Translate

Selasa, 09 Oktober 2018

Jejak Sejarah Pangeran Secogati Dan Pangeran Trenggono Kusumo

Prabu Brawijaya mempunyai putra sebanyak 117 orang yang pada waktu itu sebagian besar maíz berada dalam lingkungan keraton Majapahit. Dengan terjadinya perang tersebut maka para pangeran/putra-putra yang masih ada dalam lingkungan istana menjadi terpisah cerai berai meninggalkan istana, ada yang ke pulau Bali, ke Banten, Cirebon, dan lain-lain tersebar di Pulau Jawa termasuk ke Mataram.

Sudah dipastikan bahwa tiap pangeran pasti dikawal oleh para prajurit. Demikianlah seorang putra yang ke-33 bernama Pangeran Djoko Dander disebut Pangeran Damiaking yang sekarang dimakamkan di pesarean raja-raja Mancingan Parangtritis, sesuai dengan daftar putra raja-raja yang ada di Kraton Yogyakarta Adiningrat.

Pangeran Djoko Dander/Damiaking juga meninggalkan kerajaan Majapahit terpisah dengan keluarga lainnya. Tidak dikisahkan selama perjalanannya, tetapi beliau beserta dua orang putra laki-lakinya lengkap dengan pengawalnya. Adapun kedua petra kakak beradik itu bernama Pangeran Secogati dan Pangeran Trenggono Kusumo juga disebut Pangeran Mahesa Duk.

Mereka terdesak oleh musuh hingga masuk hutan belantara Sapuangin. Hutan Sapuangin ádalah hutan yang Belum tersentuh oleh manusia, sébelah utara adalah hutan belantara Segeblog.

Singkatnya Pangeran Djoko Dander/Damiaking deserta dua orang putra dan rombongan tersesat di dalam hutan Sapuangin tersebut. Padahal mereka sepakat akan pergi ke Mataram. Karena lebatnya hutan itu maka terjadilah perpisahan antara rombongan ayah dan rombongan putra, tetapi semua satu tujuan yaitu ke Mataram.

Pangeran Secogati dan Pangeran trenggono Kusumo dapat keluar dari hutan Sapuangin setelah menuju ke arah selatan dan berhenti di sebelah selatan  lereng hutan Sapuangin, karena lelahnya maka diperintahkan istirahat semuanya dan belum ada minat akan pergi ke Mataram. Maka diperintahkan membuat pesanggrahan membuat baturan rumah di lereng tersebut. Karena memang keadaan medannya tersebut aman, sukar diketahui musuh dari segala arah.

Berapa lama ”bebatur” di tempat tersebut tidak diceritakan. Setelah beberapa tinggal di lereng Sapuangin tersebut dan diperkirakan sudah aman maka kakak beradik sepakat melanjutkan perjalanan ke Mataram menyusul ayahnya Pangeran Djoko Dander/Damiaking, dan disinilah awal kisah terjadinya Desa Kaloran.

Kedua kakak beradik berkemas-kemas meninggalkan pesanggrahan tersebut. Sebelum berangkat dikumpulkanlah para pengawal dan sang adik, bersabdalah Pangeran secogati. Titahnya : Tempat pesanggrahan yang akan kita tinggalkan ini besuk kalau sampai kepada zaman yang sudah baik jadilah sebuah desa BATUR karena disinilah kita terpisah dengan Kanjeng Romo kita telah bebatur disini, marilah kita melanjutkan perjalanan!

Pangeran Secogati beserta pengawalnya berangkat dan berjalan kearah selatan dalam rangka menyusul ayahanda ke Mataram. Rombongan itu berjalan terlebih dahulu tidak bersama-sama rombongan sang adik Pangeran Trenggono Kusumo. Kira-kira berjalan antara 300/400 meter rombongan tersebut berhenti sejenak menoleh  ke belakang dengan maksud ingin mengetahui apakah sang adik dan pengawalnya sudah kelihatan. Seperti di ketahui bahwa lereng Sapu angin sebelah selatan terutama memang tidak ada yang datar, medannya bertebing dan banyak parit serta berliku-liku jalannya. Setelah dinantikan beberapa saat sang adik tidak kelihatan maka berangkatlah melanjutkan perjalanan, dan bersabdalah pangeran(dalam bahasa Jawa): ”He para kanca besuk yen tekan rejehing jaman panggonan iki dadio desa lan dak jenengi desa TOLEH, sebab nalika ingsun mandheg ngenteni adhimas, aku noleh ngalor”.

Perjalanan yang sulit dan sukar melalui tebing-tebing dan jurang menurun sangat lambat, akhirnya sampai juga ke bawah. Kesemuanya kelelahan dan berhentilah mereka di suatu tempat sambil melepaskan lelah dan menantikan rombongan Pangeran Trenggono Kusumo. Setelah dinantikan tidak ujung datang maka berangkatlah mereka dan bersabdalah Pangeran Secogati : ”Dianti-anti kok ora ana mula besuk yen tekan jaman kang becik, panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Antiyono (TIYONO)”.

Berjalanlah mereka ke arah barat, karena arah selatan terhalang sungai dan jurang-jurang. Setelah menyeberangi sungai sampailah mereka ke tempat yang agak datar. Pangeran Secogati hatinya gundah karena adiknya belum juga menyusul dalam bahasa jawa ”melang-melang”, lalu bersabdalah beliau: "Ingsun kok Sumelang, mbok-mbok adhimas kecekel mungsuh, banjur kepiye? Mula ayo padha neruske laku, nggolek papan kang juwero, papan kang dhuwur ben weruhkiwa tengen, mulo besuk tekan rejehing jaman panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Sumelang (SEMALANG)’.

Perjalanan terus naik keatas arah barat, mencari tempat yang tinggi mungkin bisa melihat dari jauh rombongan yang dinantikan tersebut, dan sampailah ditempat yang tinggi. Di tempat tersebut dapat melihat kemana-mana, ke timur, ke barat, ke selatan ternyata Pangeran Secogati melihat kemana-mana tidak kelihatan. Lama kelamaan mereka juga merasa khawatir karena tempat tinggi dimungkinkan rombongannya juga diketahui musuh. Maka berlindunglah semua rombongan itu. Setelah beberapa lama tidak terjadi sesuatu berangkatlah mereka kearah selatan. Sebelum berangkat bersabdalah pangeran Secogati: ”Para kanca rehning anggo kita ndhelik ngenteni adhimas ana kene iki panggonan iki besuk dadia desa lan dak jenengi desa nDELIK’.

Berjalanlah rombongan Pangeran Secogati itu kearah selatan dan sampailah pada sebuah lereng bukit yang sebelah timur. Sebelum menyeberangi sungai berhentilah sambil melepaskan lelah beristirahat sebentar. Pada waktu istirahat Pangeran Secogati berkata kepada para pengawalnya; ”Demikianlah saudara-saudara, sudah tak ada harapan lagi kita menemukan adik yang saya kasihi, perasaan hatiku mengatakan bahwa kini aku sudah sendirian, kalau dulu saya dan adik terpisah dengan ayahanda, maka sekarang aku sendirian berpisah dengan dinda Mahesa Duk, semoga mereka dalam keadaan selamat”. Sebelum meneruskan perjalanan Pangeran Secogati berkata demikian: ”Para kanca wis cetha yen aku saiki wis ijen ora ketemu/bareng dhimas maneh, mula yen seksenana panggonan iki besuk yen tekan rejehing jaman dadia desa lan dak jenengi desa Ijen (MIJEN)”.

Selanjutnya berjalanlah ke selatan, sampai ketempat yang membingungkan, berputar-putar tiap berjalan selalu kembali ke tempat yang sudah dilalui. Berputar-putar (minger-minger hal tersebut mungkin sudah sangat kelelahan karena berjalan dari hutan Sapuangin dengan keadaan yang masih semak belukar, jadi wajarlah kalau sangat lelah, maka berhentilah dan beristirahat membuat pesanggrahan. Masih di dalam pesanggrahan beberapa hari maka pangeran bersabda lagi: ”Pesanggrahan kan kita enggoni iki dadia desa lan dak jenengi desa Mingger (MENGGOR) sebabkita teka keke iki klidheng mingger-mingger jebule tekan panggonan kang wis kita liwati maneh”.

Kehidupan selama dalam pesanggrahan beberapa hari bahkan beberapa bulan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang mengintai dan mengganggu ketenangan Pangeran Secogati tersebut. Akhirnya terjadilah perselisihan berbuntut peperangan antara kedua belah pihak dan berakhir dengan kemenangan Pangeran Secogati. Rombongan lawan itu kisahnya dipimpin oleh Ki Bawang, yang berdomisili sebelah barat sungai. Mereka punya tempat tinggal sebagai kedhatonnya, yang sampai sekarang tempat itu dinamai Kedhaton (sekarang menjadi ladang/alas). Karena pimpinan rombongan tersebut bernama Ki Bawang, maka desa yang sudah ditempati itu oleh Pangeran secogati diberi nama desa BAWANG. Dengan kekalahan Ki Bawang maka ada perjanjian sebagai berikut:

1- Desa Bawang menjadi bawahan/dibawah perintah Pangeran Secogati.
2- Penduduk desa tidak boleh berbesan (ora keno besanan) dengan orang mengor.
3- Tiap-tiap ada orang yang meninggal dari penduduk desa Bawang harus dikuburkan di perkuburan Mengor yang sebelah bawah/barat.

Kehidupan rombongan Pangeran Secogati di Mengor agak lama. Dalam sabdanya Pangeran Secogati demikian; ”Saudar-saudarku saya pikir kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ke Mataram, sebab kalau nanti kita sampai di Mataram tidak bersama Dhimas Trenggono Kusumo, pasti mendapat marah dari ayahanda. Dari sebab itu saya bermaksud menetap di sini sambil mencari sisik melik di mana letak Dhimas Mahesa Duk, mudah-mudahan besuk kalau sudah ditemukan kita dapat melanjutkan perjalanan ini. Dan alangkah baiknya mencari tempat yang lebih baik untuk membuat rumah tinggal. Kemudian rombongan itu berjalan lagi ke arah utara mencari tempat yang baik untuk membuat rumah.

Dan diketemukan tanah yang agak datar dan luas, dan dibuatlah rumah untuk Pangeran Secogati dan di sekitarnya untuk para prajurit yang mengawalnya. Dan diperintahkannnya untuk menanam dua buah pohon pala dan dua buah pohon maja di depan rumah sebagai peringatan bahwa tempat tersebut berasal dari Majapahit.

Pangeran Secogati memberi nama semua daerah kekuasaannya itu sebab dari desa yang paling selatan berderetan ke utara (ngalor) adalah menjadi kekuasaannya. Jadi daerah

bawahannya Pangeran Secagati ialah dari Mengor berderet ke utara sampai Batur. Setelah menetap dan tinggal di Pesanggrahan baru, Pangeran Secagati bersabda: ”Kita wis manggon ana ing omah kang nembe kita bangun, tlatahku wiwit seka Mengor tekan Batur kang arahe mengalor ”NGALOR” dak jenengi tlatah ”KALORAN”. Lan pedaleman ingsun iki ya Krajaanku mula uga dak wenehi tetenger ”KRAJAN KALORAN”.

Dusun Krajan sekarang berubah menjadi dusun Kauman, perubahan ini belum lama kira-kira tahun 1940 masih banyak yang menyebut Krajan, hal ini mungkin disebabkan majunya atau banyaknya pemeluk agama Islam sehingga pada lazimnya tempat yang demikian disebut Kauman.

Demikian secara singkat kisah terjadinya Desa Kaloran. Adapun dusun-dusun lain yang termasuk wilayah desa Kaloran seperti Kampung, Papringan, Dukoh, Pongangan, Gembleb, Jrakah dan Balong tidak dapat di kisahkan mungkin merupakan dusun-dusun pemekaran/perluasan wilayah.

Perjalanan Pangeran Trenggono Kusumo

Dalam kehidupan seorang bangsawan merasa tidak nyaman dan punya tekat hendak ngulandoro yaitu keluar dari kehidupan seorang bangsawan menjadi sufi yang diikuti oleh para sahabatnya dalam pengembaraannya. Sesampainya disebuah bukit yang bernama Gunung Beser K. Ageng hendak bertapa/ melakukan semedi untuk mendekatkan diri kepada Sang Yang Widi, dalam pelaksanaan tersebut dijaga oleh para pendereknya. Namun ditengah-tengah melakukan semedi tersebut salah satu dari pendereknya ada yang sakit keras, K. Ageng merasa bertanggung jawab atas kesehatan dari pada cantriknya, terpaksa K. Ageng mencarikan obat guna menyembuhkan, akhirnya K. Ageng turun ke gunung untuk mencari obat dan berjalan menyusuri hutan yang lebat, karena merasa lelah K. Ageng istirahat dan tongkat yang dibawa untuk menyangga berjalannya di tancapkan di tanah, ketika hendak melanjutkan perjalanannya tongkatnya di cabutnya tapi hati K. Ageng dikejutkan oleh air yang keluar dari dimana tongkat tersebut dicabutnya hati K. Ageng bergumam “Subhanalloh” apakah ini obat yang disediakan oleh Alloh untuk penyembuhan cantriknya? Masih dalam perasaan kekagumannya K. Ageng bergegas membuat gumbangan kecil dengan maksut air bisa ngumpul menjadi satu, agar mudah ditadahi K. Ageng membuat pancuran dari bambu wulung untuk bisa mengambil air tersebut. Kemudian K. Ageng dibingungkan kembali bagaimana cara membawa air sampai dimana tempat cantrik menunggunya dengan menahan rasa sakit dan penuh harap, akhirnya memetik selembar daun awar-awar untuk membawa air ke atas bukit dan sesampainya disana langsung diminumkan pada si sakit, dengan izin Alloh penyakit yang di deritanya berangsur-angsur sembuh.

Setelah sembuh K. Ageng hendak meneruskan perjalannya melewati dimana air itu di temukan dan sampai ditempat tersebut K. Ageng berkata “apabila dikemudian hari tempat ini didirikan sebuah perkampungan maka akan kami beri nama “Dusun Kuwarasan” sampai saat ini dusun tersebut menjadi dusun yang besar  dan menjadi sebagian wilayah Desa Muneng, dan mata air yang digunakan untuk mengobati sahabatnya itu sampai sekarang  masih dikeramatkan warga sekitarnya dengan jaro/pagar, pancuran bambu wulung sebagai awal yang digunakan sampai sekarang masih diikuti untuk penggantinya. Saking keramatnya di bulan Mukharam/Suro digunakan mandi oleh peziarah atau penduduk dengan harapan mendapat kesehatan di tahun mendatang. K. Ageng terus melanjutkan perjalanan ke arah utara dan sekitar 300 meter dari sendang merasa kemalaman dan melakukan sholat diatas batu, anehnya batu yang digunakan sholat ada bekas telapak kaki dan tangan sehingga tempat tersebut disebut tapak suci dan wilayah sekitar itu dinamakan “Kewengen” kemalaman).

K. Ageng terus melanjutkan perjalanannya ke arah utara dan sampai di bukit yang kecil perasaan K. Ageng merasa mangu-mangu tapi senang, akhirnya bukit kecil tersebut di tipar dan dibuang ke arah timur, hari demi hari berjalan terus akhirnya berdirilah sebuah perkampungan dan K. Ageng berkenan memberikan nama dari kampung yang didirikan.

Adapun tanah yang dibuang kesebelah timur tersebut di beri nama “Dukuh Tiparan” dan yang dekat bukit yang ditipar diberi nama “Dukuh Manguneng”. Tahun demi tahun berjalan terus, kampung demi kampung berkembang penduduknya semakin banyak sehingga disatukan menjadi sebuah desa yaitu “Desa Muneng” dan di akhir cerita K. Ageng meninggal dunia dan dimakamkan di Dusun Muneng dimana bukit yang ditipar tersebut dijadikan untuk Makam “K. Ageng R. Trenggono Kusumo” dan sampai saat ini juga makam K. Ageng ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar daerah untuk mendapatkan berkah atau sarana memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan makam tersebut sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya dan dibulan Ruwah dan bulan Maulut diadakan sadranan yang sebagai ungkapan rasa terima kasih atas limpahan rahmat taufik serta hidayahnya yang diberikan oleh Alloh kepada K. Ageng R. Trenggono Kusumo untuk memberikan sawab kepada penduduk disekitarnya agar menjadi lebih tentram, sejahtera dan aman.

Untuk perjalanan Ziarah ke makam R. Trenggono Kusumo diutamakan mandi lebih dulu disendang Kuwarasan terus napak tilas telapak kaki di tapak suci dan baru menuju makam K. Ageng Trenggono Kusumo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar