Translate

Selasa, 06 Oktober 2015

Kisah Syaikh Abu Ya'qub Yusuf Al-Hamdani

Syekh Abu Ya’qub Yusuf Al-Hamdani adalah termasuk salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal dan besar sekali pengaruhnya. Beliau pun dikenal pula sebagai seorang Wali Qutub atau Wali Ghauts, yakni pemimpin para wali pada zamannya.

Beliau adalah salah satu arif billah yang agung, penjaga sunnah Nabi Muhammad SAW. Syekh Ya’qub  al-Hamadzani adalah salah satu Wali Allah yang menempati maqam ghauts al-adhim, dan merupakan salah satu figur utama dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiyah.

Syekh Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyab ibn Yusuf ibn al-Husayn al-Hamadani lahir di Buzanjird, daerah Hamadan, sekitar tahun 404 H. Setelah menempuh pendidikan awal di tanah kelahiran, pada usia 18 tahun beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami fiqh mazhab Syafi’i kepada Syekh Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi. Beliau juga berguru dan bersahabat dengan Syekh Abu Ishaq as-Shirazi, seorang ulama besar di sana. Karena kecerdasannya, Syekh Yusuf menjadi rujukan bagi banyak ulama. Namanya terkenal hingga ke Isfahan, Bukhara, Samarqand, Khwarazm dan sebagian besar kawasan Asia Tengah.

Tetapi kemudian beliau meninggalkan popularitasnya dan lebih memilih uzlah untuk mujahadah dan menjalani riyadhah spiritual yang ketat. Beliau bergabung bersama beberapa sufi seperti Syekh Abdullah Ghuwayni dan Syekh Hasan Simnani. Beliau juga berguru kepada Syekh Abu Ali al-Farmadhi. Berkat ketekunannya beliau akhirnya mencapai kedudukan Ghauts, Sang Penolong, sebuah kedudukan yang tinggi dalam hirarki kewalian. Beliau kemudian menetap di Merv dan sejak saat itu banyak karamah yang diperlihatkannya. Beliau meninggal di Khurasan pada 12 Rabiul Awwal 535 H dan di makamkan di Merv. Makamnya menjadi tujuan banyak peziarah Muslim.

Ajaran dan karamah

Selain mengajar ilmu fiqh dan ilmu eksoteris lainnya, Syekh Yusuf Hamadani sering mengemukakan beberapa ajaran ruhani atau esoteris yang langsung diperolehnya dari khazanah ilmu Tuhan. Namun dalam hal ini beliau lebih sering menggunakan metafora atau kiasan untuk menjelaskan rahasia-rahasia yang pelik, yang hakikatnya hanya bisa diketahui oleh para Wali Allah. Menurutnya, sebagian dari Wali Allah mendengar langsung firman-Nya melalui kesaksian transenden,  sebagian Wali Allah lainnya mendengar melalui wahdaniyya, sebagian lagi melalui Kekuasaan-Nya, dan sebagian lagi melalui Rahmat-Nya. Melalui keterbukaan auditif inilah Awliya Allah mendapat pesan Tuhan, mendapat ilmu ladunni dan kabar-kabar baik dari hadirat Ilahi. Mereka memahami makna terdalam pesan-pesan Ilahiah. Sebagian mereka tenggelam dalam keabadian (baqa) kerahasiaan (sirr). Allah menjadikan saksi atas mukasyafah hamba-hamba-Nya yang terpilih, Awliya Allah, dan Allah menghiasi mereka dengan amal salih dan memberi karunia sifat-sifat-Nya kepada mereka.

Syekh Ya’qub memiliki banyak karamah, dan yang terkenal adalah karamah yang bersumber dari asma Allah Al-Qahhar. Dalam riwayat dikisahkan bahwa suatu ketika datang dua ulama fiqh yang mengkritik Syekh Yusuf Hamadani dengan kasar: “Diamlah kamu, karena engkau melakukan bid’ah.” Syekh Yusuf menjawab, “Jangan bicara perkara yang tak engkau pahami. Lebih kalian mati ketimbang hidup.” Begitu beliau selesai mengucapkan kalimat ini, dua ulama zahir itu jatuh meninggal dunia.

Syekh Yusuf Hamadani juga terkenal bisa berada di beberapa tempat sekaligus, dan beliau bisa datang ke tempat manapun yang beliau kehendaki dalam waktu singkat. Beliau bisa membaca pikiran dan hati orang lain. Beliau bisa memprediksi nasib orang dengan tepat. Menurut riwayat, Syekh Yusuf Hamadani memprediksikan ketinggian kedudukan Syekh ABDUL QADIR AL-JAILANI. Beliau pula yang meramalkan bahwa kelak Syekh Abdul Qadir al-Jailani akan mengucapkan kalimat yang amat terkenal, “Kakiku berada di atas bahu semua Awliya Allah.”

Mengenai kekeramatan atau karomah beliau meramalkan tentang Syekh Abdul Qadir seperti kisah berikut :

Ketika belajar di Baghdad, Syekh Abdul Qadir Jailani dan teman-temannya sering mengunjungi orang-orang saleh. Pada suatu hari ia bersama dua orang temannya mengunjungi seorang Wali Ghauts yang dapat muncul sewaktu-waktu, yaitu Syekh Abu Ya’qub Al-Hamdani.

Sebelum mereka tiba ditempat tujuan, temannya yang bernama Ibnu Saqa’ berkata,”Aku akan mengajukan pertanyaan yang tidak akan diketahui jawabannya.”
Sementara satu temannya lagi yang bernama Abdullah bin Abi Asrun berkata,”Aku akan mengajukan pertannyaan yang akan kulihat bagaimanakah jawabannya.”
Adapun Syekh Abdul Qadir hanya berkata,”Aku berlindung kepada Allah dari pengajukan pertanyaan kepada beliau. Yang aku harapkan adalah berkat beliau.”

Sewaktu mereka tiba dirumah yang dituju, Syekh Abu Ya’qub tidak ada. Namun beberapa saat kemudian, tahu-tahu beliau sudah ada dihadapan mereka. Syekh Abu Yaqub memandang Ibnu Saqa’ dengan tajam seraya berkata,”Hai Ibnu Saqa’ apakah engkau akan menanyakan sesuatu yang tidak akan kuketahui jawabannya? Sungguh celaka engkau! Sungguh kulihat dimulutmu tersembul tanda kekafiran.”
Setelah itu beliau menyebut pertanyaan yang akan diajukan Ibnu Saqa’ dan sekaligus menjawabnya. Padahal Ibnu Saqa’ belum sempat berkata sepatahpun.

Kemudian Syekh berkata kepada Abdullah, “Hai Abdullah, apakah engkau akan menanyakan persoalan untuk kamu lihat jawabannya? Ketahuilah, kamu kelak akan diuji dengan banyaknya kekayaan yang datang kepadamu, akibat sikapmu yang tidak sopan kepadaku.” Seperti tadi, beliau menyebutkan pertanyaan yang ada dihati tamunya sekaligus menjawabnya.

Selanjutnya beliau menoleh kepada Syekh Abdul Qadir yamg waktu itu masih muda, dan menyuruh agar duduk didekatnya. Syekh Abu Ya’qub lalu berkata, “Hai Abdul Qadir, Allah dan RasulNya sangat senang dengan kesopananmu. aku seolah-olah melihat, kelak dikota Baghdad, engkau akan duduk memberikan pelajaran agama dihadapan para santri yang berdatangan dari segala penjuru. Akupun seolah-olah melihat, setiap wali yang ada pada masamu, semuanya tunduk melihat keagunganmu. Ketahuilah sebenarnya kedua telapak kakiku ini berada diatas tengkuk setiap wali Allah.”  Setelah berkata demikian, tiba-tiba sang Wali Quthub lenyap dari pandangan mata para tamunya, tanpa diketahui kemana perginya.

Nah, kelak dikemudian hari apa yang dikatakan oleh Syekh Abu Ya’qub Al-Hamdani semuanya menjadi kenyataan dimana Syekh Abdul Qadir Jailani menjadi pemimpin para Wali.

Dalam kitab Qalaidul Jawahir disebutkan, bahwa Syekh Abu Ya’qub wafat pada tahun 535 H. Setelah meninggal, ruh beliau mengajarkan rahasia zikir kepada Syekh ABDUL KHALIQ AL-FADJWANI melalui visi spiritual.

PERTEMUAN SYEKH ABDUL QODIR DAN SYEKH YUSUF AL HAMADANI
Cerita pertemuan pertama al-Jailani dengan al-Hamadani berikut ini diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam kitabnya, Fatâwâ Hadîtsiyyah:

Abu Sa‘id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi’i, berkata, “Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya. Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, “Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.” Aku menimpali, “Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.” Sementara Syekh Abdu-Qadir al-Jailani berkata, “Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.”

Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, “Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini!” dan ia melanjutkan, “Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.” Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.” Kemudian ia memandang kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, “Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu.”

Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di atas leher semua wali.’ Syekh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.

Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.

Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya. Kegelapan menutupi mukanya.

Suatu hari ia melihat seseorang yang ia kenal. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi kepadamu?” Ibn al-Saqa menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya lagi, “Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?” Ia menjawab, “Aku ingat ayat yang berbunyi, ‘Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam’ (Q.S. al-Hijr [15]: 2).” Ia gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani.”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar