sedang di embannya dan lebih mementingkan pencitraan dalam setiap tindakannya, menumpuk harta, mengejar jabatan dan terlena dengan kenikmatan duniawi, sehingga tidak lagi memikirkan nasib rakyatnya yang merana.
5. Wahyu Keprabon
Pada hakekatnya Wahyu Keprabon merupakan puncak dari keseluruhan Wahyu yang diturunkan oleh TUHAN kepada seseorang yang terpilih. Ini adalah Wahyu terakhir yang di terima oleh seseorang sebagai bentuk restu dari TUHAN untuk memimpin Nusantara.
Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah orang pilihan yang terbaik di zamannya, orang yang memiliki hati bersih dan memancarkan cahaya kesejukan.
Orang yang ketempatan Wahyu Keprabon adalah orang yang mendapat restu dari para leluhur Negeri ini dan selaras dengan alam semesta, sehingga keberadaannya akan dihormati oleh semua mahluk.
Ia tidak berambisi untuk berkuasa, tidak pernah mengejar popularitas atau menggunakan segala cara agar orang lain memilihnya. Bahkan sebetulnya ia tidak menginginkan kedudukan apapun didunia ini. Ia selalu bersikap zuhud dan hanya tunduk kepada TUHAN, karena ia yakin bahwa segala sesuatu ada masanya.
Orang yang menerima Wahyu Keprabon juga telah mendapat restu dari semua yang hidup dalam dimensi keabadian dan bisa berkomunikasi dengan mereka.
Ini bukanlah sesuatu yang menyimpang atau kemusyrikan, karena TUHAN telah menunjuknya dengan memberinya hak atas kepemimpinan Nusantara sehingga semua mahluk yang ada di alam semesta ini juga mendukung kepemimpinannya.
Tapi sayangnya sampai saat ini para pemimpin Negeri ini hanya sibuk dengan urusan duniawi saja, tidak pernah tahu cara laku hidup yang sejati, sehingga kondisi Negeri ini semakin tidak menentu, banyak terjadi ketidak adilan dan kesewang-wenangan yang menyebabkan kesejahteraan tidak pernah dapat tercapai.
Demikian sedikit informasi tentang makna Wahyu Keprabon bagi pemimpin Nusantara yang dapat kami sampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar