Translate

Rabu, 18 April 2018

Ziaroh Para Wali Sebagai Wasilah

Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yang demikian dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى

“Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Berkah (barokah) diartikan dengan bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari 'bertambahnya kebaikan' atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.

Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah
Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

أَنَّ مُوْسَى  قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».

“Sesungguhnya Nabi Musa berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Berdasarkan hadis-hadis sahih ziarah kubur adalah sunah. Jika ziarah kubur sunah, maka melakukan perjalanan untuk ziarah kubur juga sudah pasti sunah (Syaikh Ali as Sumhudi dalam Khulashat al Wafa I/46). Bahkan Rasulullah Saw setelah di Madinah secara rutin setiap tahun ziarah ke makam syuhada yang gugur saat perang Uhud di Makkah:

كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)

"Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra'd 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama" (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)

Tidak dipungkiri memang ada ulama yang mengharamkannya dengan berdalil pada hadis sahih:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

"Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Rasulullah (Madinah) dan masjid al Aqsha" (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak dapat dijadikan dalil larangan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Hal ini berdasarkan takhsis (yang membatasi) dari dua hadis, yang menunjukkah bahwa larangan berpergian dalam hadis diatas adalah ke masjid selain yang 3 tadi, bukan ke makam para Nabi atau ulama.

Pertama riwayat Ahmad (III/471) dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا (رواه أحمد وشهر فيه كلام وحديثه حسن)

"Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan salat disana, selain masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku". Al-Hafidz Al-Haitsami berkata: "Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya hasan" (Majma' az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65

Kedua, hadis riwayat al-Bazzar dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:

أَناَ خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ الْمَسْجِدُ وَمَسْجِدِي صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البزار)

"Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid al-Haram dan masjidku…." (Baca Majma' az-Zawaid IV/7 karya al-Hafidz al-Haitsami)

Ahli hadis Al Hafidz Ibnu Hajar membantah penggunaan hadis diatas sebagai dalil larangan melakukan ziarah ke makam orang-orang shaleh. Pertama, jika hadis ini digunakan sebagai larangan melakukan perjalanan ziarah kubur, maka mestinya melakukan perjalanan silaturrahim, perjalanan mencari ilmu, berdagang dan sebagainya juga dilarang (Fathul Bari IV/190). Kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis sahih lain riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa "Rasulullah berkunjung ke masjid Quba' setiap hari Sabtu, baik berkendaraan atau berjalan kaki". Oleh karenanya melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut tidak dilarang (Fathul Bari IV/190)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَاَلله أَعْلَمُ (فتح الباري لابن حجر - ج 4 / ص 197)

“Maka batallah pendapat ulama yang mengatakan dilarangnya ziarah ke makam Rasulullah dan dan makam orang-orang shaleh” (Fathul Bari IV/197)

Imam Nawawi juga berkata:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي شَدِّ الرِّحَالِ وَإِعْمَالِ الْمَطِيّ إِلَى غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ كَالذَّهَابِ إِلَى قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَإِلَى الْمَوَاضِعِ الْفَاضِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيّ مِنْ أَصْحَابِنَا هُوَ حَرَامٌ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَالصَّحِيْحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الَّذِي اِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ (شرح النووي على مسلم - ج 5 / ص 62)

“Ulama berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan ke selain 3 masjid diatas, seperti perjalanan ke makam-makam orang shaleh, tempat-tempat utama dan sebagainya. Dari kalangan Syafiiyah, Syaikh al-Juwaini mengatakan haram. Pendapat ini pula yang diisyaratkan oleh Qadli Iyadl. Namun pendapat yang sahih menurut ulama Syafiiyah, yang juga dipilih oleh Imam al-Haramain dan ulama lainnya adalah tidak haram dan tidak makruh” (Syarah Muslim 5/62)

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya').

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Berkah Kuburan Orang Sholeh menurut Imam AdzDzahabi, seperti terkutip berikut ini :

سير أعلام النبلاء – (ج 17 / ص 77(
قلت: والدعاء مستجاب عند قبور الانبياء والاولياء، وفي سائر البقاع، لكن سبب الاجابة حضور الداعي، وخشوعه وابتهاله، وبلا ريب في البقعة المباركة، وفي المسجد، وفي السحر، ونحو ذلك، يتحصل ذلك للداعي كثيرا، وكل مضطر فدعاؤه مجاب.

Doa itu MUSTAJAB (BILA DIBACA) DI SISI MAKAM PARA NABI DAN WALI, juga di beberapa tempat yang lain. Namun penyebab terkabulnya doa adalah hadhirnya hati orang yang berdoa, kekhusyuka nya, dan TIDAK DIRAGUKAN LAGI DI TEMPAT-TEMPAT YANG DIBERKATI, di masjid, saat sahur dan sebagainya dimana doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya. Dan setiap orang yang sangat membutuhkan maka doanya akan diijabahi”
(al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 17/77).

Madzhab Hanbali Percaya Berkah Kuburan Orang Saleh

(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ فِي الْمَقْبَرَةِ الَّتِي يَكْثُرُ فِيْهَا الصَّالِحُوْنَ لَتَنَالَهُ بَرَكَتهُمْ، وَكَذَلِكَ فِي الْبِقَاعِ الشَّرِيْفَةِ فَقَدْ رُوِيَ فِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُدْنِيَهُ إِلَى اْلاَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ (الشرح الكبير لابن قدامة – ج 2 / ص 389)

“(Fashal) Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, begitu pula tempat-tempat mulia. Al-Bukhari dan Muslim sungguh meriwayatkan bahwa Musa As ketika ia akan wafat meminta kepada Allah agar didekatkan dengan tanah Baitul Maqdis sejarak lemparan batu”
(Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/389)

( وَ ) يُسْتَحَبُّ أَيْضًا الدَّفْنُ فِي ( مَا كَثُرَ فِيهِ الصَّالِحُونَ ) لِتَنَالَهُ بَرَكَتُهُمْ وَلِذَلِكَ الْتَمَسَ عُمَرُ الدَّفْنَ عِنْدَ صَاحِبَيْهِ وَسَأَلَ عَائِشَةَ ، حَتَّى أَذِنَتْ لَهُ . (كشاف القناع عن متن الإقناع – ج 4 / ص 420)

“Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, oleh karenanya Umar berusaha agar dimakamkan di deekat kedua sahabatnya dan meminta pada Aisyah hingga ia memberi izin”
(Kasysyaf al-Qina’ 4/420)

يُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ عِنْدَ الصَّالِحِ لِتَنَالَهُ بَرَكَتُه (الفروع لابن مفلح – ج 3 / ص 353)

“Disunahkan mengubur di dekat orang saleh agar mendapat berkahnya”
(al-Furu’ Ibnu Muflih, 3/353)

Ahli hadis juga mempercayai tabarruk dan tawassul:

قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ فِي الْعَاقِبَةِ : فَيُنْدَبُ لِوَلِيِّ الْمَيِّتِ أَنْ يَقْصِدَ بِهِ قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ وَمَدَافِنَ أَهْلِ الْخَيْرِ فَيَدْفَنَهُ مَعَهُمْ وَيَنْزِلَهُ بِإِزَائِهِمْ وَيُسْكِنَهُ فِي جِوَارِهِمْ تَبَرُّكًا وَتَوَسُّلاً بِهِمْ وَأَنْ يَجْتَنِبَ بِهِ قُبُوْرَ مَنْ يُخَافُ التَّأَذِّي بِمُجَاوَرَتِهِ وَالتَّأَلُّمُ بِمُشَاهَدَةِ حَالِهِ (فيض القدير – ج 1 / ص 297)

“Abdulhaqq berkata dalam kitab al-Aqibah: Disunahkan bagi keluarga mayit untuk bertuju ke makam orang-orang saleh dan pemakaman orang-orang baik, kemudian dimakamkan bersama mereka dan diletakkan didekat mereka, ditempatkan di sebelah mereka, untuk mencari berkah dan bertawassul dengan mereka. Dan hendaknya menjauhi kuburan orang yang dikhawatirkan buruk berdampingan dengan kubur mereka dan tersakiti menyaksikan keadaannya”
(Faidl al-Qadir 1/297)

وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذْ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِّى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنِّى إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةَ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ (ثقات ابن حبان – ج 8 / ص 457)

“Makam Ali bin Musa di Sanabadz di sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi, berada di samping makam ar-Rasyid. Saya sudah sering kali menziarahinya. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa Ar Ridho, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan kepadanya. Saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu.”
(Ahli Hadis Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat 8/457)

ودفن بكار بن قتيبة بطريق القرافة، والدعاء عند قبره مستجاب. (رفع الإصر عن قضاة مصر لابن حجر – ج 1 / ص 43 الطبقات السنية في تراجم الحنفية للتقي الغزي – (ج 1 / ص 195)

“Bakkar bin Qutaibah dimakamkan di jalan Qarafah. Berdoa didekatnya adalah mustajab. Ia meninggal pada 270 H, usianya hampir 90 tahun” (Raf’ al-Ishri ‘an Qudlat Mishr karya Ibnu Hajar 1/43 dan Thabaqat as-Saniyyah At Taqiy Al Ghaziy 1/195).

Apakah Imam Adz Dzhabi dan seluruh ulama serta pengikutnya akan masuk neraka karena kebid’ahan serta kesyirikan yang dibuat ( menurut Salafy-Wahabi) akan menjadi penghuni neraka??

HUKUM MEMBAWA TANAH MAKAM UNTUK TABARUK

Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:

حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).

Hukum membawa tanah makam untuk Tabaruk

Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).

Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” (HR Bukhari dan Muslim.)

Dalam mengomentari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:

وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).

“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).

Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i.

Wallihul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 16 April 2018

Dalil Di Sunahkan Ziaroh Kubur

Di antara masalah furu’iyah yang diungkit-ungkit oleh kaum Wahabi adalah masalah ziarah kubur. Memang amaliyah warga kita yang satu ini mereka gunakan untuk menyerang kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan tuduhan-tuduhan yang lain. Itu dulu, adapun sekarang apa yang mereka tuduhkan sudah berbalik arah, artinya umat memahami bahwa ziarah kubur itu bukan bid’ah dlalalah karena mereka (umat) telah benar-benar mendapat tuntunan dalam beragama sehingga mereka yakin bahwa amaliyahnya itu baik dan benar.

Sebelum saya mencantumkan dalil-dalil ziarah kubur, pembacaan ayat Al-Qur’an disana dan lain sebagainya, ingin mengupas sedikit mengenai kewajiban umat muslim bagi saudaranya kaum muslim yang sudah wafat. Sudah tentu hampir setiap saudara kita muslim mengetahui bahwa mayat tersebut harus dimandikan, dishalatkan dan diantarkan sampai keliang kubur. Ini adalah merupakan fardhu kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh muslimin).

Dengan adanya keterangan-keterangan berikut ini, Insya Allah cukup jelas bagi kita bahwa ziarah kubur, membaca ayat suci al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan pada si mayit dan sebagainya, itu semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta diamalkan oleh para salaf dan ulama-ulama pakar.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut :

اَنَّ النَّبِيَّ .صَ. كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِِ الْمُتَوَفَّّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْألُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِـهِ فَضْلا ؟

فَاِنْ حُدَِّث اَنَّهُ تَرَ ه فَاءً صَلَّى, وَاِلاَّ قَاَل لِلْمُسْـلِمِيْنَ (صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ)(رواه البخاري و مسلم)

“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw. menanyakan apakah ia ada meninggal kan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika dikatakan bahwa ia ada meninggal kan harta untuk membayarnya, maka beliau menyalatkannya. Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin; ‘Shalatkanlah teman sejawatmu’ “.

Begitu juga masih banyak hadits yang menyebutkan pahala-pahala orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya sampai keliang kubur.

Shalat jenazah juga mempunyai rukun-rukun yang dapat mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun tersebut tak terpenuhi, maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah rukun-rukun tersebut menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama niat, takbir dan terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat. Dan diantara rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat tersebut.

Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu Hibban sebagai berikut :

اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان وصححه)

“Jika kamu menyalatkan jenazah, maka berdo’alah untuknya dengan tulus ikhlas”.

Disamping itu banyak juga riwayat hadits Rasulallah saw. yang mengajarkan kita kalimat-kalimat do’a yang diucapkan dalam shalat jenazah tersebut. Rasulallah saw. menganjurkan pada kaum muslimin yang masih hidup untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang wafat. Ini membuktikan bahwa semua amalan-amalan tersebut diantaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun kaum muslimin yang menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus do’a mendo’akan sesama kaum muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat. Jadi bukan sesat mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Do’a itu tidak hanya dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu baik setelah shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak hadits yang mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan do’a-do’a yang diucapkan oleh manusia untuk pribadi mereka sendiri dan untuk muslimin lainnya.

Pengertian Ziarah Kubur

Ziarah kubur ialah berkunjung ke makam/pesarean orang Islam yang sudah wafat,baik orang muslim biasa, orang shalih, ulama, wali atau Nabi.

Dalil-dalil Ziarah Kubur

Setelah kita membaca keterangan mengenai sholat Jenazah yang semuanya berkaitan dengan orang yang telah wafat, mari kita sekarang meneliti dalil-dalil ziarah kubur dan pembacaan Al-Qur’an dikuburan. Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

Artinya :    Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” (HR. Muslim no.108, 2/671)

وَفِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبْرَ اُمِّهِ, فَبَكَي وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (اَخْرَجَهُ مُسْلِمْ وَاْلحَكِيْم

Artinya :    Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah bahwa : Nabi s.a.w. ziarah ke makam ibunya kemudian menangis lalu menangislah orang-orang sekitarnya. (H.R. Muslim [hadits ke 2256], dan al-Hakim [hadits ke 1390]).

Jadi dengan demikian, menangis di dekat kubur tidaklah berimplikasi pada kekafiran, begitu juga tidak mendatangkan siksa bagi mayit yang ditangisi.

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)

Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul qubur yang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:

كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون

“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah:Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)

Disebut dalam kitab Kasyf As-Syubuhat, hlm 39 :

عَنْ هِشَامِ بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ وَسَبْعِيْنَ يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلَا صَاحِكَةٌ تَأْتِى قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ وَاْلخَمِيْسِ فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.

Hadist dari Hisyam bin Salim:setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal, Fathimah tidak lagi murung,ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil berucap: disini makam Rosululloh.

Dalam Kasyf as-Syubuhat, hlm 39 disebutkan dalam hadist sebagai berikut :

وَرَوَى اَيْضًا الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ وُجُوْهُهُمْ بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.

Sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul, hadist dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakaknya, dia mengatakan bahwa Rosululloh bersabda: Bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada Alloh setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih berseri.

Dalam kitab Kasyf as-Syubuhat as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi hlm. 129 diterangkan tentang ziarah dan amalan-amalannya:

(قَالَ النَّوَاوِيُّ) فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ اْلاَمْوَاتِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَاب

Dalam Syarh al-Muhadzdzab imam an-Nawawi berkata adalah disunahkan bagi seorang yang berziarah kepada orang mati agar membaca alat-alat Al’quran sekadarnya dan berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.

Dalam kitab Nahjal al-Balaghah, hlm. 394-396 disebutkan sebuah hadist Nabi :

وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ وَقُبُوْرَ اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ بِمَا تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.)

Rosululloh berziarah ke makam Syuhada ( orang-orang mati sahid ) dalam perang uhud dan makam keluarga Baqi’ dia mengucapkan salam dan mendo’akan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).

Disebutkan dalam kitab I’anat at-Thalibin juz II hlm.142:

فَقَدْ رَوَى اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ قَبْرَ اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.

Hadist riwayat hakim dari Abu Hurairah Rosululloh bersabda: Siapa ziarah kemakam orang tuanya setiap hari Jum’at, Alloh pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua.

Fatwa Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub :

تسن زيارة قبور المسلمين للرجال لأجل تذكر الموت والآخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها. ولقوله عليه الصلاة والسلام : اطلع في القبور واعتبر في النشور. رواه البيهقي خصوصا قبور الأنبياء والأولياء وأهل الصلاح. وتكره من النساء لجزعنهن وقلة صبرهن، ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا حرم، ويندب لهن زيارة قبره صلى الله عليه وسلم وكذا سائر الأنبياء والعلماء والأولياء. اهـ [تنوير القلوب : 216]

Artinya :

“Disunatkan bagi kaum laki-laki berziarah kuburnya orang-orang Islam untuk mengingat datangnya kematian dan adanya alam akhirat, serta memperbaiki hati yang buruk dan memberi manfaat kepada mayit dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di tempat yang dekat dengannya, karena ada hadits riwayat Muslim yang artinya : “Aku (Nabi) dulu melarang kamu berziarahkubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu”. Dan juga sabda Nabi yang artinya : “Berziarahlah kubur kamu dan ambillah tauladan tentang adanya hari kebangkitan”. (HR. Muslism). Khususnya kuburan para Nabi, para wali dan orang-orang shalih. Sedangkan bagi kamu wanita ziarah kubur hukumnya makruh, karena mereka mudah meratap dan sedikit yang sabar. Makruh bagi wanita tersebut apabila ziarah mereka itu tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, kalau mengandung hal-hal yang diharamkan, maka ziarah mereka hukumnya haram. Bagi wanita berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW. dan juga nabi-nabi yang lain demikian pula makam para ulama dan para wali hukumnya sunat”.

Fatwa Syaikh Ali Ma’shum dalam kitabnya “Hujjatu Ahlissunnah” bab ziarah kubur :

واختلف في زيارة النساء للقبور، فقال جماعة من أهل العلم بكراهيتها كراهة تحريم أو تنزيه لحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور. رواه أحمد وابن ماجه والترمذي. وذهب الأكثرون إلى الجواز إذا أمنت الفتنة، واستدلوا بما رواه مسلم عن عائشة قالت : كيف أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قولي : السلام عليكم أهل ديار المسلمين. اهـ [حجة أهل السنة للشيخ على معصوم : 58]

Artinya:

"Para ulama berselisih pendapat mengenai kaum wanita berziarah kubur, Segolongan ulama mengatakan makruh tahrim atau tanzih, karena ada Hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rusulullah SAW. mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur. (HR. Ibun Majah dan Tirmidzi). Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, apabila terjamin keamanannya dari fitnah, Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim dari Siti A’isyah ra dia berkata : apa yang say abaca ketika ziarah kubur, hai rasul? Rasul bersabda : bacalah Assalamu’alaikum Ahla Diyaril Muslimin”.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِى كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا (رواه الطبرانى فى الأوسط رقم 6114 عن أبى هريرة قال الهيثمى (3/60) : فيه عبد الكريم أبو أمية وهو ضعيف والحكيم 1/126 وابن أبى الدنيا فى القبور والبيهقى فى شعب الإيمان عن محمد بن النعمان معضلاً وأخرجه أيضًا الديلمى رقم 5537 والرافعى 1/303)

"Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: Barangsiapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat sekali, maka Allah akan mengampuninya dan mencatatnya sebagai anak yang berbakti" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath No 6114 dari Abu Hurairah. Al-Haitsami berkata: Di dalam sanadnya terdapat Abdul Karim Abu Umayyah, ia dlaif. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim al-Turmudzi I/126, Ibnu Abi al-Dunya dalam kitab al-Qubur, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman secaramu'dlal, al-Dailami No 5537 dan al-Rafi'i I/303)

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِى كُلِّ جُمْعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُ يس غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا (رواه ابن عدى والخليلى وأبو الفتوح عبد الوهاب بن إسماعيل الصيرفى فى الأربعين وأبو الشيخ والديلمى وابن النجار والرافعى عن عائشة عن أبى بكر وأخرجه ابن أبى الدنيا فى مكارم الأخلاق رقم 249) .

"Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: Barangsiapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat kemudian membaca Yasin di dekatnya, maka Allah akan mengampuninya sesuai bilangan huruf dalam Surat tersebut" (HR Ibnu 'Adi, al-Khalili, Abdulwahhab al-Shairafi, Abu al-Syaikh, al-Dailami, Ibnu al-Najjar, al-Rafi'i dari Aisyah, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam Makarim al-Akhlaq No 249)

قُلْتُ لَهُ شَاهِدٌ (اللآلي المصنوعة للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 365)

"Saya (al-Suyuthi) berkata: Hadis ini ada penguatnya" (al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam La'ali al-Mashnu'ahII/365)

حَدِيْثُ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَقَرَأَ يس غُفِرَ لَهُ (عد) مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ وَفِيْهِ عَمْرٌو بْنُ زِيَادٍ (تُعُقِّبَ) بِأَنَّ لَهُ شَاهِدًا مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ بِلَفْظِ مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا كُلَّ جُمْعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَارًّا أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي فِي اْلأَوْسَطِ وَالصَّغِيْرِ وَفِيْهِ عَبْدُ الْكَرِيْمِ بْنُ أُمَيَّةَ وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَمِنْ مُرْسَلِ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ الْقُبُوْرِ وَمِنْ طَرِيْقِهِ الْبَيْهَقِي فِي الشُّعَبِ (قُلْتُ) وَجَاءَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِي بَكْرٍ أَخْرَجَهُ ابْنُ النَّجَّارِ فِي تَارِيْخِهِ وَذَكَرَهُ السُّيُوْطِي فِي الدُّرِّ الْمَنْثُوْرِ وَلَمْ يَحْكُمْ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ (تنزيه الشريعة المرفوعة لابن عرّاق الكناني 2 / 373)

"Hadis 'Barangsiapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat kemudian membaca Yasin, maka ia akan diampuni', diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi dari Aisyah, di dalam sanadnya ada 'Amr bin Ziyad. (Hadis ini dikoreksi ulang) yang ternyata memiliki hadis penguat dari Abu Hurairah: 'Barangsiapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, maka akan diampuni dan dicatat sebagai anak yang berbakti', hadis riwayat al-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Shaghir, tetapi dalam sanadnya terdapat Abdulkarim bin Umayyah, ia dlaif, dan dari riwayat Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Qubur secara mursal dari Muhammad bin Nu'man, jalur ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman. Saya (Ibnu 'Arraq) berkata: Ada pula hadis dari Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Najjar dalam Tarikhnya dan disebutkan oleh al-Suyuthi dalam tafsir al-Durr al-Mantsur tanpa memberi penilaian sedikitpun, Wallahu A'lam" (Ibnu 'Arraq dalam Tanzih al-Syari'ahII/373)

عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ فِي كُلِّ جُمْعَةٍ أَوْ أَحَدِهِمَا فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ ذَلِكَ آيَةً أَوْ حَرْفًا (رواه ابو الشيخ في طبقات المحدثين بأصبهان 3 / 201 والحافظ جلال الدين السيوطي في الدر المنثور 12 / 319 والعلامة العيني في عمدة القاري شرح صحيح البخاري 4 / 497 والمناوي في التيسير بشرح الجامع الصغير 2 / 814 وقال اسناده ضعيف)

"Diriwayatkan dari Abu Bakar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap Jumat, kemudian membaca Yasin di dekatnya, maka ia akan diampuni sesuai bilangan ayat atau huruf" (HR Abu al-Syaikh dalamThabaqat al-Muhadditsin III/201, al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsir al-Durr al-Mantsur XII/319, Badruddin al-Aini dalam 'Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari IV/497 dan al-Munawi dalam al-Taisir Syarah al-Jami' al-Shaghir II/814, ia berkata: Sanadnya dlaif)

Tata Cara Ziarah Kubur

Yang dilakukan oleh seorang peziarah adalah:

Memberi salam kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Diantara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam kepada umatnya yang berziarah kubur ,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim 975, An-Nasâ`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360.

اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنِ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ

“Keselamatan atas penghuni kubur dari kaum mu’minin dan muslimin mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.”

Tidak berjalan di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits Basyir bin Khashashiah ,

بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ إِذْ حَانَتْ مِنْهُ نَظَرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلاَنِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَرَمَى بِهِمَا

“Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau memandang seorang laki-laki yang berjalan di antara kubur dengan mengenakan sandal, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda ,‘Wahai pemilik (yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah sandalmu. ’ Maka orang itu memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan melemparkannya.”Diriwayatkan oleh Abu Dâud 2/72, An-Nasâ`i 1/288, Ibnu Mâjah 1/474, Al-Hâkim 1/373 dan dia berkata , “Sanadnya shahih,” dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al- Hâfizh Ibnu Hajar ( Fathul Bâry 3/160).

Berkata Al- Hâfizh Ibnu Hajar , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara kuburan dengan sandal.” ( Fathul Bâry 3/160). Berkata Syaikh Al-Albâny , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal.” Lihat Ahkâmul Janâiz 252.

Tidak duduk atau bersandar pada kuburan.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallâhu ‘anhu dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,

لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan melakukan shalat padanya.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim 2/228.

Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda ,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحُدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Seandainya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga (bara api itu) membakar pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu adalah lebih baik daripada dia duduk di atas kuburan.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dibolehkan bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdoa untuk penghuni kubur, berdasarkan hadits ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ ,

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Âisyah) mengutus Barîrah untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah mengambil jalan ke arah Baqî’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang terdekat dari Baqî’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau pulang, maka kembalilah Barîrah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya). Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah keluar kemana engkau semalam? ’ Beliau berkata, ‘Aku diutus kepada penghuni Baqî’ untuk mendoakan mereka ’ .” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya (Al-Muwaththa` (1/239-240)).

Berkata ‘Abdullah Al-Bassâm , “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada di pekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut di hadapan keluarga mayat.” Lihat Taudhîhul Ahkâm 2/564.Menghadap ke kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur.

Hal ini diambil dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada penghuni kubur.

Ketika mendoakan penghuni kubur tidak menghadap ke kuburan melainkan menghadap kiblat. Sebab Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melarang umatnya shalat menghadap kubur dan karena doa adalah intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.”

Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Mâjah (2/428-429).

Hikmah Ziarah Kubur

Ada sebagian orang mengatakan “buat apa kita susah-susah datang ke kuburan untuk menziarahi makam seseorang, toh ! berdo’a dirumah saja sudah cukup, sehingga saat-saat yang penting tidak kita tinggalkan untuk berziarah saja.

Perkataan ini sepintas kilas memang seakan-akann benar,  tapi orang yang borkata tadi rupa-rupanya lupa bahwa ziarah kubur itu mengandung banyak hikmah bagi orang yang berziarah dan mayit yang diziarahi. Hikma-hikmah itu antara lain:

a.    Mengingatkan orang yang masih hidup di dunia ini akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu pasti tiba pada saatnya;

b.    Mernpertebal keimanan terhadap adanya alam akhirat, sehingga orang itu meningkat ketaqwaannya kepada Allah SWT.;

c.    Memperba'iki hati yang buruk/mental yang rusak, sehingga pada akhirnya nanti orang itu sadar akan perlunya mempererat hablum
minallah dan hablum minannas.

d.    Memberi manfaat kepada mayit secara khusus dan ahli kubur secara umum berupa pahala dari bacaan Al-Qur’an, kalimah Thoyyibah, Istighfar, shalawat Nabi dan lain-lain.

Adab Kesopanan Berziarah Kubur

Pada saat berziarah kubur, sebaiknya kita melakukan adab kesopanan sebagai berikut :

a.    Pilihlah saat-saat yang afdlol, misalnya pada hari Jum’at, pada hari raya dan lain-lain;

b.    Bacalah salam ketika masuk pintu pekuburan untuk para ahli kubur secara umum dan untuk mayit yang diziarahi secara khusus;

c.    Bacalah surat Yasin atau ayat Al-Qur’an yang lain, kalimah thoyyibah serta do’a semoga Allah SWT. menerima amal shalih si mayit dan mengampuni dosa-dosanya;

d.    Mengambil pelajaran, bahwa kita akan mengalami seperti apa yang dialami oleh mayit yang kita ziarahi (masuk ke dalam liang kubur, berada di alam barzah sampai datang hari kiamat nanti).

Bolehkah masuk ke areal makam atau pemakaman atau kuburan dengan menggunakan alas kaki atau sandal (sendal) atau sepatu? Bahasan ini pernah disinggung oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu’ yang merupakan kitab Syarh dari Al Muhaddzab karya Asy Syairozi. Masalah ini berkaitan erat dengan orang yang ingin ziarah kubur atau memasuki kubur atau areal pemakaman.



Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

المشهور في مذهبنا أنه لا يكره المشى في المقابر بالنعلين والخفين ونحوهما ممن صرح بذلك من اصحابنا الخطابى والعبد رى وآخرون ونقله العبدرى عن مذهبنا ومذهب اكثر العلماء قال احمد بن حنبل رحمه الله يكره وقال صاحب الحاوى يخلع نعليه لحديث بشير بن معبد الصحابي المعروف بابن الخصاصية قال ” بينهما انا أماشى رسول الله صلي الله عليه وسلم نظر فإذا رجل يمشي في القبور عليه نعلان فقال يا صاحب السبتتين ويحك الق سبتتيك فنظر الرجل فلما عرف رسول الله صلي الله عليه وسلم خلعهما ” رواه أبو داود والنسائي باسناد حسن * واحتج أصحابنا بحديث أنس رضى الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قال ” العبد إذا وضع في قبره وتولي وذهب أصحابه حتى إنه ليسمع قرع نعالهم اتاه ملكان فاقعداه إلي آخر الحديث ” رواه البخاري ومسلم (وأجابوا) عن الحديث الاول بجوابين (أحدهما) وبه أجاب الخطابي انه يشبه انه كرههما المعنى فيهما لان النعال السبتية – بكسر السين – هي المدبوغة بالقرظ وهى لباس أهل الترفه والتنعم فنهي عنهما لما فيهما من الخيلاء فاحب صلي الله عليه وسلم أن يكون دخوله المقابر علي زي التواضع ولباس أهل الخشوع (والثانى) لعله كان فيهما نجاسة قالوا وحملنا علي تأويله الجمع بين الحديثين

“Yang masyhur dalam madhzab kami (madzhab Syafi’i) yaitu tidaklah makruh memakai sandal atau khuf (sepatu) ketika memasuki area pemakaman. Yang menegaskan seperti ini adalah Imam Al Khottobi dari ulama Syafi’iyah, juga disampaikan oleh Al ‘Abdari dan ulama Syafi’i lainnya. Hal ini dinukil oleh Al ‘Abdari dari pendapat Syafi’iyah dan mayoritas atau kebanyakan ulama. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa memakai sandal ketika itu dimakruhkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan bahwa sandal mesti dilepas ketika masuk areal makam mengingat hadits dari Basyir bin Ma’bad -sahabat yang telah ma’ruf dengan nama Ibnul Khososiyah-, ia berkata, “Pada suatu hari saya berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau melihat orang yang berjalan di areal pemakaman dalam keadaan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Wahai orang yang memakai sandal, celaka engkau, lepaskan sandalmu!” Orang tersebut lantas melongok dan ketika ia tahu bahwa yang menegur adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mencopot sandalnya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan An Nasai dengan sanad yang hasan.[

Sedangkan dalil bolehnya dari madzhab Syafi’i adalah hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seseorang dimasukkan dalam liang kubur, lalu ia ditinggalkan dan keluarga yang menziarahinya pergi, maka ia akan mendengar hentakan sandalnya lalu dua malaikat akan mendatanginya dan akan duduk di sampingnya.” Kemudian disebutkan hingga akhir hadits, diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim.

Ulama Syafi’iyah untuk menyikapi hadits yang melarang yaitu hadits yang pertama memberikan dua jawaban:

1- Al Khotobi mengatakan bahwa itu cuma tidak disukai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sandal tersebut disamak dan sandal seperti itu digunakan oleh orang yang biasa bergaya dengan nikmat yang diberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena dalamnya ada sifat sombong. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat suka jika seseorang memasuki areal kubur dengan sikap tawadhu’ dan khusyu’.

2- Boleh jadi di sandal tersebut terdapat najis. Dipahami demikian karena kompromi antara dua hadits yang ada. (Al Majmu’, 5: 205).

Sehingga kesimpulan berdasarkan kompromi dua dalil dan inilah yang jadi pegangan madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama, memasuki areal pemakaman dengan sandal (sendal) tidaklah terlarang. Namun melepas sandal atau alas kaki ketika memasuki areal pemakaman lebih selamat dari perselisihan ulama. Wallahu a’lam.

Semoga mencerahkan dan jadi ilmu yang bermanfaat bagi para peziarah kubur.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 15 April 2018

Jika Yang Hutang Tidak Mampu Mengembalikan. Ikhlaskan

Hutang piutang hukumnya sangat fleksibel tergantung bagaimana situasi dan keadaan yang terjadi. Dalam agama Islam, disebutkan ada beberapa dalil tentang hukum piutang dan selama bertujuan baik untuk membantu atau mengurangi kesusahan maka hukumnya jaiz atau boleh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 245.

Firman Allah Subhanahu Wata'ala

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:

"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال: لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ} قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ: وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.

telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara marfu' dengan lafaz yang semisal.
Yang dimaksud dengan firman-Nya:

{قَرْضًا حَسَنًا}

pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)

Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.

Firman Allah Swt.:

{فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'."

Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ: وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ: وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا وَاللَّهُ يَقُولُ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً} وَيَقُولُ: {فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ} [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,  'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan:Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:  Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."

Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"

Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 10)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.

Firman Allah Swt.:

{وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ}

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 245)

Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.

{وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ}

dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245)
Yakni di hari kiamat nanti.

KEUTAMAAN (FADHILAH) MEMBERI HUTANG

Hadits riwayat Muslim


مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.

Dari Abu Qotaadah radhiallahu 'anhu :

...فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ، تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ، إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَيْفَ قُلْتَ؟» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ، إِلَّا الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِي ذَلِكَ»

"…Lalu ada seorang lelaki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan tertebuskan?". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Iya, jika engkau meninggal berjihad di jalan Allah dan engkau dalam kondisi bersabar dan berharap, maju dan tidak mundur".
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Bagaimana yang kau katakan?". Lelaki itu berkata, "Bagaimana, jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosa tertebuskan?". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Iya, dan engkau dalam kondisi bersabar dan berharap, maju dan tidak mundur, Kecuali Hutang, sesungguhnya Jibril mengatakan hal itu kepadaku" (HR Muslim no 1885)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda

الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ، إِلَّا الدَّيْنَ

"Terbunuh di jalan Allah menghapuskan seluruhnya kecuali hutang" (HR Muslim no 1886)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا الدَّيْنَ فَفِيهِ تَنْبِيهٌ عَلَى جَمِيعِ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَأَنَّ الْجِهَادَ وَالشَّهَادَةَ وَغَيْرَهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ لَا يُكَفِّرُ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ وَإِنَّمَا يُكَفِّرُ حُقُوقَ اللَّهُ تَعَالَى

"Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (Kecuali Hutang) maka sebagai peringatan atas seluruh hak-hak orang lain, dan bahwasanya jihad dan mati syahid serta amalan kebajikan yang lain tidaklah menebus hak-hak orang lain, hanyalah menebus hak-hak Allah ta'aala" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 13/29)

Jika amalan yang sangat hebat seperti jihad ternyata tidak bisa menggugurkan dosa tidak membayar hutang, maka bagaimana lagi dengan amalan-amalan yang rendah dibawah jihad??

Dari Salamah bin al-Akwa' radhiallahu 'anh

أن النبي صلى الله عليه وسلم أتي بجنازة ليصلي عليها فقال هل عليه من دين قالوا لا فصلى عليه ثم أتي بجنازة أخرى فقال هل عليه من دين قالوا نعم قال صلوا على صاحبكم قال أبو قتادة علي دينه يا رسول الله فصلى عليه

"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka beliau berkata, "Apakah dia memiliki hutang?". Mereka mengatakan, "Tidak". Maka Nabipun menyolatkannya. Lalu didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu 'alahi wa sallam berkata, "Apakah ia memiliki hutang?", mereka mengatakan, "Iya", Nabi berkata, "Sholatkanlah saudara kalian". Abu Qotadah berkata, "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah". Maka Nabipun menyolatkannya" (HR Al-Bukhari no 2295)

Dalam riwayat yang lain :

فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ مَا صَنَعَتِ الدِّينَارَانِ حَتَّى كَانَ آخِرَ ذَلِكَ أَنْ قَالَ قَدْ قَضَيْتُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْآنَ حِينَ بَرَّدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَهُ

"Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setiap bertemu dengan Abu Qitaadah Nabi berkata kepadanya, "Bagaimana dengan dua dinar (yaitu yang menjadi tanggungan Abu Qotadah atas mayat)?". Hingga akhirnya Abu Qotaadah berkata, "Aku telah membayarnya wahai Rasulullah!". Nabi berkata, "Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya" (HR Al-Hakim, dan dishahihkan oleh beliau serta disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ إِشْعَارٌ بِصُعُوبَةِ أَمْرِ الدَّيْنِ وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي تَحَمُّلُهُ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ

"Dan dalam hadits peringatan akan beratnya permasalan hutang, dan bahwasanya tidak sepantasnya seseorang berhutang kecuali dalam kondisi darurat" (Fathul Baari 4/468)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdo’a agar telindung dari utang. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdo’a dalam shalatnya:

اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْـمَمَـاتِ ، اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْـمَأْثَمِ وَالْـمَغْرَمِ

Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah mati. Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.

Ada seorang yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau sering kali berlindung kepada Allâh dari utang?” Beliau menjawab :

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan para Shahabat dan berbicara kepada mereka bahwa jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dan iman kepada Allâh Azza wa Jalla adalah amal yang paling utama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata :

يَا رَسُولَ اللّٰـهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ تُكَفَّرُ عَنّـِيْ خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( كَيْفَ قُلْتَ ؟ )) قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ، إِلَّا الدَّيْنَ ، فَإِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِـيْ ذٰلِكَ )).

Wahai Rasûlullâh! Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apa yang engkau katakan tadi?” ia mengulanginya, “Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan engkau sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri, kecuali utang, karena itulah yang disampaikan Malaikat Jibril kepadaku tadi.”

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu hari kami duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menguburkan jenazah. Beliau menengadahkan kepala ke langit kemudian menepukkan dahi beliau dengan telapak tangan sambil bersabda :

(( سُبْحَانَ اللّٰـهِ ، مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ ؟ )) فَسَكَتْنَا وَفَزِعْنَا ، فَلَمَّـا كَانَ مِنَ الْغَدِ سَأَلْتُهُ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! مَا هٰذَا التَّشْدِيْدُ الَّذِيْ نُزِّلَ ؟ فَقَالَ : (( وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْـجَنَّـةَ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ )).

‘SUBHÂNALLÂH, betapa berat ancaman yang diturunkan.’ Kami diam saja namun sesungguhnya kami terkejut. Keesokan harinya aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasûlullâh! Ancaman berat apakah yang turun?’ Beliau menjawab, ‘Demi Allâh yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh fii sabiilillaah kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh sementara ia mempunyai utang, maka ia tidak akan masuk surga hingga ia melunasi utangnya.’”

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang.

Dari Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda :

(( أَهَا هُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ ؟ ثَلَاثًا ، فَقَامَ رَجُلٌ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَا مَنَعَكَ فِـي الْـمَرَّتَيْنِ الْأُوْلَيَيْنِ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَجَبْتَنِيْ ؟ أَمَا إِنِّـيْ لَـمْ أُنَوِّهْ بِكَ إِلَّا بِخَيْرٍ ، إِنَّ فُلَانًا لِرَجُلٍ مِنْهُمْ مَاتَ مَأْسُورًا بِدَيْنِهِ )).

“Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?’ Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu berdirilah seorang laki-laki. Rasûlullâh bertanya kepadanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama dan kedua ? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan kebaikan. Sesungguhnya fulan -seorang laki-laki dari kalangan mereka yang sudah mati- tertawan (tertahan) karena utangnya.’”

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( لَا تُـخِيْفُوْا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا )) ، قَالُوْا : وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : (( الدَّيْنُ )).

Janganlah kalian membahayakan diri kalian setelah mendapatkan keamanan!” mereka bertanya, “Bagaimana itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yaitu dengan utang.”

Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, maula (bekas budak) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَارَقَ الرُّوْحُ الْـجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ : اَلْكِبْرِ ، وَالْغُلُوْلِ ، وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ.

Apabila ruh telah berpisah dari jasad (meninggal dunia), sedang ia terbebas dari tiga perkara: kesombongan, ghulul (korupsi), dan utang niscaya ia masuk surga.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ تُوُفِّـيَ رَجُلٌ ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ وَكَفَّنَّاهُ ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ ؟ فَخَطَا خُطًى ، ثُمَّ قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ ، فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ ، فَأَتَيْنَاهُ ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ : الدِّيْنَارَانِ عَلَيَّ ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ ؟ )) قَالَ : نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِيَوْمٍ : (( مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ ؟ )) فَقَالَ : إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ ، قَالَ : فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ ، فَقَالَ : لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ )).

Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata, ‘Shalatkanlah jenazah ini.’ Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, ‘Apakah dia mempunyai tanggungan utang?’ kami menjawab, ‘Dua dinar.’ Lalu beliau pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinarnya saya tanggung.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kamu betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka Rasûlullâh pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?’ Maka Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.’” Jabir berkata, ‘Maka Rasûlullâh mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, ‘Aku telah melunasinya wahai Rasûlullâh!’ maka Rasûlullâh bersabda, ‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ ، فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، وَلٰكِنَّهَا الْـحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ

Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan utang, sedang di sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi yang ada hanya kebaikan dan kejelekan.

Hadits-hadits di atas merupakan ancaman bagi orang yang berutang dan tidak membayar atau tidak melunasi utangnya.

Memberikan tempo kepada yang tidak mampu bayar.
Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ، فَلَـهُ بِكُـّلِ يَوْمٍ صَدَقَـةٌ قَبْـلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَـأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ، فَلَهُ بِكُـّلِ يَـوْمٍ مِثْـلِهِ صَدَقَـةٌ.

Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.

Jika orang yang berutang tidak mungkin untuk membayar dan kita telah melihat keadaan keluarga dan usahanya sulit, maka yang terbaik adalah membebaskan utangnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.

“Dahulu ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, maka ia berkata kepada para anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskanlah dari utangnya) mudah-mudahan Allâh memaafkan kita.’ Maka Allâh pun memaafkannya.”

Jika seseorang telah berusaha untuk membayar hutang namun ia tetap saja tidak mampu, maka semoga ia diampuni oleh Allah.

Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

لكن هذا كله إذا امتنع من أداء الحقوق مع تمكنه منه، وأما إذا لم يجد للخروج من ذلك سبيلاً فالمرجو من كرم الله تعالى إذا صدق في قصده وصحت توبته أن يرضي عنه خصومه

"Akan tetapi hal ini (tidak ada ampunan bagi yang berhutang-pen) seluruhnya jika orang yang berhutang tidak mau menunaikan hak orang lain padahal ia mampu. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar hutang, maka diharapkan dari karunia dan kedermawanan Allah, jika ia jujur dalam tujuannya (untuk membayar hutang-pen) dan taubatnya telah benar maka Allah akan menjadikan musuhnya (yang memberikan piutang) akan ridho kepadanya" (Dalil Al-Faalihin 2/540)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Sabtu, 14 April 2018

Serat Sejarah Kademangan Gumelem

Masyarakat Desa Gumelem, Kecamatan Susukan ternyata sangat bangga akan kekayaan dan keindahan alamnya, panorama yang menghiasi suasana desa menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang dari luar desa. Dari sekian banyak lokasi dan obyek yang dapat dijadikan wisata  beserta cerita-cerita yang berkembang . Di Desa Gumelem terdapat salah satu bukit panorama yang dinamakan Lembah Girilangan. Ketinggian Puncak bukit memang  tidak terlalu tinggi, namun dapat dirasakan kesejukan serta dapat menikmati keindahan panorama alam disekililingnya, di puncak bukit Girilangan terdapat peninggalan kuno dan mempunyai nilai sejarah tinggi yang dibangun sekitar abad 16 yaitu sebuah bangunan kuno yang terbuat dari kayu yang berbentuk cungkub atau makam serta tumpukan bata merah yang tertata rapi guna melindungi sebuah makam dari seorang yang Kharismatik di masa kejayaan Kerajaan Mataram , yaitu Ki Ageng Giring.

Ki Ageng Giring yang juga bergelar Ki Ageng Penderesan, bukanlah penduduk asli Desa Gumelem  dia adalah seorang pembesar yang datang dari keluarga Kerajaan Mataram. Perjalanan Ki Ageng Giring hingga sampai di Gumelem ternyata banyak mengalami kendala dan halangan serta ujian dari yang Kuasa namun dengan bekal keimanan yang kuat wilayah demi wilayah dilaluinya disetiap atau dimana Ki Ageng Giring tinggal pastilah Ki Ageng Giring meninggalkan jejak atau petilasan yang hingga saat ini dapat terlihat di Dukuh Bogem Desa Salamerta yang merupakan makam anaknya yang bernama Nawangsasi,  di Dukuh Kramat Desa Dermasari terdapat petilasan yang di gunakan untuk menenangkan diri  guna memohon  petunjuk kepada yang Kuasa.

Berbeda dengan dukuh, dusun, dan desa desa lain yang dilalui Ki Ageng Giring dalam usahanya mensyiarkan ajaran Islam , Desa Gumelem  nampaknya wilayah yang paling berarti bagi Ki Ageng Giring.

Ketika itu ki ageng giring beserta pengikut pengikutnya akan menempuh perjalanan dari Kramat Dermasari ke dukuh giring gunung kidul namun di dukuh Karang Lewas Ki Ageng Giring wafat karena usianya yang sudah sepuh. Sebelum meninggal beliau berpesan, beliau ingin dimakamkan di tempat yang tinggi atau di atas bukit.

Dengan rasa hormat, para pengikutnya memandikan jenazah Ki Ageng Giring di sumur Wringin Mbeji Desa Gumelem Kulon serta membuat keranda untuk membawa jenazah meneruskan perjalanan ke Dukuh Giring di wilayah Kabupaten Gunung kidul. Dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat yang telah ditentukan para pengikut  Ki Ageng Giring juga dihadapkan oleh beberapa peristiwa yang mengejutkan hal ini memang Ki Ageng Giring memiliki kelebihan atau kesaktian dalam masa hidupnya. Pengikut atau santri Ki Ageng Giring adalah manusia biasa yang punya kemampuan sangat  terbatas sehingga di suatu tempat di kaki Gunung Wuluh karena kelelahan , keranda yang digunakan untuk membawa jenazah Ki Ageng Giring pun diletakan di atas tanah, karena makin lama makin berat, tidak selang berapa lama juga tanah yang menjadi tempat landasan keranda juga lama kelamaan menurun ( ambles ) atau mendek. Dibukalah keranda jenazah Ki Ageng Giring. Seluruh pengikutnya yang setia bersama Ki Ageng Giring menjadi kaget dan bingung karena jenazah Ki Ageng Giring ternyata tidak ada lagi di dalam keranda  atau hilang. Dalam kebingungan, seluruh pengikut Ki Ageng Giring memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa sehingga seluruh pengikutnya dan santrinya sepakat untuk memakamkan keranda Ki Ageng Giring di sebuah bukit.

Untuk menandai keranda jenazah Ki Ageng Giring dimakamkan ,masyarakat Desa Gumelem dan sekitarnya menamakan Bukit Girilangan, dengan arti kata Ki Ageng Giring hilang. Dan lokasi tanah yang mendek hingga saat ini dikenal oleh masyarakat adalah Lemah Mendek. Bukit Girilangan kian menjadi indah. Makam Ki Ageng Giring pun makin banyak yang mengunjungi atau berziarah, ini dapat menjadi bukti bahwa Ki Ageng Giring adalah seorang yang di masa hidupnya mempunyai karisma dan kewibawaan yang tinggi. Hingga pada jamanya juga ,Raja Mataram R.Sutawijaya yang bergelar di Panembahan Senopati Ing Alogo Panotogomo juga mengutus saudaranya yang bernama Ki Udhakusuma untuk merawat Makam Ki Ageng Giring di Bukit Girilangan.

Sebagai utusan seorang raja yang akhirnya juga menjadi Demang  Pertama di Gumelem, dalam usahanya merawat Makam Ki Ageng Giring di Girilangan adalah dengan membangun sebuah cungkub di sekitar tahun 1816 masehi di lanjurtkan dengan membuat sebuah pagar keliling dari tumpukan bata merah dan  sebuah Gapura di depan cungkub.

Rasa hormat, bakti terhadap kebesaran jiwa Ki Ageng Giring ternyata masih sangat kental dan melekat pada masyarakat Gumelem dan sekitarnya bahkan banyak  sekali orang yang datang dari wilayah Kabupaten lain yang berziarah ke makam Ki Ageng Giring di Bukit Girilangan.

Cagar Budaya ini belum mendapatkan perhatian dan perawatan yang baik, oleh karena itu perlu langkah nyata melindunginya agar tetap terjaga. Perawatan masih swadaya oleh juru kunci dan warga, dan pengunjung yang melakukan ziarah ke Girilangan.

Untuk memasuki area makam terlebih dahulu melewati jalan berbatu dan menanjak. Tepat dipinggir sebelah kiri jalan terdapat sebuah lempeng batu yang dikenal sebagai batu sajadah, batu yang kerap digunakan untuk menjalankan ibadah shalat oleh para peziarah. Memasuki teras kedua yang ada hanya dataran pendek dengan beberapa tanaman kembang kamboja ditiap sisinya, begitu juga pada teras ke tiga. Pada teras ke empat terdapat sebuah bangunan pendopo yang biasanya dipergunakan sebagai tempat upacara adat para peziarah seperti selamatan dan sebagainya. Pada teras ke lima terdapat sebuah bangunan berbentuk gapura dari susunan batu bata yang dibentuk menyerupai bentuk ornamen candi dengan pintu kayu jati berukir yang sudah berumur ratusan tahun. Pintu inilah satu-satunya jalan masuk menuju makam.

Seperti pada makam-makam kuno lainnya, bentuk bangunan makam Ki Ageng Giring berupa sebuah cungkub beratap. Menurut juru kunci, kisah perjalanan Ki Ageng Giring juga sangat kental hubungannya dengan nama Desa Gumelem, yaitu dari kisah perjalanannya menuju Desa Giring Kabupaten Gunung Kidul. Saat rombongan sedang menyeberang hampir saja hanyut terbawa arus sungai yang deras, karena kejadian itulah desa yang dulunya bernama Desa Karang Tiris diganti menjadi Desa Gumelem dari kata kelelem atau tenggelam.

Setelah Ki Ageng Giring pergi untuk selamanya, Panembahan Senopati mengutus panglima perangnya yang bernama Wanakusuma alias Udakusuma alias Hasan Besari alias Ki Ageng Gumelem untuk menjaga makom Ki Ageng Giring sekaligus menjadi Demang disana. Diberinya tanah oleh Raden Sutawijaya dan Ki Ageng Gumelem menjadi Demang pertama di Desa Gumelem. Pada saat Ki Ageng Gumelem berangkat ke Desa seluas 972.802 hektar itu, Ki Ageng Gumelem membawa serta pengawal dan para abdi. Diantara abdi sastra, budayawan, seniman dan lain sebagainya. Maka dari itu sampai sekarang banyak kebudayaan Gumelem yang erat kaitannya dengan Mataram, salah satunya Batik dan Empu pandai besi.

Setelah Ki Ageng Gumelem, Kademangan diteruskan turun temurun yaitu kepada Demang Wiraredja, Cipta Suta I, Cipta Suta II, Mbah Sokaraja, Mbah Beji dan Nurdaiman I. Pada jaman Nurdaiman I, yang merupakan Putra Dari arsitek Mesjid Agung Nursulaiman di Banyumas. Gumelem pecah menjadi 2 bagian, yaitu Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Gumelem Wetan diwariskan kepada Nurdaiman II, Gumelem Kulon diwariskan kepada Demang Nurasma. Selanjutnya setelah masa pemerintahan Demang II, ada Demang Mertadipa, Dipadipura, Krama Diwirya, Iman Wiredja, Iman Subandi dan yang menjadi Demang terakhir adalah Iman Wasisto pada kisaran tahun 1953. Krama Diwirya sebenarnya bukan Demang, karena Demang Iman Wiredja masih terlalu kecil dan belum mampu memimpin. Maka digantikan Krama Diwirya selama 25 tahun. Demang terakhir ” Iman Subandi ” memiliki nasib paling hina ( miskin ). Karena ada undang-undang pengalihan lahan dan pemerintahan. Dia mendaftar menjadi kepala desa, namun tidak dipilih oleh warganya. Maka beliau menjual harta bendanya termasuk rumahnya. Itulah sebabnya, bangunan pendopo maupun rumah demangnya sudah hilang dan berganti menjadi bangunan rumah pribadi yang cukup modern. Yang masih tersisa dan menjadi saksi adalah sebuah gerbang dan talud jalan menuju rumah Demang.

Sampai sekarang setiap hari Senin dan Kamis banyak orang yang berziarah ke Makam Ki Ageng Giring ataupun Ki Ageng Gumelem. Setiap malam Kamis Wage, sekitar 200 orang mengadakan Mujjahadah atau Doa bersama. Ketika akhir bulan Sadran, bisa berlipa-lipat para penzirah ke Girilangan.

Masjid aT-Taqwa Gumelem

Lokasi Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Masjid Besar Kauman atau Masjid At Taqwa dibangun pada tahun 1670 oleh Kyai Nur Daiman (Anak dari Kyai Nur Sulaiman; yang membangun Masjid Agung Banyumas). Bangunan utama ditopang 4 saka guru yang berpenampang bulat. 12 tiang terdapat disekeliling saka guru. Keunikan dari Masjid At Taqwa adalah umpak yang berbentuk bejana, terbuat dari batu andesit. Di atas mihrab terdapat inskripsi dengan huruf arab pegon, tertulis pada usuk. Inskripsi serupa juga terdapat di atas pintu utama, namun menggunakan huruf jawa .

MESKIPUN dari si­si kemegahan ba­ngunan banyak yang menga­lah­kan, keberadaan Masjid Jami At Takwa atau yang se­ring disebut Masjid Agung Gumelem, Kecamatan Su­sukan tidak akan dilupakan orang. Selain berperan besar da­lam pengembangan agama Islam di Banjarnegara, masjid berukuran 12×20 meter yang berada di Dusun Kauman me­miliki sejumlah keunikan. Meski telah berusia lebih dari 300 tahun dan pilar-pilar uta­manya belum pernah di­ganti, namun hingga kini ma­sih berdiri kokoh. Dalam ba­ngunan utama terdapat empat sa­ka guru berpenampang bu­lat, sedang di sekelilingnya sa­ka guru terdapat 12 tiang ma­sih belum lapuk dimakan usia. Kesemuanya masih berdiri te­gak pada umpak sebagai alas ber­bentuk bejana atau periuk yang terbuat dari batu andesit.

Di atas mih­rab terdapat in­kri­psi dengan hu­ruf arab pegon yang ditulis pada usuk. Inkripsi serupa juga ter­da­pat di bagian atas pintu utama masjid, namun meng­gu­nakan huruf jawa. Sedang arti dari tulisan tersebut belum diketahui.

Karena itu, tidak menghe­ran­kan kalau bangunan yang didirikan sekitar tahun 1670 oleh Kyai Nur Daiman, anak kandung dari Kyai Nur Sulaiman yang membangun Masjid Nur Su­lai­man Banyumas termasuk da­lam aset bangunan cagar bu­daya di Kabupatan Ban­jar­ne­gara dan dilindungi oleh Dinas Pa­riwisata dan kebudayaan (Disparbud).

Namun bila ditinjau dari per­kembangan agama Islam di Gu­melem, mengingat pada za­man pemerintahan Pa­nem­bah­an Senopati yang memerintah di kerajaan Mataram antara ta­hun 1586-1601, maka per­kembangan agama Islam telah ada sebelum abad 16. Se­hing­ga, tidak mustahil bila pada abad tersebut juga telah berdiri sebuah masjid. Diperkirakan, masjid tersebut juga dibangun oleh para wali, bahkan ada yang mengatakan bahwa ber­sa­maan dengan pembangunan masjid Agung Demak.

Cikal bakal keberadaan masjid Jami At Takwa juga tidak lepas dari sejarah wilayah setempat. Sebelum ada masjid tersebut, Gumelem dikenal sebagai bekas daerah perdikan atau keputihan.

Di dalam buku Benda Cagar Budaya Kabupaten Banjarnegara yang diterbitkan Disparbud Banjarnegara tahun 2006, awal cerita di Gumelem terdapat tokoh agama yang sekaligus sebagai pendiri desa yaitu Kiai Hasan Bisri. Dia mempunyai dua orang anak bernama Jokonino dan Wirakusuma.

Pada pembrontakan Gunung Tidar, Wirakusuma ikut memberontak, sementara di lain pihak Jokonino diperintahkan diperintahkan untuk menumpas pemberontakan. Dalam peperangan tersebut, Wirakusuma mati. Tapi sebelum mati, Wirakusuma sempat mengatakan kepada Jokonino kalau mereka adalah saudaranya yang telah berpisah lama.

Di hadapan Raja Solo, Kiai Hasan Bisri tidak mengakui kalau Wirakusuma adalah anaknya, namun Jokonino mengatakan kalau Wirakusuma adalah kakaknya. Karena telah berbuat salah, Wirakusuma dipenggal kepalanya. Setelah pemenggalan kepala selesai, baru Kiai Hasan Bisri bersedia mengakuinya. Kepala Wirakusuma dimakamkan di Solo, sedangkan tubuhnya di Gumelem. Berkat jasanya menumpas pemberontak, Jokonino diberi hadiah tanah yang kini menjadi desa Gumelem. Setelah beberapa tahun, Masjid Besar Gumelem didirikan.

Merunut pada sejarah atau riwayat secara turun temurun di wilayah Kademangan Gumelem, dikenal beberapa istilah, yakni Pekuncen, Mijen, Pesantren dan Keputihan. Grumbul Kuncen karena dulunya merupakan tempat tinggal juru kunci makam dan masjid. Adapun grumbul Pesantren karena dulunya sering digunakan untuk menyebarkan Islam.