Translate

Sabtu, 28 Juli 2018

Tradisi Unik Cium Tangan Para Kyai NU

Hukum mencium tangan orang ‘Alim, guru dan para kerabat yang lebih tua adalah sunnah dan dianjurkan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada baginda nabi berdasarkan hadits dengan sanad yang shahih...

 وَيُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الْحَيِّ لِصَلَاحٍ وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ كَزُهْدٍ وَعِلْمٍ وَشَرَفٍ كما كانت الصَّحَابَةُ تَفْعَلُهُ مع النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم كما رَوَاهُ أبو دَاوُد وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ وَيُكْرَهُ ذلك لِغِنَاهُ وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ كَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا لِخَبَرِ من تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِنَاهُ ذَهَبَ ثُلُثَا دِينِهِ

Dan disunahkan mencium tangan orang yang masih hidup karena kebaikannya dan sejenisnya yang tergolong kebaikan-kebaikan yang bersifat ‘diniyyah' (agama), kealimannya, kemuliaannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada baginda nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Abu Daud dan lainnya dengan sanad hadits yang shahih.

Dan dimakruhkan mencium tangan seseorang karena kekayaannya atau lainnya yang bersifat duniawi seperti lantaran butuh dan hajatnya pada orang yang memiliki harta dunia berdasarkan hadits “Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah 2/3 agamanya”. [Asnaa al-Mathaalib III/114]

 وَيُسْتَحَبُّ تَصَافُحُ الرَّجُلَيْنِ وَالْمَرْأَتَيْنِ لِخَبَرِ ما من مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلَّا غُفِرَ لَهُمَا قبل أَنْ يَتَفَرَّقَا رَوَاهُ أبو دَاوُد وَغَيْرُهُ نعم يُسْتَثْنَى الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ الْوَجْهُ فَيَحْرُمُ مُصَافَحَتُهُ وَمَنْ بِهِ عَاهَةٌ كَالْأَبْرَصِ وَالْأَجْذَمِ فَتُكْرَهُمُصَافَحَتُهُ كما قَالَهُ الْعَبَّادِيُّ وَتُكْرَهُ الْمُعَانَقَةُ وَالتَّقْبِيلُ في الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ وَلَوْ كان الْمُقَبِّلُ أو الْمُقَبَّلُ صَالِحًا

“Disunnahkan bagi dua orang laki-laki atau perempuan bersalaman ketika berjumpa berdasarkan hadits “Tidak dari dua orang muslim yang saat berjumpa kemudian saling bersalaman kecuali mereka diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah“ (HR. Abu Daud dan lainnya), dikecualikan saat berjumpa amraad (pria tampan yang tidak berkumis) maka haram berjabat tangan dengannya, begitu juga orang orang yang sedang menyandang penyakit menular, seperti lepra dan kusta maka makruh bersalaman dengannya sebagaimana yang diterangkan oleh al-Ubbaadiy.

Dan makruh saling berangkulan dan mencium kepala serta wajah saat bertemu meskipun orang yang mencium/yang dicium adalah orang shalih“. [Asnaa al-Mathaalib III/114].

Bagi orang yang tidak faham struktural dan kultural yang berlaku di NU, mungkin akan garuk-garuk kepala jika menyaksikan beberapa tradisi bersalaman yang seringkali bagi masyarakat umum terlihat janggal, minimal tidak biasa dilihat.

Mulai dari tidak cukup bersalaman dengan berjabat tangan dan cium tangan seperti umumnya, tapi juga sampai cium tangan bolak-balik di punggung tangan dan telapak tangan. Kadang tidak cukup sekali dilakukan. Lebih lucu, ada Guru Mulia tertentu yang diantri oleh muhibbinnya, setelah selesai bersalaman balik ke barisan paling belakang untuk antri cium tangan lagi. Hayo ngaku....

Lucu juga jika tidak faham istilah “luwih sepuh ilmune” pada sesama ulama. Bagaimana bisa seorang Ketua Umum PBNU (Guru Mulia KH Said Agil Siroj) mencium tangan sampai sedemikian takdzimnya kepada Kanjeng Romo Habib Lutfi Bin Yahya, dan juga Guru Mulia KH Maimun Zubair, bahkan bisa jadi juga melakukan pada Kyai sepuh lainnya yang mungkin tidak kita kenal.

Ibu Nyai Khofifah Indar Parawansa adalah Ketua PP Muslimat NU, namun akan sedemian takdzimnya cium tangan kepada Mbah Nyai Shinta Nuriyah yang merupakan warga Muslimat NU.

Kita juga sering melihat ada dua Kyai berjumpa saling berebut mencium tangan. Kadang sebagai santri, kita suka memprediksi, “Nanti yang cium tangan duluan siapa ya?” hehehe

Bahkan ketika ada penceramah muda diminta untuk mengisi acara di Muslimat NU, kejadiannya bisa lebih lucu lagi: penceramahnya yang cium tangan kepada semua peserta pengajian... Setelah itu peserta pengajian yang sudah sepuh tidak akan segan mencium tangan penceramah yang lebih muda usianya. Indah sekali...

Itu semua karena NU mengedepankan : akhlaq di atas ilmu. Tidak ada mantan guru, sekali santri selamanya menjadi santri.

Sayyidina Ali Bin Abi Tholib karromallahu wajhah pernah dhawuh, “Aku bersedia menjadi budak bagi siapa saja yang mengajariku ilmu walau hanya satu huruf”.

Cium tangan bagi sebagian besar kaum muslimin sudah menjadi suatu budaya.  Tradisi cium tangan ini dijadikan sebagai wujud dari rasa kasih sayang dan penghormatan. Berikut hadits yang berkaitan dengan cium tangan.

عن جابر أن عمر قام إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبل يده

“Dari Jabir Radhiallahu anhu, bahwa Umar bergegas menuju Rasulullah lalu mencium tangannya” (HR. Ahmad dan Ibnul Muqri dalam Taqbilu Al-Yad, Ibnu Hajar mengatakan, sanadnya Jayyid [1/18]).

عن صفوان بن عسال أن يهوديا قال لصاحبه: اذهب بنا إلى هذا النبي صلى الله عليه وسلم .قال: فقبلا يديه ورجليه وقالا: نشهد أنك نبي الله صلى الله عليه وسلم

“Dari Sofwan bin Assal, bahwa ada dua orang yahudi bertanya kepada Rasulullah  (tentang tujuh ayat yang pernah diturunkan kepada Musa Alaihi Salam), setelah dijawab mereka menicum tangan dan kaki Rasulullah lalu  mereka berkata, kami bersaksi bahwa engkau adalah nabi” (HR. Tirmdizi, beliau berkata, Hasan Shahih, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam At-Talkhis sanadnya kuat 240/5).

عن أسامة بن شريك قال: قمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده

“Dari Usamah bin Syarik, kami bertemu Rasulullah lalu kami mencium tangannya” (HR. Ibnul Muqri dalam Taqbilul Yad, berkata Ibnu Hajar dalam Al-Fath sanad nya kuat).

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ فِي سَرِيَّةٍ مِنْ سَرَايَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَحَاصَ النَّاسُ حَيْصَةً فَكُنْتُ فِيمَنْ حَاصَ قَالَ فَلَمَّا بَرَزْنَا قُلْنَا كَيْفَ نَصْنَعُ وَقَدْ فَرَرْنَا مِنْ الزَّحْفِ وَبُؤْنَا بِالْغَضَبِ فَقُلْنَا نَدْخُلُ الْمَدِينَةَ فَنَتَثَبَّتُ فِيهَا وَنَذْهَبُ وَلَا يَرَانَا أَحَدٌ قَالَ فَدَخَلْنَا فَقُلْنَا لَوْ عَرَضْنَا أَنْفُسَنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنْ كَانَتْ لَنَا تَوْبَةٌ أَقَمْنَا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ ذَهَبْنَا قَالَ فَجَلَسْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ فَقُلْنَا نَحْنُ الْفَرَّارُونَ فَأَقْبَلَ إِلَيْنَا فَقَالَ لَا بَلْ أَنْتُمْ الْعَكَّارُونَ قَالَ فَدَنَوْنَا فَقَبَّلْنَا يَدَهُ فَقَالَ إِنَّا فِئَةُ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Yazid? bin Abu Ziyad, bahwa Abdurrahman bin Abu Laila telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar telah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah berada dalam kesatuan militer diantara kesatuan-kesatuan militer Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata; kemudian orang-orang melarikan diri, dan aku termasuk orang-orang yang melarikan diri. Kemudian tatkala kami nampak, maka kami mengatakan; apa yang akan kita lakukan? Sungguh kita telah lari dari peperangan dan kita kembali dengan kemurkaan. Lalu kami katakan; kita akan masuk Madinah kemudian kita tinggal padanya dan pergi sementara tidak ada seorangpun yang melihat kita. Kemudian kami masuk Madinah, lalu kami katakan; seandainya kita menyerahkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila kita mendapatkan taubat maka kita tinggal di Madinah dan seandainya tidak demikian maka kita akan pergi. Ibnu Umar berkata; kemudian kami duduk menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum Shalat Subuh. Kemudian tatkala beliau keluar maka kami berdiri menuju kepadanya dan kami katakan; kami adalah orang-orang yang melarikan diri. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata: “Tidak, melainkan kalian adalah orang-orang yang kembali berperang.” Ibnu Umar berkata; kemudian kami mendekat dan mencium tangan beliau. Lalu beliau berkata: “Kami adalah kelompok orang-orang muslimin.”. (HR.Abu Daud No.2271)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya (juz II halaman 523, hadits nomor 524, cetakan ke I tahun 1410 H - 1990 M, Daar al Fikr Beirut Lebanon)dan Imam Thabrani dalam al Mu'jam al Ausathnya (juz I halaman 424, hadits nomor 425, maktabah syamilah), Sanad dan matannya sbb (al Mu'jam al Ausath) :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خُلَيْدٍ ، قَالَ : نا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى الطَّبَّاعُ ، قَالَ : نا مَطَرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَعْنَقُ ، عَنْ أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِبْنِ الزَّارِعِ ، عَنْ جَدِّهَا الزَّارِعِ ، وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ : لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ، جَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا ، فَنُقَبِّلُ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kami, Ahmad bin Khulaid, berkata, telah menceritakan kami, Muhammad bin Isa ath thabba', berkata, telah menceritakan kami Abdurrahman al A'naq, dari Ummu Aban bin al Wazi' bin al Zari', dari kakeknya, al Zari' dan beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan para habaib, para kiyai, para ustadz dan para guru serta orang-orang yang kita hormati.

Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudhah juz X halaman 36, cetakan al Maktab al islami tahun 1412 H -1991 M) berkata:

وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ ، فَمُسْتَحَبٌّ ، وَإِنْ كَانَ لِدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ، فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ

Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya MUSTAHAB (disunnahkan) Dan apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dsb, maka hukumnya sangat MAKRUH.

Kesunnahan mushofahah itu hanya berlaku bagi dua orang yang sama jenisnya, dan tidak berlaku bagi kedua orang yang berlainan jenis meskipun ia seorang yang shalih. Syaikh Ismail az-Azzain ditanya tentang seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan perempuan, bagaimanakah hukumnya?, dan jika haram, apakah dalam persoalan ini ada pengecualian?. Beliau menjawab:

 ان ذلك اذا كان بغير حائل حرام مطلقا من غير استثناء , فان كان بحائل جاز ما لم يثر شهوة اه__: 207

"Jika jabat tangan tersebut tidak menggunakan penghalang (hail) hukumnya haram secara mutlak, jika menggunakan penghalang maka boleh selama tidak membangkitkan syahwat”. [Qurratul ‘Ain, hal, 207].

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Olah Rasa Dalam Ilmu Kebatinan

Kepekaan dan kekuatan rasa adalah dasar dari kebatinan dan kekuatan batin / spiritual. Kekuatan yang dibangun dalam olah rasa adalah kekuatan rasa (bersifat gaib), dihasilkan oleh cakra tubuh di bagian dada. Tetapi pembukaan cakra energi di dada tidak ditujukan untuk yang bersifat gaib, biasanya untuk tujuan kanuragan. Begitu juga dengan pengolahannya. Untuk tujuan kebatinan dan kegaiban, cakra energi di dada tidak diolah dengan teknik pernafasan, tetapi dengan cara olah rasa dan kebatinan (ada juga yang menyebut sebagai ilmu rahsa atau ilmu rasa sejati).

Pada orang awam, kekuatan rasa biasanya timbul secara spontan, misalnya saat panik, histeris atau lari ketakutan, dan kekuatannya bisa berkali-kali lipat dibandingkan kemampuannya dalam kondisi normal. Dalam hal ini kekuatan rasa muncul sebagai kekuatan bawah sadar manusia. Kekuatan bawah sadar ini tidak sengaja terjadi, tetapi bagi yang terbiasa peka rasa dan batin, kekuatan seperti itu dapat dengan sengaja dimunculkan.

Pada orang awam, sebagian kekuatan rasa muncul tidak disengaja, misalnya dalam kondisi ketakutan yang sangat, panik, histeris, dsb. Kekuatan rasa juga bisa muncul dalam kondisi gembira dan bersemangat, sehingga saat seseorang beraktivitas berat akan terasa lebih ringan dan tidak cepat lelah (banyak dialami manusia pada masa kanak-kanak, yang pada saat bergembira bermain berlari-larian tidak cepat merasa lelah. Sekalipun lelah, akan cepat pulih kembali. Berbeda dengan yang sudah dewasa, biasanya akan cepat lelah dan kalau sudah lelah akan lebih lama pulihnya, karena di dalam aktivitasnya banyak menggunakan pikiran, bukan rasa). Sebagian lagi kekuatan rasa muncul dalam kondisi marah dan benci, sehingga perbuatan yang dilambari perasaan marah dan benci kekuatannya akan menjadi berlipat-lipat.

Inti dari kekuatan rasa adalah kekuatan yang dilambari rasa hati, spontan, tidak dipikir-pikir dulu, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan sepenuh rasa (sepenuh rasa bukan sepenuh hati) akan berlipat-lipat kekuatannya, tidak cepat lelah, dan kelelahannya akan cepat pulih kembali.  Kekuatan rasa yang dilatih dengan sengaja kekuatannya akan lebih besar daripada kekuatan rasa manusia biasa.

Seseorang yang sudah melatih olah nafas, biasanya juga akan merasakan bagian dari olah rasa (kepekaan rasa), walaupun hanya dasarnya saja. Saat menggunakan energi dari olah pernafasan biasanya juga dilakukan dengan ‘rasa’, bukan lagi dengan pikiran atau perasaan.

Dalam mempelajari olah rasa biasanya dilakukan cara yang mirip dengan olah batin, yaitu banyak menyepi / tirakat, puasa, laku prihatin, meditasi, membaca amalan-amalan, dsb. Dalam kehidupan jaman sekarang cara-cara tersebut tidak praktis untuk dilakukan. Bila anda ingin mencoba mempelajarinya, ada beberapa cara praktis yang bisa anda lakukan tanpa perlu banyak mengganggu aktivitas anda sehari-hari sbb :

1. Menyepi.

Pengertian menyepi ini bukan berarti anda harus pergi menyepi ke tempat-tempat sepi di gunung, dsb. Cukup anda luangkan waktu untuk berdiam diri, di rumah, di kantor atau di manapun anda berada, untuk merasakan suasana batin anda (lebih baik bila dilakukan di tempat terbuka pada malam hari). Biarkan ilham mengalir dalam pikiran anda. Perhatikan, mungkin akan ada ide-ide tertentu atau jawaban-jawaban dari masalah anda yang tidak terpikirkan sebelumnya. (Secara sederhana proses ini mirip seperti orang merenung).

Menyepi ini juga bisa anda lakukan di tempat yang ramai. Artinya anda belajar menemukan suasana sepi (hening) di dalam keramaian tanpa harus pergi keluar dari keramaian. Tujuan dari menyepi ini adalah untuk membiasakan diri menciptakan suasana hening di dalam rasa dan pikiran, sebagai dasar untuk peka batin, untuk memperhatikan ide / ilham, dsb, yang mengalir dari batin anda sendiri.

2. Peka suasana batin.

Belajar peka terhadap bisikan-bisikan hati dan nurani, firasat, dsb. Jangan mengabaikan bisikan hati dan firasat, tetapi juga jangan mengada-ada, jangan ber-ilusi. Peka terhadap ilham yang mengalir di dalam pikiran dan rasa. Kalau bisa, carilah sumbernya darimana ilham itu berasal.

Cara ini bermanfaat untuk “mendengarkan” mengalirnya ide dan ilham, yang dapat bermanfaat untuk membantu pemecahan masalah-masalah yang sedang dihadapi, atau informasi tentang kondisi keluarga anda, dsb, yang sebelumnya anda tidak tahu.

3. Peka suasana alam.

Belajar peka terhadap suasana alam di manapun anda berada. Cobalah sesekali pergi ke tempat yang wingit atau angker. Rasakan suasana kegaiban di tempat tersebut. Bila merasakan keberadaan sesuatu roh halus atau energi gaib, dengan getaran di dada atau dengan merasakan getaran di telapak tangan, cobalah tentukan dimana posisinya berada. Kalau bisa, coba rasakan / bayangkan seperti apa wujudnya.

Bila anda sudah dapat merasakan suasana alam di suatu tempat, mungkin anda juga akan dapat merasakan bila ada sesuatu yang mengancam, dimana pun anda berada, misalnya ada mahluk halus atau binatang berbahaya, ada orang jahat yang sedang mengincar anda, dsb, akan menambah kebijaksanaan anda untuk bersikap hati-hati tidak sembrono di tempat-tempat yang “sensitif”, atau anda juga dapat merasakan sesuatu kejadian yang akan terjadi di suatu tempat (misalnya di rumah anda, mungkin anda akan bisa merasakan bahwa akan ada anggota keluarga yang akan mengalami musibah, akan ada kebakaran, dsb).

Ke 3 cara di atas dapat diterapkan bukan hanya di tempat sepi, tetapi juga di tempat ramai, di manapun anda berada, tanpa harus banyak membuang ongkos, tenaga dan waktu. Bila anda sudah terbiasa melakukan ke 3 cara di atas, berarti anda sudah melakukan olah rasa dan dasar-dasar kebatinan. Belajarlah untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari anda dalam berbagai bidang. Rasa / feeling / intuisi anda akan lebih tajam, dapat mengira-ira hasil (berhasil atau tidak) dari sesuatu yang anda lakukan, atau merasakan sesuatu kejadian (baik atau buruk) yang akan terjadi, dan akan lebih mudah mendapatkan ide-ide / ilham atas jawaban permasalahan yang sedang anda hadapi.

Dalam semua proses meditasi dan perenungan usahakan supaya tidak mengedepankan pikiran. Biarkan ide / ilham / bisikan gaib mengalir sampai lengkap, jangan bereaksi dengan berpikir yang dapat menyebabkan aliran ide / ilham ituterputus.Dalam kehidupan manusia sehari-hari, apalagi dalam kehidupan modern ini, rasa dan firasat seringkali diabaikan. Namun bila seseorang memperhatikan rasa dan firasatnya, dia sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya. Rasa dan firasat seringkali muncul berupa perlambang rasa. Misalnya, seseorang yang akan bepergian ke luar kota, karena merasa tidak enak hati kemudian membatalkan keberangkatannya. Ternyata kemudian dia mendapat berita bahwa kendaraan yang seharusnya ditumpanginya mengalami kecelakaan. Untunglah dia tidak jadi berangkat. Apakah ini kebetulan saja?

Mungkin kita tidak akan terburu-buru berangkat kerja, walaupun sudah terlambat / kesiangan, seandainya saja sebelumnya kita tahu atau dapat merasakan bahwa pada hari itu ada anggota keluarga kita yang akan mengalami musibah.
Kadangkala mungkin kita mengalami suatu kejadian yang persis sama seperti yang dahulu sudah pernah terjadi. Tetapi kita tidak tahu kejadian yang dahulu itu apakah kejadian nyata ataukah kejadian di dalam mimpi. Biasanya kejadian yang dahulu itu adalah kejadian di dalam mimpi. Sedulur Papat kita sendiri yang memberikan mimpi tersebut. Kita saja yang tidak tanggap.

Kadangkala kita melamun atau ilham mengalir begitu saja, hanya kita saja yang tahu, atau mungkin secara spontan kita mengucapkan sesuatu tanpa dipikir dahulu, tentang sesuatu kejadian yang akan datang atau tentang seseorang (biasanya seorang tokoh manusia) yang akan mengucapkan / berbuat sesuatu, dan ternyata kemudian kejadian tersebut benar-benar terjadi. Dalam hal ini, Sedulur Papat kitalah yang memberitahukan hal tersebut. Sayang sekali kalau kita tidak mengasah kedekatan dengan para sedulur tersebut. Kedekatan itu juga dapat merupakan suatu potensi besar kemampuan kebatinan yang sayang sekali jika tidak diasah dengan benar. Mungkin potensi untuk bisa meramal, atau merasakan suatu kejadian yang akan terjadi, atau potensi kemampuan mengobati, dsb, akan dilewatkan begitu saja.

Beberapa tanda yang bila dilatih / dipertajam akan menjadi suatu potensi kemampuan tersendiri :
– merasa tahu apa yang akan dikatakan seseorang saat mendengarkan seseorang sedang berbicara.
– cepat mengenal kepribadian terdalam seseorang walaupun baru kenal.
– banyak ilham tentang kejadian yang akan terjadi (kejadiannya kemudian benar-benar terjadi).
– mengenal firasat, atau bisa membedakan suatu kejadian yang merupakan tanda dari akan terjadinya suatu kejadian lain yang entah baik atau buruk. Dan ketika kejadian itu terjadi dia tahu bahwa sebelumnya dia sudah menerima tanda tentang akan terjadinya kejadian itu.

Kemampuan-kemampuan di atas sering disebut sebagai daya linuwih  yang merupakan dasar-dasar dari kemampuan seseorang yang waskita.

Belajar Olah Rasa

Berikut ini kami tuliskan cara olah rasa sederhana yang diawali dengan meditasi sederhana untuk mempertajam kepekaan rasa pada ujung-ujung jari tangan kita. Meditasi ini untuk belajar merasakan adanya setruman listrik halus pada benda jimat / mustika / pusaka sebagai tanda bahwa benda itu berpenghuni gaib (ada kandungan energinya). Ini adalah cara sederhana untukmendeteksi apakah sebuah benda ada isi gaibnya ataukah kosong, bukan untuk mengetahui gambaran sosok gaibnya atau kegunaannya. Tetapi bila kepekaan batin / rasa sudah terbentuk, biasanya juga dapat terbayang sosok gaib dan kegunaan / tuahnya.

Meditasinya bisa dilakukan dengan duduk di kursi ataupun duduk bersila, bisa 5 menit atau lebih (terserah anda) dan bisa dilakukan sambil berdoa / zikir :
1. Duduklah dengan santai, tetapi tidak terlalu santai.
Kedua tangan diletakkan di atas paha dan terbuka menghadap ke atas.
Ujung ibu jari (jempol) ditempelkan dengan ujung jari tengah.
Pejamkan mata. Dalam kondisi terpejam, pandangan mata diarahkan santai ke bawah.
2.  Tariklah nafas panjang dengan halus dan lepaskan juga dengan halus. Lakukan dengan rileks.
Rasakan jalannya nafas. Rasakan detak jantung anda.
3.  Tenangkan hati dan pikiran anda.
Sekalipun suasana tempat anda ramai, usahakan dapat mencari keheningan di dalam keramaian.
Bisa juga sambil berdoa / zikir.
4.   Ulangi langkah-langkah di atas sampai anda dapat merasakan ketenangan dan keheningan dan
bisa merasakan setruman listrik halus di ujung ibu jari dan ujung jari tengah.
Bila setruman itu sudah dapat dirasakan, teruskan saja sampai setrumnya terasa kencang di jari-jari     tangan anda.
Jari tengah kemudian bisa diganti dengan jari telunjuk atau jari manis atau tangan mengepal, supaya semua jari dan kepalan tangan mendapatkan ketajaman rasa yang sama.
5.  Sebagai penutup, bentangkan kedua tangan ke samping dan hiruplah udara bersih yang panjang
beberapa kali dan rasakan energi alam yang segar mengisi tubuh, hati dan pikiran anda dan setelah itu anda merasa bersih, sehat dan segar dan siap kembali beraktivitas.

Penggunaannya sebagai berikut :

Tahap 1.

Tahap-tahap latihan olah rasa berikut ini bisa dilakukan sambil bermeditasi atau bisa juga sambil fokus bersugesti / membayangkan benda gaibnya / lokasinya.

Benda yang akan kita rasakan keberadaan gaibnya kita pegang dengan ujung ibu jari dan jari tengah, atau digenggam. Untuk benda keris atau tombak dan sejenisnya, sentuhannya harus dilakukan di bagian logam kerisnya, bukan di gagang kayunya. Lakukan dengan cara santai dan sopan. Pegangan tangan rileks, tidak kaku / keras menggenggam. Tenangkan hati dan pikiran. Gunakan kepekaan rasa, fokus pada benda yang sedang dipegang.
Bila benda tersebut berpenghuni gaib di dalamnya, biasanya akan terasa di tangan kita rasa setruman tipis. Bila rasa setrum itu kurang terasa, anda dapat berkata dalam hati tetapi diarahkan kepada benda tersebut, kontak batin, seolah-olah anda berkomunikasi dengannya : ” Jika batu / keris ini ada isi gaibnya, tolong berikan getaran kencang di tangan saya “.  Lakukan sugesti tersebut beberapa kali sampai anda yakin dengan rasa getaran di tangan anda.

Jika benda tersebut ada berpenghuni gaib, biasanya akan dapat dirasakan setruman energinya di tangan anda, bahkan ada yang sampai membuat genggaman tangan seperti terasa keras kesemutan. Bila kosong tidak berpenghuni gaib, maka tidak akan ada rasa setrumannya. Dalam hal ini kita harus teliti menentukan apakah rasa setruman yang kita rasakan di tangan kita, jika ada, apakah benar berasal dari benda tersebut ataukah berasal dari tangan kita sendiri, jangan sampai keliru. Dalam hal ini kita harus fokus pada setruman yang berasal dari benda tersebut, bukan sekedar pada rasa setruman di tangan kita.

Masing-masing benda yang berpenghuni gaib, akan memberikan rasa setruman yang berbeda-beda. Ada yang setrumannya halus tipis, ada yang keras terasa. Halus atau kerasnya rasa setruman itu tidak menandakan tingkat kesaktian atau kekuatan gaib di dalamnya, tetapi hanya menandakan perangainya yang halus ataukah berwatak keras.

Cara ini juga dapat digunakan untuk merasakan posisi keberadaan suatu mahluk gaib di dalam suatu ruangan atau lokasi tertentu. Dengan telapak dan ujung-ujung jari tangan kita merasakan posisi tempat keberadaan gaibnya.

Cara ini juga dapat digunakan untuk merasakan keberadaan suatu mahluk gaib di dalam tubuh seseorang untuk mengetahui apakah sakit yang diderita oleh seseorang adalah sakit biasa ataukah karena adanya pengaruh energi negatif dari suatu sosok gaib di tubuhnya. Dengan telapak dan ujung-ujung jari tangan kita merasakan posisi tempat keberadaan gaibnya. Bila cara ini dilakukan terhadap bagian tubuh seseorang, lakukanlah pendeteksian pada jarak beberapa sentimeter dari kulitnya.

Pada bagian yang berpenghuni gaib kita akan merasakan bukan hanya rasa panas / hangat / dingin dari hawa energi si mahluk gaib, tetapi juga rasa setruman dari energinya di tangan kita. Cobalah beberapa kali di posisi lain di sekitarnya. Posisi dimana suatu mahluk halus berada akan memberikan rasa yang berbeda dengan posisi lain yang tidak berpenghuni mahluk halus.
Bila kepekaan batin / rasa sudah terbentuk, biasanya juga dapat terbayang sosok wujud gaibnya dan tujuan keberadaannya disitu dan anda juga dapat merasakan adanya rasa tertekan di dada.

Harus diperhatikan :  cara ini termasuk berbahaya. Lakukanlah secara hati-hati dan sopan. Pada saat kita latihan tersebut, jangan berpikir dan bersikap bahwa kita akan melawan mahluk halus tersebut atau adu kuat dan tidak takut, apalagi menantang,  tetapi tanamkan dalam hati bahwa kita hanya berusaha untuk belajar mendeteksi. Jika selama berada di tempat tersebut kita merasakan rasa merinding dan rasa takut yang mencekam, itu berarti ada mahluk halus yang tidak suka dengan kehadiran kita. Untuk amannya, sebaiknya kita menyingkir saja. Yang penting: sama-sama selamat.

Tahap 2.

Bila kita sudah cukup mahir melakukan cara-cara di atas dan dapat mengsugesti diri kita sendiri untuk dengan pasti menemukan posisi keberadaan suatu mahluk halus, cara deteksi ini dapat ditingkatkan dengan melakukannya dari jarak yang cukup jauh dari target sasaran yang akan kita deteksi, tidak harus kita datang mendekat dan menyentuhnya.

Sebagai awal latihan tahap kedua ini, kita lakukan dahulu cara pertama di atas sampai mahir, yaitu mendeteksi keberadaan suatu mahluk gaib dengan mencari setrumannya di tangan kita. Cobalah kita bedakan dengan lokasi lain di dekatnya sampai kita yakin bahwa disitu benar terdapat sesuatu yang “gaib”.

Kemudian kita coba dari jarak beberapa meter dari lokasi tersebut, julurkan tangan anda dan sugestikan atau bayangkan dalam pikiran bahwa tangan anda terjulur dan bisa mencapai target sasaran dan bisa merasakan keberadaan energi gaibnya dan bandingkan dengan posisi lain di sekitarnya.

Perhatikan rasa di tangan dan rasa di dada  mengenai jawaban keberadaan mahluk halus tersebut.

Pada tempat yang berpenghuni gaib kita akan merasakan ada setruman halus di jari-jari tangan kita dan adanya rasa berat tertekan di dada kita. Rasa itu tidak akan kita dapatkan dari lokasi / posisi lain yang tidak berpenghuni gaib.

Bila telah mendapatkan suatu posisi yang berpenghuni gaib, cobalah untuk membayangkan sosok gaibnya seperti apa  (biarkan ilham mengalir sendiri memberikan suatu bayangan gaib, jangan kita membayang-bayangkan sosoknya atau ber-ilusi). Latihlah terus sampai anda yakin berhasil menguasai tahap kedua ini.

Tahap 3.

Setelah cukup mahir dengan tahapan pertama dan kedua di atas, cobalah tahapan ketiga.
Pada tahapan ketiga ini cobalah untuk memperhatikanrasa di dada  ketika anda melakukan cara pertama dan kedua di atas. Jika kita sudah dapat merasakan rasa berat tertekan di dada, jika kita berada di dalam suatu ruangan atau lokasi yang berpenghuni gaib, biasanya secara otomatis kita akan merasakan rasa berat tertekan di dada. Kendalikan rasa tertekan di dada itu dengan cara menekan nafas (bukan dengan cara mengatur nafas, tetapi dengan menekan nafas) dan otot perut ditegangkan. Setelah kondisi anda normal kembali, latihan berikutnya dapat dimulai kembali.

Tahapan ketiga dilakukan dengan tidak menjulurkan tangan. Cukup sugestikan / bayangkan tangan anda terjulur mencapai target sasaran dan bisa merasakan keberadaan energi gaibnya dengan memperhatikan rasa di dada  (cara ini bisa juga dilakukan dengan mengedepankan rasa di dada, dengan membusungkan dada seolah-olah membenturkan rasa di dada dengan keberadaan energi mahluk halus di hadapan kita).

Dengan cara ini kita belajar peka terhadap suasana alam di sekitar kita. Ketika konsentrasi anda terfokus pada posisi yang berpenghuni gaib, anda akan merasakan getaran dan rasa berat di dada. Coba juga dibayangkan sosok gaibnya seperti apa.
Setelah anda cukup mahir dengan tahapan ketiga ini, anda akan dapat mendeteksi keberadaan mahluk gaib di sekitar anda, atau mendeteksi keberadaan mahluk halus di suatu tempat hanya dengan berdiam diri saja, atau dengan melihat lokasinya saja dari jauh, atau hanya dengan melihat fotonya saja, atau hanya dengan membayangkan suatu lokasi yang sudah pernah anda lihat sebelumnya, atau membayangkan lokasi yang disebutkan oleh orang lain yang bertanya kepada anda, dengan mengsugesti diri untuk kontak batin atau kontak rasa dengan mahluk gaibnya atau dengan lokasinya.

Tahap 4.

Pada tahapan ini kita tingkatkan kualitas kemampuan kita di atas, yaitu selain mempertajam kepekaan rasa tentang posisi keberadaan suatu mahluk halus dengan rasa tertekan di dada, juga mempertajam kepekaan rasa untuk mendapatkan informasi mengenai seperti apa wujud sosok gaibnya  (melalui ilham gambaran gaib yang mengalir dalam benak kita) dan belajar berkomunikasi langsung dengan sosok gaibnya.
Usahakan untuk tidak mengedepankan pikiran, tetapi satukan rasa dengan keberadaan sosok gaibnya. Jika gambaran sosok gaibnya sudah didapatkan, terbayang di dalam pikiran anda, walaupun samar, fokuskan batin anda untuk memperjelas gambaran sosok gaib itu. Jika dalam proses ini anda merasa takut, atau merasakan rasa yang tidak baik, sebaiknya jangan diteruskan. Mungkin kondisinya memang berbahaya.

Cara yang lebih aman adalah menerawang sosok gaib dari sebuah benda gaib, seperti keris, batu akik atau mustika, atau bisa juga dilakukan kepada sosok khodam pendamping, jika anda memilikinya. Usahakan untuk tidak mengedepankan pikiran, tetapi satukan rasa dengan keberadaan energi dan sosok gaibnya. Jika gambaran sosok gaibnya sudah didapatkan, walaupun samar, fokuskan batin anda kepada sosok gaib itu untuk mempertajam penglihatan batin anda.

Sambil kita fokuskan batin kepada sosok gaib itu sampaikan pertanyaan-pertanyaan kita mengenai benda gaib itu kepada sosok gaib itu, apa tuahnya, bagaimana kecocokkannya dengan seseorang, dsb, dengan cara berkata-kata di dalam hati tetapi ditujukan kepadanya. Dengan cara ini juga kita belajar “mendengar” secara kontak batin jawaban komunikasi dari sosok gaib itu berupa ilham yang mengalir dalam benak kita. Lakukanlah dengan hormat.

Dalam semua laku kebatinan dan spiritual kita harus mengedepankan batin, bukan pikiran. Karena itu dalam proses latihan di atas kita harus mengedepankan batin, bukan pikiran. Biarkan ilham dan gambaran gaib mengalir di pikiran kita. Jika dalam kondisi itu kita beralih menggunakan pikiran, maka kemudian aliran kontak batin itu akan terputus, sehingga terpaksa kita harus mengulang lagi dari awal.

Bila kita berhasil menguasai tahapan ini berarti kita sudah belajar mempertajam kepekaan rasa batin, sehingga walaupun keberadaan suatu sosok mahluk halus tidak terasakan / terdeteksi kehadiran energinya dan tidak dapat dilihat dengan kemampuan melihat gaib  (karena mahluk halus yang berdimensi tinggi semakin sulit dirasakan keberadaan energinya dan semakin sulit dilihat dengan penglihatan gaib mata ketiga), tetapi kita bisa mendeteksi keberadaannya dengan adanya rasa berat di dada pada jarak yang cukup jauh (sebelum muncul rasa merinding)  dan bisa juga terbayang sosoknya seperti apa. Selain itu kita juga sudah belajar mengetahui tujuan keberadaan suatu mahluk halus, sifatnya berbahaya atau tidak, dsb.
Bila anda cukup mahir dengan tahapan keempat ini, berarti anda sudah melatih kepekaan dan ketajaman rasa batin, dan bila dengan cara ini anda juga dapat mengetahui wujud sosok-sosok gaib yang anda temui (dengan ilham gambaran gaib yang mengalir di pikiran anda), berarti anda sudah memasuki tahapan cara melihat gaib dengan batin. Setelah anda mahir dengan semuanya itu, intuisi anda akan tajam dalam banyak hal. Anda juga dapat berperan sebagai konsultan supranatural untuk teman-teman anda.

Kelemahan melihat gaib secara batin adalah sifat penglihatannya yang tidak langsung, dan seringkali terjadi pada para pemula, penglihatannya hanya bisa dibatin saja, mengawang-awang, tidak bisa dipastikan apakah yang dilihatnya itu sungguhan atau hanya halusinasi saja. Kelemahan ini bisa diatasi kalau saja kita dapat berinteraksi langsung secara energi dengan sosok-sosok gaib yang kita lihat seperti dengan cara-cara di atas, sehingga kita dapat memastikan bahwa sosok itu benar ada di tempat keberadaannya yang kitalihat.Pada orang-orang kebatinan jaman dulu, kegaiban batin dan sukma mereka selain bisa untuk mendeteksi suasana gaib di lingkungan mereka, mereka juga dapat menggerakkan kekuatan batin dan sukma mereka untuk mengusir / menyerang / menarik / menundukkan atau berkomunikasi dengan sosok-sosok gaib, sehingga kelemahan melihat gaib secara batin itu tidak berlaku bagi mereka. Kelemahan itu hanya terjadi pada orang-orang yang hanya mengandalkan kepekaan rasa dan batin saja, dan tidak mempunyai kemampuan lain yang lebih dari itu.

Karena itu sebaiknya kita melatih olah energi, dengan latihan tenaga dalam murni atau meditasi energi, atau cara-cara kebatinan yang ada. Satu hal yang harus diperhatikan, gunakan selalu sebelumnya untuk pagaran diri, dan jika naluri anda merasakan hal berbahaya, sebaiknya jangan diteruskan. Yang penting : sama-sama selamat.

Bagi anda yang sudah mengikuti pelatihan tenaga dalam murni, maka dalam rangka mendeteksi keberadaan mahluk halus di atas anda dapat memancarkan energi anda melalui telapak tangan dan usahakan peka rasa untuk merasakan adanya benturan energi anda dengan energi sosok mahluk halusnya (sugestikan bahwa energi anda tidak bersifat menyerang atau mengganggunya, hanya bersentuhan saja). Dari rasa benturan energi itu cobalah untuk menentukan bentuk wujud mahluk halus tersebut, besar-kecilnya, dsb.

Dalam penggunaan sehari-hari kepekaan rasa dapat digunakan untuk merasakan suasana alam di sekitar anda. Misalnya ada teman anda yang sedang sakit. Dengan kepekaan rasa anda bisa mengetahui apakah teman anda itu sakit biasa ataukah sakit karena gangguan / ketempelan mahluk halus. Rumah anda atau di suatu tempat lain anda bisa merasakan bila tempat tersebut berpenghuni gaib. Sama dengan melihat orang lain atau fotonya, kita bisa merasakan apakah orang tersebut berwatak baik atau jahat. Begitu juga dengan mahluk halus dan khodam, kita bisa merasakan hawa teduh, atau panas, baik atau jahat, berbahaya atau tidak, dsb. Begitu juga dengan suasana alam di sekitar kita, rasanya akan berbeda kalau ada keberadaan sosok kuntilanak, atau jin, atau gondoruwo, atau ada keberadaan mustika dan pusaka di alam gaib, dsb. Sosok-sosok halus yang kita rasakan keberadaannya juga bisa dikenali perwatakannya, apakah berwatak baik atau jahat, dari golongan putih ataukah hitam.

Berarti tinggal ditambah lagi melatih kepekaan rasa supaya bisa juga mengenali hawa / rasa masing-masing sosok halus, karena masing-masing sosok halus mempunyai rasa sendiri-sendiri mengenai hawa / aura energinya, sesudah itu barulah dipertegas dengan melihat gaib untuk melihat rupa sosoknya.

Kekuatan Rasa
Olah rasa berhubungan dengan kepekaan rasa batin dan indra ke 6 manusia. Denganrasa, orang akan lebih peka terhadap sesuatu yang bersifat gaib, dapat mendeteksi / merasakan keberadaan sesuatu gaib, dapat mendeteksi apakah sakit yang diderita oleh seseorang merupakan sakit biasa ataukah karena adanya pengaruh energi negatif dari suatu sosok mahluk halus (ketempelan gaib, kesambet, disantet, guna-guna, dsb), dapat mengetahui cara penyembuhannya dan dapat merasakan sesuatu yang akan terjadi (feeling / intuitif). Setelah dengan cara-cara latihan kepekaan rasa di atas anda juga dapat merasakan rasa tekanan / desakan di dada, berarti anda sudah mulai dapat merasakan  kekuatan rasa  di dada. Latihlah terus cara-cara di atas untuk membangkitkan dan menghimpun kekuatan rasa di dada. Kekuatan rasa adalah dasar dari tenaga batin (dasar dari kekuatan sukma yang mengisi tubuh seseorang).

Kekuatan rasa dapat anda manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Cara menggunakan kekuatan itu tidaklah dengan dipikirkan dahulu atau dengan mengempos seluruh tenaga, tetapi harus dilakukan secara spontan bersamaan dengan rasa desakan nafas di dada (ada timing waktunya).
Misalnya akan mengangkat beban yang berat, maka mengangkatnya harus dilakukan secara spontan bersamaan dengan adanya rasa desakan nafas di dada. Dengan cara itu bebannya akan terasa lebih ringan. Kekuatan pukulan yang dilambari kekuatan rasa efeknya juga berkali-kali lipat dibandingkan pukulan biasa sepenuh tenaga (ada efek gaibnya). Jika anda dapat menyatukan kekuatan rasa ke seluruh tubuh, menjadikan tubuh terasa tebal bertenaga, hasilnya akan luar biasa, kekuatan anda akan sama seperti 10 orang sekaligus. Apalagi kalau anda juga mempunyai tenaga dalam, jika bisa menyatukannya dengan kekuatan rasa maka efeknya akan menjadi berlipat-lipat.
Kekuatan rasa ini juga mempunyai kegaiban tersendiri jika diwujudkan dalam kata-kata. Berkata-kata dengan dilambari getaran kekuatan desakan rasa di dada pengaruhnya akan sama seperti menggunakan ajian kewibawaan / penundukkan, ajian gelap ngampar, gelap sayuta, gelap saketi atau senggoro macan.

Dengan demikian tanpa ajian / amalan gaib kesaktian dan tanpa tambahan khodam, dengan kekuatan rasa itu kita dapat melakukan perbuatan yang pengaruhnya mirip dengan menggunakan ajian / amalan kesaktian.

Rahasia kekuatan rasa adalah adanya penyatuan kekuatan roh sedulur papat dengan roh pancer kita (secara kesatuan menjadi kekuatan sukma). Dengan menggunakan kekuatan rasa itu berarti kita sudah menyatukan kekuatan roh sedulur papat dan pancer kita, menjadi satu kesatuan kekuatan sukma, sehingga menjadi satu kesatuan perbuatan yang mempunyai efek kegaiban tersendiri, yang hasilnya akan berbeda dibanding yang hanya mengandalkan kekuatan biasa saja walaupun sepenuh tenaga.

Contoh kekuatan rasa di atas adalah contoh penggunaan kekuatan rasa pada tingkatan dasar. Dalam tingkatan kemampuan kebatinan yang tinggi kekuatan rasa ini dapat digunakan untuk segala perbuatan yang berhubungan dengan kegaiban, untuk menyembuhkan / mengusir sakit / penyakit seseorang, mengusir / menyerang / menundukkan / menangkap mahluk halus tingkatan rendah sampai yang kelas atas, untuk mempengaruhi / mengendalikan pikiran seseorang atau mahluk halus, untuk memusnahkan keilmuan gaib, khodam dan tenaga dalam seseorang, dan untuk menerima pengetahuan spiritual tingkat tinggi yang mengantarkan seseorang menjadi linuwih dan waskita.Kekuatan rasa menjadi dasar dari kekuatan kebatinan.

Cara penggunaannya adalah dengan menggerakkan kekuatan rasa. Seperti contoh latihan belajar olah rasa di atas, setelah dengan rasa di dada kita bisa merasakan keberadaan sesosok mahluk halus, kemudian denganmenekan rasa, kita mendesak / mendorong keberadaan sosok halus itu pindah dari posisinya semula, ataumenekan rasa untuk menyingkirkan jenis-jenis bakteri, virus, dsb, dari sakit-penyakit seseorang (dibuang jauh ke luar angkasa).

Harap diperhatikan, penggunaan kekuatan rasa di atas adalah dengan menekan rasa untuk mendorong atau menggeser posisi keberadaan sesosok mahluk halus,bukan untuk menusuk / menyerang, jangan sampai malah berbalik mahluk halus itu kemudian menyerang kita. Kita sendiri harus bisa mengukur kekuatan kita, jangan sampai ternyata kekuatan kita lebih rendah daripada sosok halus itu, sehingga kemudian kita menjadi celaka. Kalau belum kuat secara kebatinan, kekuatan rasa itu jangan digunakan untuk menyerang.

Sedapat mungkin semua kekuatan kebatinan dan energi yang berhasil dihimpun dapat diolah menjadi kekuatan rasa dan dapat disatukan dengan kepekaan rasa, supaya menjadi satu kesatuan kemampuan.

Selasa, 24 Juli 2018

Hikmah Beribadah Qurban

Pada hakekatnya berqurban adalah wajib bagi yang mampu. Ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

أخبرنا الحسن بن يعقوب بن يوسف العدل ، ثنا يحيى بن أبي طالب ، ثنا زيد بن الحباب ، عن عبد الله بن عياش القتباني ، عن الأعرج ، عن أبي هريرة رضي الله عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من وجد سعة لأن يضحي فلم يضح ، فلا يحضر مصلانا »

“Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : Siapa yang memperoleh kelapangan untuk berkurban, dan dia tidak mau berkurban, maka janganlah hadir dilapangan kami (untuk shalat Ied).” [HR Ahmad, Daru qutni, Baihaqi dan al Hakim]

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Dari Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah ‘Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Al-Hakim berkata isnad hadits shahih)

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قُلْتُ أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالصُّوفُ قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ

Dari Zaid bin Arqam ia bekata; Saya berkata atau mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk apakah hewan kurban ini?” beliau menjawab: “Yaitu sunnah bapak kalian Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Lalu kebaikan apakah yang akan kami peroleh darinya?” beliau menjawab: “Setiap helai dari bulunya adalah kebaikan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan domba?” beliau menjawab: “Setiap helai bulu domba itu adalah bernilai satu kebaikan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim, dia berkata Isnadnya Shahih)

Sebagaimana kisah cerita dari Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail yang mencerminkan sifat dan sikap hamba yang sabar, taat dan takwa kepada Allah swt. Kisah cerita Nabi Ibrahim a.s. tersebut terdapat dalam firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat ash-Shaffat:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ. فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ .  وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ  .قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ . إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ .  وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ . وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ . سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ . كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ .  إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ .

Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. QS. Ash-Shaffat: 102-111

Anak ini adalah Nabi Ismail a.s., karena sesungguhnya dia adalah anak pertamanya yang sebelum kelahirannya, dia telah mendapat berita gembira mengenainya. Dia lebih tua daripada Nabi Ishaq, menurut kesepakatan kaum muslim dan kaum Ahli Kitab, bahkan di dalam nas kitab-kitab mereka disebutkan bahwa ketika Ibrahim a.s. mempunyai anak Ismail, ia berusia delapan puluh enam tahun. Dan ketika beliau mempunyai anak Ishaq, usia beliau sembilan puluh sembilan tahun.

Menurut mereka (Ahli Kitab), Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menyembelih anak tunggalnya itu, dan dalam salinan kitab yang lain disebutkan anak pertamanya. Akan tetapi, mereka mengubahnya dan membuat-buat kedustaan dalam keterangan ini, lalu mengganti dengan Ishaq. Padahal hal tersebut bertentangan dengan nas kitab asli mereka. Sesungguhnya mereka menyusupkan penggantian dengan memasukkan Ishaq sebagai ganti Ismail karena bapak moyang mereka adalah Ishaq, sedangkan Ismail adalah bapak moyang bangsa Arab.

Orang-orang Ahli Kitab dengki dan iri hati kepada bangsa Arab, karena itu mereka menambah-nambahinya dan menyelewengkan arti anak tunggal dengan pengertian 'anak yang ada di sisimu,' karena Ismail telah dibawa pergi oleh Ibrahim bersama ibunya ke Mekah. Takwil seperti ini merupakan takwil yang menyimpang dan batil, karena sesungguhnya pengertian anak tunggal itu adalah anak yang semata wayang bagi Ibrahim (saat itu). Lagi pula anak pertama merupakan anak yang paling disayang lebih dari anak yang lahir sesudahnya, maka perintah untuk menyembelih­nya merupakan ujian dan cobaan yang sangat berat.

Sejumlah ahlul 'ilmi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq, menurut apa yang telah diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf; sehingga ada yang menukilnya dari sebagian sahabat. Tetapi hal tersebut bukan bersumber dari Kitabullah, bukan pula dari sunnah. Dan saya dapat memastikan bahwa hal tersebut tidaklah diterima, melainkan dari ulama Ahli Kitab, lalu diterima oleh orang muslim tanpa alasan yang kuat. Yang jelas Kitabullah ini merupakan saksi yang menunjukkan kepada kita bahwa putra yang disembelih itu adalah Isma'il. Karena sesungguhnya Al-Qur'an telah menyebutkan berita gembira bagi Ibrahim akan kelahiran seorangputra yang penyabar dan menyebutkan pula bahwa putranya itulah Az-Zabih (yang disembelih).

Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa mimpi para nabi itu adalah wahyu, kemudian ia membaca firman-Nya: Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" (Ash-Shaffat: 102)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْجُنَيْدِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الملك الكرندي، حدثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ بْنِ يُونُسَ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ فِي الْمَنَامِ وَحْي"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Abu Abdul Malik Al-Karnadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Israil ibnu Yunus, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mimpi para nabi itu merupakan wahyu.

Hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitabSittah dengan jalur ini.

Dan sesungguhnya Ibrahim memberitahukan mimpinya itu kepada putranya agar putranya tidak terkejut dengan perintah itu, sekaligus untuk menguji kesabaran dan keteguhan serta keyakinannya sejak usia dini terhadap ketaatan kepada Allah Swt. dan baktinya kepada orang tuanya.

{قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ}

Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah­kan kepadamu.” (Ash-Shaffat: 102)

Maksudnya, langsungkanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu untuk menyembelih diriku.

{سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ}

insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102)

Yakni aku akan bersabar dan rela menerimanya demi pahala Allah Swt. Dan memang benarlah, Ismail a.s. selalu menepati apa yang dijanjikannya. Karena itu, dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:

{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya. (Maryam: 54-55)

Adapun firman Allah Swt.:

{فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ}

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (Ash-Shaffat: 103)

Setelah keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan penyembelihan itu, yakni persaksian (tasyahhud) untuk mati. Menurut pendapat yang lain, aslamaartinya berserah diri dan patuh. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengerjakan perintah Allah Swt. sebagai rasa taat keduanya kepada Allah, dan bagi Ismail sekaligus berbakti kepada ayahnya. Demikianlah menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Ishaq, dan lain-lainnya.

Makna tallahu lil jabin ialah merebahkannya dengan wajah yang tengkurap dengan tujuan penyembelihan akan dilakukan dari tengkuknya dan agar Ibrahim tidak melihat wajahnya saat menyembelihnya, karena cara ini lebih meringankan bebannya.

Ibnu Abbas r.a., Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya). (Ash-Shaffat: 103) Yakni menengkurapkan wajahnya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih dan Yunus. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Asim Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika Ibrahim a.s. diperintahkan untuk mengerjakan manasik, setan menghadangnya di tempat sa'i, lalu setan menyusulnya, maka Ibrahim menyusulnya. Kemudian Jibril a.s. membawa Ibrahim ke jumrah 'aqabah, dan setan kembali menghadangnya; maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan itu pergi. Kemudian setan menghadangnya lagi di jumrah wusta, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Kemudian Ibrahim merebahkan Ismail pada keningnya, saat itu Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu Ismail berkata kepada ayahnya, "Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya." Maka Ibrahim bermaksud menanggalkan baju gamis putranya itu. Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya dari arah belakang: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 104-105); Maka Ibrahim menoleh ke belakang, tiba-tiba ia melihat seekor kambing gibasy putih yang bertanduk lagi gemuk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarang kami masih terus mencari kambing gibasy jenis itu. Hisyam menyebutkan hadis ini dengan panjang lebar di dalam Kitabul Manasik.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dengan panjang lebar dari Yunus, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Hanya dalam riwayat ini disebutkan Ishaq. Menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. tentang nama anak yang disembelih, ada dua riwayat. Tetapi riwayat yang terkuat adalah yang menyebutnya Ismail, karena alasan yang akan kami sebutkan,insya Allah.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Qatadah, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Bahwa dikeluarkan untuknya seekor kambing gibasy dari surga yang telah digembalakan sebelum itu selama empat puluh musim gugur (tahun). Maka Ibrahim melepaskan putranya dan mengejar kambing gibasy itu. Kambing gibasy itu membawa Ibrahim ke jumrah ula, lalu Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Dan kambing itu luput darinya, lalu lari ke jumrah wusta dan Ibrahim mengeluarkannya dari jumrah itu dengan melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Kambing itu lari dan ditemuinya ada di jumrah kubra, maka ia melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Pada saat itulah kambing itu keluar dari jumrah, dan Ibrahim menangkapnya, lalu membawanya ke tempat penyembelihan di Mina dan menyembelihnya.

Ibnu Abbas melanjutkan, "Demi Tuhan yang jiwa Ibnu Abbas berada di tangan kekuasaan-Nya, sesungguhnya sembelihan itu merupakan kurban yang pertama dalam Islam, dan sesungguhnya kepala kambing itu benar-benar digantungkan dengan kedua tanduknya di talang Ka'bah hingga kering."

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim yang mengatakan bahwa Abu Hurairah r.a. berkumpul bersama Ka'b, lalu Abu Hurairah menceritakan hadis dari Nabi Saw., sedangkan Ka'b menceritakan tentang kisah-kisah dari kitab-kitab terdahulu. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

"إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً، وَإِنِّي قَدْ خَبَأتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Sesungguhnya masing-masing Nabi mempunyai doa yang mustajab, dan sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat buat umatku kelak di hari kiamat.

Maka Ka'b bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah Saw.?" Abu Hurairah menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, atau semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya, maukah kuceritakan kepadamu tentang perihal Ibrahim a.s.?" Ka'b melanjutkan perkataannya, bahwa sesungguhnya ketika Ibrahim bermimpi menyembelih putranya Ishaq, setan berkata.”Sesungguhnya jika tidak kugoda mereka saat ini, berarti aku tidak dapat menggoda mereka selamanya."

Ibrahim a.s. berangkat bersama anaknya dengan tujuan akan menyembelihnya, maka setan pergi dan masuk menemui Sarah, lalu berkata, "Ke manakah Ibrahim pergi bersama anakmu?" Sarah menjawab, "Ia pergi membawanya untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya Ibrahim pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan ia pergi untuk menyembelih anaknya." Sarah bertanya, "Mengapa dia menyembelih anaknya?" Setan berkata, "Ibrahim mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan kepadanya hal tersebut." Sarah menjawab, "Sesungguhnya lebih baik baginya bila menaati Tuhannya."

Lalu setan pergi menyusul keduanya. Setan berkata kepada anak Ibrahim, "Ke manakah ayahmu membawamu pergi?" Ia menjawab," Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya dia pergi bukan untuk suatu keperluan, tetapi ia pergi untuk tujuan akan menyembelihmu." Ia bertanya, "Mengapa ayahku akan menyembelihku?" Setan menjawab, "Sesungguhnya dia mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan hal itu kepadanya." Ia berkata, "Demi Allah, sekiranya Allah yang memerintahkannya, benar-benar dia akan mengerjakannya."

Setan putus asa untuk dapat menggodanya, maka ia meninggalkannya dan pergi kepada Ibrahim a.s., lalu bertanya, "Ke manakah kamu akan pergi dengan anakmu ini ?" Ibrahim menjawab, "Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya engkau membawanya pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan engkau membawanya pergi dengan tujuan akan menyembelihnya." Ibrahim bertanya, "Mengapa aku harus menyembelihnya ?" Setan berkata, "Engkau mengira bahwa Tuhanmu lah yang memerintahkan hal itu kepadamu." Ibrahim berkata, "Demi Allah, jika Allah Swt. memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku benar-benar akan melakukannya." Setan putus asa untuk menghalang-halanginya, lalu ia pergi meninggalkannya.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amr ibnu Abu Sufyan ibnu Usaid ibnu Jariyah As- Saqafi pernah menceritakan kepadanya bahwa Ka'b pernah berkata kepada Abu Hurairah; lalu disebutkan hal yang semisal dengan panjang lebar. Dan di penghujung kisahnya disebutkan bahwa lalu Allah menurunkan wahyu kepada Ishaq, bahwa sesungguhnya Aku memberimu suatu doa yang Kuperkenankan bagimu. Maka Ishaq berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berdoa kepada-Mu, semoga Engkau memperkenankannya. Semoga siapa pun di antara hamba-Mu yang bersua dengan-Mu, baik dari kalangan orang terdahulu maupun dari kalangan orang yang terkemudian, dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, semoga Engkau memasukkannya ke dalam surga."

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَنِي بَيْنَ أَنْ يَغْفِرَ لِنِصْفِ أُمَّتِي، وَبَيْنَ أَنْ أَخْتَبِئَ شَفَاعَتِي، فَاخْتَبَأْتُ شَفَاعَتِيَ، وَرَجَوْتُ أَنْ تُكَفِّرَ الجَمْ لِأُمَّتِي، وَلَوْلَا الَّذِي سَبَقَنِي إِلَيْهِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ لَتَعَجَّلْتُ فِيهَا دَعْوَتِي، إِنِ اللَّهَ لَمَا فَرَّجَ عَنْ إِسْحَاقَ كرْبَ الذَّبْحِ قِيلَ لَهُ: يَا إِسْحَاقُ، سَلْ تُعْطَهُ. فَقَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَتَعَجَّلَنَّهَا قَبْلَ نَزَغَاتِ الشَّيْطَانِ، اللَّهُمَّ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِكَ شَيْئًا فَاغْفِرْ لَهُ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,"Sesungguhnya Allah Swt. telah menyuruhku untuk memilih, apakah separo dari umatku mendapat ampunan ataukah doa permohonan syafaatku diterima. Maka aku memilih syafaatku diterima dengan harapan semoga sejumlah besar dari umatku diampuni dosa-dosanya. Seandainya tidak ada hamba saleh yang mendahuluiku, tentulah aku menyegerakan doaku itu. Sesungguhnya ketika Allah Swt. membebaskan Ishaq dari musibah penyembelihan, dikatakan kepadanya, "Hai Ishaq, mintalah, niscaya kamu diberi." Ishaq berkata, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh aku akan menyegerakan doaku ini sebelum setan menggodaku. Ya Allah, barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, berilah dia ampunan dan masukkanlah ke dalam surga."

Hadis ini garib lagi munkar; Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam daif hadisnya, dan saya merasa khawatir bila di dalam hadis ini terdapat tambahan yang disisipkan, yaitu ucapan, "Sesungguhnya setelah Allah Swt. membebaskan Ishaq dari musibah penyembelihan," hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Jika hal ini terpelihara, maka yang lebih mirip kepada kebenaran dia tiada lain adalah Ismail. Dan sesungguhnya mereka (Ahli Kitab) telah mengubahnya dengan Ishaq karena dengki dan iri terhadap bangsa Arab, seperti alasan yang telah dikemukakan di atas.

Lagi pula mengingat manasik dan penyembelihan kurban itu tempatnya tiada lain di Mina, yaitu bagian dari kawasan tanah Mekah, adalah tempat Ismail berada, bukan Ishaq. Karena sesungguhnya Ishaq berada di tanah Kan'an, bagian dari negeri Syam.

Firman Allah Swt.:

{وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا}

Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu!" (Ash-Shaffat: 104-105)

Yakni sesungguhnya engkau telah mengerjakan apa yang telah dilihat dalam mimpimu itu hanya dengan membaringkan putramu untuk disembelih.

As-Saddi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. sempat menggorokkan pisaunya, tetapi tidak dapat memotong sesuatu pun, bahkan dihalang-halangi antara pisau dan leher Nabi Ismail oleh lempengan tembaga. Lalu saat itu juga Ibrahim a.s. diseru: sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 105)

Firman Allah Swt.:

{إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ}

sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Ash-Shaffat: 105)

Yakni demikianlah Kami palingkan hal-hal yang tidak disukai dan hal-hal yang menyengsarakan dari orang-orang yang taat kepada Kami, dan Kami jadikan bagi mereka dalam urusannya jalan keluar dan kemudahan. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya.Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Talaq: 2-3)

Ayat yang menceritakan kisah penyembelihan ini dijadikan dalil oleh sejumlah ulama Usul untuk menyatakan keabsahan nasakh sebelum melakukan pekerjaan yang diperintahkan, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dari kalangan Mu'tazilah. Tetapi penunjukkan makna dalam ayat ini sudah jelas, karena pada mulanya Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar menyembelih anaknya, kemudian Allah menasakh (merevisi)nya dan mengalihkannya menjadi tebusan (yakni kurban). Dan sesungguhnya tujuan utama dari perintah ini pada mulanya hanyalah untuk menguji keteguhan dan kesabaran Nabi Ibrahim a.s. dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ}

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat: 106)

Maksudnya, ujian yang jelas dan gamblang, yaitu perintah untuk menyembelih anaknya. Lalu Ibrahim a.s. bergegas mengerjakannya dengan penuh rasa berserah diri kepada Allah dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى}

dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.(An-Najm: 37)

Adapun firman Allah Swt.:

{وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ}

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107)

Sufyan As- Sauri telah meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Abut Tufail dari Ali r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Yakni dengan kambing gibasy yang berbulu putih, gemuk, lagi bertanduk yang telah diikat di pohon samurah. Abut Tufail mengatakan bahwa mereka (berdua) menemukannya dalam keadaan telah terikat di pohon samurah yang ada di Bukit Sabir.

As-Sauri telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu telah digembalakan di surga selama empat puluh tahun.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ya'qub As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Daud Al-Attar, dari Ibnu Khasyam' dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa batu besar yang ada di Mina di lereng Bukit Sabir adalah batu tempat Nabi Ibrahim menyembelih tebusan anaknya Ishaq. Kambing gibasy yang gemuk lagi bertanduk turun dari Bukit Sabir menuju ke tempat Nabi Ibrahim seraya mengembik, lalu Nabi Ibrahim menyembelihnya. Kambing itu juga yang dipakai kurban oleh anak Adam, lalu diterima, dan kambing itu disimpan hingga dijadikan tebusan untuk Ishaq.

Telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu hidup bebas di dalam surga hingga dikeluarkan dari Bukit Sabir, dan pada leher kambing itu terdapat bulu yang berwarna merah.

Disebutkan dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa nama kambing gibasy yang dijadikan kurban oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Jarir.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa menurut Ubaid ibnu Umair, Nabi Ibrahim menyembelihnya di maqam Ibrahim.

Menurut Mujahid, Nabi Ibrahim menyembelihnya di Mina di tempat penyembelihan kurban sekarang.

Hasyim telah meriwayatkan dari Sayyar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Ibnu Abbas pernah memberikan fatwa kepada orang yang bernazar akan menyembelih dirinya, lalu Ibnu Abbas memerintahkan kepadanya agar menggantinya dengan menyembelih seratus ekor unta. Sesudah itu ia berkata bahwa seandainya dia memberikan fatwa kepadanya agar menyembelih seekor kambing gibasy, tentulah hal itu sudah mencukupi baginya. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107)

Menurut pendapat yang sahih, tebusan tersebut berupa seekor kambing gibasy.

As-Sauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sembelihan itu adalah seekor kambing gunung.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa tidaklah Ismail a.s. ditebus melainkan dengan seekor kambing gunung dari Aura yang diturunkan untuk Ibrahim dari Bukit Sabir.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ، عَنْ خَالِهِ مُسافع ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ: أَخْبَرَتْنِي امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ -وَلدت عَامَّةَ أَهْلِ دَارِنَا-أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَةَ -وَقَالَ مَرَّةً: إِنَّهَا سَأَلَتْ عُثْمَانَ: لِمَ دَعَاكَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: قَالَ: "إِنِّي كنتُ رَأَيْتُ قَرْنَيِ الْكَبْشِ، حِينَ دَخَلْتُ الْبَيْتَ، فَنَسِيتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تُخَمِّرَهُمَا، فَخَمَّرْهما، فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يَشْغَلُ الْمُصَلِّيَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Mansur, dari pamannya (yaitu Musafi' dan Safiyyah binti Syaibah) yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seorang wanita dari Bani Salim yang telah melahirkan sebagian besar penduduk perkampungan kami, bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan utusan kepada Usman ibnu Abu Talhah r.a. (pemegang kunci Ka'bah). Wanita itu pernah bertanya kepada Usman, "Mengapa Nabi Saw. memanggilmu ?" Maka Usman menjawab, bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:Sesungguhnya aku melihat sepasang tanduk saat memasuki Ka'bah, dan aku lupa untuk memerintahkan kepadamu agar menutupinya dengan kain. Karena itu, tutupilah sepasang tanduk itu dengan kain, sebab tidak patut bila di dalam Ka'bah terdapat sesuatu yang mengganggu kekhusyukan orang yang salat (di dalamnya).

Sufyan mengatakan bahwa kedua tanduk itu masih tetap tergantung di dalam Ka'bah hingga Ka'bah mengalami kebakaran dan keduanya ikut terbakar.

Hal ini merupakan bukti tersendiri yang menunjukkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail a.s. Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menerimanya secara turun-temurun dari para pendahulu mereka generasi demi generasi, sampai Allah mengutus Rasul­Nya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Qurban Pintu Mendekatkan Diri Kepada Allah

Sungguh ibadah qurban adalah salah satu pintu terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana halnya ibadah shalat. Ia juga menjadi media taqwa seorang hamba. Sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 27, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa”.

Berqurban juga menjadi bukti ketaqwaan seorang hamba.

Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS:Al Hajj:37)

Sebagai sikap Kepatuhan dan Ketaaan pada Allah

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [QS: Al Hajj : 34]

Sebagai Saksi Amal di Hadapan dari Allah

Ibadah qurban mendapatkan ganjaran yang berlipat dari Allah SWT, dalam sebuah hadits disebutkan, “Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kabaikan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Juga kelak pada hari akhir nanti, hewan yang kita qurbankan akan menjadi saksi.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ ابْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنِي أَبُو الْمُثَنَّى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dgn tanduk-tanduknya, kuku-kukunya & bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” [HR. ibnumajah No.3117].

Membedakan dengan Orang Kafir

Sejatinya qurban (penyembelihan hewan ternak) tidak saja dilakukan oleh umat Islam setiap hari raya adha tiba, tetapi juga oleh umat lainnya. Sebagai contoh, pada zaman dahulu orang-orang Jahiliyah juga melakukan qurban. Hanya saja yang menyembelih hewan qurban untuk dijadikan sebagai sesembahan kepada selain Allah.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (qurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [QS: al-An’am : 162-163]

Ajaran Nabiullah Ibrahim AS

Berkurban juga menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim – ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ مِسْكِينٍ حَدَّثَنَا عَائِذُ اللَّهِ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ

“Berkata kepada kami Muhammad bin Khalaf Al ‘Asqalani, berkata kepada kami Adam bin Abi Iyas, berkata kepada kami Sullam bin Miskin, berkata kepada kami ‘Aidzullah, dari Abu Daud, dari Zaid bin Arqam, dia berkata: berkata para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, hewan qurban apa ini?” Beliau bersabda: “Ini adalah sunah bapak kalian, Ibrahim.” Mereka berkata: “Lalu pada hewan tersebut, kami dapat apa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu ada satu kebaikan.” Mereka berkata: “Bagaimana dengan shuf (bulu domba)?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu shuf ada satu kebaikan.” [HR. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya No. 3127]

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Hukum Berkurban Untuk Orang Tua Yang Telah Wafat

Dibalik ingar bingar idul qurban beberapa pekan ke depan, tentu akan banyak pertanyaan muncul dalam diskusi sehari-hari seputar fiqih qurban. Diskusi yang berujung pada pemaknaan dan pengertian atas bermacam hukum qurban. Salah satu masalah yang cukup sering muncul ke dalam diskusi masyarakat baik di ruang-ruang masjid maupun di ruang maya adalah pertanyaan mendasar, bolehkah berqurban atas nama orang lain?

Dilihat keutamaannya, ibadah qurban merupakan satu dari sekian ibadah yang menjadi syiar Islam atau corong penyebar kebaikan Islam. Di dalam idul qurban ada momentum terbaik untuk mewujudkan dan membuktikan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah dan segala ketaatan seorang hamba pada Rabbnya. Dalam tiap pelaksanaan ibadah qurban tersimpul kebaikan dan keberkahan yang tak akan bisa dihargai sejumlah rupiah yang dibayarkan untuk membeli ternak qurban.

Hukum qurban yang paling banyak dipegang oleh kesepakatan ulama adalah sunnah muakkadah atau sunnah yang diutamakan. Diutamakan pada siapa? Hukum qurban adalah sunnah bagi yang mampu dan berkecukupan untuk melaksanakannya. Jika mampu namun meninggalkan atau tak sempat melaksanakan ibadah qurban dengan berbagai alasan, maka hukumnya adalah makruh.

Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;


أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Kesunnahan dalam hal ini adalahsunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.


وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ


“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.


وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)

Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakan untuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.

Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)

Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama madzhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.


إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka madzhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut madzhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat,Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)

An-Nawawi (w. 676) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin terkait masalah qurban untuk orang yang sudah wafat sebagai berikut :

وذكر صاحب «العدة» : أنه لو أنبط عينا أو حفر نهرا أو غرس شجرة أو وقف مصحفا في حياته أو فعله غيره عنه بعد موته يلحق الثواب الميت.

Penulis kitab Al-Uddah menuliskan bahwa bila seseorang menemukan mata air atau menggali sungai atau menanam pohon atau mewakafkan mushaf semasa hidupnya, atau ada orang yang melakukan untuknya setelah dia wafat, maka dia (mayyit itu) akan mendapatkan pahalanya.

واعلم أن هذه الأمور إذا صدرت من الحي فهي صدقات جارية، يلحقه ثوابها بعد الموت كما صح في الحديث، وإذا فعل غيره عنه بعد موته، فقد تصدق عنه.والصدقة عن الميت تنفعه، ولا يختص الحكم بوقف المصحف، بل يجري في كل وقف .

Ketahuilah bahwa masalah ini bila dilakukan oleh orang yang masih hidup akan menjadi sedekah jariyah, dimana pahalanya akan sampai kepadanya setelah matinya sebagaimana disebutkan di dalam hadits. Dan bila orang lain yang melakukannya setelah kematiannya, juga termasuk sedekah baginya. Dan sedekah untuk mayyit akan memberikan manfaat. Hukumnya tidak sebatas mewakafkan mushaf tapi berlaku untuk semua wakaf.

وهذا القياس يقتضي جواز التضحية عن الميت؛ لأنها ضرب من الصدقة. وقد أطلق أبو الحسن العبادي جواز التضحية عن الغير، وروى فيه حديثا. لكن في «التهذيب» أنه لا تجوز التضحية عن الغير بغير إذنه، وكذلك [عن] الميت، إلا أن يكون أوصى به

Qiyas ini membolehkan qurban untuk mayit karena merupakan bagian dari sedekah juga. Abu Al-Hasan Al-Abadi membolehkan qurban untuk orang lain dan beliau meriwayatkan hadits untuk itu.

Namun di dalam kitab At-Tahzib disebutkan bahwa tidak dibenarkan qurban untuk orang lain kecuali dengan seizinnya. Demikian juga qurban untuk mayyit kecuali bila semasa hidupnya pernah berwasiat.

Syaikh Muhammad bin Ahmad al Khotib As Sarbini (W 977 H) dalam kitab Mughni Mughtaj juz 18 halaman 148, menjelaskan:

( وَلَا ) تَضْحِيَةَ ( عَنْ مَيِّتٍ لَمْ يُوصِ بِهَا ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ ، فَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُد وَالْبَيْهَقِيِّ وَالْحَاكِمِ { أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ وَكَبْشَيْنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ : إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ ، فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ أَبَدًا }

Tidak boleh berqurban untuk orang yang sudah meninggal, kecuali ada wasiat, Allah berfirman dalam Suarat An Najm ayat 39 :”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”, tetapi jika ada wasiat maka di perbolehkan (berqurban untuk orang yang sudah meninggal) dan di jelaskan dalam Sunan Abi Daud, Baihaqi dan Hakim: “ Sesungguhnya ‘Ali bin Abi tholib berqurban dengan dua ekor kambing domba untuk dirinya sendiri dan dua ekor kambing domba untuk Nabi SAW, dan ‘Ali berkata: Sesungguhnya Rasulallah SAW memrintahkan kepada saya untuk berqurban atas nama beliau, maka saya berqurban untuk beliau selamanya”.

Dari pemaparannya nampak bahwa para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah tidak sepakat tentang kebolehannya. Ada yang membolehkan tanpa syarat dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat.

Sebagian yang membolehkan qurban untuk mayyit mensyaratkan harus ada wasiat dari mayyit sebelum kematiannya. Dan sebagian yang lain membolehkan qurban untuk mayyit tanpa harus ada wasiat sebelumnya, dengan dalil bahwa bila mayyit itu berhutang lalu dilunasi orang lain, maka pembayaran hutang itu bermanfaat buat mayit itu meski dia tidak pernah mewasiatkan sebelumnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kisah Mengesankan Shohabat Tsumamah Bin Utsal Al-Yamani

Nama lengkapnya Tsumamah bin Utsal bin an-Nu'man al-Yamamy. Nama panggilannya Abu Umamah. Pada masa jahiliyah beliau termasuk penguasa/pempimpin di Yamamah, Arab. Dan orang berpengaruh di bani Hanifah.

Pada tahun 6 Hijriah Rasulullah berkeinginan untuk meluaskan misi dakwahnya. Maka diantara caranya adalah menulis surat kepada raja-raja Arab dan bukan Arab disertai dengan seorang alim yang dapat mengajarkan Islam. Waktu itu Rasulullah mengirim delapan surat. Diantara raja/penguasa yang mendapat surat dari Rasulullah adalah Tsumamah bin Utsal.

Setelah beliau menerima surat dari Rasulullah dan membacanya, beliau tersinggung dan merasa dihina. Darahnya naik. Kemarahan nampak diwajahnya. Telingganya seolah-olah tertutupi oleh syetan sehingga tidak mau mendengar ajakan Rasul. Hingga akhirnya memutuskan untuk membunuh Rasulullah. Di setiap waktu beliau mencari-cari kesempatan untuk dapat menghabisi nyawa Rasulullah. Hampir saja niat untuk membunuh Rasulullah terwujud. Tapi Allah selamatkan melalui pertolongan salah seorang pamannya. Paman beliau berhasil merayu dengan pujiannya untuk mengagalkan rencana itu.

Hanya saja beliau tetap menyimpan dendam kesumat kepada para sahabat Rasulullah. Di setiap kesempatan para sahabat dibunuh dengan cara yang sadis. Akhirnya Rasulullah mengumumkan bahwa darah beliau halal untuk dibunuh.

Suatu hari beliau berkeinginan pergi ke Mekkah untuk memberikan puji-pujian kepada patungnya. Ketika baru keluar rumah, belum jauh dari Madinah, tiba-tiba datang musibah yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Seorang dari satuan pasukan Rasulullah melakukan spionasi/pengintaian dari satu rumah ke rumah lain karena takut beliau akan melakukan suatu kejahatan.

Akhirnya beliau ditawan oleh tentara itu dan dibawa ke hadapan Rasulullah. Tentara itu memang tidak tahu siapa beliau. Mungkin karena sikapnya yang mencurigakan akhirnya ditawan. Beliau dikumpulkan bersama tawanan yang lain di dekat masjid.

Dalam Riwayat Imam Bukhori

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ فَقَالَ عِنْدِي خَيْرٌ يَا مُحَمَّدُ إِنْ تَقْتُلْنِي تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ مِنْهُ مَا شِئْتَ فَتُرِكَ حَتَّى كَانَ الْغَدُ ثُمَّ قَالَ لَهُ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ قَالَ مَا قُلْتُ لَكَ إِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ فَتَرَكَهُ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْغَدِ فَقَالَ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ فَقَالَ عِنْدِي مَا قُلْتُ لَكَ فَقَالَ أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ فَانْطَلَقَ إِلَى نَجْلٍ قَرِيبٍ مِنْ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ يَا مُحَمَّدُ وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى الْأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ وَجْهِكَ فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الْوُجُوهِ إِلَيَّ وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ دِينٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ دِينِكَ فَأَصْبَحَ دِينُكَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيَّ وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ بَلَدٍ أَبْغَضُ إِلَيَّ مِنْ بَلَدِكَ فَأَصْبَحَ بَلَدُكَ أَحَبَّ الْبِلَادِ إِلَيَّ وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ فَمَاذَا تَرَى فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ قَالَ لَهُ قَائِلٌ صَبَوْتَ قَالَ لَا وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] Telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dia berkata; Telah menceritakan kepadaku [Sa'id bin Abu Sa'id] bahwasanya ia mendengar [Abu Hurairah] berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim pasukan menuju Nejed, lalu mereka menangkap seseorang dari Bani Hanifah, Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk Yamamah, kemudian mereka mengikatnya pada salah satu tiang masjid, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya dan bersabda kepadanya: "Apa yg kamu miliki hai Tsumamah?
ia menjawab, Wahai Muhammad, aku memiliki apa yg lebih baik, jika engkau membunuhnya maka engkau telah membunuh yg memiliki darah, & jika engkau memberi maka engkau memberi orang yg bersyukur, namun jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa saja yg engkau inginkan. Kemudian Rasulullah meninggalkannya, hingga keesokan harinya beliau bertanya, Apa yg engkau miliki wahai Tsumamah?
ia menjawab, Seperti yg aku katakan, jika engkau memberi maka engkau memberi orang yg bersyukur, jika engkau membunuh maka engkau membunuh yg memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa yg engkau mau. Lalu Rasulullah meninggalkannya, hingga keesokan harinya beliau bertanya lagi: Apa yg engkau miliki wahai Tsumamah?
ia menjawab, Seperti yg aku katakan, jika engkau memberi maka engkau memberi orang yg bersyukur, jika engkau membunuh maka engkau membunuh yg memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya engkau akan diberi apa yg engkau mau, Rasulullah kemudian bersabda kepada sahabatnya; Bawalah Tsumamah lalu mereka pun membawanya ke sebatang pohon kurma di samping masjid, ia pun mandi & masuk masjid kembali, kemudian berkata; Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yg patut disembah melainkan hanya Allah & bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, demi Allah, dahulu tak ada wajah di atas bumi ini yg lebih aku benci selain wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yg paling aku cintai dari pada yg lain, & demi Allah, dahulu tak ada agama yg lebih aku benci selain dari agamamu, namun saat ini agamamu menjadi agama yg paling aku cintai di antara yg lain, demi Allah dahulu tak ada wilayah yg paling aku benci selain tempatmu, namun sekarang ia menjadi wilayah yg paling aku cintai di antara yg lain, sesungguhnya utusanmu telah menangkapku & aku hendak melaksanakan umrah, bagaimana pendapatmu?
Maka Rasulullah memberinya kabar gembira & memerintahkannya untuk melakukan umrah, ketika ia sampai di Makkah seseorang berkata kepadanya; Apakah engkau telah murtad?
Ia menjawab; Tidak, tetapi aku telah masuk Islam bersama Muhammad , & demi Allah tidaklah kalian akan mendapatkan gandum dari Yamamah kecuali mendapatkan izin dari Rasulullah . [HR. Bukhari No.4024].

Dalam Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Hisyam, saat umrah di Makkah, orang-orang Quraisy berupaya memukulnya atau sudah memukulnya karena Tsumamah menyaringkan takbir. Itulah sebabnya, Tsumamah setelah pulang ke Yamamah, memerintahkan kaumnya untuk tidak mengirim pasokan bahan makanan gandum ke Makkah. Blokade ekonomi ini akhirnya diakhiri setelah Nabi Muhammad mengirim pesan ke Yamamah. Nabi sendiri melakukannya setelah tahu dari Abu Sufyan, pemimpin Makkah saat itu yang datang ke hadapan Nabi dan memohon pertolongannya. Ajaibnya, Nabi sama sekali mengajukan persyaratan apa pun tapi murni karena belas kasihan atas kemanusiaan.

Dalam dialog di atas, orang Quraisy menyebut Shabi kepada Tsumamah. Shabi ialah istilah orang Arab zaman itu untuk orang-orang yang meninggalkan agama nenek-moyangnya dan memeluk keyakinan baru. Mereka tidak mengakui dan tidak membiasakan diri menyebut Nabi dan para pengikutnya sebagai orang Muslim.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Penjelasan Tentang Kurban Seekor Kambing Untuk Keluarga

Menjelang hari raya kurban ini beredar broadcast yang mengajak tidak perlu berkurban bagi masing-masing anggota keluarga, tapi cukup seekor kambing bagi sekeluarga katanya. Tidak perlu masing-masing orang kurban sendiri. Demikian kurang lebih ajakan broadcast itu. Apakah benar demikian?

Ajakan dan asumsi seperti itu kurang pas, sebab mengajak beribadah dengan standar minimal saja. Meski ada pendapat ulama yang membolehkan kurban satu kambing untuk sekeluarga, seperti pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad (al-Mughni, XI/98), tetapi bagi yang berkecukupan lebih baik berkurban sendiri-sendiri. Sebagaimana dikutip oleh ahli hadits sekaligus ahli fikih mazhab Maliki Abu al-Walid al-Baji (403-474 H/1012-1081 M) dalam karyanya al-Muntaqa ‘ala Syarh Muwattha’(III/144), Imam Malik menegaskan:

أَسْتَحِبُّ قَوْلَ ابْنِ عُمَرَ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ بِشَاةٍ لِمَنْ اسْتَطَاعَ ذَلِكَ وَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَكْثَرُ ثَوَابًا وَأَبْعَدُ مِنْ الِاشْتِرَاكِ الَّذِي هُنَا فِي الضَّحَايَا .

“Aku menyukai pendapat Ibn ‘Umar yang menyatakan, hendaknya bagi orang (kepala keluarga) yang mampu, untuk berkurban dengan satu kambing bagi masing-masing orang (anggota keluarga).

Karena lebih banyak pahalanya dan lebih terhindar dari bersama-sama orang lain dalam kurbannya.”

Rasulullah SAW pernah menyembelih satu hewan kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini bisa diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah saat menyembelih hewan kurbannya sebagai berikut.

اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

Artinya, “Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku.”

Diriwayatkan dari Anas, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih yang seekor, seraya berkata:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَقَرَّبَ الآخَرُ فَقَالَ: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ عَمَّنْ وَحَّدَكَ مِنْ أُمَّتِي

‘Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, kurban ini dari Muhammad dan keluarganya.’ Lalu Beliau menyembelih yang seekor lagi seraya berkata, ‘Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, kurban ini dari siapa saja yang mentauhidkan-Mu dari kalangan umatku.”

Hadits Rasulullah SAW ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang dia sembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. Dari sini ulama menyimpulkan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal kalau kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Karenanya para ulama sepakat bahwa satu kambing hanya bisa diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut.

 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

Artinya, “Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.

 تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ


Artinya, “(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah,” (Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami,Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).

Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya bisa untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya.

قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ


Artinya, “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa ‘untuk satu orang’ di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban,” (Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).

Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama sepakat kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang.

وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك


Artinya, “Karena memang pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?' Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan kurban, maka sebutan ‘orang berkurban’ tidak ada pada mereka. Lain soal kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.

Dari sini pula kita dapat memahami bahwa hadits adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.

Pandangan Dalam Madzhab Syafi’i

Karenanya wajar, bila dalam mazhab Syafi’i dinyatakan, bahwa seekor kambing tidak cukup untuk berkurban dalam arti sebenarnya yaitu memperoleh pahala khusus kurban sebagai tebusan diri, kecuali bagi satu orang saja. Sementara hadits-hadits yang mengesankan satu kambing cukup bagi sekeluarga diarahkan pada konteks pelaku kurban mengharap kepada Allah pahalanya secara umum juga didapatkan sekeluarga. Ibrahim al-Marwazi (Hasyiyyah al-‘Abbadi, IX/345) menjelaskan secara gamblang:

لَوْ نَوَى بِالشَّاةِ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ لَمْ يَجُزْ إذْ لَا يَقَعُ إلَّا عَنْوَاحِدٍ، وَالْحَدِيثُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاشْتِرَاكِ فِي الثَّوَابِ لَا الْأُضْحِيَّةَ.

“Andaikan orang berniat dengan satu kambing untuk kurban dirinya dan keluarganya, maka tidak boleh, karena tidak akan berhasil (menjadi tebusan) kecuali dari satu orang saja. Sementara hadits yang mengesankan kurban satu kambing cukup untuk sekeluarga diarahkan pada konteks (harapan) sekeluarga sama-sama mendapatkan pahalanya, bukan dalam makna berkurban sebenarnya.”

Abu al-Qasim al-Furani (388-461 H/998-1069 M), pemuka Syafi’iyyah asal kota Mawra saat mengutip Imam al-Buwaithi (w. 231/846 H) murid langsung Imam as-Syafi’i (Hasyiyyah al-‘Abbadi, IX/345) menegaskan:

لَا الْأُضْحِيَّةَ لِاسْتِحَالَةِ وُقُوعِهَا عَنْ كُلِّهِمْ عَنْ كُلِّ جُزْءٍ مِنْ شَاةٍ وَلَا أَحْسَبُ فِيهِ خِلَافًا.

“Tidak mencukupi untuk berkurban sebenarnya, karena mustahil terjadinya kurban (menjadi tebusan) bagi masing-masing anggota keluarga dengan masing-masing bagian dari satu ekor kambing. Saya kira ini tidak diperselisihkan.”

Pada waktu berikutnya Ibn Hajar al-Haitami (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra II/52) memfatwakan:

أَنَّ الْقَصْدَ مِنَ التَّضْحِيَةِ فِدَاءُ النَّفْسِ وَالشَّارِعُ في الشَّاةِ لَمْ يَجْعَلِ الْفِدَاءَ إلَّا كَامِلًا.

“Sungguh tujuan utama kurban adalah menebus diri dan syariat tidak menjadikan tebusan seseorang dalam satu ekor kambing kecuali satu ekor sempurna.”

Begitu pula Syaikh Sulaiman al-Jamal (Hasyiyyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, V/251) menyampaikan:

لَا أَنَّهُ يَحْصُلُ لَهُمُ الثَّوَابُ الْمُسْتَلْزِمُ لِكَوْنِهَا فِدَاءً عَنِ النَّفْسِ وَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً.

“Tidak berarti bila sudah ada yang berkurban satu orang dalam sekeluarga, semua mendapatkan pahala sebagai tebusan diri. Pahala itu khusus bagi yang berkurban saja.”

Berbagai penjelasan ulama Syafi’iyyah sangat selaras dengan nash al-Quran ketika mengisahkan Nabi Ibrahim As menebus Nabi Ismail As dengan seekor kambing utuh, sebagaimana Allah firmankan:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. (الصافات: 107)

“Dan kami tebus Ismail dengan menyembelih seekor kambing yang besar.”

Dalam hadits shahih pun Nabi Saw benar-benar memperingatkan:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه وَ قَالَ الْحَاكِمُ: صَحِيحُ الْإِسْنَادِ)

“Orang yang punya kelonggaran rejeki namun tidak berkurban, maka sungguh jangan dekati tempat shalat kita.” (HR. Ahmad dan Ibn Majjah dan al-Hakim yang berkata: “Sanadnya shahih.”)

Karenanya, yuk berkurban secara maksimal. Bagi yang mampu, satu kambing yang gemuk untuk masing-masing orang dalam sekeluarga, sehingga benar-benar menjadi tebusan diri yang sempurna.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda