Translate

Selasa, 31 Mei 2016

Setiap Mukmin Pasti Akan Diuji Oleh Alloh

AL-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa AL-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan untuk manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui pelantaraan malaikat Jibril dan sebagi wahyu pertama yang diterima Nabi SAW.
 Al-Qur’an memiliki multifungsi yang selalu cocok dengan fenomena kehidupan, hal ini merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki AL-Qur’an. AL-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat ataupun langsung satu surat.
Dalam kehidupan kita tak lepas dari ujian dan cobaan yang harus kita jalani dan hadapi dengan ikhlas. Ujian ini merupakan nikmat tersendiri, karena dengan mengetahuinya kita dapat mempersiapkan diri untuk dapat menghadapi berbagai realira kehidupan . Ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat ujian itu sendiri,sedangkan yang buruk itu adalah kegagalan menghadapinya.

Keadaan manusia seperti roda berputar, kadang senang kadang sedih. Ada kala bahagia, ada kala sengsara. Hari ini sehat, besok sakit, minggu kemarin musibah datang, minggu ini keceriaan yang ada. Bulan kemarin rezeki banyak, bulan ini rezeki berkurang. Itulah kehidupan yang dirasakan manusia.
Seorang mukmin, mengetahui bahwasanya kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan yang kekal adalah di akhirat. Oleh karena itu seorang mukmin tentunya harus mengetahui, hidup di dunia penuh berbagai ujian guna untuk mengetahui siapakah manusia yang paling baik amalannya diantara kita.
 
Hal tersebut telah Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an yang artinya “Maha suci Allah yang menguasai (segala kerajaan) dan Dia kuasa atas segala sesuatu yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa dan Maha Pengampun.” (Al Mulk : 1-2)

Dengan kita mengetahui arti ujian kehidupan di dunia, maka jiwa akan lapang, badan akan bersemangat. Pikiran pun cemerlang dan bertindak dengan tenang dan pasti, disertai memohon pertolongan kepada Allah.
 
Sehingga ketika datang berbagai macam musibah berupa ketakutan, adanya kesenggangan dalam keluarga, kurangnya rezeki maka dihadapi dengan sabar, lapang dada dan terus mencari jalan keluar disertai mengharap pahala dengan kesabaran tersebut dan balasan-balasan lainnya, tanpa adanya putus asa, keluh kesah atau menuduh Allah dengan tuduhan-tuduhan yang buruk.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157) 

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-Baqoroh Ayat 155-157)


Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)

Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ

Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)

Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}

dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit. 
Sedangkan firman-Nya:

{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155) 
Yakni lenyapnya sebagian harta.

{وَالأنْفُسِ}

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.

{وَالثَّمَرَاتِ}

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)

Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:

{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)

Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan,naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:

{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)

Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:

{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)

Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah. 

Firman Allah Swt.:

{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)

Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya:Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:  Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.

Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).

Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan: 

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:  Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw." 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya.  Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.

Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah pujian)."

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau s‎hallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [ HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185).].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَاِذَا عَظُمَت المِحْنَةُ كَانَ ذَلِكَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّالِحِ سَبَبًا لِعُلُوِّ الدَرَجَةِ وَعَظِيْمِ الاَجْرِ
“Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholih untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar.”
Syaikhul Islam juga mengatakan,
واللهُ تَعَالَى قَدْ جَعَلَ أَكْمَلَ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَعْظَمُهُمْ بَلاَءً

“Allah akan memberikan cobaan terberat bagi setiap orang mukmin yang sempurna imannya.”
Al Munawi mengatakan, “Jika seorang mukmin diberi cobaan maka itu sesuai dengan ketaatan, keikhlasan, dan keimanan dalam hatinya.”
Al Munawi mengatakan pula, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta. Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. 
Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.”

Semakin kuat iman, semakin berat cobaan, namun semakin Allah cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut, pen), maka baginya murka Allah.”[HR. Tirmidzi no. 2396, dari Anas bin Malik. ]
Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa  ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar pahala bagi mereka tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.
Makna asal dari sabar adalah “menahan”.Secara syar’i, pengertian sabar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah,
فَالصَّبْرُ حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ الجَزْعِ وَاللَِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي، وَالجَوَارِحِ عَنْ لَطْمِ الخُدُوْد وَشَقِّ الثِيَابِ وَنَحْوِهِمَا

“Sabar adalah menahan diri dari menggerutu, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar pipi, merobek-robek baju dan perbuatan tidak sabar selain keduanya.”.‎
Jadi, sabar meliputi menahan hati, lisan dan anggota badan.
Semoga Allah memberi taufik dan kekuatan kepada kita dalam menghadapi setiap ujian.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Musibah Datang Karena Dosa Kesalahan Manusia

Alloh penguasa alam raya. Dengan kuasa-Nya, Allah dapat berbuat apa saja tanpa ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Kita dan semua yang kita saksikan dalam kehidupan ini pun milik-Nya. Dengan hikmah-Nya yang maha tinggi, Allah berkenan memberi apa saja kepada kita, Allah pun mampu mengambilnya dari kita. Allah berkehendak mengaruniakan kebaikan yang kita inginkan, Allah pun berhak menurunkan musibah yang tidak kita harapkan.

Musibah, bencana dan malapetaka ada dalam kuasa-Nya pula. Kehidupan manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih berganti. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang ringan sampai yang berat. Dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan ada yang musibah yang melibatkan manusia zalim.

Allah Mahabijaksana. Musibah adalah sunnah-Nya. Segala yang diperbuat-Nya selalu mengandung hikmah yang agung. 

Ketika musibah dan bencana menghampiri kita, kadang yang dijadikan kambing hitam adalah alam, artinya alam itu murka. Ketika sakit datang, yang disalahkan pula konsumsi makanan, kurang olaharga dan seterusnya. 

Ketika kita terzholimi oleh atasan atau majikan karena belum telat gaji bulanan, kadang yang jadi biang kesalahan adalah majikan atau bos yang dijuluki pelit atau bakhil. Walau memang sebab-sebab tadi bisa jadi benar sebagai penyebab, namun jarang ada yang merenungkan bahwa karena dosa atau maksiat yang kita perbuat, akhirnya Allah mendatangkan musibah, menurunkan penyakit atau ada yang menzholimi kita. 

Coba kita renungkan ayat yang akan dibahas berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Firman Allah Swt.:

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.(Asy-Syura: 30)

Yakni betapapun kamu, hai manusia, tertimpa musibah, sesungguhnya itu hanyalah karena ulah keburukan kalian sendiri yang terdahulu.

{وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Maksudnya, keburukan-keburukanmu. Maka Dia tidak membalaskannya terhadap kalian, bahkan Dia memaafkannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ}

Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. (Fathir: 45)

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَب وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزَن، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ، حَتَّى الشَّوْكَةِ  يُشَاكُهَا"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, tiada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin berupa kelelahan, kepayahan, kesusahan, dan tidak (pula) kesedihan melainkan Allah menghapuskan darinya berkat musibahnya itu sebagian dari kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)nya, sehingga yang berupa duri yang menusuk (kaki)nya.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُليَّة، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ قَالَ: قَرَأْتُ فِي كِتَابِ أَبِي قِلابَةَ قَالَ: نَزَلَتْ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} [الزَّلْزَلَةِ:7، 8] وَأَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ، فَأَمْسَكَ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَرَاءٍ مَا عَمِلْتُ مِنْ خَيْرٍ وَشَرٍّ؟ فَقَالَ: "أَرَأَيْتَ مَا رَأَيْتَ مِمَّا تَكْرَهُ، فَهُوَ مِنْ مَثَاقِيلِ ذَرّ الشَّرِّ، وَتُدَّخَرُ مَثَاقِيلُ الْخَيْرِ حَتَّى تُعْطَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" قَالَ: قَالَ أَبُو إِدْرِيسَ: فَإِنِّي أَرَى مِصْدَاقَهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ: {وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub yang mengatakan bahwa ia membaca di dalam kitab Abu Qilabah yang menyebutkan bahwa ayat berikut, yaitu firman Allah Swt.: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Diturunkan saat Abu Bakar r.a. sedang makan, lalu ia menghentikan makannya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu mengetahui apa yang aku kerjakan berupa kebaikan atau keburukan." Rasulullah Saw. menjawab: Tidakkah engkau melihat apa yang engkau lihat berupa perkara yang tidak kamu sukai(menimpa dirimu) itu merupakan beban dari sezarrah keburukan, kemudian dimasukkan ke dalam timbangan kebaikan, hingga engkau mendapatkannya di hari kiamat nanti. Lalu disebutkan Abu Idris pernah mengatakan, bahwa ia melihat hal yang semakna yang menguatkannya di dalam Kitabullah, yaitu melalui firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Abu Qilabah, dari sahabat Anas r.a. Ia mengatakan bahwa hadis yang pertama adalah yang paling sahih.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الفَزَاري، حَدَّثَنَا الْأَزْهَرُ بْنُ رَاشِدٍ الْكَاهِلِيُّ، عَنِ الخَضْر بْنِ القَوَّاس الْبَجْلِيِّ، عَنْ أَبِي سُخَيْلَةَ عَنْ عَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلِ آيَةٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَحَدَّثَنَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: {وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ} . وَسَأُفَسِّرُهَا لَكَ يَا عَلِيُّ: "مَا أَصَابَكُمْ مِنْ مَرَضٍ أَوْ عُقُوبَةٍ أَوْ بَلَاءٍ فِي الدُّنْيَا، فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَاللَّهُ تَعَالَى أَحْلَمُ مِنْ أَنْ يُثَنِّى عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ فِي الْآخِرَةِ، وَمَا عَفَا اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا فَاللَّهُ تَعَالَى أَكْرَمُ مِنْ أَنْ يَعُودَ بَعْدَ عَفْوِهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa ibnut Tabba', telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Azhar ibnu Rasyid Al-Kahili, dari Al-Khadir ibnul Qawwas Al-Bajali, dari Abu Sakhilah, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang suatu ayat dalam Kitabullahyang paling afdal yang telah diceritakan kepada kami oleh Rasulullah Saw, yaitu firman-Nya: 'Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)' (Asy-Syura: 30) Lalu Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Ali, aku akan menafsirkannya kepadamu: Apa saja yang menimpa kamu berupa sakit atau siksaan atau musibah di dunia, maka dikarenakan ulah tanganmu sendiri, dan Allah Swt. Maha Penyantun dari menduakalikan siksaan-Nya di akhirat nanti. Dan apa yang dimaafkan oleh Allah di dunia, maka Allah Swt. Mahamulia dari mengulanginya sesudah memaafkannya'.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Marwan ibnu Mu'awiyah dan Abdah, dari Sakhilah yang menceritakan bahwa Ali r.a. pernah mengatakan, lalu disebutkan hal yang semisal secara marfu'.

Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari jalur lain secara mauquf.

Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Abul Waddah, dari Abul Hasan, dari Abu Juhaifah yang menceritakan bahwa ia masuk menemui sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a, lalu Ali r.a. berkata, "Maukah aku ketengahkan kepada kamu sekalian suatu hadis yang dianjurkan bagi orang mukmin untuk menghafalnya?" Kemudian mereka memintanya untuk mengetengahkannya, maka Ali membaca firman Allah Swt.: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30) Lalu Ali r.a. berkata, bahwa apa saja yang telah dijatuhkan oleh Allah sebagai hukuman di dunia, maka Allah Maha Penyantun dari menduakalikan hukuman-Nya kelak di hari kiamat. Dan apa saja yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia, maka Allah Mahamulia dari mengulangi pemaafan-Nya di hari kiamat nanti.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا طَلْحَةُ -يَعْنِي ابْنَ يَحْيَى-عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ-هُوَ ابْنُ أَبِي سُفْيَانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Talhah (yakni Ibnu Yahya), dari Abu Burdah, dari Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan r.a. yang mengatakan bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tiada sesuatu pun yang menimpa diri seorang mukmin pada jasadnya yang membuatnya kesakitan, melainkan Allah meng­hapuskan karenanya sebagian dari keburukan-keburukannya.

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا، ابْتَلَاهُ اللَّهُ بالحَزَنِ لِيُكَفِّرَهَا"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hasan, dari Zaidah, dari Laits, dari Mujahid, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila dosa seorang hamba banyak, sedangkan dia tidak memiliki sesuatu sebagai penghapusnya (kifaratnya), maka Allah mengujinya dengan kesedihan untuk menghapuskan dosa-dosanya itu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan Al Basri yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy-Syura: 30)

Bahwa ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah Saw. bersabda:

"وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا مِنْ خَدْش عُودٍ، وَلَا اخْتِلَاجِ عِرْقٍ، وَلَا عَثْرة قَدَمٍ، إِلَّا بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللَّهُ عَنْهُ أَكْثَرُ"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman)-Nya, tiada suatu lecet pun karena kayu dan tiada pula terkilirnya urat dan tiada pula tersandungnya telapak kaki melainkan karena perbuatan dosa, dan apa yang dimaafkan oleh Allah dari (penderita) nya adalah lebih banyak.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari mansur, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain r.a. yang mengatakan bahwa salah seorang muridnya menemuinya, sedangkan Imran ibnu Husain saat itu sedang terkena cobaan penyakit pada tubuhnya. Lalu sebagian dari murid-muridnya mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami merasa sedih dengan apa yang kami lihat menimpa dirimu." Maka Imran ibnu Husain menjawab, "Janganlah kamu bersedih hati melihat diriku seperti ini, karena sesungguhnya apa yang kamu lihat ini karena suatu dosa, sedangkan apa yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak (daripada dosa itu)." Kemudian Imran ibnu Husain r.a. membaca firman-Nya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. (Asy-Syura: 30)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid Al-Hamami, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abul Bilad yang mengatakan bahwa ia pernah membacakan firman berikut kepada Al-Ala ibnu Badr, yaitu: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. (Asy-Syura: 30) Dan ia mengatakan bahwa matanya telah buta sejak ia masih kanak-kanak. Maka Al-Ala ibnu Badr menjawab, "Itu karena dosa-dosa kedua orang tuamu."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abdul Aziz ibnu Abu Daud, dari Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa tiadalah yang kami ketahui bila ada seseorang telah hafal Al-Qur'an, kemudian ia lupa melainkan karena suatu dosa yang dilakukannya. Kemudian ia membaca firman Allah Swt.: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu) (Asy-Syura: 30)

 “Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat.” 

Karena memang Allah akan menyiksa seorang hamba karena dosa yang ia perbuat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun” (QS. Fathir: 45).

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni” (HR. Muslim no. 2573).

Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه

“Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya” (HR. Ahmad 4: 98. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).

Bisa jadi pula musibah itu datang menghampiri kita karena dosa orang tua. Abul Bilad berkata pada ‘Ala’ bin Badr mengenai ayat,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”, dan sejak kecil aku sudah buta, bagaimana pendapatmu? ‘Ala’ berkata,

فبذنوب والديك

“Itu boleh jadi karena sebab orang tuamu”.

Seseorang bisa jadi mudah lupa terhadap ayat Qur’an yang telah ia hafal karena sebab dosa yang ia perbuat. Adh Dhohak berkata,

ما نعلم أحدا حفظ القرآن ثم نسيه إلا بذنب

“Kami tidaklah mengetahui seseorang yang menghafal Qur’an kemudia ia lupa melaikan karena dosa”. Lantas Adh Dhohak membacakan surat Asy Syura yang kita bahas saat ini. Lalu ia berkata,

وأي مصيبة أعظم من نسيان القرآن.

“Musibah mana lagi yang lebih besar dari melupakan Al Qur’an?”

Jadi boleh jadi bukan karena kesibukan kita, jadi biang kesalahan hafalan Qur’an itu hilang. Boleh jadi karena tidak menjaga pandangan, terus menerus dalam maksiat serta meremehkan dosa, itulah sebab Allah memalingkan Al Qur’an dari kita.

Moga Allah melepaskan berbagai musibah yang menimpa kita. Ayat ini adalah sebagai renungan bagi kita untuk selalu mengintrospeksi diri sebelum menyalahkan orang lain ketika kita terzholimi. Boleh jadi musibah itu  datang karena dosa syirik, tidak ikhlas dalam amalan, amalan yg tidak berdasar, dosa besar atau meremehkan maksiat yang kita perbuat hari demi hari.

Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, musibah adalah sunnatullah di dunia ini. Dunia bukan tempat kenikmatan. Mencari kesenangan dan kenikmatan selama-lamanya dan terus-menerus tidak mungkin akan didapatkan di dunia ini. 

Di dunia ini bercampur antara nikmat dan bencana, antara kemudahan dan kesusahan, antara kesenangan dan kesedihan. Jika begitu hakikat dari kehidupan dunia, maka musibah yang datang kepada seorang hamba sejatinya dapat mengingatkannya ke negeri akhirat, tempat cita-cita untuk meraih segala kenikmatan dapat ditambatkan.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad: 4)

Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, susah payah dalam menghadapi musibah-musibah di dunia, dan kesulitan-kesulitan di akhirat.”

Faktor musibah utama ini (ulah manusia) ada dua hal, yakni faktor sosial dan faktor spiritual.

Pertama, faktor sosial. Maksudnya adalah faktor-faktor pemicu musibah yang berasal dari ulah manusia secara alamiah. Misalnya, membuang sampah ke sungai, tidak adanya daerah serapan air, banyaknya gedung dan bangunan, merupakan faktor penyebab banjir. Banyaknya volume kendaraan, tidak taat dan tertib lalu lintas menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pembakaran hutan secara liar bisa menyebabkan gangguan polusi udara. Pembuangan limbah pabrik bisa menjadi polusi air. Digundulinya lereng gunung bisa menyebabkan tanah longsor.

Kedua, faktor spiritual. Maksudnya adalah faktor pemicu musibah yang berkaitan dengan nilai dan syariat agama. Faktor spiritual bisa berwujud melalaikan ibadah, banyak dosa dan maksiat, adanya “legalisasi” perzinaan, narkoba menjadi gaya hidup, memilih-memilih dan menolak syariat, banyaknya aliran dan pemahaman sesat-menyesatkan yang menodai syariat, dan syirik di mana-mana.

Berkenaan dengan poin kedua ini, terdapat ayat al-Quran yang relevan, yakni:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka, Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (Q.S. al-A’raf [7]: 96).

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa sebab tidak berkahnya suatu negara adalah tidak beriman, tidak bertakwa, dan mendustakan ayat Allah. Selanjutnya, negara yang tidak beriman, tidak bertakwa, dan menolak ayat Allah akan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Perhatikan saja, berkah langit dan berkah bumi tidak Allah buka. Langit menurunkan hujan yang sejatinya menyiram bumi, ternyata malah menyisakan air denan volumke berlebih alias banjir. Bumi, yang sejatinya diharapkan mengeluarkan kebaikan, ternyata malah berguncang (gempa), gunung meletus, longsor, dll. dengan intensitas yang tinggi.

Oleh karena itu, ketika bencana melanda suatu negara, hal yang harus dipikirkan adalah sejauh mana negara tersebut memiliki perhatian yang tinggi terhadap syariat. Bukan mengaitkannya dengan gejala alam semata. Karena, jika syariat dijadikan kambing hitam kehancuran negara (politik, ekonomi, social, kerukunan, toleransi, kebebasan, dll.) seperti yang kita lihat saat ini, maka ayat di atas mungkin saja terjadi: hilangnya berkah langit dan bumi (banyak bencana).

Hikmah Musibah

Musibah yang ditetapkan Allah kepada hamba-Nya memiliki beberapa hikmah, yaitu al-ikhtibar (ujian), at-tahdzir (peringatan), al-‘adzab (siksa), al-mukaffirudz dzanbi (penebus dosa).

1. Al-Ikhtibar (ujian)

Hikmah pertama dari musibah adalah sebagai al-ikhtibar atau ujian. Bagi siapa musibah sebagai ujian? Tentunya bagi orang-orang yang mengaku beriman. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 2).

Jadi, bagi kita yang mengaku diri beriman, bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian. Dan, perlu diingat bahwa semakijn tinggi pohon, semakin tinggi angin yang menerpanya; semakin tinggi kualitas iman seseorang, semakin besar ujian yang akan dihadapinya. Inilah fitrahnya.

Namun, jangan khawatir. Bagi orang yang imannya tinggi, ujian besar insya Allah akan terasa tawar. Sebaliknya, bagi orang yang imannya lemah, ujian sekecil apapun, rasanya sangat dahsyat. Jika demikian, kunci agar mudah dan lulus dalam ujian adalah kekuatan iman. Kekuatan iman akan melahirkan sabar, ikhtiar, doa, dan tawakal. Keempatnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain ketika menghadapi ujian. Hilang salah satu, ujian pun bisa-bisa gagal.

Semoga kita termasuk orang yang bisa mengaplikasikan keempat hal tersebut: sabar, ikhtiar, doa, dan tawakal; di saat ujian melanda.

2. At-Tahdzir

Musibah yang melanda bisa saja Allah tetapkan sebagai tahdzir atau peringatan. Peringatan Allah berikan kepada orang yang sering melakukan dosa dan maksiat. Ketiika diuji dengan penyakit misalnya, hal pertama yang harus dievaluasi adalah apakah kita sudah bersih dari dosa atau belum. Kalau ternyata belum dan memang tidak ada manusia yang bersih sepenuhnya dari dosa, ini berarti Allah sedang memberikan peringatan agar tidak bersantai-santai berbuat dosa dan maksiat, dan agar segera kembali ke jalan yang benar (istigfar, tobat). Karena, setiap dosa ada timbal baliknya, sekecil apapun.

Artinya, jangan GR alias gede rasa dulu. Penyakit yang dirasa, rugi dalam dagang, rezeki sukar dicari, ngejomblo terus padahal hati rindu menikah, nama baik jadi turun, dll., jangan dulu divonis sebagai ujian dari Allah. Barangkali semua itu adalah teguran bahwa diri kita masih terlalu banyak dosa dan maksiat kepada-Nya. Sehinga, dengan teguran ini Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki dan memantaskan diri di hadapan-Nya. Yang akan terjadi adalah, jika kita baik dan pantas ditolong Allah, maka Allah pun akan menolong dengan segera untuk menepikan musibah yang terjadi. Itu dia sunnatullah-nya. Dan, demikianlah sikap terbaik daripada GR merasa musibah adalah ujian dari Allah. Mendingan merasa bahwa musibah ini adalah peringatan sehingga kita tidak terlalu kalem dalam musibah dan dengan kesadaran seera memperbaiki diri di samping istigfar sebanyak-banyaknya.

3. Al-‘Adzab

Yang paling mengerikan hati adalah musibah yang terjadi merupakan adzab dari Allah SWT. Yang namanya adzab ya tentu bagi orang yang pantas diadzab. Siapa mereka?

Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits, yang akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia maupun di akhirat adalah mereka yang mendustakan dan menolak ayat-ayat Allah (kafir), mereka yang menduakan Allah dalam ketauhidan (syirik), dan mereka kaum munafik si serigala berbulu domba. Jika ada orang kafir, musyrik, dan munafik terkena musibah, dipastikan bahwa musibah itu merupakan azab dari Allah SWT.

Namun, dijelaskan pula dalam hadits bahwa musibah, penyakit, dan kesedihan pun ternyata balasan atas kesalahan yang dilakukan. Nabi saw. bersabda:

اَلْمَصَائِبُ وَالْأَمْرَاضُ وَالْأَحْزَانُ فِى الدُّنْيَا جَزَاءٌ

“Musibah-musibah, penyakit-penyakit, dan kesedihan-kesedihan merupakan balasan (atas kesalahan).” (H.R. Ibnu Mardwih dan Abu Nu’aim).

Sepadan dengan hadits tersebut Allah SWT berfirman yang artinya, “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (Q.S. an-Nisa [4]: 123).

4. Mukaffirudz Dzanbi

Hikmah selanjutnya dari musibah adalah sebagai mukaffirudz dzanbi atau penghapus dosa. Siapakah yang mendapat hikmah ini? Tidak semua orang yang terkena musibah akan mendapakan penghapusan dosa. Yang akan mendapatkan hikmah ini adalah ia yang beriman dan beramal saleh. Sedangkan orang kafir, musyrik, dan munafik tidak akan mendapatkan hikmah pengampunan  dosa karena musibah bagi mereka adalah adzab sebagaimana poin sebelumnya.

Namun, tidak lantas dosa orang beriman kemudian diampuni Allah ketika musibah datang. Ada syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Syarat tersebut adalah sabar menjalani dan “menikmati” musibah.

Bagaimana wujud kesabarannya? Orang yang sabar terlihat dalam sikapnya: tidak berkeluh kesah, tenang, tangguh, tegar, berikhtiar semaksimal mungkin, terus berdoa, dan menyerahkan seala urusan kepada Allah (tawakal).

Mengenai hikmah ini, Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةَ يُشَاكُهَا

“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim, kecuali Allah akan mengampuni dosanya meskipun hanya tertusuk duri.” (H.R. Bukhari).

Tak heran, jika para ulama terdahulu lebih merasa bahagia jika musibah tiba. Ternyata, musibah yang dihadapi dengan sabar, berbuah diampuni dosa yang telah dilakukan. Kalau begitu, ketika kita beristigfar minta diampuni dosa oleh Allah, maka salah satu  bentuk pengabulannya adalah Allah mengirimkan musibah untuk dihadapi dengan sabar.

Evaluasi untuk Negeri

Indonesia saat ini sedang berkabung dengan berbagai musibah yang singgah silih berganti. Banjir belum usai, gempa dahsyat terjadi. Akibat gempa belum terpulihkan, gunung pun meletus. Selain itu, longsor, kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas,  dll. pun turut “mewarnai” bencana yang datang.

Ada apa dengan Indoensia? Pertanyaan ini harus dijawab. Karena, selama ini para tokoh bangsa hanya mengaitkannya dengan gejala alam. Belum ada atau sedikit saja yang mengungkit permasalahan sikap, nilai dan ketaatan dalam agama (baca: Islam).

Ya. Karena, sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, pantas dan memang harus ada evaluasi dalam sikap hidup beragama. Dasarnya sudah dipahami bahwa musibah yang muncul adalah respon atas dosa dan maksiat kepada Allah. Selain itu, musibah-musibah yang menimpa umat-umat terdahulu adalah karena sikap mereka yang menentang dan tidak mau mengamalkan syariat agama Allah.

Nah, sekarang silahkan dievaluasi oleh masing-masing, kira-kira dari keempat hikmah yang dibahas sebelumnya, Indonesia berada di mana? Apakah musibah negara sebagai ujian, peringatan, atau siksa? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.

Selain negara yang harus dievaluasi, kita pun mesti bermuhasabah diri. Barangkali kita sudah melalaikan ibadah, banyak dosa dan maksiat kepada Allah, menjauhi sunnah dan menghidupkan bid’ah. Hal-hal tersebut merupakan fasad (kerusakan) di muka bumi yang akan mengundang musibah.

Mengiyakan hal tersebut, pernah terjadi gempa dahsyat di jaman Umar bin Khatab. Lalu Umar melakukan “briefing” dan menegaskan bahwa musibah ini tiada lain disebabkan oleh dosa dan maksiat.

Oleh karena itu, salah satu  hal yang sangat harus dilakukan setiap kita adalah beristigfar kepada Allah sesering dan sebanyak mungkin. Barangkali dosa dan maksiat kita lah yang mengundang musibah itu. Sikap seperti ini sangat baik daripada menuduh bahwa orang lah yang berbuat salah sehingga menyebabkan musibah.

Ya Allah, ampunilah dosa dan terimalah taubat kami.
Semoga hati, lisan dan badan ini bisa bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 30 Mei 2016

Belajar Demokrasi Dalam Surat Ali Imron

Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?”(HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)‎

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.

Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.
Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. datang tidak hanya membawa aqidah keagamaan atau ketentuan moral dan etika yang menjadi dasar masyarakat semata-mata. Akan tetapi Islam juga membawa syariat yang jelas mengatur manusia, perilakunya dan hubungan  antara satu dengan yang lainnya dalam segala aspek; baik bersifat individu, keluarga, hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.
Sejarah memperlihatkan bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir berhasil mendirikan suatu sistem pemerintahan, kemudian pengaruhnya berkembang ke seluruh penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan dan kekuatan banyak umat. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan dan jiwa umatnya, bahkan mengadakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa, hanya berdasarkan Al-Qur’an yang setiap hurufnya telah menjadi hukum.
Jadi, Islam memang bukan hanya merupakan sekadar sistem keagamaan. Islam juga mengatur masalah sistem politik, termasuk demokrasi.
Ada kalanya dalam suatu kepentingan, orang-orang banyak menemukan perbedaan pendapat. Allah menjelaskan dalan surat Ali-Imran ayat 159 mengenai masalah perbedaan pendapat ini, yaitu dengan cara bermusyawarah.
Musyawarah dilakukan sebagai cara untuk mengambil keputusan dengan cara yang baik dan benar, dengan tidak memaksa pendapat masing-masing. Musyawarah ini telah diterapkan oleh Rasulullah  SAW pada masa kepemimpinannya.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160) وَما كانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِما غَلَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوانَ اللَّهِ كَمَنْ باءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْواهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162) هُمْ دَرَجاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِما يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (164)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya. Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS Ali Imron Ayat 159-164)
Allah Swt berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin; yaitu Allah telah membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ}

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159) 

Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159) Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap lemah lembut terhadap mereka. 

Huruf ma merupakan silah; orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَبِما نَقْضِهِمْ مِيثاقَهُمْ

Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian itu. (An-Nisa: 155)

Dapat pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

عَمَّا قَلِيلٍ

Dalam sedikit waktu. (Al-Mu’minun: 40)

Demikian pula dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya: 

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ}

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159) Yakni karena rahmat dari Allah.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad Saw. yang diutus oleh Allah, dengan menyandang akhlak ini. Makna ayat ini mirip dengan makna ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَيْوة، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، حَدَّثَنِي أَبُو رَاشِدٍ الحُبْراني قَالَ: أَخَدَ بِيَدِي أَبُو أمَامة الْبَاهِلِيُّ وَقَالَ: أَخَذَ بِيَدِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فقال: "يَا أبَا أُمامَةَ، إنَّ مِنَ الْمُؤْمِنينَ مَنْ يَلِينُ لِي قَلْبُه".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Rasyid Al-Harrani yang mengatakan bahwa Abu Umamah Al-Bahili pernah memegang tangannya, lalu bercerita bahwa Rasulullah Saw. pernah memegang tangannya, kemudian bersabda: Hai Abu Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melunakkan hatinya.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.

========================================

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imran: 159)

Al-fadzu artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan: 

{غَلِيظَ الْقَلْبِ}

lagi berhati kasar. (Ali Imran: 159)

Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar darimu dan meninggalkan kamu. Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, seperti apa yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah Saw., bahwa beliau tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan.


وَرَوَى أَبُو إِسْمَاعِيلَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، أَنْبَأَنَا بشْر بْنُ عُبَيد الدَّارِمِيُّ، حَدَّثَنَا عَمّار بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمَسْعُودِيِّ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَة، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إنَّ اللَّهَ أمَرَنِي بِمُدَارَاةِ النَّاس كَمَا أمَرني بِإقَامَة الْفَرَائِضِ"

Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ubaid, telah menceritakan ke-pada kami Ammar ibnu Abdur Rahman, dari Al-Mas'udi, dari Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar bersikap lemah lembut terhadap manusia sebagaimana Dia memerintahkan kepadaku untuk mengerjakan hal-hal yang fardu.
Hadis ini berpredikat garib.

=======================================

Dalam firman selanjutnya disebutkan: 

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159)

Karena itulah Rasulullah Saw. selalu bermusyawarah dengan mereka apabila menghadapi suatu masalah untuk mengenakkan hati mereka, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya. Seperti musyawarah yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar, sehubungan dengan hal mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik. Maka mereka mengatakan: Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawa kami ke lautan, niscaya kami tempuh laut itu bersamamu; dan seandainya engkau membawa kami berjalan ke Barkil Gimad (ujung dunia), niscaya kami mau berjalan bersamamu. Dan kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa kepada Musa, "Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini," melainkan kami katakan, "Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur." 
Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi Saw. berada di hadapan kaum (pasukan kaum muslim). Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi Saw. berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada. 

Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi Saw. menuruti pendapat mereka.

Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata, "Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah." Kemudian Nabi Saw. memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.

Dalam peristiwa hadisul ifki (berita bohong), Nabi Saw. bersabda:

«أَشِيرُوا عَلَيَّ مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ فِي قَوْمٍ أَبَنُوا  أَهْلِي وَرَمَوْهُمْ، وَايْمُ اللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ وَأَبَنُوهُمْ بِمَنْ؟ وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا»

Hai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku tentang suatu kaum yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu keburukan pun pada diri keluargaku, lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, tiada yang aku ketahui kecuali hanya kebaikan belaka.


Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah r.a.

Nabi Saw. bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya.

Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai masalah, apakah musyawarah bagi Nabi Saw. merupakan hal yang wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja untuk mengenakkan hati mereka (para sahabatnya)? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah Saw. dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.

قَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، عَنْ شَهْرَ بْنِ حَوْشَب، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمْرَ: "لوِ اجْتَمَعْنا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا"

Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar: Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu musyawarah, aku tidak akan berbeda denganmu.


Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Talib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda:

«مُشَاوَرَةُ أَهْلِ الرَّأْيِ ثُمَّ اتِّبَاعُهُمْ»

Meminta pendapat dari ahlur rayi, kemudian mengikuti pendapat mereka.


قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شَيْبَانَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمير، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "المُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ".

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, dari Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.


Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Abdul Malik dengan konteks yang lebih panjang daripada hadis di atas, dan dinilai hasan oleh Imam Nasai.

قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي عَمْرو الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "المُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ".

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, dari Syarik, dari Al-A'masy, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.


Imam Ibnu Majah menyendiri dalam periwayatan hadis ini dengan sanad tersebut. 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ وَعَلِيُّ بْنُ هَاشِمٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إذَا اسْتَشَارَ أحَدُكُمْ أخَاهُ فَليشِر عليْهِ.

ia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah dan Ali ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian meminta nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah saudaranya itu memberikan nasihat (saran) kepadanya.
Hadis ini pun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri. 

=========================================

Firman Allah Swt.:

فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (Ali Imran: 159)

Yakni apabila engkau bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, dan kamu telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu bertawakal kepada Allah dalam urusan itu. 

{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ}

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ali Imran: 159) 

========================================
Firman Allah Swt:

{إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}

Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (Ali Imran: 160)

Ayat ini —seperti yang telah disebutkan di atas— sama maknanya dengan firman-Nya:

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ali Imran: 126)

Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada mereka untuk bertawakal kepada-Nya melalui firman-Nya: 

{وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}

Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (Ali Imran: 160)‎

Firman Allah Swt.:

وَما كانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161)

Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang nabi berbuat khianat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Musayyab ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Abi Ishaq Al-Fazzari, dari Sufyan ibnu Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka kehilangan sebuah qatifah (permadani) dalam Perang Badar, lalu mereka berkata, "Barangkali Rasulullah Saw. telah mengambilnya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan al-gulul ialah khianat atau korupsi.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Khasif, telah menceritakan kepada kami Miqsam, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya berikut ini: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.(Ali Imran: 161) diturunkan berkenaan denganqatifah merah yang hilang dalam Perang Badar. Maka sebagian orang mengatakan bahwa barangkali Rasulullah Saw. mengambilnya, hingga ramailah orang-orang membicarakan hal tersebut. Karena itu, Allah menurunkan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. (Ali Imran: 161)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi secara bersamaan dari Qutaibah, dari Abdul Wahid ibnu Ziyad dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Khasif, dari Miqsam, yakni secara mursal.

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Amr ibnul Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang munafik menuduh Rasulullah Saw. mengambil sesuatu yang hilang. Maka Allah menurunkan firman-Nya:Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161)

Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur hal yang sama dengan hadis di atas dari Ibnu Abbas.

Ayat ini membersihkan diri Nabi Saw. dari semua segi perbuatan khianat dalam menunaikan amanat dan pembagian ganimah serta urusan-urusan lainnya.

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) Misalnya beliau memberikan bagian kepada sebagian pasukan, sedangkan sebagian yang lainnya tidak diberi bagian. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ad-Dahhak.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.(Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan khianat di sini menurutnya misalnya ialah beliau meninggalkan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikannya kepada umat.

Al-Hasan Al-Basri, Tawus, Mujahid, dan Ad-Dahhak membacanya dengan memakai huruf yayang di-dammah-kan, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Tidak mungkin seorang nabi dikhianati.‎

Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam Perang Badar, yang saat itu sebagian dari sahabat ada yang berbuat korupsi dalam pembagian ganimah. Ibnu Jarir meriwayatkan dari keduanya (Qatadah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas). Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari seorang di antara mereka, bahwa ia menafsirkan qiraat (bacaan) ini dengan pengertian dituduh berbuat khianat. 

=======================================

Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ}

Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya. (Ali Imran: 161)

Ungkapan ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang kuat; dan sunnah pun menyebutkan larangan melakukan hal tersebut dalam beraneka ragam hadis.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ -يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ-عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عقيل، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أعْظَمُ الْغُلُولِ عِنْدَ اللهِ ذِراعٌ مِنَ الأرْضِ: تَجِدُونَ الرَّجُلَيْن جَارَيْن فِي الأرْضِ -أو فِي الدَّار-فَيَقْطَعُ أحَدُهُمَا مِنْ حَظِ صِاحِبِه ذِراعًا، فَإذَا اقْتَطَعَهُ طُوِّقَهُ مِنْ سَبعِ أرضِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامة"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Zubair (yakni Ibnu Muhammad), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Khianat yang paling besar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang lelaki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah-seorang dari keduanya mengambil sehasta dari milik temannya. Apabila ia mengambilnya, niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti.
Hadis yang lain. 


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنِ ابْنِ هُبَيْرة وَالْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ. قَالَ: سَمِعْتُ المُسْتَوْرد بْنَ شَدَّادٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلا وَلَيْسَ لَهُ مَنزلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنزلا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ لَيْسَت لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah dan Al-Haris ibnu Yazid, dari Abdur Rahman ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Mustaurid mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Barang siapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum mempunyai istri maka hendaklah ia segera kawin; atau belum mempunyai pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut, berarti dia adalah orang yang khianat (korupsi).‎

Demikian menurut lafaz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. 

Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui jalur lain dan dengan konteks yang lain pula. Untuk itu ia mengatakan: 

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ مَرْوَانَ الرَّقِّي، حَدَّثَنَا الْمُعَافَى، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَير، عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ. قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا". قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ: أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ، أَوْ سَارِقٌ"

telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Jubair ibnu Nafir, dari Al-Mustaurid ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa bekerja bagi (kepentingan) kita, hendaklah ia mencari istri; dan jika ia belum mempunyai pelayan, hendaklah ia mencari seorang pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah. Al-Mustaurid ibnu Syaddad mengatakan pula, sahabat Abu Bakar pernah mengatakan bahwa ia pernah mendapat berita bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang mengambil selain dari itu, berarti dia adalah orang yang korupsi atau pencuri. ‎

Guru kami (Al-Hafiz Al-Mazzi) mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far ibnu Muhammad Al-Faryabi dari Musa ibnu Marwan; hanya ia menyebutkan dari Abdur Rahman ibnu Nafir, bukan ibnu Jubair; hal ini lebih mendekati kebenaran.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. ‎

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيب، حَدَّثَنَا حَفْص بْنُ بشْر، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ القُمّي حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رسول الله صلى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ يَأْتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْملُ شَاةً لَهَا ثُغَاءٌ، فَيُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ، فَأقُولُ: لَا أمْلِكُ [لَكَ] مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. وَلَا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ [يأْتِي] يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ جَمَلا لَهُ رُغَاءٌ، فَيَقُولُ: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فَأَقُولُ: لَا أمْلِكُ لَكَ مِن اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. وَلَا أعْرِفَنَّ أَحَدكمْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ فَرَسًا لَهُ حَمْحَمَةٌ، يُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فَأَقُولُ: لَا أمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ. وَلا أعْرِفَنَّ أحَدَكُمْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُ [قَشْعًا] مِنْ أدْمٍ، يُنَادِي: يَا مُحَمَّدُ، يَا مُحَمَّدُ. فأقُولُ: لَا أمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ".

ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kambing yang mengembik, ia berseru, "Hai Muhammad, hai Muhammad (tolonglah daku)." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, aku telah menyampaikan (risalahku) kepadamu." Dan sungguh aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul seekor unta yang bersuara; ia berkata, "Hai Muhammad, hai Muhammad." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kuda yang meringkik; ia berkata, "Hai Muhammad, hai Muhammad!" Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul suatu bagian berupa kulit, lalu ia berseru, "Hai Muhammad, hai Muhammad." Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu."‎

Hadis ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para pemilik kitab-kitab sunnah.

Hadis yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، سَمِعَ عُرْوَة يَقُولُ: أَخْبَرَنَا أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ قَالَ: اسْتَعْمَلَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنَ الأزْد يُقَالُ لَهُ: ابْنُ اللُّتْبِيَّة عَلَى الصَّدَقَةِ، فَجَاءَ فَقَالَ: هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي. فَقَامَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: "مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَجِيءُ فَيَقُولُ: هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي. أَفَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَأْتِي أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ" ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ" ثَلاثًا.

telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri yang pernah mendengar Urwah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Humaid As-Sa'idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengangkat seorang lelaki dari kalangan Bani Azd yang dikenal dengan nama Ibnul Lutbiyyah sebagai amil (pemungut zakat). Lalu ia datang dan mengatakan, "Ini buat kalian, dan ini yang dihadiahkan kepadaku." Maka Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbarnya, lalu bersabda: Apakah gerangan yang dilakukan oleh seorang amil yang telah kita kirimkan untuk menunaikan suatu tugas, lalu ia mengatakan, "Ini buat kalian, dan yang ini yang dihadiahkan kepadaku"? Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu menunggu apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mengambil sesuatu darinya melainkan ia datang di hari kiamat seraya memikulnya di atas pundak. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu mengeluarkan suaranya-, atau berupa sapi, maka melenguh; atau berupa kambing, maka mengembik. Kemudian Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya tinggi-ting-gi hingga kami melihat kulit ketiaknya, lalu bersabda: Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan. sebanyak tiga kali.

Hisyam ibnu Urwah menambahkan dalam riwayatnya bahwa Abu Humaid mengatakan, "Saat itu aku melihat beliau dengan kedua mataku sendiri dan mendengar sabdanya dengan kedua telingaku. Tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit."

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui Sufyan ibnu Uyaynah. Pada lafaz yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, "Dan tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit." Diriwayatkan pula melalui berbagai jalur oleh Az-Zuhri, dan melalui banyak jalur dari Hisyam ibnu Urwah, keduanya meriwayatkan hadis ini dari Urwah dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاش، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِي حُمَيد أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "هَدَايا الْعُمَّالِ غُلُولٌ".

telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Abu Humaid, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hadiah-hadiah yang diterima oleh para amil (petugas) adalah gulul (penggelapan).
Hadis ini termasuk hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri, predikat sanadnya daif, seakan-akan hadis ini merupakan ringkasan dari sebelumnya.

Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi di dalam Kitabul Ahkam. ‎

حَدّثنا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ يَزِيدَ الأوْدَي، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شِبْل، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَل قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إلى الْيَمَنِ، فَلَمَّا سِرْتُ أَرْسَلَ فِي أثَري فَرُددتُ، فَقَالَ: "أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إلَيْكَ؟ لَا تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إذْنِي فَإنَّهُ غُلُولٌ، {وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ} لِهَذَا دَعَوْتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ".

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Daud ibnu Yazid Al-Audi, dari Al-Mugirah ibnu Syibl, dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan: Rasulullah Saw. mengutusku ke negeri Yaman (untuk memungut zakat). Ketika aku telah berangkat, beliau Saw. mengirimkan utusannya di belakangku. Maka aku kembali, dan beliau bersabda, "Tahukah kamu, mengapa aku memanggilmu kembali? Jangan sekali-kali kamu mengambil sesuatu tanpa seizinku, karena sesungguhnya hal itu adalah gulul. Barang siapa yang berkhianat (gulul) dalam urusan ini, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Karena hal inilah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah menuju tempat tugasmu."‎

Hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya dari jalur ini. Dalam bab yang sama diriwayatkan pula dari Addi ibnu Umairah, Buraidah, Al-Mustaurid ibnu Syaddad, Abu Humaid, dan Ibnu Umar.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. ‎

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بن عُلَيَّة، حَدَّثَنَا أَبُو حَيَّانَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ التّيْميّ، عَنْ أَبِي زُرْعَة بْنِ عُمَر بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَذَكَرَ الغُلُول فعَظَّمه وعَظَّم أَمْرَهُ، ثُمَّ قَالَ: "لا أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَغِثْنِي. فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ. لا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَغِثْنِي. فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ. لا أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ، لا أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي. فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، قَدْ بَلَّغْتُكَ".

Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Abu Hayyan Yahya ibnu Sa'id At-Taimi, dari Abu Zar'ah, dari Ibnu Umar. Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan perihal gulul yang dipandang oleh beliau sebagai suatu kesalahan besar dan merupakan perkara yang berat. Kemudian beliau bersabda: Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang di hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikulkan unta yang mengeluarkan suaranya. Lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak mempunyai suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikulkan seekor kuda yang meringkik. Lalu ia berkata, "Ya Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan pada pundaknya terpikulkan sejumlah harta benda, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki sesuatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Abu Hayyan dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. ‎

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، حَدَّثَنِي قَيْسٌ، عَنْ عدِيّ بْنِ عُميرَة الْكِنْدِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "يَأَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ عَمِلَ لَنَا [مِنْكُمْ] عَمَلًا فكَتَمَنَا مِنْهُ مِخْيَطا فَمَا فَوْقَهُ فَهُوَ غُلُّ يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأنصار أسود -قال مُجَالد: هو سعيد بْنُ عُبَادَةَ -كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ. قَالَ: "وَمَا ذَاك؟ " قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: "وَأَنا أقُولُ ذَاكَ الْآنَ: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئ بِقَليلِهِ وَكَثِيرِه، فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَهُ. وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى".

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail ibnu Abu Khalid, telah menceritakan kepadaku Qais, dari Addi ibnu Umairah Al-Kindi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia, barang siapa di antara kalian yang menangani suatu pekerjaan untuk kami, lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum dan selebihnya dari pekerjaan itu, maka hal itu merupakan gulul (penggelapan) yang kelak di hari kiamat dia akan datang membawanya. Maka berdirilah seorang lelaki yang hitam dari kalangan Ansar yang menurut Mujahid dia adalah Sa'd ibnu Ubadah, seakan-akan dia (perawi) melihatnya. Lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, terimalah dariku tugasmu." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah itu?" Si lelaki itu menjawab, "Aku pernah mendengarmu bersabda anu dan anu, dan sekarang aku akan mengatakannya, 'Barang siapa yang kami angkat menjadi amil untuk menangani suatu pekerjaan, hendaklah menyerahkan seluruh hasilnya, baik banyak maupun sedikit. Maka apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu, ia boleh menerimanya; dan apa yang tidak diberikan kepadanya dari hasil itu, hendaklah ia menahan dirinya'."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Daud melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. 
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الفَزَاري، عَنِ ابْنِ جُرَيج، حَدَّثَنِي مَنْبُوذٌ، رَجُلٌ مِنْ آلِ أَبِي رَافِعٍ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْعَصْرَ رُبَّما ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَيَتَحَدَّثُ مَعَهُمْ حَتَّى يَنْحَدِرَ الْمَغْرِبُ قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَبَيْنَا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْرِعًا إِلَى الْمَغْرِبِ إِذْ مَرَّ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ: "أُفٍّ لَكَ.. أُفٍّ لَكَ" مَرَّتَيْنِ، فَكَبُرَ  فِي [ذَرْعِي] وَتَأَخَّرْتُ وَظَنَنْتُ أَنَّهُ يُرِيدُنِي، فَقَالَ: "مَا لَكَ؟ امْشِ" قَالَ: قلتُ: أَحْدَثْتَ حَدَثًا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "وَمَا ذَاكَ؟ " قُلْتُ: أفَّفْتَ بِي قَالَ: "لَا وَلَكِنْ هَذَا قَبْرُ فُلانٍ، بَعَثْتُهُ سَاعِيًا عَلَى آلِ فُلانٍ، فَغَلَّ نَمِرَة فَدُرِعَ الآنَ مِثْلَهُ مِنْ نَارٍ"

Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Abu Ishaq Al-Fazzari, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Manbuz seorang lelaki dari keluarga Abu Rafi', dari Al-Fadl ibnu Abdullah ibnu Abu Rafi", dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. sehabis salat Asar adakalanya pergi menuju tempat Bani Abdul Asyhal, lalu beliau berbincang-bincang dengan mereka hingga waktu magrib tiba. Abu Rafi' mengatakan, ketika Rasulullah Saw. sedang berjalan dengan langkah yang cepat untuk melakukan salat Magrib, beliau me-makai jalan yang dilewati Baqi', lalu beliau bersabda, "Celakalah kamu, celakalah kamu," lalu beliau menempel pada bajuku hingga aku mundur, dan aku menduga yang beliau maksud diriku. Tetapi beliau bersabda, "Mengapa kamu?" Aku menjawab, "Apakah telah terjadi sesuatu pada dirimu, wahai Rasulullah?" Beliau bertanya, "Mengapa demikian?" Abu Rafi' berkata, "Sesungguhnya tadi engkau berkata kepadaku." Nabi Saw. menjawab: Tidak, tetapi ini adalah kuburan si Fulan. ia pernah kutugaskan untuk memungut zakat di kalangan Bani Fulan, dan ternyata ia menggelapkan sebuah baju namirah; kini dirinya memakai baju yang semisal dari api neraka.
Hadis lain diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad. 


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ الْكُوفِيُّ الْمَفْلُوجُ -وَكَانَ بِمَكَّةَ- حَدَّثَنَا عُبَيْدة بْنُ الْأَسْوَدِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي صَادِقٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ نَاجِدٍ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ مِنْ جَنْبِ الْبَعِيرِ مِنَ الْمَغْنَمِ، ثُمَّ يَقُولُ: "مَا لِيَ فِيهِ إِلَّا مِثْلَ مَا لأحَدِكُمْ، إيَّاكُمْ والْغُلُولَ، فَإنَّ الْغُلُولَ خزْي عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أدُّوا الخَيْطَ والمِخْيَطَ وَمَا فَوْقَ ذَلِكَ، وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الْقَرِيب والْبَعِيدَ، فِي الْحَضَرِ والسَّفَرِ، فإنَّ الجِهَادَ بَابٌ مِنْ أبْوَابِ الْجَنَّةِ، إنَّهُ لَيُنْجِي اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ والْغَمِّ؛ وأقِيمُوا حُدُودَ اللهِ فِي الْقَرِيبِ والْبَعِيدِ، وَلا تَأْخُذُكُمْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لائمٍ".

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Salim Al-Kufi Al-Mafluj orang yang siqah, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Aswad, dari Al-Qasim ibnul Walid, dari Abu Sadiq, dari Rabi'ah ibnu Najiyah, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mencabut sehelai bulu dari punggung unta hasil ganimah, kemudian bersabda: Tiada hak bagiku dalam harta ini kecuali seperti hak yang diperoleh seseorang di antara kalian. Waspadalah kalian terhadap gulul (pengkhianatan dalam harta rampasan), karena sesungguhnya gulul itu merupakan kehinaan bagi pelakunya kelak di hari kiamat. Tunaikanlah benang dan jarummu serta barang yang lebih besar dari itu, dan berjihadlah kalian di jalan Allah, baik terhadap kaum kerabat atau orang lain, baik sedang berada di tempat maupun berada dalam perjalanan. Karena sesungguhnya jihad itu merupakan salah satu di antara pintu-pintu surga. Sesungguhnya jihad itu, dengan melaluinya Allah benar-benar menyelamatkan (pelakunya) dari kesedihan dan kesusahan. Dan tegakkanlah hukuman-hukuman had Allah, baik terhadap kaum kerabat ataupun orang lain, dan jangan kalian mundur dalam berjuang membela agama Allah hanya karena celaan orang yang mencela.
Sebagian dari hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dari Al-Mafluj dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«رُدُّوا الْخِيَاطَ وَالْمِخْيَطَ، فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ وَنَارٌ وَشَنَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Kembalikanlah benang dan jarum, karena sesungguhnya gulul itu merupakan keaiban, neraka, dan kemaluan bagi pelakunya kelak di hari kiamat.


Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. 


حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرِّف، عَنْ أَبِي الجَهْم، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعِيًا ثُمَّ قَالَ: "انْطَلِقْ -أَبَا مَسْعُودٍ-لَا أُلْفِيَنَّكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَجِيءُ عَلَى ظَهْرِكَ بَعِيرٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ لَهُ رُغَاءٌ قَدْ غَلَلْتَهُ". قَالَ: إِذًا لَا أَنْطَلِقُ. قَالَ: إِذًا لَا أُكْرِهُكَ".

Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Abul Jahm, dari Abu Mas'ud Al-Ansari yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutusnya sebagai amil zakat, kemudian beliau berpesan melalui sabdanya: Berangkatlah engkau, hai Abu Mas'ud. Semoga aku tidak menjumpai engkau di hari kiamat nanti datang, sedangkan di atas punggungmu terdapat seekor unta dari ternak unta zakat yang mengeluarkan suaranya hasil dari penggelapanmu. Ibnu Mas'ud berkata, "Kalau demikian, aku tidak akan berangkat." Nabi Saw. bersabda, "Kalau demikian, maumu aku tidak memaksamu."

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.

Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih. 


أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ صَالِحٍ أَنْبَأَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبَانَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَد، عَنِ ابْنِ بُرَيدة، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إنَّ الْحَجَرَ لَيُرْمَى بِهِ [فِي] جَهَنَّمَ فَيَهْوِي سَبْعِينَ خَرَيِفًا مَا يَبْلُغُ قَعْرَهَا، وَيُؤْتَى بِالْغُلُولِ فَيُقْذَفُ مَعَهُ"، ثُمَّ يُقَالُ لَمَنْ غَلَّ ائْتِ بِهِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ}

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Aban, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: ‎Sesungguhnya sebuah batu dilemparkan ke dalam neraka Jahannam, maka batu itu meluncur ke bawah selama tujuh puluh musim gugur (yakni tujuh puluh tahun), tetapi masih belum sampai ke dasarnya. Dan didatangkan harta yang digelapkan, lalu dilemparkan (ke neraka Jahannam) bersama batu itu. Kemudian dikatakan kepada yang menggelapkannya, "Ambillah harta itu." Yang demikian itulah yang dimaksud di dalam firman-Nya: Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. (Ali Imran: 161)

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. 


حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عِكْرِمة بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنِي سِمَاكٌ الحَنفي أَبُو زُميل، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، حَدَّثَنِي عُمَر بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: لَمَّا كَانَ يومُ خَيْبَر أَقْبَلَ نَفَر مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، وَفُلَانٌ شَهِيدٌ. حَتَّى أَتوْا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَلا إنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا -أَوْ عَبَاءَةٍ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا ابْنَ الْخَطَّابِ اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ: إنَّه لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ". قَالَ: فَخَرَجْتُ فَنَادَيْتُ: أَلَا إِنَّهُ لَا يدخل الجنة إلا المؤمنون.

Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Sammak Al-Hanafi Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab bahwa setelah Perang Khaibar berhenti, ada segolongan sahabat yang datang menghadap Rasulullah Saw. Lalu mereka berkata, "Si Fulan mati syahid dan si Anu mati syahid," hingga sebutan mereka sampai kepada seorang lelaki yang dikatakan oleh mereka bahwa si Fulan mati syahid. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak demikian, sesungguhnya aku melihatnya berada di dalam neraka karena baju burdah atau baju aba'ah yang digelapkannya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Pergilah kamu dan serukanlah kepada orang-orang bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin!Umar ibnul Khattab r.a. melanjutkan kisahnya, "Maka aku pergi dan kuserukan (kepada mereka) bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin."

Hal yang sam‎a telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Turmuzi melalui hadis Ikrimah ibnu Ammar dengan lafaz yang sama.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

Hadis lain diriwayatkan dari Umar r.a. 


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ: أَنَّ مُوسَى بْنَ جُبَير حَدَّثَهُ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحُبَابِ الْأَنْصَارِيَّ حَدَّثَهُ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُنَيْسٍ حَدَّثَهُ: أَنَّهُ تَذَاكَرَ هُوَ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَوْمًا الصَّدَقَةَ فَقَالَ: أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ ذَكَرَ غُلُولَ الصَّدَقَةِ: "مَنْ غَلَّ مِنْهَا بَعِيرًا أوْ شَاةً، فإنَّهُ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ: بَلَى.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Musa ibnu Jubair pernah men¬ceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnul Habbab Al-Ansari pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Unais pernah menceritakan kepadanya, bahwa pada suatu hari Abdullah Ibnu Unais dan Umar Ibnul Khattab mengenang kembali saat permulaan diwajibkan zakat. Lalu Umar berkata, "Tidakkah kamu pernah mendengar sabda Rasulullah Saw. ketika menuturkan masalah gulul (pengkhianatan atau penggelapan) harta zakat, yaitu: 'Barang siapa yang menggelapkan seekor unta atau seekor kambing dari harta zakat, maka sesungguhnya kelak di hari kiamat ia bakal menggendongnya''?" Maka Abdullah ibnu Unais menjawab, "Memang aku pernah mendengarnya."

Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini melalui Amr ibnu Siwar, dari Abdullah ibnu Wahb dengan lafaz yang sama.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. 


حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم بَعَثَ سَعْدَ بْنَ عُبَادة مُصَدقًا، فقالَ: "إيَّاكَ يَا سَعْدُ أنْ تَجِيء يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِبَعِيرٍ تَحْمِلُهُ لَهُ رُغَاءٌ" قَالَ: لَا آخُذُهُ وَلَا أَجِيءُ بِهِ. فَأَعْفَاهُ.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang telah menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. mengutus sahabat Sa'd ibnu Ubadah untuk memungut zakat. Untuk itu beliau Saw. bersabda, "Hai Sa'd, hati-hatilah kamu, jangan sampai kamu datang pada hari kiamat nanti dengan membawa seekor unta yang bersuara." Sa'd menjawab, "Aku tidak akan mengambilnya dan tidak akan mendatangkannya." Maka Nabi Saw. tidak jadi mengutusnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Ubaidillah, dari Nafi' dengan lafaz yang semisal.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 


حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَائِدَةَ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ كَانَ مَعَ مَسْلَمة بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ فِي أَرْضِ الرُّومِ، فوُجِد فِي مَتَاعِ رَجُلٍ غُلُول. قَالَ: فَسَأَلَ سالمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عبدُ اللَّهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "مَنْ وَجَدْتُمْ فِي مَتَاعِهِ غُلُولا فأحْرِقُوهُ": قَالَ: وَأَحْسَبُهُ قَالَ: وَاضْرِبُوهُ قَالَ: فَأَخْرَجَ متاعَه في السوق، فَوَجَد فيه مصحفا، فسأل سالم: بعهُ وَتَصَدَّقْ بِثَمَنِهِ.

telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa ia berada di negeri Romawi bersama Maslamah ibnu Abdul Malik. Ketika Maslamah membuka barang-barang miliknya, maka ia menjumpai pada barangnya terdapat hasil gulul. Lalu Maslamah bertanya kepada Salim ibnu Abdullah mengenai hal tersebut. Kemudian Salim ibnu Abdullah mengatakan bahua ayahnya telah menceritakan sebuah hadis kepadanya. dari Umar ibnul Khattab r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang kalian jumpai pada barangnya hasil gulul, maka bakarlah barang itu -perawi menduga bahwa Umar ibnul Khattab mengatakan- dan pukullah dia oleh kalian. Salim ibnu Abdullah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Maslamah mengeluarkan barang-barangnya di pasar, dan ia menemukan sebuah mushaf di dalamnya. Ketika ia menanyakan hal tersebut kepada Salim, maka Salim berkata, "Juallah mushaf itu dan sedekahkanlah hasilnya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ali ibnul Madini, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi melalui hadis Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi. Imam Abu Daud menambahkan Abu Ishaq Al-Fazzari yang keduanya meriwayatkan hadis ini dari Abu Waqid Al-Laisi As-Sagir (yaitu Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah) dengan lafaz yang sama.

Menurut penilaian Ali ibnul Madini dan Imam Bukhari serta lain-lainnya, hadis ini munkar, yakni yang melalui riwayat Abi Waqid.

Imam Daruqutni mengatakan bahwa hal ini memang sahih (benar) bila dikatakan sebagai fatwa Salim semata.

Tetapi ada orang yang berpegang sesuai dengan pengertian hadis ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan teman-temannya yang mengikuti jejaknya.

Al-Umawi meriwayatkannya dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hukuman orang yang berbuat gulul, semua barang bawaannya dikeluarkan, kemudian dibakar berikut hasil gulul-nya.

Kemudian ia meriwayatkannya pula dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Usman ibnu Ata, dari ayahnya, dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang berbuat gulul semua barang bawaannya dikumpulkan, kemudian dibakar dan dihukum dera di bawah hukuman had budak, serta tidak boleh mendapat bagian (ganimah)nya.

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan jumhur ulama; mereka mengatakan bahwa barang bawaan si pelaku gulul tidak dibakar, melainkan ia dikenai hukuman ta'zir yang sesuai.

Imam Bukhari mengatakan bahwa adakalanya Rasulullah Saw. melarang menyalatkan jenazah orang yang berbuat gulul, tetapi harta benda miliknya tidak dibakar.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Jubair ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah diperintahkan agar semua mushaf dikumpulkan untuk diadakan perbaikan, lalu ibnu Mas'ud mengatakan: Barang siapa di antara kalian yang mampu menggelapkan sebuah mushaf, hendaklah ia menggelapkannya. Karena sesungguhnya barang siapa yang menggelapkan sesuatu, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan membawanya. Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan, "Aku telah membaca dari lisan Rasulullah Saw. sebanyak tujuh puluh kali, maka apakah aku tega meninggalkan apa yang telah kuambil dari lisan Rasulullah Saw.?"

Waki' meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Ibrahim, ketika diperintahkan agar semua mushaf dibakar, maka sahabat ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Hai manusia, gelapkanlah mushaf. Karena sesungguhnya barang siapa yang berbuat gulul, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan membawa barang yang digelapkannya. Sebaik-baik barang yang digelapkan ialah mushaf, kelak seseorang di antara kalian akan datang dengan membawanya di hari kiamat."

Imam Abu Daud meriwayatkan dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan: 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا غَنِمَ غَنِيمَةً أَمَرَ بِلَالًا فَيُنَادِي فِي النَّاسِ، فَيَجيئُون بِغَنَائِمِهِمْ يُخَمِّسُهُ ويُقسمه، فَجَاءَ رَجُلٌ يَوْمًا بَعْدَ النِّدَاءِ بِزِمَامٍ مِنْ شَعْرٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا كَانَ مِمَّا أَصَبْنَا مِنَ الْغَنِيمَةِ. فَقَالَ: "أسَمِعْتَ بِلالا يُنَادِي ثَلَاثًا؟ "، قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "فَمَا مَنَعَكَ أنْ تَجِيء بِه؟ " فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: "كَلا أَنْتَ تَجِيءُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَنْ أقْبَلَهُ مِنْكَ"

bahwa Rasulullah Saw. apabila memperoleh ganimah, beliau memerintahkan kepada Bilal untuk menyerukan kepada orang-orang agar mengumpulkan semua ganimahnya, lalu beliau membagi lima harta rampasan tersebut, sesudah itu baru beliau membagi-bagikannya. Kemudian pada suatu hari datanglah seorang lelaki sesudah Bilal berseru (atas perintah Nabi Saw.) seraya membawa seikat kain bulu, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, inilah yang kami peroleh dari ganimah." Nabi Saw. bersabda, "Apakah engkau mendengar seruan Bilal?" Hal ini beliau katakan sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi Saw. bertanya, "Apa yang menghambatmu untuk datang?" Lalu lelaki itu meminta maaf kepada Nabi Saw. Tetapi Nabi Saw. bersabda: Tidak, engkau akan datang di hari kiamat dengan membawanya. Maka aku tidak akan menerimanya darimu.


========================================

Firman Allah Swt.:

أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوانَ اللَّهِ كَمَنْ باءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْواهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Ali Imran: 162)

Maksudnya, tidak sama antara orang yang mengikuti keridaan Allah dengan mengerjakan syariat yang diperintahkan-Nya karena itu, ia berhak mendapat rida Allah dan pahala-Nya yang berlimpah, dan dilindungi dari siksaan-Nya dengan orang yang berhak mendapat murka Allah,dan murka Allah selalu menyertainya hingga ia tidak dapat menghindar lagi dari murka-Nya, tempat baginya kelak di hari kiamat adalah neraka Jahannam, sedangkan neraka Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

Ayat  ini  mempunyai  persamaan  yang   banyak  di  dalam Al-Qur'anul Karim, antara lain ialah firman-Nya:

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمى

Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta. (Ar-Ra'd: 19)

أَفَمَنْ وَعَدْناهُ وَعْداً حَسَناً فَهُوَ لاقِيهِ كَمَنْ مَتَّعْناهُ مَتاعَ الْحَياةِ الدُّنْيا

Maka apakah orang yang kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga), lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi. (Al-Qashash: 61), hingga akhir ayat.

========================================

Kemudian Allah Swt. berfirman: 

{هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ}

(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. (Ali Imran: 163)

Al-Hasan Al-Basri dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ahli kebaikan dan ahli keburukan mempunyai kedudukan yang bertingkat-tingkat.

Menurut Abu Ubaidah dan Al-Kisai, makna darajat ialah tempat-tempat tinggal, yakni tempat tinggal mereka berbeda-beda; begitu pula kedudukan mereka di dalam surga dan yang berada di dalam neraka. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَلِكُلٍّ دَرَجاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

Dan masing-masing orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. (Al-An'am: 132)

Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan: 

{وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ}

dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (Ali Imran: 163)

Dengan kata lain, Allah pasti akan memenuhi balasannya, Dia tidak akan berbuat aniaya terhadap mereka barang suatu kebaikan pun, dan Dia tidak akan menambahkan kepada mereka suatu keburukan pun, melainkan Dia membalas masing-masing diri sesuai dengan amal per-buatan yang telah dikerjakannya. 

========================================

Firman Allah Swt.:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri. (Ali Imran: 164)

Yakni dari bangsa mereka sendiri agar mereka dapat berkomunikasi dengannya, bertanya kepadanya, duduk semajelis dengannya, dan menimba ilmu darinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَمِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْها

Dan di amara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (Ar-Rum: 21), hingga akhir ayat.

قُلْ إِنَّما أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحى إِلَيَّ أَنَّما إِلهُكُمْ إِلهٌ واحِدٌ

Katakanlah, "Bahwa aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Fussilat: 6), hingga akhir ayat.

وَما أَرْسَلْنا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْواقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kalian, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. (Al-Furqan: 20)

وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرى

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. (Yusuf: 109)

Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:

مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ

Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian rasul-rasul dari golongan kalian sendiri. (Al-An'am: 130)

Hal ini jelas lebih sangat diharapkan bila seorang rasul yang diutus kepada mereka berasal dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengannya dan merujuk kepadanya dalam memahami kalam Ilahi yang melewatinya. Karena itulah maka dalam firman berikutnya disebutkan: 

{يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ}

yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah. (Ali Imran: 164) 

Yang dimaksud ialah Al-Qur'an.

{وَيُزَكِّيهِمْ}

dan membersihkan (jiwa) mereka. (Ali Imran: 164) 

Yakni yang memerintahkan mereka kepada kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar jiwa mereka menjadi bersih dan suci dari kotoran dan najis yang dahulu di masa mereka musyrik dan Jahiliah selalu mereka lakukan.

{وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ}

dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. (Ali Imran: 164) 

Yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

{وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ}

Dan sesungguhnya sebelum itu. (Ali Imran: 164) 
Maksudnya, sebelum kedatangan Rasul Saw.

{لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran: 164) 

Yakni benar-benar dalam kesesatan dan kebodohan yang nyata. Hal ini tampak jelas bagi setiap orang.

‎Takhtimah

Dalam tuntunan Islam seperti Al-Qur’an dan Hadits, bab demokrasi sesungguhnya memang tidak banyak dibahas dan yang menjelaskan secara rinci. Belum ditemukan pula hukum islam yang berhubungan secara langsung mengatakan tentang demokrasi sendiri itu bagaimana mestinya. Tapi, bukan berarti Islam melupakan masalah ketata-negaraan ini. Banyak ayat-ayat atau dalil-dalil yang isinya menuju masalah ini, terutama perihal musyawarah.
Suatu demokrasi selalu berkaitan dengan musyawarah. Hal ini merujuk pada keikut- sertaan rakyat dalam sistem pemerintahan. Musyawarah ini juga merupakan kaidah demokrasi yang utama.
Musyawarah ini didasarkan pada surat Ali-Imran ayat 159 a‎yat ini membahas tentang sebuah tindakan yang dilakukan oleh suatu kaum mengenai hal apa yang harus mereka lakukan saat diantara mereka ada sebuah perbedaan pendapat. Saat tidak ditemukan keputusan, mereka pun juga harus berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.

Islam tidak menganut demokrasi karena demokrasi sangat berbeda dengan islam, tidak ada hukum atau ketetapan islam yang berasal dari Al-Qur’an, Hadist maupun hukum lain yang berpedoman atau diputuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits tersebut yang menyatakan tentang demokrasi secara langsung. Karena demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, jika rakyat sepakat maka selesailah sudah. Sedangkan islam menjalankan dan memutuskan sesuatu berdasarkan hukum dan ketetapan Al-Qur’an, Hadist, serta hukum dan ketetapan lainnya yang diputuskan manusia yang juga berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam demokrasi barat, umat memegang kekuasaan tertinggi.  Tetapi dalam Islam, kekuasaan rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at agama yang dipeluk oleh setiap individu dari rakyat tersebut. Rakyat tidak dapat bertindak melebihi batas-batas hukum tersebut.
Demokrasi merupakan suatu bentuk kedaulatan atau kekuasaan yang subjek dan objeknya pada rakyat. Maksudnya, demokrasi berarti kedaulatan (pemerintahan) dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam mencapai suatu kesepakatan perlu dilakukan sebuah musyawarah. Al-Qur’an membahas tentang musyawarah dalam surat Ali Imran ayat 159.
Kaidah-kaidah dalam demokrasi sejatinya berhubungan dengan masalah kepemimpinan suatu kaum atau negara. Kaidah-kaidah ini merupakan sifat dan sikap atau apa yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tersebut. Di antara kaidah-kaidah itu antara lain; kesetaraan, musyawarah, mampu menjaga amanah dan adil, dll.
Kaidah dalam demokrasi yang utama adalah musyawarah. Musyawarah berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara berkelompok, guna mencapai suatu mufakat bagi kemaslahatan umat. Dalam musyawarah, setiap orang yang terlibat harus bersikap lembut serta mau mendengarkan anggota lainnya, sperti yang dilakukan Rasulullah SAW.
Dalam hadits, sebenarnya tidak banyak yang membahas demokrasi. Tapi banyak hadits yang menyebut tentang musyawarah, yang mana merupakan bagian dari sebuah sistem demokrasi.‎
‎‎
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎