Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya, yaitu shalat wajib yang seharusnya dikerjakan 4 rakaat, seperti zhuhur, ‘ashar dan ‘isya’, lalu dikerjakan 2 rakaat saja. Shalat maghrib (3 rakaat) dan subuh (2 rakaat) tetap dikerjakan seperti biasa, tidak boleh di-qashar. Dalil shalat qashar adalah firman Allah swt dan hadits Nabi saw :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. An-Nisa : 101)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَدْ فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَ فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ زَادَ مَعَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ وَصَلَاةَ الْفَجْرِ لِطُولِ قِرَاءَتِهِمَا-قَالَ وَكَانَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلَاةَ الْأُولَى.(رواه احمد : 24849 – مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب باقى المسند السابق– الجزء : 53– صفحة : 6)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abi ‘Adi], dari [Dawud] dari [Asy-Sya’by], bahwa [‘Aisyah] berkata : Shalat sungguh telah diwajibkan 2 rakaat, 2 rakaat di kota Makkah. Setelah Rasulullah saw datang ke kota Madinah, beliau menambah 2 rakaat, 2 rakaat, kecuali shalat maghrib, karena ia adalah shalat ganjilnya di siang hari, dan shalat shubuh karena bacaannya panjang. Dia berkata : Apabila beliau saw bepergian, beliau melakukan shalat yang di awal (yaitu 2 rakaat, 2 rakaat). (HR. Ahmad : 24849, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Baqil musnad Assabiq, juz : 53, ha. 6)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدَ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فُرِضَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّهَا وِتْرٌ قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلَاةَ الْأُولَى إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِذَا أَقَامَ زَادَ مَعَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ لِأَنَّهَا وَتْرٌ وَالصُّبْحَ لِأَنَّهُ يُطَوِّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةَ.(رواه احمد : 25080– مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب باقى المسند الاسابق– الجزء : 53– صفحة :238)
Telah menceritakan kepada kami [Abdulwahhab bin ‘Atha’] dari [Dawud bin Abu Hind] dari [Asy-Sya’bi], dari [Aisyah], ia berkata : Shalat telah diwajibkan 2 rakaat, 2 rakaat kecuali maghrib, ia 3 rakaat, karena ia adalah shalat ganjil. Aisyah berkata : Rasulullah saw bila bepergian mengerjakan shalat yang awal (yaitu 2 rakkat) kecuali shalat maghrib (tetap dikerjakan 3 rakat); dan apabila beliau menetap (mukim), beliau menambah untuk masing-masing 2 rakaat, 2 rakaat, kecuali shalat maghrib, karena ia adalah shalat ganjil, dan shalat shubuh, karena di dalamnya beliau memanjangkan bacaannya. (HR. Ahmad : 25080, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Baqil musnad Assabiq, juz : 53, ha. 238)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا وَتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى الْأُولَى.(رواه البخاري : 3642– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -بَاب التَّارِيخِ مِنْ أَيْنَ أَرَّخُوا التَّارِيخَ-الجزء : 12– صفحة : 323)
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Zurai’], telah menceritakan kepada kami [Ma’mar] dari [Azzuhri] dari [Urwah] dari [Aisyah ra], ia berkata : (Pada awalnya) shalat itu diwajibkan 2 rakaat, kemudian beliau saw hijrah, maka lalu shalat itu diwajibkan menjadi 4 rakaat, dan ditetapkan bagi shalat safar atas yang perama (yaitu 2 rakaat). (HR Bukhari :3642, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babut Tarikh min ayna arakhkhut Tarikh, juz : 12, ha. 323)
Al-Imam An-Nasaa’iy rahimahullah berkata :
أخبرني أحمد بن يحيى الصوفي قال حدثنا أبو نعيم قال حدثنا العلاء بن زهير الأزدي قال حدثنا عبد الرحمن بن الأسود عن عائشة أنها اعتمرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة حتى إذا قدمت مكة قالت يا رسول الله بأبي أنت وأمي قصرت وأتممت وأفطرت وصمت قال أحسنت يا عائشة وما عاب علي
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yahyaa Ash-Shuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman Al-Aswad, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia pernah melakukan perjalanan ‘umrah dari Madinah menuju Makkah. Saat saat tiba di Makkah ia berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku, engkau mengqashar shalat sedangkan aku menyempurnakannya. Engkau berbuka sedangkan aku tetap berpuasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, engkau telah berbuat kebaikan. Dan itu tidak tercela bagiku” [As-Sunan no. 1456].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5429) dari jalan Abu Nu’aim.
Ahmad bin Yahyaa, ia adalah Ibnu Zakariyyaa Al-Audiy, Abu Ja’far Al-Kuufiy Ash-Shuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah[lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 101 no. 125].
Abu Nu’aim, ia adalah ‘Amr bin Hammaad bin Zuhair bin Dirham Al-Qurasyiy At-Taimiy Ath-Thalhiy, Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabt [lihatTaqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].
Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, seorang yang tsiqah [lihatTaqriibut-Tahdziib, hal. 760 no. 5272].
‘Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yaziid bin Qais An-Nakha’iy, Abu Hafsh; seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 570 no. 3827].
Jadi, sanad riwayat di atas adalah shahih.
Abu Nu’aim dalam sanad di atas mempunyai mutaba’ah dari : Al-Qaasim bin Al-Hakam sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2294) dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5428) : Telah menceritakan Al-Husain bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad At-Tubba’iy : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Al-Hakam : ….. selanjutnya seperti sanad di atas.
Ad-Daaruquthniy mengatakan sanad riwayat tersebut hasan.
Al-Qaasim bin Al-Hakam, ia adalah Ibnu Katsiir bin Jundab bin Rabii’ bin ‘Amr, Abu Ahmad Al-Kuufiy. Abu Shaalih Ahmad bin Khalaf berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Abu Khaitsamah, Khalaf bin Saalim Al-Mukharrimiy, dan ‘Abdurrahman bin Numair tentangnya, mereka menjawab : ‘tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran, ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”. An-Nasa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Nu’aim berkata : “Padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”. Al-‘Uqailiy berkata : “Terdapat pengingkaran dalam haditsnya, dan tidak punya mutaba’ah pada banyak haditsnya”. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib : “Jujur, padanya terdapat kelemahan (shaduuq, fiihi layyin)”. Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya. Al-Albaaniy berkata : “Hasanul-hadiits,insya Allahu ta’ala, kecuali jika terdapat penyelisihan”.
Penghukuman yang benar terhadap Al-Qaasim adalah seperti perkataan Al-Albaaniy (yaitu hasanul-hadiits). Pen-tautsiq-an para imam menunjukkan kelalaian yang ada pada diri Al-Qaasim adalah ringan; dan pengingkaran dalam haditsnya sebagaimana dikatakan Al-‘Uqailiy adalah sedikit. Adapun jarh Abu Haatim, tetap tidak menurunkan derajatnya dari hasan. Selain beliau termasuk imam yang ketat dalam pemberian jarh terhadap perawi, di sini Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Abu Nu’aim sebagaimana telah lewat penyebutannya.
[lihat Tahdziibul-Kamaal 23/342-346 no. 4785, Tahdziibut-Tahdziib 8/311-312 no. 565, Man Tukullima fiihi wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 429-430 no. 284, dan Irwaaul-Ghaliil 8/187].
Ahmad bin Muhammad bin Sa’iid bin Abaan Al-Qurasyiy Al-Hamdzaaniy At-Tubba’iy; seorang yang tsiqah. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Al-Khaathib telah mentsiqahkannya. Adapun Adz-Dzahabiy berkata : “Al-imaam ats-tsiqah, muhaddits Hamdzaan”. [selengkapnya lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 2/72 no. 138, Taariikh Baghdaad 6/145-146 no. 2632, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/612 no. 236].
Terakhir, Al-Husain bin Ismaa’iil bin Muhammad bin Ismaa’iil bin Sa’iid bin Abaan Adl-Dlabbiy Al-Baghdaadiy Al-Muhaamiliy, seorang yang tsiqah [lihat Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy fii Sunanihi oleh Muqbil Al-Wadi’iy hal. 194 no. 466].
Kesimpulan sanad mutaba’ah ini adalah hasan, namun menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya.
Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2293) dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5427) membawakan sanad lain dimana antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dan ‘Aisyah terdapat perantara ayah ‘Abdurrahman. Oleh karena itu, sebagian huffadh menyatakan riwayat ini idlthirab. Namun ta’lil idlthirab ini tidak bisa diterima dengan alasan :
a. Sanad riwayat pertama lebih kuat dibandingkan sanad kedua.
b. Abu Bakr An-Naisabuuriy, salah satu perawi hadits, berkata saat mengomentari sanad Al-Baihaqiy (3/142 no. 5429) : “Begitulah yang dikatakan Abu Nu’aim, dari ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah. Barangsiapa yang mengatakan ‘dari ayahnya’ dalam (sanad) hadits ini, maka ia telah keliru”.
Maka, yang raajih dari dua sanad di atas adalah sanad pertama tanpa perantaraan ayah ‘Abdurrahman bin Al-Aswad.
Sebagian muhadditsin juga men-ta’lil sanad pertama dengan inqitha’ antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dengan ‘Aaisyah. Mereka mengambil perkataan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal tentang kemursalannya. Juga, dengan perkataan Ibnu Abi Haatim : “Aku mendengar ayahku berkata : ‘Abdurrahman bin Al-Aswad masuk menemui ‘Aaisyah saat masih kecil, dan ia tidak mendengar darinya” [Al-Maraasil, no. 129].
Namun perlu dicatat bahwa dalam As-Sunan, Ad-Daaruquthniy memberikan penghukuman yang berbeda, yaitu sanad riwayat tersebut hasan – sehingga mengandung pengertian tidak ada inqitha’ antara ‘Abdurrahman dengan ‘Aaisyah. Ad-Daaruquthniy sendiri mengatakan : “’Abdurrahman bertemu dengan ‘Aaisyah, dan ia pernah masuk menemuinya yang saat itu ia hampir baaligh (muraahiq) bersama ayahnya. Dan ia mendengar dari ‘Aaisyah” [As-Sunan, 3/162].
Adapun terhadap perkataan Abu Haatim, Al-‘Alaa-iy memberikan sanggahan dengan membawakan perkataan ‘Abdurrahman bin Al-Aswad sendiri bahwa ketika telah ihtilaam (baligh), ia meminta idzin dan memberikan salam kepada ‘Aisyah, dan ‘Aisyah pun mendengar suaranya” [Jaami’ut-Tahshiil no. 422]. Tentu saja, yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan, sebagaimana telah ma’ruf dalam kaedah. Apa yang dikatakan Al-‘Alaa’iy ini disebutkan pula oleh Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (5/252-253 no. 815) dimana ‘Abdurrahman memang benar-benar telah mendengar dari ‘Aisyah dan bercakap-cakap dengannya.
Tidak diragukan lagi bahwa hadits ‘Aaisyah ini adalah shahih.
Hadits ini menjadi dalil yang terang bagi pendapat jumhur ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah bahwa menyempurnakan shalat (4 raka’at) ketika safar adalah diperbolehkan, dan qashar hukumnya merupakan rukhshah yang diberikan Allah ta’ala kepada hamba-Nya.
Dalil lain yang memperkuat pendapat jumhur adalah firman Allah ta’ala :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” [QS. An-Nisaa’ : 101].
Peniadaan dosa (falaisa ‘alaikum junaah) menunjukkan bahwa mengqashar shalat itu adalah satu kebolehan, bukan kewajiban.
عن يعلي بن أمية؛ قال: قلت لعمر بن الخطاب: {ليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا} [4/النساء/ الآية-101] فقد أمن الناس! فقال: عجبت مما عجبت منه. فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك. فقال "صدقة تصدق الله بها عليكم. فاقبلوا صدقته".
Dari Ya’laa bin Umayyah, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab tentang ayat : ‘Maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir’ (QS. An-Nisaa’ : 101) : “Sungguh orang-orang telah berada dalam kondisi aman”. Maka ia berkata : “Aku juga sempat heran seperti keherananmu itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Beliau bersabda : ‘Itu adalah shadaqah yang telah Allah shadaqahkan kepada kalian. Terimalah shadaqah-Nya itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 686].
Pengungkapan qashar dengan kata ‘shadaqah’ menunjukkan kebolehan, bukan wajib. Dan shadaqah jika disebutkan secara mutlak, maka maknanya menunjukkan shadaqah sunnah – bukan shadaqah wajib.
عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع النبي صلى اللّه عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن حفص: ومع عثمان صدراً من إمارته ثم أتمّها، …ثمَّ تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، قال الأعمش: فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً قال: فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.
Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata : ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”. Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Khilaaf(perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].
‘Utsmaan telah mengqashar shalat di awal pemerintahannya, namun kemudian menyempurnakannya kemudian. Walau sempat protes, Ibnu Mas’uud dan kemudian diikuti semua shahabat yang lain tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan sempurna (4 raka’at). Jika melakukan shalat tamam (sempurna 4 raka’at) itu tidak diperbolehkan, tentu Ibnu Mas’ud akan menjelaskannya dan tidak sekedar beralasan menghindari khilaf.
Kita tidak mengatakan bahwa ‘Utsmaan sengaja melanggar apa yang telah diwajibkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Justru perbuatannya itu (dan juga perbuatan shahabat lain yang mengikutinya) menunjukkan pemahamannya bahwa qashar dalam safar bukanlah sesuatu yang diwajibkan ketika safar.
Hukum Shalat Qashar
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat dalam perjalanan (safar) itu wajib, sunnah atau pilihan.
1. Wajib
Mazhab imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ.(رواه البخاري : 1028 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب يَقْصُرُ إِذَا خَرَجَ مِنْ مَوْضِعِهِ – الجزء : 4 – صفحة : 237)
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Sufyan], dari [Az-Zuhri], dari [Urwah], dari [‘Aisyah ra], ia berkata : Shalat pada awal mulanya diwajibkan 2 rakaat, kemudian (ketentuan ini) ditetapkan sebagai shalat safar (2 rakaat) dan disempurnakan (menjadi 4 rakaat) bagi shalat di temapat tinggal (mukim). (HR Bukhari : 1028, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Yaqshuru idzaa kharaja min maudh’ihii, juz : 4, ha. 238)
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً. (رواه النسائي : 452 – سنن النسائي – المكتبة الشاملة -باب كَيْفَ فُرِضَتْ الصَّلَاةُ – الجزء : 2– صفحة : 235)
Telah mengabarkan kepada kami [Amr bin Ali], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dan [Abdurrahman], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Bukair bin Al-Akhnas] dari [Mujahid] dari [Ibnu Abbas], ia berkata : Shalat diwajibkan lewat lisan Nabi saw bagi yang tinggal di tempat (mukim) 4 rakaat, dalam keadaan bepergian 2 rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. (HR. An-Nasai : 452, Sunan An-nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab kaifa Furidhatish shalaatu, juz : 2, ha. 235)
Dua hadits di atas memang tegas menyebut dengan kata `diwajibkan`, sehingga dijadikan dalil oleh mazhab imam Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam perjalanan (safar).
2. Sunnah
Mazhab imam Maliki berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah sunat muakka. Dalilnya adalah tindakan Rasulullah saw yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِيسَى بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ :صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.(رواه البخاري : 1038– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب مَنْ لَمْ يَتَطَوَّعْ فِي السَّفَرِ دُبُرَ الصَّلَاةِ وَقَبْلَهَا- الجزء : 4 – صفحة :253)
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [‘Isa bin Hafash bin ‘Ashim], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku [ayahku], bahwa ia pernah mendengar [Ibnu Umar] berkata: Aku menemani Rasulullah saw, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar (perjalanan), demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. (HR.Bukhari :1038, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab man lam Yatathawwa’ fissafar Duburashalaati wa qablahaa,juz :4, ha.253)
3. Pilihan
Mazhab imam Syafi`i dan Hanbali berpendapat bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah ‘Jaiz’, yaitu boleh memilih antara mengqashar shalat atau itmam (menyempurnakan 4 rakaat). Namun menurut mereka, mengqashar itu tetap lebih utama daripada itmam, karena merupakan sedekah dari Allah swt. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.(رواه مسلم : 1108 – صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 10– صفحة :296)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib] dan [Zuhair bin Harb] dan [Ishaq bin Ibrahim]. Ishaq berkata : “Telah mengabarkan kepada kami”. Yang lain mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami”[Abdullah bin Idris] dari [Ibnu Juraij] dari [Ibnu Abi Ammar] dari [Abdullah bin Babaih], dari [Ya’la bin Umayyah], ia berkata : Aku berkata kepada [Umar bin Khattab] tentang firman Allah yang artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. An-Nisa : 101),- Sementara saat ini manusia dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang). Umar menjawab : Sungguh aku juga pernah penasaran seperti yang engkau juga penasaran tentang ayat itu, lalu aku tenyakan kepada Rasulullah saw tentang ayat tersebut. Beliau saw menjawab : Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya. (HR.Muslim : 1108, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 19, ha.296)
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah swt menyukai bila kita menerima sedekah-Nya, yaitu berupa rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan.
أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف ، قال : حدثنا قتيبة بن سعيد ، قال : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبَّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ.(رواه ابن جبان : 3637 –صجيح الن حبان– المكتبة الشاملة –باب صوم المسافر- الجزء : 15– صفحة :133)
Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim] mantan budak [Tsaqif], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id], Ia berkata : telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [‘Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari Rasulullah saw, beliau bersabda : Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia suka jika kewajiban-Nya dijalankan. (HR. Ibnu Hibban : 3637, Shahih Ibnu Hibban, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 15, ha. 133)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.(رواه احمد :5606– مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب مسند عبد الله بن عمر - الجزء : 12– صفحة : 143)
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdillah], telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar], ia berkata : Rasulullah saw, bersabda :Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan kepada-Nya dilakukan. (HR.Ahmad : 5606, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz : 12, ha. 143)
Selain dari keterangan di atas, Aisyah dan Rasulullah saw pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar dan yang lain tidak mengqashar. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرٍ الصُّورِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الْغَزِّىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِىُّ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ زُهَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى عُمْرَةٍ فِى رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى وَأُمِّى أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ. قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ.(رواه الدارقطني : 2317 – سنن الدارقطني– المكتبة الشاملة –باب القبلة للصائم - الجزء : 6– صفحة :58)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar An-Naisabury], telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad bin Amr Al-Ghazzi], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby], telah menceritakan kepada kami [Al’Ala’ bin Zuhair] dari [Abdurrahman bin Al-Aswad] dari ayahnya, dari ‘Aisayah, ia berkata : Aku pernah keluar melakukan umrah bersama Rasullah saw di bulan Ramadhan, beliau saw berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak. Maka aku berkata : Wahai Rasulullah! Dengan ayah dan ibuku, anda berbuka dan aku berpuasa, anda mengqashar dan aku tidak. Beliau menjawab : Kamu baik, wahai Aisyah.(HR. Ad-Daruquthuny : 2317, Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qublah Lishshaim, juz : 6, ha. 58)
Syarat Sah Shalat Qashar
1. Niat shalat qashar
Shalat qashar harus dilakukan dengan niat qashar ketika takbiratul Ihram. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa “niat” qashar harus dilakukan untuk setiap kali shalat. Mazhab imam Malik berpendapat bahwa “niat” qashar cukup dilakukan di awal shalat yang diqashar dalam perjalanan itu, dan shalat berikutnya tidak wajib memperbaharui niat qashar. Sedangkan mazhab imamAbu Hanifa berpendapat bahwa yang wajib dilakukan adalah “niat safar”; dan bila niat safar telah dilakukan, maka bagi sang musafir wajib mengqashar shalatnya menjadi 2 rakaat.
2. Bukan perjalanan maksiat
Shalat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan itu mubah, bukan perjalanan maksiat. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar shalat; dan kalau shalatnya itu diqashar, maka shalat tersebut tidak sah. Sedangkan mazhab imam Abu Hanifa dan Malik berpendapat bahwa mengqashar shalat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab imam Abu Hanifa wajib mengqashar shalatnya atas setiap orang yang melakukan perjalanan (musafir), walaupun perjalanannya termasuk yang terlarang/diharamkan. Dan menurut mazhab imam Malik, shalatnya sah walaupun dilakukan bersama perbuatan dosa.
3. Shalat Adaa’ (tunai)
Shalat yang diqashar itu adalah shalat adaa’ (tunai), bukan shalat Qadha’. Adapun shalat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan boleh diqashar bila diqadha’ dalam perjalanan; tetapi shalat yang ketinggalan waktu mukim tidak boleh diqadha’ dengan qashar sewaktu dalam perjalanan.
4. Perjalanan jarak jauh
Shalat Qashar dapat dilakukan bagi orang yang melakukan perjalanan dengan jarak jauh, yaitu 16 farsakh. Jarak 16 Farsakh dalam kitab Fiqih empat madzhab : 80,640 km. Sedangkan satu Farsakh menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 5541 . jadi 16 x 5541 = 88,656 (16 Farsakh = 88,656 km). Dalam suatu riwayat ditegaskan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat setelah menempuh perjalanan dengan jarak 4 burud, yaitu 16 Farsakh :
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا.(رواه البخاري– صحيح البخاري–المكتبة الشاملة- بَاب فِي كَمْ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ –الجزء : 4–صفحة: 231)
Dan adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas pernah mengqashar dan berbuka dalam perjalanan 4 burud, yaitu 16 Farsakh. (HR.Buklhari, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fii kam Yaqshurusa sdalaata, juz : 4, hal.231)
Para ‘Ulama’ berbeda pendapat tentang jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar. Namun imam Malik, Syafi’I dan Ahmad sepakat, bahwa jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar adalah 4 burud, yaitu 16 Farshakh. (80,640 km/88,656 km). Walaupun jarak itu dapat ditempuh dengan waktu yang singkat, hanya satu jam perjalanan umpamanya, seperti naik pesawat terbang, maka tetap dianggap telah memenuhi syarat untuk mengqashar shalat, karena yang dijadikan dasar adalah jarak tempuh, bukan hari atau waktu tempuh. Dalilnya adalah hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِيهِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ. (رواه الدارقطني : 1463– سنن الدارقطني-المكتبة الشاملة- باب قَدْرِ الْمَسَافَةِ الَّتِى تُقْصَرُ فِى مِثْلِهَا صَلاَةٌ وَقَدْرِ الْمُدَّةِ-الجزء :4– صفحة :109)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin Ziyad], telah menceritakan kepada kami [Abu Isma’il At-Tirmidzi], telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Al-‘Ala’], telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin ‘Ayyasy], dari [Abdul wahhab bin Mujahid] dari ayahnya, dan [‘Atha’ bin rabah] dari [Ibnu Abbas ra], bahwa Rasulullah saw bersabda : Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan. (HR. Ad-Daruquthuny : 1463, Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qadril Masafal Latii taqshuru fii Mitslihaa Shlaatun wa qadril Muddah, juz : 4, hal. 109)
Mengqashar shalat dalam perjalanan sudah boleh dilakukan walaupun belum mencapai jarak yang telah ditetapkan, dengan syarat sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu. Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal. Suatu ketika Anas bin Malik mengqashar shalat bersama Nabi saw di Dzul Hulaifah atau sekarang dikenal dengan Bir ‘Ali setelah melakukan perjalanan dari kota Madinah. Sedangkan jarak antara Madinah–Bir ‘Ali (Dzul Hulaifaf) hanya 12 km. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ سَمِعَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم : 1115 -صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة : 469)
Telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Manshgur], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al-Muknkadir] dan [Ibrahim bin maisarah] mereka berdua pernah mendengar [ Anas bin Malik ra] berkata : Aku pernah shalat Zhuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR.Muslim : 1115, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha.469)
Batas Jarak Minimal
Jarak paling dekat untuk bolehnya mengqashar shalat menurut imam Nawawi dan pengikutnya adalah 3 mil. Sedangkan satu mil menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 1748 m. (3 x 1748 = 5,238), jadi, 3 mil = 5,238 km. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ-شُعْبَةُ الشَّاكُّ- صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم :1116-صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة : 470)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Muhammad bin Basysyar] keduanya dari [Ghundzar], [Abu Bakar] berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin ja’far] [Ghundar] dari [Syu’bah] dari [Yahya bin Yazid Al-huna’i] ia berkata : Aku bertanya kepada [Anas bin Malik] tentang shalat qashar, lalu ia menjawab : Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh [Syu’bah ragu] beliau shalat 2 rakaat. (HR.Muslim : 1116, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha. 470)
Tanpa Batas Jarak
Menurut Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, seorang musafir dapat mengqashar shalatnya tanpa adanya batas minimal jarak yang harus ditempuh, yang penting sudah termasuk dalam perjalanan (safar), berdasarkan umumnya firman Allah surat An-Nisa ayat101 yang artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).
Jarak 3 Hari Perjalanan
Sebagian Ulama’ berpendapat, bahwa bolehnya mengqashar shalat adalah menggunakan ukuran hari atau waktu tempuh. Seperti mazhab imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa hari atau waktu yang harus tempuh adalah minimal perjalanan 3 hari. Dan perjalanan itu cukup dilakukan sejak pagi hingga zawal di siang hari. Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.
حَدَّثَنَا الْمُهَاجِرُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو مَخْلَدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُرَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ....(رواه الدارقطني : 796- سنن الدارقطني – المكتبة الشاملة - باب مَا فِى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ بِغَيْرِ تَوْقِيتٍ- الجزء :2– صفحة : 375)
Telah menceritakan kepada kami [Al-Muhajir bin Makhlad Abu Makhlad], dari [Abdurrahman bin Abi Bakrah] dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa sesungguhnya beliau memberikan keringanan (Rukhshah) kepada orang yang bepergian (untuk mengusap sepatu) dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ad-Daruqthny : 796, Sunan Ad-Daruqthny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab maa filmashi ‘alalkhuffain bighairi tawqiit, juz : 2, ha. 375)
Demikian juga ketika Rasulullah saw menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ.(رواه مسلم : 2382-صحيح مسلم– المكتبة الشاملة - بَاب سَفَرِ الْمَرْأَةِ مَعَ مَحْرَمٍ إِلَى حَجٍّ وَغَيْرِهِ - الجزء : 7– صفحة : 45)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Raf’I’], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudaik], telah mengabarkan kepada kami [Adh-Dhahhak] dari [Nafi’] dari [Abdullah bin Umar] dari Nabi saw, beliau bersabda : Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram. (HR.Muslim : 2382, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab safari mar-ati ma’a mahramin ilaa haajin wa ghairihii, juz : 7, ha. 45)
Menurut mazhab imam Abu Al-Hanifah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.
Berakhirnya Kebolehan Qashar
Pada waktu Rasulullah saw melaksanakan haji wada’ mukim di Makkah dan sekitarnya selama 10 hari. Dan selama 10 hari mukim, beliau mengqashar shalatnya. Beliau datang di Makkah pada hari ke 4 dan mukim di Makkah pada hari ke 5, 6 dan 7; dan pada hari ke 8 keluar dari Makkah menuju Mina, hari ke 9 menuju Arafah, hari ke 10 kembali ke Mina; dan mukim di Mina pada hari ke 11, 12 dan berangkan ke Makkah lagi pada hari ke13; lalu kembali ke Madinah pada hari ke 14.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا.(رواه مسلم: 1118 -صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة :472)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya At-tamimy], telah mengabarkan kepada kami [Husyaim] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas bin Malik] : kami berangkat bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, lalu beliau shalat 2 rakaat, 2 rakaat hingga pulang. Aku bertanya : Berapa lama beliau mukim di Makkah? Dia menjawab : Sepuluh hari. (HR.Muslim : 1118, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa, juz : 3, ha. 472)
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه البخاري : 3959 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة :194)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim], telah menceritakan kepada kami [Sufyan], telah menceritakan kepada kami [Qabishah], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas ra], ia berkata : Kami bermukim bersama Nabi saw 10 hari, dan sekian hari itu kami melakukan qashar.(HR.Buklhari : 3959, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanl fathi, juz : 13, hal. 194)
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَاصِمٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ. (رواه البخاري : 3960 – المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة :195)
Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan], telah mengabarkan kepada kami [Abdullah], telah mengabarkan kepada kami [‘Ashim] dari [‘Ikrimah] dari [Ibnu Abbas ra], ia berkata : Nabi saw bermukim di Makkah 19 hari dan selama itu pula beliau shalat 2 rakaat. (HR.Buklhari : 3960, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanal fathi, juz : 13, hal. 195)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ تِسْعَ عَشْرَةَ نَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَنَحْنُ نَقْصُرُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ تِسْعَ عَشْرَةَ فَإِذَا زِدْنَا أَتْمَمْنَا.(رواه البخاري : 3961– المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة : 196)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus], telah m,enceritakan kepada kami [Abu Syihab] dari [‘Ashim] dari [‘Ikrimah] dari [Ibnu Abbas], ia berkata : Kami tinggal (bermukim) bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan selama 19 hari, yang sekian itu pula kami lakukan qashar. Ibnu Abbas berkata : Kami mengqashar ketika kami bermukim sekitar selama 19 hari, namun apabila lebih, tentu kami melakukan shalat dengan sempurna (Itmam). (HR.Buklhari : 3961, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanal fathi, juz : 13, hal. 196)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه ابو داود : 1046 - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – بَاب إِذَا أَقَامَ بِأَرْضِ الْعَدُوِّ يَقْصُرُ- الجزء : 3 – صفحة : 477)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Hanbal], telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq], telah mengabarkan kepada kami [Ma’mar] dari [Yahya bin Abi Katsir] dari [Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban] dari [Jabir bin Abdillah] ia berkata : Rasulullah saw pernah bermukim di Tabuk selama 20 hari dan beliau selalu mengqashar shalat. (HR. Abu Dawud : 1946, Sunan AQbu dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab idzaa aqaamaa Bi ardhil ‘aduwwi wa yaqshuru, juz : 3, ha. 477)
Empat Mazhab Beda Pendapat
1. Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari.
3. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Daud berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar