Translate

Rabu, 31 Oktober 2018

JEJAK SEJARAH SULTAN HADLIRIN JEPARA

Masjid dan Makam Mantingan adalah bangunan peninggalan sejarah yang merupakan aset wisata sejarah di Jawa Tengah. Bangunan tua tersebut terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara, tepatnya di desa Mantingan kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.

Masjid Mantingan termasuk bangunan megah sebuah masjid yang dibangun oleh seorang Islam terkenal masa itu, yaitu Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Masjid ini sejak awal berdirinya difungsikan sebagai pusat aktivitas penyebaran agama islam di pesisir utara pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah masjid Agung Demak.

Masjid Mantingan merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak yang kesohor itu. Masjid ini dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi.

Pangeran Toyib memiliki beberapa nama dan gelar, yaitu

1- Sunan Hadiri, yang artinya Ulama Pendatang (Gelar Keagaman); Karena menjadi penyebar agama Islam di Jepara.
2- Sultan Hadlirin, yang artinya Raja Pendatang (Gelar Kesultanan); Karena menjadi sultan pertama di Jepara.
3- Pangeran Kalinyamat, (Gelar Tokoh Masyarakat); Karena sebagai pendiri Kota Kalinyamat.

Sebenarnya Sultan Hadlirin bukan asli orang Jepara melainkan orang aceh.semasa kecilnya sultan Hadlirin bernama Raden Toyib. Beliau merupakan putra dari raja yang berkuasa di wilayah aceh yang bernama Syech Mukhayyat Syah. Raden Toyib memilki kakak bernama Raden Takyim. Perbedaan yang mencolok dari Raden Takyim dan Toyib adalah Raden Takyim suka berfoya-foya, malas serta bermewah-mewahan sedangkan raden Toyib lebih memilih mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tata pemerintahan.

Setelah Syech Mukhayyat syah merasa dirinya telah uzur dan lanjut usia beliau bermaksud mengankat Raden Toyib sebagai seorang sultan, karena kecakapannya dan ketekunananya mempelajari ilmu-ilmu pemerintahan meskipun yang lebih berhakmenjadi sultan adalah kakaknya Raden Takyim.

Karena pengangkatan raden Toyib sebagai sultan menimbulkan konflik baru, maka ketika mengetahui masalah tersebut raden Toyib dengan suka rela menyerahkan tahtanya kepada raden Takyim, karena sebenarnya Raden Toyib tidak mementingkan jabatan seorang sultan hanya saja atas desakan ayahandanya beliau mau menerima jabatan itu.

Begitulah akhirnya raden Toyib pergi mengembara dengan bantuan kapal para pedagang ia berhasil keluar dan mengarungi lautan luas tanpa tujuan yang pasti, kecuali satu niat untuk mengembangkan agama islam.

Raden Toyib kemudian pergi memperdalam ilmu agama Islam dan menambah pengalamannya di negeri Campa. Di negeri Campa ia diambil anak angkat oleh patih kerajaan yang bernama Tji Wie Gwan. Sebagai seorang muslim yang shaleh Raden Toyib dalam waktu dekat mampu merebut hati kalangan raja dan bahkan segenap istana Kerajaan Campa. Bahkan sang patih yang menjadi bapak angkatnya dengan penuh kesadaran mengikutinya beralih agama memeluk Islam.

Pada suatu ketika Raja Campa marah-marah, karena mahkota yang sangat indah yang paling disenangi tampak retak dan sedikit rusak. Sudah banyak para ahli didatangkan untuk memperbaikinya, namun tidak seorangpun yang dapat memperbaiki seperti yang dimaksud oleh raja. Raja Campa gusar dan marah. Ia memutar otak dan mencari cara agar mahkota kesayangannya bisa kembali baik seperti semula.

Secara kebetulan dan tidak diduga sebelumnya, bahwa patih Tji Wie Gwan didakwa mempunyai suatu kesalahan. Dan soal mahkota dibebankan kepadanya untuk diperbaikinya. Patih Tji Wie Gwan harus mampu memperbaiki mahkota raja dan apabila tidak dapat dilakukan, maka ia akan dijatuhi hukuman penggal. Sang Patih terkejut mendengar putusan Sang Raja. Bagaimana mungkin ia mampu memperbaiki mahkota raja sedangkan sudah banyak ahli pembuat perhiasan telah gagal melaksanakannya.

Dalam suasana kegelapan jiwa karena ancaman jatuhnya hukuman penggal atas diri patih itu, maka Raden Toyib menyanggupkan diri untuk memperbaiki mahkota seperti sediakala sebagai balas budi baik kepada patih, bapak angkatnya itu. Raden Toyib tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan keadaan bapak angkatnya. Maka Raden Toyib segera memegang mahkota raja dan berdoa sejenak.

Raden Toyib kemudian meniupkan seruling ajaibnya yang berfungsi sebagai pemanggil jin. Maka beratus-ratus jin berdatangan menghadap Raden Toyib. Setelah diuraikan maksudnya, maka dalam sekejap mata mahkota yang rusak itu menjadi baru kembali, pulih bersih dan bercahaya-cahaya. Patih pun tidak jadi dipenggal, kesalahannya pun diampuni, bahkan tidak sedikit mendapat hadiah anugerah.

Demikian pula Raden Toyib tidak ketinggalan. Bahkan demi didengar kesaktian Raden Toyib, maka akan diperjodohkan dengan putrinya namun Raden Toyib menolak tawaran tersebut secara halus. “Hamba sangat berterima kasih atas pemberian hadiah itu, tetapi maafkan, tentang perkawinan hamba belum bisa melaksanakannya,” demikian jawabnya.

Karena loghatnya Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.

Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat.

Syahdan, pertemuan Raden Toyib dengan Ratu Kalinyamat telah diatur oleh Tuhan dan keduanya berjodoh sebagai seorang suami-isteri. Maka dilaksanakanlah pesta adat keraton menyambut perkawinan Ratu Kalinyamat dengan Raden Toyib secara besar-besaran. Masyarakat setempat merasa bahagia karena memiliki raja dan ratu ideal sesuai yang mereka harapkan. Setelah resmi menjalani perkawinan, maka dengan resmi pula nama Raden Toyib diganti dengan nama Sultan Hadlirin.

Meskipun ia sudah menjadi sultan, namun ia tidak lupa dengan bapak angkatnya. Maka bapak ibu angkatnya segera dijemput ke Campa, dan diboyong ke Jepara. Kemudian kedua orang tua Sultan Hadlirin diangkat menjadi mahapatih. Kebahagiaan duniawi dirasa sangat berlimpah-limpah oleh masyarakat yang dipimpinnya. Demikian pula dengan Ratu Kalinyamat merasa bahagia karena berhasil memiliki seorang suami berupa lelaki pilihan yang tidak mudah tergoda keindahan duniawi.

Kehidupan pasangan raja dan ratu itu menjadi begitu melegenda di kalangan masyarakat Jawa, terutama sosok Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah simbol kecantikan wanita Jawa dan menjadi idola bagi banyak gadis desa. Sifat tegas Ratu Kalinyamat dalam menolak pria yang tidak berwatak ksatria menginspirasi banyak masyarakat Jawa untuk menirunya. Namun pada akhirnya, masyarakat juga sadar bahwa secantik apapun seorang ratu pada akhirnya ia akan kalah oleh pesona seorang pemuda berwatak ksatria seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Hadlirin.

Sultan Hadlirin Menikah Lagi

Perkawinan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat berlangsung bahagia. Selama bertahun-tahun mereka berdua memimpin kerajaan dengan adil dan sentosa. Namun ada satu hal yang mengkhawatirkan Ratu Kalinyamat mengenai siapa kelak yang akan melanjutkan riwayat Kerajaan Jepara, karena perkawinannya tidak mempunyai keturunan. Maka dengan rendah hati disarankan agar suaminya memperistri putri lagi agar menghasilkan keturunan.

Pada awalnya Sultan Hadlirin menolak saran istrinya agar ia menikah lagi. Ia begitu menyayangi Ratu Kalinyamat sehingga tidak terlintas pikiran untuk mencari wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Namun Ratu Kalinyamat sekali lagi mengutarakan maksudnya agar Sultan Hadlirin menikahi seorang gadis yang mampu memberinya keturunan. Ratu Kalinyamat menyadari bahwa ia memiliki kekurangan tidak bisa hamil. Sultan Hadlirin memikirkan saran tersebut selama berhari-hari.

Demi kelangsungan sejarah Kerajaan Jepara, maka kawinlah Sultan Hadlirin dengan Raden Ayu Prodo Binabar, putri Sunan Kudus. Pernikahan Sultan Hadlirin dengan putri Sunan Kudus juga berlangsung bahagia. Kedua isteri Sultan Hadlirin hidup rukun berdampingan layaknya kakak dan adik yang saling menjaga. Namun takdir berkata lain karena pada perkawinan Sultan Hadlirin yang kedua ini ia juga tidak mempunyai keturunan. Akhirnya diantara mereka bertiga diputuskan untuk mengambil anak angkat Dewi Wuryan Ratnawati, putri Sultan Banten.

Pada suatu waktu Sultan Hadlirin mempunyai kesulitan baik berhubungan dengan masalah keluarga maupun permasalahan kerajaan. Untuk memecahkan hal yang sulit dan rumit itu diperlukan tempat yang agak sunyi agar dapat tenang. Untuk itu ditemukan tempat dekat makam Syeh Siti Jenar. Di tempat sepi itulah ia berdoa dengan khidmat seraya memohon petunjuk kepada Tuhan. Demikian pula seterusnya apabila ada kepentingan, maka dipakailah tempat itu untuk memecahkannya. Sehingga tempat tersebut dinamakan Mantingan.

Sejarah Masjid Mantingan

Selanjutnya Sultan Hadlirin bersama Ratu Kalinyamat merencanakan untuk mendirikan sebuah masjid di daerah Mantingan itu. Maka dengan pertolongan ayah angkatnya dan ditangani sendiri langsung oleh Tji Wie Gwan, mahapatih sekaligus bapak angkatnya, akhirnya pada tahun 1559 Masehi atau 1481 tahun Saka mulai dibangun Masjid Mantingan. Menurutcondro sengkolo yang berbunyi: Rupo Brahmono Warno Sari berdirilah masjid yang indah di Mantingan.

Maha patih ini memang mempunyai otak cerdas dan keahlian mengukir yang cukup mengagumkan. Oleh karena keahliannya itu maka nama Tji Wie Gwan diganti dengan nama Sungging Badar Duwung oleh Sultan Hadlirin. Adapun arti nama itu adalah Sungging berarti ahli ukir, Badarberarti batu, dan Duwung berarti tanah. Demikian sejarah pembangunan Masjid Mantingan dimulai.

Hiasan yang mewarnai dinding masjid dan makam di kompleks Mantingan sebagian besar terdiri dari batu putih yang berukir dengan motif bunga. Keahlian mengukir Tji Wie Gwan ini diwarisi oleh masyarakat sekitarnya, yang dapat kita hayati bahwa sampai sekarang hasil karya ukir ahli-ahli ukir Jepara sangat terkenal. Ahli-ahli ukir terkenal Jepara mengakui bahwa Sungging Badar Duwung adalah cikal bakal dan asal-usul seni ukir Jepara.

Konon Sungging Badar Duwung juga mendirikan masjid di daerah Ngloram Kudus, Tajuk masjid Sunan Kudus juga hasil karyanya. Sungging Badar Duwung telah menjadi tokoh sentral dalam pengembangan seni ukir di Kota Jepara. Saat ini Kota Jepara telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Jawa Tengah. Daya tarik wisata Kota Jepara bukan hanya dari hasil kerajinan ukiran yang indah, tetapi juga dari nilai-nilai historis yang terkandung dalam tempat wisata sejarah di Jepara.

Itulah sejarah dan asal-usul pembangunan tempat wisata bersejarah Masjid Mantingan di Kota Jepara.

Wafatnya Sultan Hadirin

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu. Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.  Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Sultan Hadlirin, terbunuh.

Makam Sultan Hadlirin Mantingan Terletak di belakang dibelakang masjid Mantingan yang dimana masjid tersebut merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Demak yang dibangun Ratu Kalinyamat.

Setiap tanggal 17 Robi’ul Awal, sehari sebelum hari jadi Jepara, makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin sering dikunjungi oleh peziarah untuk memperingati meninggalnya Sultan Hadlirin. Pada saat itu dilakukan prosesi buka luwur, yaitu mengganti penutup makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin. Makam mantingan saat ini masih dianggap keramat bahkan sebagian masyarakat meyakini bahwa pohon pace yang tumbuh disekitar makam memiliki kasiat, bagi seorang istri yang belum memiliki anak buah ini bisa menjadi obat. Namun buah jatuh yang memiliki kasiat dan cara makannya harus dimakan bersama suaminya.

Hal lain yang dianggap keramat adalah air yang ada dikomleks makam tersebut. Air keramat ini sangat ampuh untuk menguji kejujuran seseorang. Karena itu air disini sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Caranya dengan berdo’a dan minum air ini, bilah seseorang bersalah dan tidak mau mengakuinya, maka akan mendapatkan hukuman dari Allah Yang Maha Kuasa.

KISAH QUTAIBAH BIN MUSLIM SANG JENDRAL PENAKHLUK

Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut.

Orang-orang Bukhara itu lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’ komunitas Muslim di China.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang (Yusuf Hasan) adalah jenderal Muslim terkemuka sekaligus pewaris ilmu Thaichi dan Pedang Whu dang. Ada lagi Lan Yu Who (Wahab bin Yusuf) sekitar tahun 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama Laksamana Cheng Ho. Dan masih banyak lagi tokoh islam lain China yang melegenda diantaranya yang kira kenal lewat perfilman Wong Fei Hung (Sayyid Faishol Husain) Fong Sai Yuk (Sayyid Fahmi Salim Yusuf) .

Penakhlukan China Oleh Qutaibah Bin Muslim

Pembawa ajaran Islam di negeri Cina  adalah Abu al-Hafsh Qutaibah bin Muslim bin Amr bin Husein bin al-Amir al-Bahili, seorang panglima besar yang terkenal dalam sejarah Islam. Ia adalah seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Uni Soviet (sekarang Rusia) hingga sampai di daerah Cina. Banyak penduduk dari negeri-negeri yang ia taklukkan berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah ini, mereka merasakan keindahan dan cahaya Islam yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Qutaibah wafat karena terbunuh pada tahun 96 H, di umur 48 tahun.

Masa Kecil Qutaibah

Ayahnya adalah Muslim bin Amr sahabat dari Mush’ab bin Zubair gubernur Irak dari pihak Abdullah bin Zubair, ayahnya terbunuh bersama dengan Mush’ab pada peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, tahun 72 H / 692 M. Qutaibah dilahirkan di Irak pada tahun 49 H / 669 M.

Di masa kecilnya, ia mulai mempelajari ilmu fikih dan Alquran, kemudian ia juga belajar menunggang kuda dan strategi perang. Ia tumbuh bersama kuda, pedang, dan panah, ia sangat mencintai teknik-teknik menunggang kuda. Pada masa pertumbuhannya, wilayah-wilayah Irak tengah digoncang oleh pemberontakan-pemberontakan. Oleh karena itu, amir-amir di wilayah tersebut sibuk mempersiapkan jihad dan mengajak masyarakat untuk menyiapkan tenaga mereka membantu pemerintah demi tetap kokohnya Islam dan tersebarnya dakwah. Saat itulah Qutaibah muda bergabung dalam jihad di usianya yang sangat belia.

Keberanian dan keterampilan Qutaibah memang memukau banyak orang, hal itu membuatnya dilirik oleh panglima besar, Muhallab bin Abi Shafrah. Muhallab pun menyampaikan kabar tentang Qutaibah ini kepada Hajjaj bin Yusuf. Setelah itu, Qutaibah makin dikenal di kalangan kerajaan, khalifah Abdul Malik bin Marwan menunjuknya menjadi Amir di Kota Ray dan Khurasan.

Kaum muslimin mulai beranjak menaklukkan wilayah Timur, sebuah daerah yang dihuni oleh dua ras besar; orang-orang Sasaniah atau Persia dan orang-orang Turki. Dua kelompok besar ini hanya dipisahkan oleh sungai-sungai saja. Penaklukkan Persia sudah disempurnakan pada masa pemerintahan al-khulafa ar-rasyidun, adapun orang-orang Turki memiliki wilayah yang lebih luas, tersebar, dan jumlah yang lebih banyak, seperti: orang-orang Turki di wilayah Gaza, al-Qarakhta, Qawqaziyun, Bulgaria, dan Mongol.

Menaklukkan Cina

Qutaibah mulai memimpin pasukan perang pada tahun 86 H / 705 M, saat itu Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi mengangkatnya menjadi amir Khurasan atas titah khalifah.

Perjalanan menaklukkan Cina adalah perjalanan yang fenomenal dan membutuhkan waktu yang panjang dan startegi yang matang. Sebelum tiba di negeri tirai bambu ini, Qutaibah bin Muslim menaklukkan daerah-daerah strategis yang membuka jalannya untuk menuju daratan Cina. Jika diurutkan maka strategi Qutaibah dapat diklasifikasi menjadi empat tahap.

Tahap pertama, ia beserta pasukannya menuju daerah Thakharistan pada tahun 86 H. Saat ini, wilayah Thakharistan adalah bagian dari wilayah Afganistan dan Pakistan.

Tahap kedua, antara tahun 87-90 H, ia menguasai wilayah Bukhara dan daerah-daerah sekitarnya di wilayah Uzbekistan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat strategis untuk memantapkan dan melindungi daerah-daerah taklukkan lainnya dari serangan musuh.

Tahap ketiga, tahapan ini berlangsung antara tahun 91-93 H. Pada masa ini, Qutaibah mengokohkan kedudukan umat Islam di wilayah Sungai Jihun dengan sibuk berdakwah dan mengajarkan Islam di wilayah tersebut. Selain itu, pada masa ini juga umat Islam berhasil menguasai Sijistan, Khawarizm, dan Samarkand di jantung Asia.

Tahapan keempat, tahap keempat ini adalah tahapan akhir dari perjalanan Qutaibah menuju Cina, berlangsung antara tahun 94-96 H. Pasukan Islam dibawah kepemimpinan Qutaibah berhasil mengusai daerah Sungai Seihan dan kota-kota di sekitarnya. Setelah itu Qutaibah memasuki wilayah Cina tepatnya di Kota Kashgar. Orang-orang Kashgar yang sebelumnya memeluk agama Zoroaster dan Budha, akhirnya berbondong-bondong masuk ke dalam Islam tanpa paksaan sedikit pun.

Ini adalah penaklukkan terjauh yang dilakukan pasukan Islam sepanjang sejarah. Tidak ada pimpinan umat Islam yang melakukan penaklukkan lebih jauh dari apa yang dilakukan Qutaibah bin Muslim.

Wafatnya Qutaibah

Setelah tiga belas tahun bertualang ke penjuru negeri, akhirnya tibalah akhir hayat Qutaibah bin Muslim. Qutaibah wafat dalam sebuah perselisihan antara umat Islam pada tahun 96 H. Ia terbunuh di tangan Waki’ bin Hasan at-Tamimi di wilayah Ferghana (sebuah daerah di Asia Tengah yang berada di wilayah Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan sekarang). Semoga Allah merahmati Qutaibah bin Muslim.

Pelajaran dari kisah

Ada sebuah pelajaran menarik dari kisah penaklukkan yang dilakukan Qutaibah bin Muslim. Di tengah buruknya nama Bani Umayyah di kalangan sebagian umat Islam lantaran sistem monarki yang mereka terapkan, hadir sosok yang gemilang di antara ratusan nama lainnya dari orang-orang Bani Umayyah yakni Qutaibah bin Muslim.

Ada kelompok-kelompok tertentu yang menisbatkan diri mereka kepada Islam menuliskan buruknya sejarah perjalanan Bani Umayyah. Seolah-olah perjalanan kerajaan ini adalah masa kegelapan yang dialami umat Islam. Beredar dan maraknya tulisan-tulisan tersebut akhirnya membentuk opini dan image bahwa Daulah ini sangat jauh sekali dari ajaran Islam.

Orang-orang yang membenci syariat Islam menjadikan catatan senjarah yang penuh manipulasi ini sebagai senjata mereka untuk mengatakan, “Bagaimana mungkin syariat Islam bisa diterapkan di era modern ini, sementara di era yang dekat dengan masa khulafaur rasyidin saja syariat ini tidak bisa ditegakkan?!” Inilah yang mereka inginkan dari pengkaburan sejarah Bani Umayyah. Dan ironisnya, isu picis ini diambil oleh kelompok-kelompok Islam yang sangat vokal menyerukan berdirinya kekhilafahan Islam.

Penaklukkan yang dilakukan Qutaibah menggambarkan betapa besarnya jasa Bani Umayyah. Mereka menaklukkan wilayah Bukhara sehingga lahirlah seorang laki-laki dari kalangan masyarakat Bukhara sekaliber Imam Bukhari. Ditaklukkannya kota-kota di sekitar Sungai Jihun termasuk Naisabur, dari sini lahirlah laki-laki cemerlang bernama Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi atau kita kenal dengan Imam Muslim, penulis Shahih Muslim, dll. Belum lagi penaklukkan Andalusia yang melahirkan ulama-ulama dan ilmuan-ilmuan Islam.

Oleh karena itu, kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang jangan sampai membuat kita tidak bersikap adil dan melupakan lautan kebaikan yang mereka lakukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Semoga Bermanfaat

Senin, 29 Oktober 2018

PARA ULAMA' BERTEOLOGI ASY'ARIYAH

ASY’ARIYAH adalah madzhab dalam bidang akidah (teologi). Sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang memiliki imam, asy’ariyah memiliki imam yang bernama al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari (873 – 947 M).

Beliau seorang ahli kalam, alim, zahid Ahlus Sunnah wal Jam’ah yang berasal dari suku Asy’ari – suku yg berasal dari sebuah daerah di negeri Yaman. Ia pernah diasuh oleh tokoh Mu’tazilah, Ali al Jubbai, namun beliau akhirnya balik mengkritik kekeliruan-kekeliruan tokoh mi’tazilah. Dan menjadi rujukan ulama dalam menghadapi mu’tazilah.

Imam Asy’ari dikenal  mengkritik mu’tazilah dengan logika-logika mu’tazilah. Dengan pertolongan Allah beliau berhasil mematahkan hujjah mu’tazilah dengan rasional tanpa keluar dari syariat.

Metode Imam Asy’ari lalu diikuti banyak ulama besar di kemudian hari. Hingga beliau diberi gelar “mujaddid” (pembaharu) karena dinilai berhasil mengalahkan dominasi pemikiran mu’tazilah.

Jaminan Al-qur'an dan hadits bahwa golongan Al-Asy'riyah adalah golongan Ahlussunnah wal jama'ah, golongan yang selamat. Allah memuji golongan Asya'iroh dalam sebuah ayat yang mana pada saat ayat ini turun, Rasulullah memberikan isyaratnya kepada seorang sahabat yaitu Imam Abu Musa al-Asy'ari (Datuk dari Imam Abu Hasan al-Asy'ari) seraya menunjuk kepadanya.

Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. al-Maidah : 54).

Rasulullah SAW yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Qur'an telah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan "kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya..", dalam ayat diatas adalah kaum Abu Musa al-Asy'ari berdasarkan hadits shahih berikut

عن عياض الاشعري قال : لما نزلت : {فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه} قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هم قومك يا أبا موسى) وأومأ رسول الله صلى الله عليه وسلم : هم قوم هذا , و أشار إلي أبي موسى الأشعري.

Dari Iyadh al-Asy'ari Radiyallahuanhu dia berkata "Ketika ayat, "Allah SWT akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah SAW bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari : "Mereka adalah kaumnya laki-laki ini"

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّة، حدثنا عَبْدُ الصَّمَدِ -يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْوَارِثِ-حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سِمَاك، سَمِعْتُ عِيَاضًا يُحَدِّثُ عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُمْ قَوْمُ هَذَا".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad (yakni Ibnu Abdul Waris), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak; ia pernah mendengar Iyad menceritakan hadis dari Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mereka adalah dari kaum orang ini(seraya mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yakni dari penduduk Yaman, pent.).
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang semisal.

قال القشيرى: فأتباع أبى الحسن الأشعرى من قومه لأن كل موضع أضيف فيه قوم إلى نبي أريد به الأتباع، قاله القرطبى فى تفسيره (ج6/220) .

Al-Qusyairi berkata : "Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari , karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap nabi didalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya"

وقال البيهقى: وذلك لما وجد فيه من الفضيلة الجليلة والمرتبة الشريفة للإمام أبى الحسن الأشعرى رضى الله عنه فهو من قوم أبى موسى وأولاده الذين أوتوا العلم ورزقوا الفهم مخصوصاً من بينهم بتقوية السنة وقمع البدعة بإظهار الحجة ورد الشبهة ".ذكره ابن عساكر في تبيين كذب المفتري.

Dan telah berkata Imam Bayhaqy " Demikian itu karena telah nyata di temukan keutamaan besar dan dan kedudukan yang sangat mulia pada dari Imam Abu Hasan al Asy'ari Rodiyallahu anhu. Beliau adalah dari kaum Abu Musa al Asy'ari dan termasuk anak turunya. mereka2 itu telah di beri ilmu rezki kefahaman yang di hususkan di antara mereka yaitu dengan menguatkan sunnah dan menghancurkan bid'ah dengan menampakan hujjah dan menolak segala syubhat/kekeliruan".

Disebutkan dalam kitab Ibnu Taimiyah:

ﺃﻥ اﻷﺷﻌﺮية ﺃﻋﻴﺎﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻧﺼﺎﺭ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻧﺘﺼﺒﻮا ﻟﻠﺮﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭاﻟﺮاﻓﻀﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﻤﻦ ﻃﻌﻦ ﻓﻴﻬﻢ ﻓﻘﺪ ﻃﻌﻦ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﺇﺫا ﺭﻓﻊ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺎﻇﺮ ﻓﻲ ﺃﻣﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﺄﺩﻳﺒﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﺮﺗﺪﻉ ﺑﻪ ﻛﻞ ﺃﺣﺪ

"Sesungguhnya Madzhab Asy'ari adalah ahlussunnah itu sendiri, dan mereka adalah penolong Syariah. Mereka berdiri tegak untuk melawan ahli Bid'ah baik dari qodariyah, Syiah rafidhoh dan lainnya. Barangsiapa yang mencela Madzhab Asy'ari maka dia telah mencela ahli sunnah. jika masalah ini dilaporkan kepada pihak yang berwenang dari umat Islam maka wajib baginya untuk mendidik orang tersebut agar orang lain tidak melakukan hal yang sama" (Majmu' Fatawa 6/603)

Benarkah Imam Abu Hasan Al Asy'ari ini menyimpang dari ajaran Ahli sunah? Tidak benar, Imam Adz-Dzahabi pun menilai beliau Ahli sunah:

ﻭﺃﺧﺬ ﻋﻨﻪ ﻓﻦ اﻟﻜﻼﻡ ﺃﻳﻀﺎ: ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ، ﺛﻢ ﺧﺎﻟﻔﻪ، ﻭﻧﺎﺑﺬﻩ، ﻭﺗﺴﻨﻦ.

"Dan diantara yang mempelajari ilmu Kalam dari Ali al-Jubai adalah Abu Hasan Al Asy'ari, lalu dia berbeda pendapat dengan gurunya, kemudian dia menyerangnya dan dia menjadi ahli sunnah" (Siyar A'lam An-Nubala 11/113).

Mayoritas ulama Islam adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah.

Imam Abdul Baqi al-Ba’li al-Hanbali mengatakan :

وللكلام على المقصد الثاني تقدمة،وهي أن طوائف أهل السنة ثلاثة:أشاعرة وحنابلة وماتريدية

“Untuk pembicaraan tujuan kedua telah ada pendahuluannya yaitu sesungguhnya kelompok Ahlus sunnah itu ada tiga : Asya’irah, Hanabilah dan Maturudiyyah"(Al-‘Ain wa al-Atsar : 59)

Muhammad bin Ibrahim Ibnul Wazir al-Yamani mengatakan :

اتفق أهل السنة : من أهل الأثر والنظر والأشعرية على أن الإرادة لا يصح أن تضاد العلم ولا يريد الله تعالى وجود ما قد علم أنه لا يوجد

“Ahlus sunnah : dari kalangan Ahlul Atsar, Nadzar dan al-Asy’ariyyah sepakat bahwasanya iradah itu tidak sah berlawanan dengan ilmu Allah dan Allah Ta’ala tidak berkhendak mewujudkan sesuatu yang Dia telah ketahui bahwasanya sesuatu itu tidak akan diwujudkan“. (Itsar al-Haq : 250)

Imam Muhammad as-Safaraini mengatakan :

أهل السنة والجماعة ثلاث فرق :الأثرية وإمامهم أحمد بن حنبل رضي الله عنه والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعري والماتردية وإمامهم أبو منصور الماتريدي

“Ahlus sunnah wal Jama’ah ada tiga kelompok : Pertama kelompok al-Atsariyyah, pemimpin mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal radhiallahu ‘anhu. Kedua kelompok al-Asy’ariyyah, pemimpin mereka adalah imam Abul Hasan al-Asy’ari. Ketiga kelompok al-Maturudiyyah, pemimpin mereka adalah imam Abu Manshur al-Maturudi “ (Lawami’ al-Anwar : 1/73)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم , وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيـد وأمثالهـما , وأما المسائـل الكلامية فأكثرها من الكرابيـسي وابن كُـلاَّب ونحـوهما

“imam Bukhari di semua apa yang ia bawakan dari tafsir yang gharib, sesungguhnya ia menukilnya dari para ulama yang pakar di bidangnya tersebut seperti Abu Ubaidah, an-Nadhar bin Syamil, al-Farra dan selain mereka. Adapun pembahasan fiqih, maka kebanyakannya beliau bersandar kepada imam Syafi’i, Abu Ubaid dan semisalnya. Adapun masalah kalam / tauhid, maka kebanyakannya beliau mengambilnya dari al-Karabisi dan Ibnu Kullab dan selainnya “. (Fath al-Bari : 1/293)

Dari penejelasan para ulama besar di atas, menajdi jelas bagi kita bahwasanya kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah kelompok terbesar dan mayoritas di seluruh belahan dunia ini sejak masa Abul Hasan al-Asy’ari yang mengikuti akidah ulama salaf sebelumnya hingga masa sekarang ini.

Para sahabat dan tabi’in adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama terdahulu (mutaqaddimin), sedangkan al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama belakangan (mutaakhkhirin). Maka siapa saja yang menghina kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah, sama seja menghina para sahabat dan tabi’in. karena mereka lah kelompok Ahlus sunnah wal Jama’ah.

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Senioritas

Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib Al-Muftari menyebut sejumlah ulama besar yang mengikuti madzhab Asy’ariyah. Ia membagi pada lima kategori berdasarkan faktor senioritas. Ulama yang disebut di bawah hanya sebagian kecil untuk sekadar contoh. Menurut Tajuddin Al-Subki, seandainya disebut semua, niscaya hampir semua ulama madzhab empat mengikuti manhaj aqidah Asy’ariyah.

Generasi pertama yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama abad Keempat Hijriyah antara lain:
Abu Bakar Al-Baqilani (wafat, 403 H),
Abu Bakar bin Faurak (w. 406 H),
Abu Hamid Al-Isfirayini (w. 406 H),
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418 H),
Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H),
Abul Qasim Al-Isfirayini (w. 452 H),
Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H),
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H),
Abul Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H),
Abul Muzhoffar Al-Isfirayini (w. 471 H),
Abul Walid Al-Baji (w. 474 H),
Abu Ishaq Al-Syairazi (w. 476 H),
Abul Ma’ali Al-Juwaini (w. 478 H).

Ulama generasi kedua yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama yang hidup pada abad kelima hijrah (abad ke-11 masehi) antara lain:
Abu Hamid Al-Ghazali (wafat, 505 H),
Abul Qasim Al-Anshari (w. 511 H),
Ibnu Rusydi (w. 520 H),
Abu Bakar Ibnul Arobi (w. 543 H),
Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H),
Abul Fath Al-Syahrastani (w. 548 H),
Ibnu Asakir (w. 571 H).

Ulama generasi ketiga yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad keenam hijriyah ( abad ke-12 masehi) antara lain:
Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H),
Abul Qasim Al-Rofi’i (w. 623 H),
Saifuddin Al-Amadi (w. 631 H),
Ibnul Hajib (w. 646 H),
Al-Izz bin Abdissalam (w. 660 H),
Muhyiddin Al-Nawawi atau Imam Nawawi (w. 676 H),
Nasiruddin Al-Baidhawi (w. 691 H).

Ulama generasi keempat yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad ketujuh hijriyah ( abad ke-13 masehi) antara lain:
Ibnu Daqiq Al-Id (w. 702 H),
Kamaluddin Al-Zamlakani (w. 727 H),
Badruddin bin Jamaah (w. 733 H),
Aduddin Al-Iji (w. 757 H),
Taqiuddin Al-Subki (w. 771 H),
Syamsuddin Al-Kirmani (w. 786 H),
Sa’duddin Al-Taftazani (w. 793 H).

Ulama generasi kelima yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kedelapan hijriyah ( abad ke-14 masehi) antara lain:
Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H),
Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H),
Ibnu Khaldun (w. 808 H),
Al-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H),
Taqiuddin Al-Hishni (w. 829 H),
Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H),
Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi (w. 895 H).

Ulama generasi keenam yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesembilan hijriyah ( abad ke-15 masehi) antara lain:
Syamsuddin Al-Sakhawi (w. 902 H),
Jalaluddin Al-Suyuti (w. 911 H),
Syihabuddin Al-Qastalani (w. 923 H),
Zakariya Al-Anshari (w. 926 H),
Abdul Wahab Al-Sya’roni (w. 973 H),
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H).

Ulama generasi ketujuh yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesepuluh hijriyah ( abad ke-16 masehi) antara lain:
Syamsuddin Al-Ramli (w. 1004 H).

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Keilmuan

Dari nama-nama ulama yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa pengikut Asy’ariyah adalah kalangan ulama papan atas yang berasal dari berbagai bidang keilmuan Islam. Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut kategorisasi ulama pengikut aqidah Asy’ariyah berdasarkan keahlian mereka dalam bidang ilmu tertentu.

Dalam bidang tafsir dan ilmu Al-Quran terdapat sejumlah nama terkenal antara lain, Al-Jashash, Abu Amr Al-Dani, Al-Kayya, Al-Harasi, Ibnul Arabi, Al-Razi, Ibnu Atiyah, Al-Mahalli, Al-Baidhowi, Al-Tsa’alibi, Abu Hayyan, Ibnul Jazari, Al-Samarqandi, Al-Wahidi, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Al-Alusi, Al-Zarqani, Al-Nasafi, Al-Qasimi, Ibnu Asyur, dan banyak lagi yang lain.

Dari kalangan ahli hadits dan ilmu hadits terdapat sejumlah nama masyhur berikut: Al-Daruqutni, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Asakir, Al-Khattabi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Al-Sam’ani, Ibnul Qattan, Al-Qadhi Iyadh, Ibnus Sholah, Al-Mundziri, Al-Nawawi, Al-Haitsami, Al-Muzi, Ibnul Hajar, Ibnul Munir, Ibnu Battal, mayoritas pensyarah kitab Bukhari dan Muslim, mayoritas pensyarah kitab hadits (kutub as-sunan). Juga, Al-Iraqi, putra Al-Iraqi, Ibnu Jamaah, Al-Aini, Al-Ala’i, Ibnul Mulqin, Ibnu Daqiq Al-Id, Al-Zamlakani, Al-Zaila’i, Al-Suyuthi, Ibnu Allan, Al-Sakhawi, Al-Manawi, Ali Al-Qori, Al-Jalal Al-Dawani, Al-Baiquni, Al-Laknuwi, Al-Zubaidi, dan banyak lagi yang lain.

Dari ulama ahli sejarah antara lain: Qadhi Iyadh, Al-Tabari, Khatib Al-Baghdadi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Ibnu Hajar, Al-Muzi, Al-Suhaili, Al-Solihi, Al-Suyuthi, Ibnul Atsir, Ibnu Khaldun, Al-Tilmasani, Al-Qasthalani, Al-Shafdi, Ibnu Khalakan, Qadhi Syuhbah, Ibnu Nasiruddin, dan lain-lain.

Dari ulama ahli bahasa antara lain: Al-Jurjani, Al-Qazwini, Abul Barakat Al-Anbari, Al-Suyuthi, Ibnu Malik, Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, Ibnu Manzhur, Al-Fairuzabadi, Al-Zubaidi, Ibnul Hajib, Khalid Al-Azhari, Abu Hayyan, Ibnul Atsir, Al-Hamudi, Ibnu Faris, Al-Kafawi, Ibnu Ajurum, Al-Hattab, Al-Ahdal, dan lain-lain.

Dari kalangan penguasa muslim, terdapat nama-nama tenar seperti Salahuddin Yusuf Al-Ayubi, Muzhafar, Nizham Al-Muluk, Sultan Al-Fatih Turki dan para sultan Turki Usmani yang lain.

Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Madzhab Fiqih

Dari kalangan ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih terdapat nama-nama besar antara lain:

a) Dari madzhab Hanafi:
Ibnu Najim,
Al-Kasani,
Al-Sarakhsi,
Al-Zaila’i,
Al-Haskafi,
Al-Mirghanani,
Al-Kamal bin Al-Hamam,
Al-Syaranbalali,
Ibnu Amir Al-Haj,
Al-Bazdawi,
Al-Khadimi,
Abdul Aziz Al-Bukhari,
Ibnu Abidin Al-Tahtawi,
dan mayoritas ulama India, Pakistan, Bangladesh dan Tiongkok.
b) Dari madzhab Maliki:
Ibnu Rusydi,
Al-Qarafi,
Al-Syatibi,
Ibnul Hajib,
Khalil,
Al-Dardir,
Al-Dasuqi,
Zuruq,
Al-Laqqani,
Al-Zarqani,
Al-Nafrawi,
Ibnu Jazi,
Al-Adwi,
Ibnul Haj,
Al-Sanusi,
Ulaisy,
mayoritas ulama Maroko, dan lain-lain.
c) Dari Madzhab Syafi’i:
Al-Juwaini,
Al-Razi,
Al-Ghazali,
Al-Amidi,
Al-Syairazi,
Al-Isfirayini,
Al-Baqilani,
Al-Mutawalli,
Al-Sam’ani,
Ibnus Sholah,
Ibnu Katsir
An-Nawawi,
Al-Rofi’i,
Al-Iz Ibnu Abdissalam,
Ibnu Daqiq Al-Id,
Ibnur Rif’at,
Al-Adzra’i,
Al-Asnawi,
Al-Subki,
Al-Baidhawi,
Al-Hishni,
Zakariya Al-Anshari,
Ibnu Hajar Al-Haitami,
Al-Romli,
Al-Syarbini,
Al-Mahalli,
Ibnul Muqri,
Al-Bujairami,
Al-Baijuri,
Ibnul Qasim Al-Ibadi,
Al-Qalyubi,
Umairah,
Ibnu Qasim Al-Ghazzi,
Ibnu Naqib,
Al-Attar,
Al-Bannani,
Al-Dimyati,
Al-Ahdal,
dan lain-lain.
d) Dari Madzhab Hambali;
Imam Ibnu Sam’un al-Wa’izh,
Imam Abu Khaththab al-Kalwadzani,
Imam Abu al-Wafa bin ‘Aqil,
al Hafidz Ibn Jauzi Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman al-Quraisy al-Bakri al-Shiddiqi al-Baghdadi al-Hanbali
Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali
Al-Imam al-Syarif abu Ali al-Hasyimi al-Hanbali
al-Imam abu al-Hasan Abdul Aziz bin al-Harits al-Tamimi al-Hanbali
dan lain-lain

Semua pemilik nama-nama besar di atas adalah para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam aqidahnya, yang para ulama menyebut aqidah Asy’ariyah dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Kalau menurut kalian wahai Wahabiyyun, bahwa Al-Hafidz Ibnul Jauzi, Imam Ibn Hibban, Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali, Al-Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al- Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi,Al-Hafidz Alaai, Al Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka siapakah yang kalian maksud dengan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah itu?

Konsekwensi Jika Anggap Ulama Asy’ariyyah Sesat

Kalau mau konsisten dengan pendapat kalian bahwa mereka telah menyimpang dan memasukkan mereka sesat dalam aqidah Islam. Maka konsekwensinya jangan lagi gunakan kitab dan karya Ulama Asy’ariyyah, apalagi menukil pendapat mereka dalam masalah aqidah untuk mendukung pendapat kalian dalam masalah aqidah pula. Sungguh aneh !?

Tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Bahkan dalam majalah edisi khusus  yang mereka tulis dalam masalah hadis, pertama kali mereka menunjukkan apa yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari aqidah kaum asy’ariyah lalu diberilah vonis sesat bahkan kafir. Tapi yang aneh setelah itu pendapat-pendapat dari para Ulama Hadis pengikut aqidah Asy’ariyah seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Nawawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Iraqi, Ibn Shalah dll menjadi rujukan utama unutk memberi justifikasi dalam masalah aqidah versi mereka. Bukankan ini sebuah keanehan yang menggelikan ?!

Lalu kalian berkata lagi: Ulama kan bukan hanya mereka! Tapi ingat bukankan Salafi Wahabi telah mengadopsi pendapat sebagian Ulama’ yang menyatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah Ulama ahli hadits seperti perkataan Imam Ahmad yang mengatakan Kalau bukan ahli hadis, aku tidak tahu lagi siapa mereka ? dll! Biasanya kalian akan berkelit dengan mengatakan : Ulama Ahli Hadis-kan tidak terbatas pada mereka !!? Lalu apakah Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ahli hadis !?

Lalu siapa Ahli hadits yang kalian maksud ?! Lalu manhaj ahli hadis mana yang kalian ikuti !!? Kalau ternyata sebagian besar Para Hufadz Ahli Hadis berada dalam posisi yang berlawanan dengan posisi kalian, ternyata semua Ahli Hadits adalah pengikut aqidah Asy’ariyyah !? Hendaknya ini menjadi bahan renungan bagi orang-orang yg mampu berpikir dengan jujur!

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 28 Oktober 2018

SANAD KEILMUAN AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH

Ajaran Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah atau Maturidiyah berbeda jauh dari ajaran Salafi Wahabi, yang mengakibatkan sikap dan pandangan ulama dan pengikutnya jauh berbeda. Demikian juga dalam mengambil ilmu agama. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad dari mana ilmu itu didapat.

Jauh berbeda dari Ulama Salafi Wahabi yang mengatakan bahwa ilmu sudah tertulis lengkap dari zaman salaf. Sanad hanya diperlukan di zaman salaf ketika menyampaikan Hadits. Katanya ilmu pengetahuan sudah berkembang sudah tertulis dalam buku. Jadi dengan membaca Kitab induk itu sudah cukup, tidak perlu pakai sanad yang sambung menyambung hingga ke penulis Kitabnya.

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad ilmu, sebab mereka berkeyakinan ilmu agama itu ada dalam diri manusia yaitu pada hati dan akhlak para Ulama. Sedang Kitab adalah hanya catatan ilmu dari hati para Ulama, yang untuk memahaminya kita perlu kenal Ulama itu, agar pemahaman kita dalam membaca Kitab itu sama dengan yang difahami oleh Ulama yang menulisnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengisyaratkan bahwa ilmu para Nabi memang diwariskan pada Ulama sebagaimana disebut dalam hadits berikut:

العلماء ورثة الأنبياء

Ulama adalah pewaris Nabi

Kemudian hadits berikut lebih menegaskan lagi bahwa ilmu ada pada ulama

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري

Telah bersabda Rasulullahi shallallahu alaihi wassalam: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Itu sebabnya duduk dan bertemu bersama Ulama adalah media belajar dan menimba ilmu yang utama, selain membaca Kitabnya. Dengan bertemu, melihat dan duduk bersama Ulama, kita akan dapat melihat tauladan, merasakan suasana bersama Ulama yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan bertemu dan duduk bersama Ulama. Bukankah seorang muslim yang bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan wafatnya dalam keadaan muslim mendapat gelar yang tidak diperoleh oleh muslim lain yaitu Shahabat radhiallahu anhum.

Ulama yang Ilmunya bersanad, akan selalu bercerita kepada muridnya tentang gurunya. Bahkan Ulama itu sangat ingin agar murid menjumpai gurunya itu, agar muridnya itu memperoleh ilmu dan berkat sebagaimana yang diperoleh oleh Ulama itu. Demikianlah sikap para Ulama yang ilmunya bersanad.

Bukankah doa yang selalu kita baca dalam Surat Al Fatihah, adalah meminta ditunjukkan oleh Allah, jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat. Nikmat yang dimaksud adalah tentu nikmat Iman dan Islam. Orang yang telah diberi nikmat itulah para guru dan Ulama, yang belajar dari gurunya yang belajar dari gurunya yang sambung menyambung tanpa putus hingga sampai kepada Sahabat dan seterusnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaih wassalam, puncak pimpinan dari golongan orang yang telah diberi nikmat Iman dan Islam oleh Allah.

Itu pula sebabnya murid-murid sangat hormat pada gurunya, karena memuliakan ilmu warisan Rasulullah shallallahu alaih wassalam yang ada pada diri guru itu. Mereka sangat berterima kasih dan mendatangi gurunya ketika beliau masih hidup maupun sudah wafat dengan menziarahi makamnya. Murid-murid itu juga menziarahi makam Ulama-Ulama terdahulu yaitu guru dari guru mereka, karena begitulah gurunya memberi contoh kepada mereka.

Menziarahi dengan tujuan selain untuk mengingati mati, juga untuk mendoakan, mengingati jasa dan untuk lebih mengenal pribadi Ulama itu untuk dapat mengikuti jejak para Ulama itu. Itu pula sebabnya pengikut Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah menjaga peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para Ulamanya agar kita dapat mengenal pribadi, mencintai dan mengikuti jejak para pendahulu mereka.

Kita selalu melihat bagaimana para murid menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada guru-guru mereka, sebagai tanda terima kasih atas jasa para guru, dan berdoa kepada Allah seperti apa yang diminta dalam surat Al Fatihah agar ditunjukkan jalan seperti guru-guru mereka yang telah mendapatkan nikmat Iman dan Islam.

Berbeda jauh dari golongan Salafi Wahabi yang justru menghilangkan jejak dan peninggalan mereka itu, bahkan peninggalan Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam –pun dihancurkan oleh mereka. Mereka merasa tidak perlu mengenal gurunya lebih dekat sebab ilmu agama menurut mereka ada pada Kitab tanpa perlu guru yang bersanad.

Salah satu sebab pentingnya belajar bersanad adalah untuk memastikan bahwa ilmu yang disampaikan dan diterima dari Ulama dari satu generasi ke Ulama di generasi berikutnya adalah sama sebagaimana ilmu itu diterima dar Ulama di generasi sebelumnya. Hal ini sangat penting, sebab cara penyampaian seperti ini menjamin kebenaran pemahaman ilmu yang diwariskan.

Sedang ilmu yang disampaikan dengan hanya membaca Kitab dari Ulama Salaf tanpa sanad ilmu, sangat memungkinkan ilmu yang diterima sudah dimasukkan oleh pemahaman dari dirinya sendiri dan terpengaruh hawa nafsunya.

Belum lagi kalau Kitab itu sudah dipalsukan textnya, sebagaimana yang terjadi pada Kitab-Kitab Ulama Muktabar, Atau diberi catatan kaki yang menyesatkan yang sama sekali tidak jelas sanad asalnya. Bahkan catatan kaki yang menyesatkan ini juga ada pada Kitab terjemah Al Qur’an.

"KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) & Imam Abu Hasan Al Asy'ari (Aqidah Asy'ariyyah) Punya Sanad yang bersambung sampai Rasulullah SAW"

{Mohon bagi warga Aswaja/NU untuk di save/simpan/di share sanad mulia ini demi terwujudnya "Islam Rahmatan Lil Aalamiin"}

1. Sayyidul Wujud Insanul Kamil Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Al Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Karramallaahu Wajhahu"
3. Muhammad al hanafiyah (Putra Sayidina Ali, dari istri kedua Kaulah bin Ja’far)
4. Al Imam Wasil bin Atho’
5. Al Imam Amr bin Ubaid
6. Al Imam Ibrohim Annadhom
7. Al Imam Abu Huzail Al-Alaq
8. Al Imam Abu Hasi Adzuba’i
9. Al Imam Abu Ali Adzuba’i
10. Al Imam Abu Hasan al Asy'ari (Pendiri Faham “AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH” ASWAJA) 234 Karangannya : Kitab Maqolatul Islamiyin, Al Ibanah, Al Risalah, Al-Luma’, dll
11. Al Imam Abu Abdillah Al Bahily
12. Al Imam Abu Bakar Al Baqilany, karangannya : Kitab At Tamhid, Al Insof, Al bayan, Al Imdad, dll.
13. Al Imam Abdul Malik Imam Haromain Al Juwainy, karangannya : Kitab Lathoiful Isaroh, As Samil, Al Irsyad, Al Arba’in, Al kafiyah, dll
14. Al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghozali. Karangannya : Kitab Ihya Ulumuddin, Misyakatul Anwar, Minhajul Qowim, Minhajul Abidin dll.
15. Abdul Hamid Assyeikh Irsani. Karangannya: kitab Al Milal Wannihal, Musoro’atul Fulasifah, dll.
16. Muhammad bin Umar Fakhrur Raazi, Karangannya: Kitab Tafsir Mafatihul Ghoib, Matholibul ‘Aliyah, Mabahisul Masyriqiyah, Al Mahsul Fi Ilmil Usul, dll
17. Abidin Al Izzy, karangannya: Kitab Al Mawaqit Fi Ilmil Kalam.
18. Abu Abdillah Muhammad As Sanusi, Karangannya: Kitab Al Aqidatul Kubro dll.
19. Imam Al Bajury, karangannya: Kitab Jauhar Tauhuid, dll.
20. Imam Ad Dasuqy, karangannya: Kitab Ummul Barohin, dll.
21. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, karangannya: Kitab Sarah jurumiyah, Sarah Al Fiyah, dll.
22. Ahmad Khotib Sambas Kalimantan, Karangannya : Kitab Fathul ‘Arifin, dll.
23. Muhammad An Nawawi Banten, Karangannya :Syarah Safinatunnaja, Sarah Sulamutaufiq, dll. Yang Mayoritas Ulama Di Indonesia memakai Karangan Syeikh Nawawi Albantaniy sebagai Kitab Rujukan.
24. Syech Mahfudz At-Termasi (mursyid Hadist Bukhori matan ke-23), muridnya al :– Syech Arsyad Al-Banjari - Banjarmasin– Syaikhona Kholil - Bangkalan Madura–Abdul Shomad Al-Palembangi- Palembang
25. KH. Hasyim Asy’Ari (Pendiri NU)

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil bangkalan adalah: Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).

Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil bangkalan adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).

Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah.

Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ketangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan.

Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Para ulama pendiri NU jelas bukan sembarang ulama. Mereka orang-orang khos yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa di zamannya.

Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yg untuk pertama kalinya yg diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan dgn praktik keagamaan kaum tradisional yg kental dgn budaya lokal. Kaum puritan yg lebih ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya utk memberantas praktik ibadah yang dicampur dgn kebudayaan lokal atau yg lbh dikenal dgn praktik ibadah ygbid’ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yg aslinya yaitu Alquran dan hadis yaitu dgn ijtihad para ulama yg memenuhi syarat dan sesuai dgn perkembangan zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional yg dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan kepercayaan lainnya. Bagi banyak kalangan ulama tradisional kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadia.

Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini . Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya krn di zaman sekarang ini tidak ada orang yg mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yg terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.

Nah, inilah kenapa kita harus bermazhab salah satu dari mahzab 4.

Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.

Sahabatku semua yang dirahmati Allah, NU ADALAH SALAH SATU BENTENG AHLISUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA

Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW  dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab al-Hanafi, al-Syafi’i, al-Maliki dan al-Hanbali. Sedangkan orang-orang yang keluar dari madzhab empat tersebut pada masa sekarang adalah termasuk ahli bid’ah.

”Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.

- Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
- Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
- Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali.

Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku sebagai penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan Sunnah Rasul dan Sahabatnya.

Pesan untuk para simpatisan, pengikut, bahkan da’i salafi/wahabi ;  mohon luangkan waktu sebentar, renungkan barang sejenak. Bahwa hati yang paling Allah kasihi ialah hati yang paling lembut terhadap saudaranya, paling bersih dalam keyakinannya dan paling baik dalam agamanya. InsyaAllah, jika hati tak sekeras batu, dada akan terasa lapang, pikiran pun tidak beku dan buntu. Semoga kita semua mendapat hidayah serta inayah dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Akeh kang apal Quran Hadise
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale

Banyak yang hafal Quran dan Hadist, suka mengkafirkan orang lain, kafirnya sendiri tidak diperhatikan, (gara-gara) masih kotor hati dan akalnya.

semoga Allah swt meluhurkan setiap nafas kita dg cahaya istiqamah, dan selalu dibimbing untuk mudah mencapai tangga tangga keluhuran istiqamah, dan wafat dalam keadaan istiqamah, dan berkumpul dihari kiamat bersama ahlul istiqamah

Semoga Allah SWT menggantikan segala musibah kita dg anugerah.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

UJIAN SAKIT ITU SEBAGAI ROHMAT

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Musibah di dunia yang menjadi sebab terhapusnya dosa.

Sebagaimana disebutkan dalam shahihain (Bukhari-Muslim), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”

Hendaknya orang yang sakit memahami bahwa sakit adalah ujian dan cobaan dari Allah dan perlu benar-benar kita tanamkan dalam keyakinan kita yang sedalam-dalamya bahwa ujian dan cobaan berupa hukuman adalah tanda kasih sayang Allah. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.”

Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang hamba, maka Allah menyegerakan siksaan  baginya di dunia”

Mari renungkan hadits ini, apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kapada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia dan Allah tidak menghukum kita lagi di akhirat yang tentunya hukuman di akhirat lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Dan perlu kita sadari bahwa hukuman yang Allah turunkan merupakan akibat dosa kita sendiri, salah satu bentuk hukuman tersebut adalah Allah menurunkannya berupa penyakit.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Qs al-baqarah 155-157)

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)

Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ

Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)
Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}

dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit.
Sedangkan firman-Nya:

{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155)
Yakni lenyapnya sebagian harta.

{وَالأنْفُسِ}

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.

{وَالثَّمَرَاتِ}

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:

{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:

{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:

{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)

Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah.

Firman Allah Swt.:

{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)

Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:  Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.

Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).

Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan:

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:  Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda,'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya.  Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw. sendiri."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi(rumah pujian)."

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Sabtu, 27 Oktober 2018

KISAH PERJUANGAN MBAH KYAI DJAUHARI ZAWAWI KENCONG

K.H. Djauhari Zawawi (1911 – 20 Juli 1994 /11 Safar 1415); dimakamkan di Kencong,Jember) adalah pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Assunniyyah, salah satu pesantren salaf terbesar di wilayah kabupaten Jember.

K.H. DJauhari Zawawi adalah cucu Raden Yusuf Mangkudirjo, yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Mbah putrinya, Nyai Saroh binti Muhsin adalah cucu Mbah Saman bin Sriman dari Klampis, Madura, mantan prajurit Goa Selarong, pasukan inti Pangeran Diponegoro yang kemudian memilih berjuang di bidang pendidikan dan merintis berdirinya Pondok Pesantren Sarang, Rembang Jawa Tengah. Sementara ibu Beliau Nyai Umamah bin Kyai Nur Khotib adalah keturunan ke-9 Sayyid Abdurrahman Basyaiban alias Mbah Sambu (Pangeran Sambutbakdo) Lasem Rembang.

KH Djauhari Zawawi belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH. Zawawi di Waru, Sidorejo, Sedan, Rembang.  Di halaman rumah dia dilahirkan, sampai sekarang masih berdiri kokoh madrasah  diniyah bernama Madrasah Tuhfatusshibyan yang dirintis Abahnya bersama Sayyid Hamzah Syatho, cucu keponakan dari Sayyid Bakri Syatho, pengarang kitab I'anah al-Thalibin. Ketika Alfiyah sudah dihafalkan pada usia 11 tahun, Beliau mengatakan bahwa ini bukan hal yang luar biasa.

Pencarian KH. DJauhari terhadap ilmu tidak hanya cukup di desanya saja, Beliau melanjutkan mondok kepada KH. Abd. Syakur, Suwedang, Jatirogo abah KH. Abul Fadlol, Senori,Tuban. Di sana Beliau nyambi ngaji nduduk pada KH. Ma'ruf Jatirogo. Setelah itu Beliau tinggal di Kajen Pati mengaji kepada kyai-kyai dzurriyah Mbah Mutamakkin, seperti KH. Mahfudh (Abah KH. Sahal Mahfudh), KH. Nawawi dan lain sebagainya.

Kurang lebih dua tahun di Kajen, Beliau pindah ke Sarang, ngaji kepada KH. Umar, KH. Syu'aib, KH. Imam, dan KH. Zubair. Lalu tabarrukan di Termas di pesantren KH. Dimyati (adik Syaikh Mahfudh At-Turmusi).

Puas menjelajah pesantren-pesantren di Pantura, KH. DJauhari melanjutkan pencariannya ke Tebu Ireng Jombang, berguru kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari. Setelah beberapa lama di Tebu Ireng, pindah ke Probolinggo, mendirikan madrasah dibantu oleh K. Nawawi, Pajarakan, hingga berkembang pesat. Setelah kurang lebih dua tahun berada di sana, KH. DJauhari memanggil adiknya KH. Atho'illah, meneruskan perjuangannya di Probolinggo, sementara Beliau melanjutkan pengelanaan ke Tanah Suci. Di Tanah Suci yang saat itu berkecamuk perang Wahhabi, KH. Djauhari berguru kepada ulama-ulama Mekah saat itu, seperti Syaikh Masduqi, Syeikh Hamdan, Syeikh Amin Kutby dan lain-lain.

Di Kencong sebagai tempat iqamah permanen, KH. Jauhari memulai nasyrul ilmi dengan membantu mengajar di Langgar Waqaf Ky. Sholihi, disamping membuka pengajian sendiri di ndalem. Inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Assunniyyah.

Tahun 1946, tentara gabungan Belanda dari Probolinggo, Banyuwangi, Jember, Situbondo dan Bondowoso dengan persenjataan lengkap mengadakan serangan umum dari berbagai penjuru, menumpas para gerilyawan Kencong. Basis pertahanan tentara Hizbullah di Cakru dibumi hanguskan, memaksa rakyat dan para gerilyawan menyingkir ke daerah rawa-rawa, walau harus menempuh risiko serangan binatang buas. Akibat serangan ini, seluruh perlawanan rakyat lumpuh. KH. Jauhari yang termasuk target utama buronan Belanda harus berpindah-pindah tempat.

Satu tahun setelah NU didirikan, di Kencong sudah berjalan pengajian-pengajian NU yang dimotori oleh Ky. Zein. Setelah beberapa tahun NU Kencong berstatus ranting, melalui perjuangan dan perjalanan yang melelahkan, pada tanggal, 16 Rajab 1356 H./21 September 1937 M. Cabang NU Kencong berdiri, membawahi seluruh wilayah kawedanan Puger, melalui keputusan Hoofd Bertuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) yang berkedudukan di Surabaya.

Dalam konperensi Cabang NU Kencong tahun 1950 yang diselenggarakan di Pesantren KH. Abdullah Yaqin, Mlokorejo, KH. Djauhari terpilih menjadi Rais Syuriah PCNU Kencong pertama kali setelah Indonesia Merdeka secara de facto dan de Jure, menggantikan KH. Abd. Kholiq. Inilah salah satu kiprah KH. Djauhari dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini.

Loyalias KH. Jauhari terhadap NU beserta jajaran pengurus atasannya tidak diragukan sama sekali. Beliau aktif dalam kegiatan-kegitan NU. Namun, karakter beliau yang mutasyaddid (keras) menyatakan keluar dari NU, setelah Muktamar Nasional NU di PP. Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo, yang kala itu diasuh KH. As'ad Syamsul Arifin, menetapkan Pancasila sebagai asas NU. Argumentasi KH. Ahmad Shidiq yang ahli diplomasi, tidak mampu meluluhkan hati beliau.

Saling Memaafkan Salahsatu Ajaran Beliau.

KH.Abdul Kholiq yang sudah udzur karena kesepuhannya datang ke ndalem KH.Djauhari dengan mengendarai becak. Beliau rupanya hanya ingin bertemu dan bermaaf-maafan dengan KH.Djauhari yang sama-sama sudah sepuh. KH.Abdul Kholiq turun dari becak dan berjongkok (Jawa: ndodok) didepan ndalem. Begitu KH.Djauhari diberi tahu bahwa ada KH.Kholiq di halaman ndalem langsung bergegas keluar. Beliau langsung mempersilahkan KH.Abdul KHoliq agar masuk kedalam. “Monggo mlebet Kiai… kulo mboten purun sepuro-sepuroan yen panjenengan mboten kerso mlebet (Silahkan masuk kiai saya tidak mau bermaaf-maafan kalau tuan masih belum mau masuk)” KH.Abdul Kholiq akhirnya masuk kedalam dan berangkul –rangkulan dengan KH.Djauhari untuk saling maaf memaafkan. Yang lalu biarlah berlalu. Kini kita sama-sama sudah sepuh dan sudah dekat panggilan Tuhan. Kita harus siap-siap mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan kita masing-masing dihadapan-Nya. Kira – kira begitulah isi hati kedua beliau ketika dalam rangkulan permaafan. Sementara Ibu Nyai Sa’dah Djauhari melihat dari belakang dengan pandangan yang sangat terharu.

KH.Abdul Kholiq yang pernah memegang pengurus NU Kencong masih peripean misanan (sepupu ipar) dengan KH.Djauhari. Garwo sepuh KH.Djauhari (Bu Zuhriyah) adalah sepupu garwo KH.Abdul Kholiq. Kedua tokoh yang terkadang ada selisih pendapat ini wafat berurutan. + 40 hari dari wafat KH.Djauhari, KH.Abdul Kholiq menyusul.

Demikian pula halnya dengan KH.Abdul Hayyi. Tokoh ini paling akrab dengan KH.Djauhari ketika sama-sama semangat memimpin NU Cabang Kencong. Bahkan KH.Abdul Hayyi sudah akrab mulai zaman perlawanan terhadap kolonial dahulu. KH.Abdul Hayyi yang juga santri tebuireng inilah yang dulu bersama P.Thowi (H. Nawawi) mengajak kembali KH.Djauhari agar pulang ke Kencong untuk diajak berjuang bersama-sama , ketika itu beliau sudah mulai kerasan menetap dan berjuang di Menampu.

Ibu Nyai Sa’dah Djauhari mempersilahkan KH.Abdul Hayyi agar langsung saja masuk ke ruangan dalam dimana KH.Djauhari sudah berbaring letih karena sakit. KH.Djauhari mempersilahkan KH.Abdul Hayyi agar duduk mendekat disisi beliau dipinggir ranjang. Tidak ada sepatah kata yang mampu keluar dari mulut kedua tokoh idola masyarakat NU Cabang Kencong ini. Rupanya ketika berdekatan satu ranjang itu, kedua tokoh lagi menghayal kembali masa-masa lampau yang penuh suka duka bersama. Sampai pada akhirnya ada perbedaan yang sedikit tajam dalam menanggapi Asas Tunggal BPR. Tapi kini sudah sama-sama sepuh. Sudah dekat dengan panggilan Yang Maha Kuasa. Tidak ada harapan kecuali semoga di akhirat nanti disatukan kembali dalam sorga-Nya. Amin…!. KH.AbdulHayyi lama duduk disamping KH.Djauhari sambil sesenggukan menangis. Sekali-sekali beliau mengusap air matanya. Ibu Nyai mempersilahkan KH.Abdul Hayyi meminum minumannya. Tapi KH.Abdul Hayyi tidak beranjak dari duduknya. “Biarlah Mas Hayyi selalu disampingku. Tinggal kali ini kok” demikian KH.Djauhari bilang kepada Ibu Nyai. Setelah lama KH.Abdul Hayyi berpamitan dengan rasa berat hati. Sampai dihalaman ndalem KH.Djauhari, KH.Abdul Hayyi masih saja menangis. Itulah pertemuan terakhir dari kedua beliau di dunia ini. Setelah 63 hari dari wafat KH.Djauhari. KH.Abdul Hayyi ikut menyusulnya.

Kencong dalam 63 hari ditinggal tokoh-tokohnya secara beruntun:

1.       KH.Djauhari,
2.       KH.Abdul Kholiq
3.       KH.Abdul Hayyi.

Rabu Kliwon, 11 Shafar 1415 H yang bertepatan dengan 20 Juli 1994, jam 05.10 Istiwa' menjelang maghrib, KH. Jauhari Zawawi menghadap Sang Kekasih yang beliau rindukan. Keesokan harinya ribuan pelayat menyaksikan kepergian beliau menuju taman-taman surga. Al-Maghfurlah meninggalkan empat orang putra dan seorang isteri serta Pondok Pesantren Assunniyyah, di tengah putaran arus zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Allahumma la taftinna ba'dahu waghfir lana wa lahu. Amin.

سمة صدق العبد فى طاعته * كرامة تظهر بعد موته
فالاولياء الصا لحون عامة * تظهر بعد موتهم كرمة

“pertanda kesungguhan seorang hamba dalam ketaatannya adalah kekeramatan yang nampak setelah wafatnya. Maka para kekasih ( Allah ) yang sholeh-sholeh semuanya. Tampaklah setelah wafat mereka kekeramatan”

Jumat, 26 Oktober 2018

KISAH KEKERAMATAN MBAH KYAI IDRIS PLUMBON SELOPAMPANG

Suatu ketika Mbah Mangli muda menghadap sowan ke rumah Mbah Idris Plumbon. Sowan mengadap Kyai sepuh memang membawa aura tersendiri, beda tipis dengan pisowanan agung kepada Sang Ratu penguasa kedaton. Melihat Mbah Mangli datang kerumah, sontak Mbah Idris menyambut kedatangan beliau. "Monggo Kyaine Mangli, pinarak monggo mlebu mrene...!", perintah Mbah Idris menerima pisowanan Mbah Mangli muda. "Injih Mbah", jawaban Mbah Mangli muda atas sambutan tuan rumah. "Brengos dingu koyo majusi...!” kata Mbah Idris di depan Mbah Mangli muda. “Wonten pemes Mbah?” jawab Mbah Mangli muda. Tanpa menunda waktu, Mbah Mangli muda langsung menggunduli kumisnya. “Alhamdulillah bagos-bagos...” celetuk Mbah Idris melihat Mbah Mangli muda mencukur kumisnya

Itulah sekelumit cerita tentang kharisma Mbah Idris yang masyhur di masyarakat Selopampang dan sekitarnya. Cerita di atas juga sebagai contoh ketakdhiman Mbah Mangli muda kepada Kyai yang lebih tua dari beliau. Sesuai falsafah kita, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.

Tempat Tinggal Mbah Idris

Bertempat di sebuah desa kecil yang berdampingan dengan sungai progo, perbatasan Temanggung-Windusari Magelang, tepatnya Temanggung pojok selatan. Terdapat sebuah desa dengan nama Desa Plumbon. Desa tersebut merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Selopampang. Tepat berdampingan di ‘emperan’ selatan masjid Miftachul Huda Plumbon terdapat sebuah makam satu komplek dengan makam muslim desa Plumbon, di dalam makam tersebut terdapat jenazah Kyai Sepuh winasis satu kurun dengan Simbah Raden Alwi. Orang memanggil beliau dengan sebutan Mbah Idris Plumbon. Masjid Miftachul Huda Plumbon tersebut tepat berada di Garis Lintang -7.3824002 dan Garis Bujur 110.2123826. Masjid tersebut didirikan tahun 1951 dan di rehabilitasi ulang tahun 1997. Dan merupakan tanah wakaf dari Mbah Idris berikut komplek pelataran dan makam di samping masjid.

Jalur Nasab Mbah Idris

Mbah Idris Plumbon bernama panjang KH.Muhammad Idris bin KH.Hasan Wira'i. Ibu beliau bernama Ibu Pairah. Simbah KH.Hasan Wira’i adalah sosok seorang Kyai yang berasal dari Ndungus Sukorejo dan nyantri di jawa timur kemudian di sana di angkat sebagai menantu seorang Demang. Karena suatu hal, KH.Hasan Wira’i berpindah tempat ke Plumbon. Ketika bermukim di Plumbon beliau menikah dengan Simbah Pairah dan dikaruniai 2 keturunan bernama Ahmad Joyo Puspito dan Muhammad Idris. Ketika itu Mbah Pairah merupakan seorang janda yang sudah memiliki putra dengan nama Bapak Muradi yang akhirnya melahirkan seorang Kyai dengan nama Kyai Abdul Rosyid pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon saat ini.

Mbah Nyai Hj.Muntikanah (menantu) bercerita sambil peninggalan Mbah Idris berupa jubah, sarung, peci puluk dan serban yang pernah dipakai oleh Mbah Idris serta kitab kuning peninggalan Mbah Idris, bahwa :”Kitab – kitab niku tilaran saking Pangeran Trenggono Kusumo , keranten Mbah Idris niku tesih keturunan Pangeran Trenggono”, tutur Mbah Nyai.

Pernah suatu ketika Mbah Idris ziaroh ke Makam Pangeran Trenggono Kusumo di Muneng Candiroto, kebetulan makam di kunci dan Mbah Idris berujar :”Nek aku pancen keturunan Mbah Trenggono Kusumo mesthi wae kunci iki arep bukak dewe”. Setelah itu peristiwa ajaib muncul, tiba-tiba kunci makam tersebut membuka dengan sendirinya, sampai-sampai sang juru kunci marah-marah, dan akhirnya juru kunci tersebut meminta maaf kepada Mbah Idris.

Menurut Bapak Abdurrohman—cucu Mbah Idris dari Bp.KH.Djufri—Mbah Idris lahir pada Tahun 1870 Masehi. Beliau semasa dengan simbah Raden Alwi Tonoboyo Bandongan Magelang. Istri beliau yang ke-9 Hj. Siti Aminah berasal dari Kuwaraan Pirikan Secang, beliau merupakan adik dari KH.Sirodj Payaman yang masyhur dengan nama Simbah Romo Agung Payaman. Mbah Idris berkesempatan naik haji pada tahun 1921.

Bila kita amati dari petikan perbincangan Mbah Idris dengan Mbah Mangli muda tadi, bisa kita amati bahwa Mbah Idris lebih tua dari pada Mbah Mangli (KH.Hasan Asy'ari,Mangli Ngablak Magelang). Itu artinya beliau juga di atas lebih tua ketimbang Simbah Kyai Mandhur dan Simbah Kyai Chudlori Tegal Rejo Magelang, terbukti Mbah Idris sering menyuruh Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori untuk mempimpin do'a bila berlangsung sebuah acara. “Dongani Kyaine Mandhur ! utowo Kyaine Chudlori ! sik luwi enom”, demikian kenang Nyai Hj.Muntikanah dalam ceritannya. Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori sering sowan kepada Mbah Idris kala itu. Selain Mbah Mandhur dan Mbah Chudlori, Simbah Kyai Mangli juga sempat nyantri kepada Mbah Idris, meskipun sebatas ngaji tabarukan ataupun menyambung nasab kepada muallif kitab. Mbah Mangli ngaji dengan cara membuka kitab bagian awal, kemudian dilanjutkan membuka bagian akhir kitab begitu seterusnya. Demikian penuturan Simbah Nyai Hj.Muntikanah—menantu Mbah Idris. Bapak Abdurohman juga menuturkan bahwa Mbah Idris merupakan salah satu wali kutub pada zamannya.

Guru Mbah Idris

Pada usia muda, beliau hampir mengabiskan waktu mudanya untuk menuntut ilmu kepada Simbah KH.Makshum Punduh Salaman. Tak tanggung-tanggung, Mbah Idris muda menuntut ilmu kepada Simbah Makshum Punduh selama 21 tahun. Hingga akhirnya menikah dengan Ibu Nyai Siti Aminah salah satu Neng dari Kuwaraan Pirikan Secang Magelang kala itu. Pernikahan itu merupakan yang ke-9 kalinya. Dari hasil pernikahan itu dikaruniai 7 keturunan yakni Muslimah, Aminah, Abdul ghoni, Muhammad Rum, Asmuni, Komariyah dan Djufri.

Kedermawanan Mbah Idris

Beliau sosok yang sangat dermawan, ketika itu pernah memberikan sawah (3 kesuk red.jawa) kepada salah satu penduduk yang sering membantu beliau di sawah.

Pada zaman belanda rumah beliau pernah dijadikan sebagai camp markas para pejuang kemerdekaan. Menantu beliau bercerita bahwa ketika itu ada seseorang yang mau minta makan kepada Mbah Idris :”Mbah ajeng nyuwun maem’me”, kemudian Mbah Idris menjawab :”Raono panganane wis tak wehke tentara” jawab Mbah Idris kepada peminta tersebut. Setelah itu peminta tersebut lari hendak melaporkan infomasi tersebut kepada Belanda dan akhirnya dikejar mati di tembak oleh tentara, ternyata dia adalah telik sandi belanda. Dalam hal besedekah beliau tak tanggung-tanggung akan tetapi beliau sangat anti bila mentasyarufkan hartanya kepada hal yang tak ada manfaatnya, apalagi berfoya-foya.

Dalam membina 30 santrinya, beliau menanggung seluruh kebutuhan santri setiap harinya baik makan ataupun pakaian. Semua santri pun demikian, semuanya senantiasa membantu segala kerepotan Mbah Idris, khususnya dalam mengolah sawah olahan beliau. Bahkan beliau sering membagi-bagikan mukena kepada masyarakat.

Karomah Mbah Idris

Ketika itu beliau juga memiliki Kuda dengan nama Kuda Sukro, sebagai kendaraan dalam mengantar perjuangan beliau. Menurut penuturan salah satu santri beliau, Mbah Idris juga memiliki kemampuan untuk berjalan cepat, atau sering dikenal dengan Ilmu Lempit Bumi. Ketika itu sang santri menemani Mbah Idris untuk berdakwah di desa Butuh Selopampang, berangkat dari Plumbon hampir maghrib dan sampai di Butuh masih maghrib, padahal jarak Plumbon—Butuh berkisar 10 KM dengan medan yang terjal. Pernah pula, Mbah Idris berjalan dari Wonoroto Windusari pulang menuju Plumbon bersama santrinya menempuh perjalanan satu puntung rokok pun tidak habis. Selain itu Mbah Idris juga akan tahu kesalahan seseorang dalam membaca dalam Al Qur’an, padahal itu dalam usia yang cukup senja, ketika mendengar kesalahan tersebut Mbah Idris langsung menghardir si pembaca Qur’an tersebut.

Beliau juga terkenal sebagai pengamal ‘Dawamul Wudlu’ atau melanggengkan dalam keadaan suci dari hadas.

Ke-winasisan Mbah Idris juga menetes kepada salah satu salah satu putra beliau,  yakni KH.Djufri. ketika di mintai pendapat keponakannya, yang ketika hijrah untuk bekerja di Jakarta. Keponakannya bermimpi bahwa, Ia sering diikuti babi hutan, Ia menanyakan tafsiran mimpi tersebut kepada KH.Djufri walhasil KH.Djufri memberikan tafsiran bahwa dalam Ia mencari nafkah di Jakarta, kebanyakan mendekati perkara yang di haramkan. Kemudian Beliau menyarankan untuk pulang dan menempuh pendidikan nyantri di Pondok Pesantren I’anatut Mujtahidin Blembeng Magelang di bawah asuhan Simbah KH.Mukhlasin—santri dari Simbah Chudlori Tegal Rejo. Suatu waktu beliau juga sempat berujar kepada keponakannya, bahwa suatu ketika kamu akan mendirkan pondok pesantren di tempat itu. Tunjuk KH.Djurfi kepada keponakannya tersebut, dan kini terbukti keponakan beliau yang bernama Abdul Rosyid telah mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon di tempat yang Beliau tunjuk tersebut sebagai penerus perjuangan Simbah Idris Plumbon. Kini dalam melanjutkan perjuangan Mbah Idris dan KH.Djufri itu, Kyai Abdul Rasyid melanjutkan Pengajian Kemisan yang merupakan wiridan Mbah Idris ketika itu.

Pada tahun 1960 beliau mendirikan pengajian di desa Ngemplak Petung Windusari bersama Pak Bakin, ditengah perbincangan dengan Mbah Bakin—tokoh Ngempak—beliau pernah berkata bahwa yang menjadi Presiden setelah Pak Karno adalah Soeharto, ”Kin, saiki dewe wis duwe presiden anyar jenenge Soekarno, sak lebare Soekarno sesuk jenenge Soeharto”, kata Mbah Idris kepada Pak Bakin. Dan hingga kini pengajian selapanan itu masih dilestarikan oleh cucu beliau. Tiap tanggal 8 Syawal di adakan Pengajian Syawalan dan Haul Simbah Demang Surwo Purwoto.

Menurut penuturan simbah Son Haji Sumber Ketandan (Alm) : beliau menuturkan bahwa di alam barzah Mbah Idris terlihat duduk nyaman dan berlapiskan Karpet Hijau tebal yang tebalnya tidak dapat di ukur dengan jemari tangan (berkisar 15-san cm) ini menjadi salah satu pertanda kemuliaan beliau.

Di tengah-tengah perjalanannya beliau sering mengamalkan bacaan Hauqolah (bacaan Lahaula Wala Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim) dan Hizib Autad 7 kali setelah sholat maktubah, serta tak pernah putus dalam bertahajud.

Mbah Idris di Rindukan Sang Kholik

Malam kamis legi Pukul 19.30 17 April 1976 bertepatan 29 Robi’ul Akhir  malam, rupanya Sang Kholik telah merindukan kehadiran Mbah Idris, beliau menghadap Sang Kholiq pada usia 106 tahun. Usia yang di habiskan untuk mengabdikan diri kepada agama dan masyarakat. Dalam sambutannya kewafatan Mbah Idris, Mbah Raden Alwi—Randucanan Bandongan Magelang—menuturkan bahwa :”Niki sing ajeng ngantos benjing putro ragil nak Djufri”. Terbukti kurun waktu setelahnya KH.Djufri-lah yang melanjutkan pesantren Mbah Idris.

Itulah Sedikit Sejarah Mbah Idris Plumbon Selopampang Temanggung. Semoga Bermanfaat

LEGENDA PATIH JIWONEGORO

Masa Kerajaan Pajang Pada masa Kekuasaan Kerajaan Pajang yang berada di bawah tampuk kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, muncul istilah “Pemalang Komplang”. Pada saat itu jabatan Adipati di Pemalang dipegang oleh putra dari Ki Gede Sambung Yudo yang bernama Adipati Anom Windu Galbo dan patih bernama Ki Gede Murti. Setelah Ki Gede Murti wafat, maka jabatan patih digantikan oleh putranya yang bernama Patih Jiwo Negoro. Kekosongan kekuasaan terjadi pada saat Adipati Anom Windu Galbo mangkat. Kekosongan Kadipaten Pemalang pada abad ke XVI sementara jabatan Adipati dirangkap oleh Patih Jiwo Negoro.

Sultan Hadiwijaya menerima laporan dari Kadipaten Pemalang bahwa Pemalang tidak ada penguasanga, atau istilah orang Pemalang adalah “Pemalang Komplang”. Oleh karena itu Sultan Hadiwijaya segera memerintahkan putranya yang bernama Pangeran Benowo untuk menjabat di kabupaten Pemalang. Keberadaan Kadipaten Pemalang dipandang Sultan Hadiwijaya merupakan daerah yang gawat. Pemalang, konon ceritanya sebagai “Kutha Pemalang” atau penghalang semua orang yang akan berbuat jahat. Maka Sultan Hadiwijaya memberikan syarat kepada Pangeran Benowo bahwa sebelum menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo harus pergi ke Banten untuk menemui Sultan Banten yang bernama Panembahan Yusuf untuk meminta ‘Keris Kyai Tapak’. keris tersebut dipercaya akan menimbulkan sifat kendel atau berani menghadapi segala situasi. Selain itu Pangeran Benowo dibekali Pusaka Keris Kyai Setan Kober yang merupakan pusaka rampasan dari Jipang atau Arya Penangsang. Guna melegitimasi kekuasaannya di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo di bekali Serat Kekancing menjabat di Kadipaten pemalang dan Surat ke Panembahan Yusuf agar meminjamkan Keris yang dahulu dibawa Fatahillah dari Kerajaan Demak.

Kedatangan Pangeran Benowo di Kadipaten Pemalang disambut dengan gembira. Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya langsung diumumkan oleh Patih Jiwo Negoro ke seluruh Punggawa Praja dan segenap lapisan masyarakat. Jumenengan atau pengesahan atas dasar Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya tersebut menyebutkan bahwa Pangeran Benowo putra Pajang diangkat sebagai penguasa Kadipaten Pemalang yang membawahi Pemalang, Tegal dan Brebes pada hari Jumat Pon, 24 Januari 1575 Masehi atau 2 Syawal 1496 (Je) atau tahun 982 Hijriyah. Jumenengan dilakukan pada bulan Syawal dengan maksud pada saat serah terima jabatan dari Patih Jiwo Negoro ke Pangeran Benowo sekaligus bisa diadakan silaturahmi atau halal bihalal antara penguasa kadipaten dan bawahannya. hari itu bertepatan dengan musim hujan, pertanda wilayah Pemalang subur makmur loh jinawi, gemah ripah karto toto raharjo.

Legenda Patih Sampun

Dalam kepemimpinannya di Kadipaten Pemalang, Sang Adipati Benowo mengadakan pertemuan dengan para Punggawa Kadipaten untuk membahas masalah pembangunan di Pemalang.untuk mempermudah hubungan dengan daerah-daerah di Pemalang kala itu, Adipati Pangeran Benowo memerintahkan kepada Patih Djiwonegoro untuk membangun dua jembatan di sungai banger dan di sungai Srengseng di Kebondalem.pada saat diberi mandat tugas tersebut,dengan spontan Patih Djiwonegoro menjawab "sampun dados (sudah jadi),kanjeng Adipati".

Mendengar jawaban Patih Djiwonegoro,sang Adipati Pangeran Benowo tercengang dibuatnya.untuk membuktikan kebenaran ucapan Djiwonegoro,pada pagi harinya Pangeran Benowo meninjau lokasi dua jembatan tersebut,dan ternyata apa yang di ucapkan Djiwonegoro benar adanya,di dua sungai tersebut telah terbentang jembatan yang di kehendaki Adipati.maka semakin yakinlah Pangeran Benowo kepada bhakti dan kesetiaan patih Djiwonegoro,putra asli pemalang yang masyhur kesaktiannya.

Pada hari berikutnya,sang Adipati Benowo memerintahkan lagi kepada patih Djiwonegoro untuk membangun lagi dua jembatan di sungai Rambut di Bojongkelor dan sungai Plawangan. Namun lagi-lagi dijawab "sampun dados,kanjeng Adipati" oleh Djiwonegoro.namun kali ini Adipati Benowo tak perlu lagi mengecek kebenaran jawaban yang di berikan oleh patihnya,dikarenakan sang Adipati sudah mempercayainya.

Bahkan bulan-bulan berikutnya adipati Pangeran Benowo memerintahkan lagi untuk membangun beberapa jembatan berturut-turut,jembatan-jembatan tersebut antara lain sebagai berikut:

- Jembatan Gianti,terdapat didepan polres lama,Sirandu.
- Jembatan di kali Waluh,Kedungbanjar.
- Jembatan di sungai Comal,kali Comal.
- Jembatan sungai Plawangan, di Lawangrejo.
- Jembatan sungai Sudetan di desa Krasak.
-Jembatan Pesapen, didepan kantor kecamatan Pemalang.
- Jembatan Slarang di sungai Waluh,di perbatasan desa Lenggong,Slarang.
- Jembatan sungai Raja (Siraja) di wilayah Bantar bolang,tepatnya di dukuh Simbang,Pegiringan.
- Jembatan di perkebunan kelapa Gentongreot,Karang moncol.
- Jembatan di desa Mejagong di kali Comal.
- Jembatan di desa Datar,di kali Comal.
- Jembatan Sudetan di daerah Moga,didepan Pesanggragan dan pemandian.
- Jembatan di perbatasan desa Cikasur dan desa Randu dongkal.
- Jembatan di desa Bulakan,dan -
- Jembatan di desa Belik.

DI NOBATKAN SEBAGAI PATIH SAMPUN

Pada pertemuan berikutnya,Adipati pangeran Benowo melibatkan Tumenggung dan seluruh Demang serta para Penatus dan Bekel se kadipaten Pemalang,dalam acara tersebut,Adipati pangeran Benowo mengucapkan terima kasih kepada Patih Djiwonegoro dan para punggawanya atas jasa-jasanya dalam membangun beberapa jembatan di wilayah kadipaten Pemalang,maka,atas jasanya tersebut patih Djiwonegoro diberi gelar "sampun",dan sejak saat itu Patih Djiwonegoro lebih dikenal sebagai Patih Sampun.