Translate

Sabtu, 10 Oktober 2015

Kisah Perjalanan Ibnu Bathutah Al-Lawati

Rihlah. Inilah salah satu  buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung bernama Ibnu Battutah pada 1325 hingga 1354 M. Sejatinya, Rihlah bukanlah  judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre. Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batuttah itu adalah Tuhfat al-Nuzzar fi Gharaib al-Amsar wa-Ajaib al-Asfar. 

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri Cina. Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, hingga ke tempat yang jauh sekalipun.  Terinspirasi hadis itu, Ibnu Battutah pun melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan dan membentuk konsep  al-Rihlah fi Talab al-Ilm (Perjalanan untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan).

Bicara soal petualangan dunia, maka yang paling menginspirasi dari kalangan Muslim mestinya adalah Ibnu Batutah. Tokoh Muslim asal Maroko itu lahir tahun 1304 M. Ia sangat gemar melakukan pengembaraan ke seluruh penjuru dunia.

Beliau ‎Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati dengan Gelar Syamsudin  atau lebih dikenal orang dengan nama Ibnu Battutah lahir pada 24 Februari 1304 M (723 H) di Tangier Maroko. Ibnu Battutah dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battutah selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Sosoknya disebut-sebut sebagai pelopor petualang Muslim abad 14 yang tak pernah tertandingi. Meski ada nama melegenda seperti Marcopolo dan Colombus yang juga melakukan penjelajahan dunia, namun masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya Ibnu Batutah dijuluki dengan sebutan ‘Pengembara Muslim’.
Ibnu Batutah memilik hobi mengunjungi negara di dunia untuk saling mengenal manusia dengan berbagai latar belakang dan budaya. Penjelajahannya untuk pertama kali diawali dengan menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia masih sangat muda dan berusia 21 tahun. Berawal dari negaranya melewati ratusan kilometer menyusuri gurun yang gersang dan ganas. Pada masa itu juga  tantangan dan rintangan yang harus dihadapinya yaitu perompak-perompak yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.

Riwayat Ibnu Batutah

Abu Abdullah Muhammad bin Battutah atau juga dieja Ibnu Batutah (24 Februari 1304 – 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko. Ia lahir di Tangier, Maroko sekitar tahun 1304. Diusianya yang ke-20, ia sudah pergi haji dan ziarah ke Mekah. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan spiritualnya hingga melintasi 120.000 km ke sepanjang negara Muslim, sekitar 44 negara modern.
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.

Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.

Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.

Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut — Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya — dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.

Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Nabi Muhammad SAW. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran).

Dengan cara bergabung pada suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi  Najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).

Di sana ia bertemu Abu Sa’id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting. Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.

Menghabiskan sekitar sepekan di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi. Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia.

Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam. Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.

Melebihi Marcopolo

Perjalanan awal Ibnu Batutah dimulai dari Tangier menuju Mekah. Untuk menghindari berbagai resiko buruk seperti diserang perampok, selama perjalanan Ibnu Batutah bergabung dengan kafilah yang akan menuju Mesir. Bersama kafilah itu, Ibnu Batutah menyusuri hutan, bukit dan pegunungan bergerak menuju Tlemcen, kemudian tiba di Tunisia dan tinggal di sana selama dua bulan.

Dari Tunisia, ia dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Libya. Sejak meninggalkan Tangier hingga Libya, Ibnu Batuta telah menempuh perjalanan darat sejauh hampir 3500 km melintasi Afrika Utara. Delapan bulan sebelum musim haji dimulai, Ibnu Batutah memutuskan untuk mengunjungi Kairo. Pada tahun 1326, Ibnu Batuta dan rombongannya tiba di Pelabuhan Alexandria. Ibnu Batuta sangat terkesan melihat Pelabuhan Alexandria. Saat itu, Alexandria merupakan pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai aktivitas dan berada di bawah kendali Kerajaan Mamluk.

Setelah beberapa pecan di Alexandria, Ibnu Batutah singgah di Kairo, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus. Selama 24 hari di Damaskus, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya ke Mekah melalui jalur Suriah. Sepanjang jalur itu, ia banyak mengunjungi tempat-tempat suci Al Khalil (Hebron), Al-Quds (Jerussalem), Baitullahmi (Bethlehem).

Dibawah pengawasan Kerajaan Mamluk yang menjamin keamanan para Jamaah Haji, maka ia dan rombongannya dapat tiba di Madinah dengan selamat. Setibanya di Madinah, ia tinggal selama empat hari, lalu bergegas menuju Mekah dan melaksanakan ibadah hajinya.

Garis besar perjalanan Ibnu Batutah berawal dari Maroko menuju Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah, dan Mekah. Setelah mengembara ke Irak, Shiraz, dan Mesopotamia, Ibnu Batutah melaksanakan Ibadah Haji yang kedua dan tinggal di Mekah selama tiga tahun. Kemudian dia pergi ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke Yaman dan meneruskan perjalanan ke Mombasa Afrika Timur.

Pada tahun 1332 setelah dari Kulwa, Ibnu Batutah pergi ke Oman melalui selat Hormuz, Siraf, Bahrain, dan Yamamah untuk kembali melaksanakan Ibadah Haji ke Mekah. Setelah itu Ibnu Batutah memutuskan untuk pergi ke India melalui Jeddah. Namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali mengunjungi Kairo, Palestina, dan Suriah. Setibanya disana, Ibnu Batutah melanjutkan kembali perjalanannya ke Asia Kecil melalui jalur laut menuju Anatolia dan meneruskan petualangannya dengan melintasi Laut Hitam.
Setelah beberapa lama dan berada dalam perjalanan yang penuh bahaya, akhirnya Ibnu Batutah tiba di Turki melalui selatan Ukraina. Ibnu Batutah kemudian meneruskan penjelajahannya ke Khurasan dan mengunjungi kota-kota penting seperti Bukhara, Balkh, Herat, dan Nishapur. Ibnu Batutah melintasi pegunungan Hindukush untuk tiba di Afganistan untuk selanjutkan masuk ke India melalui Ghani dan Kabul.

Ibnu Batutah terus menyusuri Lahri, Sukkur, Multan, Sirsa, dan Hansi akhirnya tiba di Delhi. Selama beberapa tahun disana, ia disambut keramahan Sultan Mohammad Tughlaq. Setelah kunjungannya di Delhi, Ibnu Batutah kembali meneruskan perjalanannya melewati India tengah dan Malwa, kemudian dia menggunakan kapal dari Kambay menuju Goa.

Tiba di Aceh

Setelah mengunjungi banyak tempat sebelumnya, kemudian Ibnu Batutah tiba di Pulau Maladewa melalui jalur pantai Malabar dan selanjutnya terus menyeberang ke Srilanka. Ibnu Batutah masih terus melanjutkan penjelajahannya hingga mendarat di Coromandal dan kembali lagi ke Maladewa hingga akhirnya dia berlabuh di Bengal dan mengunjungi Kamrup, dekat Dhaka.
Ibnu Batutah berlayar sepanjang pantai Arakan dan kemudian tiba di Aceh, tepatnya di Samudera Pasai. 

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battutah, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai.

''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battutah.

Menurut Ibnu Battutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada Ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara Ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh Raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh Raja yang dikagumi Ibnu Battutah itu antara lain; 
Raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; 
Raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; 
Raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; 
Raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; 
Raja Romawi yang sangat pemaaf; 
Raja Melayu Pasai Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta 
Raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Setelah kunjungannya di Aceh, ia meneruskan perjalanan ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Setibanya di Cina, Ibnu Batutah terus berpetualang ke Peking. Lalu ia menuju Calicut dan meneruskan perjalanannya ke Iran, Irak, Suriah, Mesir, kemudian menunaikan haji di Mekah. Setelah ibadah hajinya yang terakhir, Ibnu Batutah kembali ke kampung halamannya. Pada tahun 1369, di usia 65 tahun, Ibnu Batutah meninggal dunia, setelah 12 tahun menyelesaikan tulisannya, 

Nama Ibnu Battutah di Abadikan  Dunia 

Abadi di Kawah Bulan

Nama besar dan kehebatan Ibnu Battutah dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battutah. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battutah menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battutah bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battutah terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battutah tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battutah berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battutah terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battutah awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battutah.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battutah juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battutah Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battutah. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar