Translate

Senin, 11 Oktober 2021

Sejarah Imam Kholid Al-Baghdadi Al-Nasabandi

صلاة الشيخ مجدد خالد البغدادي قدس الله سره

Shalawat Syaikh Khalid al-Baghdadi Qodasallohu sirroh

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كُلِّ دَاءٍ وَدَوَاءٍ . وَبَارِكْ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ كَثِيْرًا .

 Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebanyak segala macam penyakit dan seluruh obat. Dan limpahkanlah keberkahan dan kesejahteraan kepada Beliau dan kepada mereka (keluarga Nabi). Sebanyak banyaknya”

Penjelasan:

Shalawat ini bersumber dari Maulana Syaikh Khalid al-Naqsyabandiy, pembaharu Thariqah Naqsyabandiyah. Para ulama menyebutkan bahwa shalawat ini merupakan perisai yang sangat ampuh untuk mencegah datangnya Tha’un (wabah). Syaikh Khalid al-Naqsyabandiy memerintahkan, apabila tha’un mewabah, maka bacalah shalawat ini setiap selesai mengerjakan shalat fardhu sebanyak 3 kali. Dan pada bacaan yang ke-3 ulangi lafaz (كثيرا) sebanyak 2 kali dan ditutup dengan tambahan shalawat:

وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَ آلِ كُلٍّ وَصَحْبِ كُلٍّ أَجْمَعِيْنَ . وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .

Biografi Imam Khalid al-Naqsyabandiy

Syaikh Khalid al-Baghdadi adalah Mursyid tariqat Naqsyabandi ke-31, penerus rahasia tariqat Naqsyabandi dari Syaikh Abdullah ad-Dahlawi. Beliau menyebarkan ilmu-ilmu Syariat dan Tashawuf. Beliau adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Hukum Ilahi (syari`at) dan Realitas Ilahi (Haqiqat). Beliau merupakan cendikiawan dari para cendikiawan dan Wali dari para Wali dan yang orang paling banyak pengetahuannya, pada masanya beliau adalah cahaya bulan purnama dalam aliran thariqat Naqsyabandi. Beliau adalah pusat dari lingkaran Quthub di masanya.

Beliau lahir pada tahun 1193 H/1779 M di desa Karada, kota Sulaymaniyyah, Iraq. Beliau mempunyai gelar Utsmaniy karena beliau adalah keturunan Sayyidina Utsman bin Affan, khalifah ketiga dari Rasulullah. Beliau tumbuh dan belajar di sekolah dan masjid yang tersebar di kota itu. Pada saat itu kota Sulaymaniyyah dianggap sebagai kota pendidikan utama. Beliau juga terkenal di bidang puisi. Ketika berumur 15 tahun beliau menetapkan asceticism (doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan diri yang ketat) sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap terjaga (tidak tidur) sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.

Beliau berkelana di dunia Allah dan menguasai segala macam pengetahuan yang tersedia di jamannya. Belajar berguru pada dua cendikiawan besar di masanya, yaitu Syaikh `Abdul Karam al-Barzinjiy dan Syaikh Abdur Rahim al-Barzinjiy, beliau juga membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Kemudian beliau kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana mempelajari ilmu matematika, filsafat, dan logika. Lalu beliau kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang jurisprudensi. Selanjutnya beliau mempelajari karya-karya Imam Ibnu Hajar, Imam Suyuthiy, dan Imam Haytamiy. Beliau dapat menghafal tafsir Al-Qur'an dari tafsir al-Baydawi. Beliau juga mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai jurisprudensi. Beliau juga hafal Al-Qur'an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan menjadi sangat terkenal karena hal ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasya, gubernur daerah Baban, berusaha membujuknya untuk mengasuh sekolah di kerajaannya. Namun beliau menolak dan malah pergi ke kota Sanandaj, untuk mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Guru beliau di bidang ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandajiy. Setelah menyelesaikan pelajaran ilmu-ilmu sekuler, beliau kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul wabah penyakit di kota itu pada tahun 1213 H/1798 M, beliau mengambil alih sekolah Syaikh-nya `Abdul Karam Barzinjiy. Beliau mengajar ilmu-ilmu modern, meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia.

Kemudian beliau berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala perbuatan yang soleh dan memperbanyak dzikir baik keras maupun dalam hati. Beliau tidak lagi mengunjungi Sultan, tetapi tetap menjalin hubungan dengan murid-muridnya hingga tahun 1220 H/1806 M, ketika beliau memutuskan untuk naik haji dan berziarah kepada Rasulullah. Beliau meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melewati kota-kota Mosul, Yarbikir, ar-Raha, Aleppo dan Damaskus, di sana beliau menemui para cendikiawan dan mengikuti Syaikhnya, yang merupakan ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan juga pengajar hadits, Syaikh Muhammad al-Kuzbary. Beliau menerima otorisasi terhadap Tariqat Qadiriah dari Syaikh al-Kuzbariy dan deputinya, Syaikh Mustafa al-Kurdiy, yang kemudian melanjutkan perjalanan bersamanya sampai tiba di kota Rasulullah.

Beliau memberi penghormatan kepada Rasulullah dengan puisi Persia yang dibaca dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat orang-orang menjadi terpesona akan keelokannya. Beliau menghabiskan cukup banyak waktu di sana. Beliau menceritakan pengalamannya, "Aku sedang mencari orang shaleh yang sangat langka untuk dimintai nasihat ketika Aku melihat seorang Syaikh di sebelah kanan Makam yang Diberkati (Rawdah al-Syarifah). Aku lalu meminta nasihat kepadanya, dan berkonsultasi dengannya. Beliau menasihatiku agar tidak berkeluh-kesah terhadap segala masalah yang mungkin bertentangan dengan Syari’at ketika memasuki kota Makkah, Aku dianjurkan agar tetap tenang dan diam. Akhirnya Aku pun tiba di Makkah, dan nasihat tadi benar-benar kupegang dalam hati. Aku pergi ke Masjid Suci pada pagi hari di hari Jumat. Aku duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala'il al-Khairat, ketika Aku melihat seseorang dengan janggut hitam bersandar pada sebuah pilar dan matanya menatapku. Terlintas dalam hatiku bahwa orang ini tidak memberikan penghormatan yang layak kepada Ka’bah, tetapi aku tidak berbicara apa pun mengenai hal itu.”

"Dia melihatku dan menegurku dengan berkata, 'Hai orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti dari pada keistimewaan Ka`bah? Mengapa kamu mengkritik Aku dalam hatimu mengenai cara berbaringku ini, dengan membelakangi Ka’bah dan mengarahkan wajahku padamu. Apakah kamu tidak mendengar nasihat Syaikhku di Madinah yang berkata kepadamu agar tidak mengkritik sesuatu?' Aku berlari kepadanya dan memohon maaf, mencium tangan dan kakinya dan meminta bimbingannya kepada Allah. Dia lalu berkata, ‘Wahai anakku, harta kekayaanmu dan kunci hatimu tidak berada di sini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan.’ Aku tidak menemukan orang lain yang lebih baik darinya di semua sudut Masjidil Haram. Namun, dia juga tidak mengatakan kepadaku ke mana aku harus pergi di India, jadi aku pulang kembali ke Syam dan berasosiasi dengan cendikiawan di sana.”

Beliau lalu kembali ke Sulaymaniyyah dan kembali mengajar tentang penyangkalan terhadap diri. Beliau selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, seseorang datang ke Sulaymaniyyah, dia adalah Syaikh Maulana Mirza Rahimullah Bik al-M`aruf yang dikenal juga dengan nama Muhammad al-Darwish `Abdul `Azim al-Abadiy, salah seorang khalifah dari kutub spiritual, Quthb al-A`zam, `Abdullah al-Dahlawi. beliau bertemu dengannya, memberinya hormat dan meminta petunjuk yang benar yang dapat menerangi jalannya. Dia berkata kepadanya, “Ada seorang Syaikh yang sempurna, seorang cendikiawan dan orang yang mengetahui banyak hal, yang menunjukkan para pencari jalan kepada Raja dari Raja, ahli dalam segala hal, menganut tariqat Naqsyabandi, dan mempunyai karakter Rasulullah, seorang pembimbing dalam ilmu tentang spiritualitas. Ikutlah bersamaku ke Jehanabad. Beliau telah berpesan kepadaku sebelum aku pergi, ‘kamu akan bertemu seseorang, bawa dia bersamamu.’”

Syaikh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H/1809 M melalui kota Ray, lalu Teheran, dan beberapa propinsi di Iran di mana beliau bertemu dengan cendikiawan besar Isma`il al-Kashi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapar. Beliau juga mengunjungi Guru dari induk segala tariqat di Bistham, Syaikh Abu Yazid al-Busthamiy, dan beliau memberikan penghormatan di makamnya dengan puisi Persia yang sangat elok. Kemudian beliau bergerak ke Tus, mengunjungi Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan beliau memujinya dengan puisi Persia yang lain yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian beliau memasuki kota Jam dan mengunjungi Syaikh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan memberikan penghormatan dengan puisi Persia yang lain lagi. Beliau lalu memasuki kota Herat di Afghanistan, lalu Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini cendikiawan besar yang ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang hukum syariat dan kesadaran Ilahi (ma`rifat), ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tanpa pantai.

Kemudian beliau pindah lagi ke Lahore, di mana beliau bertemu dengan Syaikh Thana'ullah al-Naqsyabandiy dan meminta do’a darinya. Beliau mengatakan, “Malam itu Aku bermalam di Lahore dan Aku bermimpi bahwa Syaikh Thana'ullah al-Naqshbandi menarikku dengan giginya. Ketika Aku terbangun Aku ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, tetapi dia mengatakan, ‘Jangan ceritakan mimpi itu kepadaku, Kami telah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk bergerak dan segera menemui saudara dan Syaikhku, Sayyidina `Abdullah al-Dahlawi. Hatimu akan dibuka olehnya. Kamu akan melakukan bai’at dalam thariqat Naqsyabandi. Lalu Aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syaikh. Aku meninggalkan Lahore, menyebrangi pegunungan dan lembah, hutan dan padang pasir sampai tiba di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perjalanan itu memakan waktu 1 tahun. 40 hari sebelum Aku tiba, dia berkata kepada para pengikutnya, ‘Penerusku akan datang”

Malam saat beliau memasuki kota Jehanabad beliau menuliskan puisi dalam bahasa Arab, merenungkan kembali perjalanannya dan memuji Syaikhnya. Lalu beliau memberi penghormatan kepadanya dengan puisi Persia yang mengejutkan semua orang karena keelokannya. Beliau menyerahkan semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantongnya kepada fakir miskin. Kemudian beliau melakukan bay’at dengan Syaikhnya, `Abdullah al-Dahlawi. Beliau menjadi pelayan di zawiyah (korner) Syaikhnya dan mencapai perkembangan yang pesat dalam berperang melawan egonya. 5 bulan belum lewat ketika beliau menjadi salah seorang dalam Kehadirat Ilahi dan mempunyai Visi Ilahi.

Beliau diizinkan oleh Syaikh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syaikh memberinya otoritas tertulis dalam lima tariqat: Yang pertama adalah Thariqat Naqsyabandi, atau Rantai Emas. Yang kedua adalah thariqat Qadiri melalui Sayyidina Ahmad al-Faruqi' Syaikh Syah al-Sakandariy, dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junaid, Sirri al-Saqatiy, Musa al-Kazim, Ja`far al-Sadiq, Imam al-Baqir, Zain al-`Abidin, al-Husayn, al-Hasan, `Ali ibn Abi Talib, dan Sayyidina Muhammad. Tariqat ketiga adalah al-Suhrawardiyyah, yang mempunyai silsilah (rantai) serupa dengan tariqat Qadiriyyah sampai al-Junaid, yang mengembalikan kembali ke Imam Hasan al-Basriy dari sana ke Sayyidina Ali dan Rasulullah.

Syaikh ‘Abdullah juga memberinya otoritas untuk thariqat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur sama dengan thariqat Qadiriyyah tetapi melalui Syaikh Najmuddin al-Kubra. Akhirnya, beliau diberi otoritas untuk thariqat Chishti melalui garis yang dapat ditelusuri kembali dari `Abdullah al-Dahlawi dan Jan Janan kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi lalu melalui banyak Syaikh kepada Syaikh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibrahim ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali, dan Rasulullah.

Syaikh juga memberi otoritas untuk mengajarkan semua ilmu-ilmu Hadis, Tafsir, Sufisme, dan Amalan Harian (awrad). Beliau hafal isi buku Itsna `Asyar (Dua Belas Imam), buku pegangan tentang ilmu pengetahuan dari para penerus Sayyidina `Ali.

Beliau pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H/1813 M untuk kedua kalinya dan tinggal di sana di sekolah Ahsa'iyyah Isfahaniyyah. Beliau mengisinya dengan pengetahuan tentang Allah dan Jalan untuk Mengingat-Nya. Tetapi sekelompok orang yang iri menulis sebuah surat tentang hal yang bertentangan mengenai beliau dan dikirimkan kepada Sultan Sa`ad Pasya, gubernur Baghdad. Mereka mengkritiknya, mengecapnya sebagai orang yang sesat dan banyak lagi hal lain yang tidak bisa diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, dia berkata, “Jika Syaikh Khalid al-Baghdadi bukan seorang mukmin, lalu siapa yang mukmin?” Gubernur lalu mengusir mereka dan memenjarakannya.

Syaikh meninggalkan Baghdad selama beberapa waktu lalu kembali lagi untuk ketiga kalinya. Beliau kembali ke sekolah yang sama yang telah dipugar untuk menyambut kedatangannya. Beliau mulai menyebarkan segala macam ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Beliau membuka rahasia kehadirat Ilahi, menerangi hati orang-orang dengan cahaya Allah yang diberikan ke dalam hatinya, hingga gubernur, para cendikiawan, guru-guru, pekerja, dan orang-orang dari segala bidang pekerjaan menjadi pengikutnya. Pada masanya Bagdad sangat terkenal dengan pengetahuannya, sehingga kota itu dinamakan, “Tempat dari Dua Ilmu Pengetahuan” dan “Tempat dari Dua Matahari.” Serupa dengan itu, beliau juga dikenal dengan sebutan, “Orang dengan Dua Sayap” (dzu al-janahain), sebuah perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu eksternal dan internal. Beliau mengirimkan khalifahnya ke mana saja, mulai dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Syria) ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania, untuk menyebarkan jalan leluhurnya dalam tariqat Naqsyabandiy.

Kemana pun beliau pergi, orang akan mengundang ke rumahnya, dan rumah seperti apa pun yang dia kunjungi, akan mendapat berkah dan menjadi makmur. Suatu hari beliau mengunjungi Kubah Batu di Jerusalem dengan para pengikutnya. Beliau sampai di tempat itu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan kehadirannya. Lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kota Nabi Ibrahim, Ayah dari semua Nabi dan Rasul, di sana disambut oleh semua orang. Beliau memasuki Masjid Ibrahim al-Khalil dan mengambil berkah dari temboknya.

Beliau pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah yang Suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Banyak sekali murid dan khalifahnya yang menemani. Warga kota dengan para cendikiawan dan wali juga mendatangi beliau dan semuanya melakukan bai’at dengannya. Mereka memberinya kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mereka mengangkatnya sebagai syaikh spiritual untuk kedua kota tersebut. Beliau lalu mengitari Ka’bah, tetapi yang sesungguhnya Ka’bah yang mengitari beliau.  

Setelah haji dan kunjungannya kepada Rasulullah, beliau kembali ke Syam al-Syarif (Syria yang diberkati). Beliau sangat dihormati oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, ketika beliau memasuki Syam, penyambutan yang meriah diadakan dan sebanyak 250.000 orang menyambutnya di pintu masuk kota. Semua cendikiawan, Menteri, Syaikh, fakir miskin dan orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta do’a darinya. Benar-benar merupakan suatu perayaan. Para penyair melantunkan syair mereka, sementara itu orang kaya memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di hadapan beliau. Beliau membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan eksternal dan menyebarkan cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab yang datang dan menerima thariqat Naqsyabandiy dari tangannya.

Dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan 1242 H/1827 M beliau memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Para pengikutnya sangat bergembira dan berkata, “Alhamdulillah, kami akan melakukannya bila Allah memanjangkan umur kami, setelah Ramadhan, awal bulan Syawwal.” Mungkin itu adalah suatu tanda bahwa beliau akan meninggalkan dunia ini. Pada hari pertama di bulan Syawwal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu pengikutnya meminta beliau untuk mendo’akan dia agar diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan, “dan untukmu juga, Syaikh.” Beliau berkata, “Aku merasa malu kepada Allah, karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di Tanah Suci ini.”

Orang pertama yang meninggal karena wabah ini adalah putra beliau, Bahauddin, pada Jumat malam dan beliau berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kita,” lalu beliau menguburkannya di Gunung Qasiyun. Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih dalam 3 bahasa, Persia, Arab, dan Kurdi, dan dia juga pandai membaca Al-Qur’an.

Lalu pada tanggal 9 Dzul-Qa`dah, anak lainnya, Abdur Rahman, meninggal dunia. Dia lebih tua dari saudaranya satu tahun. Maulana Khalid memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam kembali untuk menguburkan anak keduanya. Beliau berkata, Dari pengikutku akan banyak yang meninggal dunia.”

Beliau memerintahkan untuk menggali banyak lubang untuk para pengikutnya yang jumlahnya banyak, termasuk istri dan anak perempuannya, dan beliau memerintahkan untuk menyirami daerah itu dengan air. Lalu beliau berkata, “Aku memberi otoritas kepada Syaikh Isma`il al-Syirwaniy untuk menggantikan Aku di Thariqat Naqsyabandi.

”Beliau mengucapkan hal ini pada tahun terakhirnya, 1242 H/1827 M. Suatu hari beliau berkata, “Aku mendapat sebuah visi yang luar biasa kemarin, Aku melihat Sayyidina `Utsman Zhun-Nurain seolah-olah dia telah meninggal dan aku melakukan shalat untuknya. Dia lalu membuka matanya dan berkata, Ini dari anak-anakku.‘ Dia menarikku dengan tangannya, membawaku kepada Rasulullah, dan mengatakan kepadaku untuk membawa seluruh pengikut Naqsyabandiy di masa sekarang dan yang akan datang sampai masa Imam Mahdi, lalu dia memberi berkah untuk mereka semua. Setelah keluar dari visi itu, aku melakukan shalat Maghrib dengan para pengikut dan anak-anakku.

“Apa pun rahasia yang kumiliki, telah kuberikan kepada deputiku Isma`il al-Syirwaniy. Siapa saja yang tidak menerimanya berarti bukan golonganku. Jangan berargumen tetapi satukanlah pikiranmu dan ikuti pendapat Syaikh Isma`il al-Syirwaniy. Aku menjamin siapa pun yang mengikutinya akan bersamaku dan bersama Rasulullah.

Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menangisinya, dan meminta mereka untuk mengorbankan hewan dan memberi makan orang miskin demi kecintaan Allah dan kemuliaan Syaikh. Beliau juga meminta mereka untuk mengirimkan hadiah berupa pembacaan al-Qur’an dan bacaan dalam shalat. Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menuliskan apapun di makamnya kecuali, Ini adalah makam orang asing, Khalid.” Setelah shalat ‘Isya Syaikh Khalid memasuki rumahnya, memanggil seluruh anggota keluarganya dan berkata kepada mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Subuh beliau bangun, berwudhu dan melakukan shalat. Lalu beliau memasuki kamarnya dan berkata, Tidak ada yang boleh memasuki kamarku kecuali orang yang telah kuperintahkan.” Beliau berbaring di sisi kanannya, menghadap kiblat dan berkata, “Aku telah terkena wabah penyakit. Aku membawa semua wabah yang menyerang Damaskus.” Beliau mengangkat tangannya dan berdo’a, “Siapa pun yang terkena wabah itu, biarkan wabah itu mengenaiku dan bebaskan orang-orang di Syam.”

Kamis tiba dan seluruh khalifahnya memasuki kamarnya. Sayyidina Isma`il al-Syirwani bertanya kepadanya, Bagaimana keadaanmu?" Beliau berkata, "Allah telah menjawab doaku. Aku akan membawa semua wabah yang melanda orang-orang di Syam dan Aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarkan air, namun beliau menolak dan berkata, Aku meninggalkan dunia ini untuk bertemu Allah. Aku telah bersedia menanggung wabah dan membebaskan orang-orang di Syam yang telah terkena wabah itu. Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Beliau membuka matanya dan berkata, "Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq," yang merupakan sumpah dalam bai’at thariqat Naqsyabandiy, lalu beliau membaca ayat 27-30 dari al-Qur’an surat al-Fajr: "Wahai jiwa yang tenang dan tentram. Kembalilah kepada Tuhanmu merasa senang dan disenangi. Masuklah dalam hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!" Kemudian beliau menyerahkan nyawanya kepada Allah dan meninggal dunia, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, pada hari Jumat 13 Dzul Qa’dah 1242 H/1827 M.

Mereka membawanya ke zawiyah dan membasuhnya dengan air penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sementara yang lain berdzikir, khususnya Syaikh Isma`il al-Syirwaniy, Syaikh Muhammad, dan Syaikh Aman. Mereka membaca al-Qur’an dan pagi harinya mereka membawa jenazahnya ke masjid di Yulbagha. Syaikh Isma`il al-Syirwaniy meminta Syaikh Aman `Abdin untuk melakukan shalat jenazah baginya. Masjid itu tidak cukup untuk menampung seluruh orang yang hadir. Lebih dari 30.000 orang shalat di belakangnya. Syaikh Isma`il al-Syirwaniy berjanji kepada mereka yang tidak dapat melakukan shalat jenazah di masjid itu, bahwa dia akan melakukan shalat jenazah yang kedua kalinya di makam. Mereka yang memandikannya ikut pula mengantarkan ke makamnya. Hari berikutnya, Sabtu, seakan-akan terjadi keajaiban di Syam, wabah penyakit tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia. Mawlana Khalid menyerahkan Rahasianya kepada penerusnya, Syaikh Isma’il al-Syirwani.

Adapun sanad muttashil kepada Imam Khalid al-baghdadi al-Naqsyabandiy Radhiyallahu Anhu:

احمد الحسني عن الشيخ العلامة ماجد بن حامد الحسيني العراقي عن الشيخ الدكتور خليل جدوع عطية الشيحاوي وهو عن شيخه عبد الكريم حمادي الدبان وهو عن شيخه العلامة السيد داود التكريتي وهو عن شيخه عبد السلام الشواف البغدادي وهو عن شيخه العلامة عيسى صفاء الدين البندنيجي وهو عن الولي الصالح سيدي ومولانا خالد النقشبندي رحمه الله تعالى .


Jumat, 08 Oktober 2021

Kriteria Hamba Alloh

 Banyak orang mengaku sebagai hamba Allah tetapi hatinya tidak seperti hati Allah.

Kata "hamba" dalam bahasa Yunani 'DOULOS', adalah budak = slave, artinya adalah hamba yang terikat. Dahulu kala hamba itu diperjualbelikan, maka hidup seorang hamba ditentukan oleh tuannya. Bahkan, ketika seseorang  mendaftarakan kekayaannya, seperti lembu, domba juga didaftarakan jumlah budak yang dia miliki. Hamba, adalah orang yang sepenuhnya taat kepada tuannya, karena hidupnya sudah dibeli dan dirinya sepenuhnya bukan lagi haknya. Maka, jika ingin lepas dari perhambaan harus ada penebusan.

Menurut Perjanjian Lama, seorang hamba yang telah bebas dari perbudakan, bisa menjadi hamba bagi tuannya seumur hidupnya atas keinginan dirinya sendiri oleh karena kasih (Ulangan 15:16-17).

Menjadi hamba Tuhan itu tidaklah mudah. Apa itu ciri-ciri seorang hamba? Dalam Filipi 2, Yesus menjadi contoh kerendahan hati yang harus dimiliki oleh seorang hamba. Yesus, yang walupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu menjadi milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba,dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Atribut-atribut apakah yang kita miliki yang harus kita lepaskan untuk bisa menjadi hamba Allah yang taat?

Manusia yang hakikatnya adalah manusia paling mulya di hadapan Alloh S.W.T karena derajat ketaqawaanya itu mempunyai nilai dan tugas-tugas tertentu dalam memaknai hidup dan kehdiupannya. Sehingga status sebagai seorang hamba Alloh memang layak dan pantas untuk diraih oleh seorang manusia.

Untuk itu mengetahui dan memaknai siapa sesungguhnya yang di maksud dengan hamba Alloh tersebut? Apakah tertuju pada seorang manusia pilihan saja seperti para rasul, nabi, aulia dan yang lainnya, ataukah bisa diterjemahkan dan dikategorikan pada siapa saja yang berhak meraih predikat seorang hamba alloh.

Nah, mungkin untuk lebih memberikan penjelasan secara detail sesuai dengan pemaknaan dari maksud hamba alloh sebagaimana yang tersiratkan dalam ayat-ayat alquran, itu kiranya sangat dibutuhkan pengertian yang jelas sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat tersebut.

Demikian halnya dengan pencapaian seorang hamba ketika ingin meraih dari yang namanya hakikat hidup ini perlu sekali mengetahui secara umum diantara sifat-sifat manusia yang tergolongkan pada seorang hamba Alloh S.W.T. Dalam hal ini kita kembali pada penjelasan ayat yang ada dalam surat alfurqon mulai ayat 63 dan ayat2 berikutnya.

(63). وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.

(64). وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.

(65). وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖإِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”.

(66). إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا

Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

(67). وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

(68). وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚوَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya),

Pengertian dari penafsiran ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa yang di maksud dengan hamba Alloh itu adalah salah satunya dari mereka yang memiliki sifat-sifat dan kepribadian sesuai yang dijelaskan pada ayat tadi, dan tidak pula tertuju pada seorang manusia saja.

Karena yang di namakan dengan ‘Ibad itu adalah bersifat umum tidak bersifat khusus, jadi siapa saja bisa meraih titel seorang hamba Alloh tersebut. Tidak hanya di tentukan pada satu manusia saja, akan tetapi siapapun saja itu bisa masuk pada kategori seorang hamba Alloh.

Diantara penjelasan lain yang menerangkan arti daripada ‘Ibaadurohman” atau hamba-hamba Alloh yang tidak hanya tertuju pada Nabi Muhammad saja seperti berikut keterangan dari ayat-ayatnya, dalam surat maryam ayat 30 disebutkan bahwa Nabi Isa alaihis salam juga hamba Allah :

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا

Artinya: ” berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”

Bahkan dalam tafsir al jalalain ketika menyebutkan suratnya Nabi Sulaiman bin dawud alaihimas salam, dalam surat tersebut Nabi Sulaiman juga menamakan dirinya sbg hamba Allah :

ثُمَّ كَتَبَ سُلَيْمَان كِتَابًا صُورَته {مِنْ عَبْد اللَّه سُلَيْمَان بْن دَاوُد إلَى بِلْقِيس مَلِكَة سَبَأ بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم السَّلَام عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْد فَلَا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ} ثُمَّ طَبَعَهُ بِالْمِسْكِ وَخَتَمَهُ بِخَاتَمِهِ

Artinya: “kemudian Nabi sulaiman menulis surat yg isinya :” Dari Hamba Allah sulaiman bin dawud kepada bilqis ratu saba’.bismillahirrohmanirrohiim keselamatan bagi orang yg mengikuti petunjuk, amma ba’du.janganlah kalian mengungguliku dan datanglah kepadaku sebagai orang2 yg muslim, kemudian Nabi Sulaiman memberikan cap dengan minyak misik dan mensetempelnya dengan cincinya.

Dalam surat al isro’ ayat 1, yg di maksud dengan kalimat “hamba-Nya ” disitu memang Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam.

Imam Qurtuby dalam kitab tafsirnya berkata :” barang siapa ta’at kepada Allah, menyembah-Nya, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan apa yg diperintah Allah maka dialah yg berhak menyandang gelar kehambaan. Dan barang siapa bersifat sebaliknya maka dia termasuk dalam firman Allah surat al a’rof ayat 179 :

أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

Artinya: “Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.”

Walhasil yang di maksud dengan I’baadurroham atau hamba-hamba Alloh itu adalah mereka manusia yang senantiasa takut kepada alloh s.w.t dalam setiap langkahnya. Ssalah satunya dengan memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang tercerminkan sebagai yang dijelaskan pada surat al furqon dari ayat 63 sampai 68 tadi.

Semua manusia adalah hamba Allah. Harus menghamba, menyembah, mengabdi, beribadah, atau tunduk pada aturan Allah SWT (Syariat Islam).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ


"Wahai manusia ! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu ter­pelihara (bertakwa)" (QS Al-Baqarah:21).

Penghambaan diri kepada Allah SWT (‘Ubudiyyah) adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Islam mengajarkan agar jika kita bersedekah atau berbuat baik, hendaknya ikhlas karena Allah semata, tidak muncul hasrat ingin dipuji atau disanjung manusia dengan memamerkannya. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda