Translate

Minggu, 31 Januari 2021

Sejarah Banjarsari Ciamis

 

Pernahkah Anda singgah berkunjung ke Banjarsari Ciamis atau sekedar melewatinya? Daerah ini ternyata menyimpan banyak cerita masa lalu yang mungkin sudah dilupakan oleh sebagian besar warga Ciamis khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Selain jarang diungkap, penyebarluasan informasinya pun memang terasa masih minim dan nyaris tidak terdengar, sehingga masyarakat umumnya tidak mengetahui sejarah Banjarsari. Sebuah tulisan yang akan menambah wawasan kita tentang riwayat daerah tersebut. Selamat membaca dan kembali ke masa lalu.

Tahun 1628 Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa. Namun Bahureksa tidak mengadakan hubungan dengan Dipati Ukur. Oleh karena itu Dipati Ukur tidak dapat melakukan perundingan dengan Bahureksa.

Pada waktu yang telah ditentukan, Dipati Ukur memimpin pasukannya bergerak menuju Batavia untuk menyerang Kompeni. Ketika pasukan dipeti Ukur tiba di Batavia, ternyata pasukan Mataram belum datang. Oleh karena itu, Dipati Ukur gagal mengusir Kompeni dari Batavia. Kegagalan itu terjadi karena ketidakseimbangan persenjataan dan tidak mendapat dukungan dari pasukan Mataram. Padahal seharusnya pasukan Mataram yang menjadi kekuatan ini penyerangan, dibantu oleh pasukan Dipati Ukur.

Atas kegagalan menjalankan tugas dari raja Mataram, rupanya Dipati Ukur berpikir, daripada ia menerima hukuman berat dari Sultan Agung, lebih baik ia tidak setia lagi terhadap Mataram. Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya mengabaikan kekuasaan Mataram dan melakukan gerakan memberontak terhadap Mataram.

Sikap Dipati Ukur tersebut segera diketahui oleh penguasa Mataram. Pihak Mataram berusaha keras menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Bila pemberontakan itu tidak segera ditumpas, akan merugikan pihak Mataram.

Akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632.

Penangkapan Dipati Ukur Oleh Adipati Kawasen

Naskah Leiden Oriental adalah naskah yang memuat tentang pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen). Naskah ini ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Ghaluh. Peristiwa penangakapan Dipati Ukur Oleh Bupati Kawasen ini menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Berikut adalah cuplikan naskah Leiden Oriental yang menceritakan tentang penangakapan Dipati Ukur oleh Adipati Kawasen (Bagus Sutapura):

“Nunten pada guneman lan para bupati kabeh. Daweg pada angulati srana kang bhade bisa nyekel Dipati Mogol punika. Nunten kyai Dhipati Galuh Bendanagara angsal sanunggal santana Kawasen westa bagus Sutapura, gawena lagi ambhating raga, sanggem anyekel Dipati Ukur. Sarta lajeng kumanabang sareng sareng samenek ing Gunung lumbung punika. Nunten dipun tibani watu Westa Munding Jalu dipun capakeun dening Bagus Sutapura, dipun balangakeun sumangsang wonten sainggiling lajeng leles. Mangke nyataning Batulayang sareng sampun sumangsang watu puniku. Nunten Bagus Sutapura angamuk pribadi, katah kiang pejah balanipun Dipati Ukur punika sarta dipun besta dibakta dateng Ghaluh.”

Artinya:
“Hasil musyawarah para Bupati yang akan diberi tugas menangkap Dipati Ukur yang memberontak, kemudian Kyai Ghaluh Bandanagara mendapatkan Senopati dari Kawasen (Bagus Sutapura) yang orang sedang bertapa untuk menangkap Dipati Ukur. Bagus Sutapura lalu maju untuk berperang. Ia naik gunung lumbung. Begitu Bagus Sutapura naik ke Gunung Lumbung, Bagus Sutapura dijatuhi batu yang bernama Munding Jalu oleh Dipati Ukur. Batu itu kemudian ditangkap oleh Bagus Sutapura, kemudian dilemparkan dan nyangkut di phon leles. Berhubung dengan ditangkapnya Batu itu (Munding Jalu), maka tempat itu dinamakan batu layang. Kemudian Bagus Sutapura menyerng sendirian sampai pengikut Dipati Ukur banyak yang tewas. Akhirnya Dipati Ukur dapat ditangkap oleh bagus Sutapura dan diikat kemudian dibawa ke galuh”

Sejarah Galuh yang disusun oleh raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Diantara naskah tersebut yang menceritakan Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) adalah:

Heunteu kocap dijalanna
Di dayeuh Ukur geus Neupi
Ki Tumenggung narapaksa
Geus natakeun baris
Gunung Lembung geus dikepung
Durder pada ngabedilan
Jalan ka gunung ngan hiji
Geus diangseug eta ku gagaman perang

Dipati Ukur sadia
Batuna digulang galing
Mayak Gagaman di lebak
Rea anu bijil peujit
Sawareh nutingkulisik
Pirang-pirang anu deungkeut
kitu bae petana
Batuna sok pulang panting
Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan

Urang mundur ka Sumedang
Didinya Urang Badami
Nareangan anu bisa
Nyekel raheden Dipati
Bupati pada mikir
Emut ku Dhipati galuh
Ka Ki bagus Sutapura
Waktu eta jalma bangkit
Seg disaur ana datang diperiksa

Kyai bagus Sutapura
Ayeuna kawula meureudih
Dipati Ukur sing beunang
Ditimbalan dijeng gusti
Nanging kudu ati-ati
Perkakasna eta batu
Gedena kabina-bina
Dikira sagede leuit
Dingaranan Batu Simunding lalampah

Kyai bagus Sutapura
Perkakasna ngan pedang jeung keris
Datang kana pipir gunung
Tuluy gancangan nanjak
Geus datang kana tengah-tengah gunung
Batu Ngadurungdung datang
Dibunuh geus burak-barik

Nu sabeulah seug dicandak
Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai
Nu matak ayeuna masyhur
Ngarana batu layang
Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk
Balad Ukur ennggeus ruksak
Ukur ditangkap sakali.

Hariring katu nimbalang
Eta maneh bener Kyai Dipati
Eh ayeuna Tumenggung
Tumenggung Narapaksa
Karep kamenta Ngabehi anu tilu
Ayeuna angkat Bupati

Kyai bagus Sutapura
ayeuna ngarana kudu diganti
Bari diangkat Tumenggung
Tumenggung Sutanangga
Jeung bere cacah 7000
Ayeuna Geus tetep linggih

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura.

Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen (wilayah Kawasen pada saat itu antara Pamotan (Kalipucang) sampai Bojong Malang (Cimaragas sebelah Barat) berpusat di Kawasen-Banjarsari).

Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wira angun angun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya). Bagus Sutapura memerintah Kawasen sampai dengan 1653 M.

Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Demikianlah untaian cerita nyata yang pernah terjadi tentang Pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura Adipati Kawasen. Dari berbagai sumber yang ada tentang Jasa Bagus Sutapura yang telah berjasa mengagalkan pemberontakan yang dilakukan oleh Dipati Ukur.

Selanjutnya Tahun 1643 Bagus Sutapura diangkat sebagai Dalem Kawasen dengan gelar Tumenggung Sutanangga. Kadaleman Kawasen sekarang bernama Banjarsari.

Kadaleman Kawasen resmi dibubarkan pada tahun 1810 M berdasarkan Besluit yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Herman Deandels.

Peninggalan-peninggalan dari kebesaran Kadaleman Kawasen yang tersisa sampai saat ini hanya berupa makam-makam dari para Dalem Kawasen yang berkuasa di Kawasen beserta para pejabat kawasen. Di Banjarsari sendiri orang kebanyakan hanya tahu Kawasen itu adalah salah satu Desa di Kecamatan Banjarsari yang tidak ada sejarahnya. Selain itu sekarang tidak tampak Bahwa di Banjarsari dulu adalah sebuah kabupaten yang besar dan masyhur di Tatar Parahiyangan dengan nama Kawasen. Hal ini terjadi karena Kurangnya kesadaran masyarakat untuk kembali menelusuri sejarah “Nyakcruk Galur Mapay Patilasan”.

Sepertinya pemerintah setempat khususnya Ciamis kurang memperhatikan sisa-sisa peninggalan dari Kadaleman kawasen. Seandainya Pemerintah ciamis sadar bahwasanya di Banjarsari masih ada sisa-sisa kebudayaan dalam hal ini Kadaleman kawasen, maka Kawasen ini layak dijadikan sebagai Situs Wisata Budaya yang ada di Bumi tatar galuh Tercinta.

Semoga tulisan singkat mengenai kebesaran kadaleman kawasen ini dapat memberikan hikmah suri taulada kepada kita semua tentang jiwa Patriotisme Bagus Sutapura yang tercermin dalam jiwa dirinya.

Sabtu, 30 Januari 2021

Jlegong Nama Daerah Sederhana Yang Penuh Makna

 JLEGONG. Asal nama Jlegong – Lugong – Silugong – Silugonggo ( sungai suci / sungai yang disucikan ). Pada jaman dahulu setiap ada orang mati penyuciannya dengan air sungai Jlegong dengan mengambil 7 sumber.


Desa ini sudah ada sebelum datangnya Mbah Sayyid (Sayyid Abdurrohman bin Sunan Bejagung), Beliau menggunakan nama Samaran dengan sebutan Kyai Cablik. Dengan adanya bukti situs-situs kuno seperti halnya WATU KENTENG ,LINGGA YONI. 

Orang-orang juga masih kebingungan denga asal muasal desa ini. 

Desa ini telah ada sejak Zaman Mataram Kuno, namun sempat kosong waktu terjadinya meletusnya Gunung Merapi tahun 1010M serta pemindahan pusat kerajaan Mataram ke daerah Jawa Timur. 

Dan dimasa Walisongo Era Majapahit diutuslah Sayyud Abdurrohman putra Kanjeng Sunan Bejagung oleh Syaikh Maulana Maghrib (Paman Sayyid Abdurrohman) untuk dakwah serta mendirikan pemukiman di wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno bersama tokoh-tokoh lain pada Waktu itu, diantaranya Sayyid Abdullah Quthbuddin di Candi Wonosobo,  Kyai Ageng Makukuhan, Kyai Ageng Wot Sinom,  Kyai Ageng Suro Dilogo dll. 

Hingga sampailah Mbah Sayyid sampai di sebuah lembah berbukit  yang bernama PUNTHUK  TEJOLAYU (nama masa itu) Beliau beserta rombongan mukim di tempat tersebut  hingga beberapa generasi. Adapun riwayat perjuangan Beliau tidak bisa diketahui secara luas dikarenakan pada masa itu awal perjuangan penyebaran Agama Islam ke pelosok pegunungan. 


Pada era generasi ke 3 tepatnya saat Desa Jlegong dipimpin oleh Cucu Mbah Sayyid yang bernama Raden Tholabuddin tempat pemukiman terjadi longsor hingga akhirnya Raden Tholabuddin berinisiatif memindahkan lokasi pemukiman ke arah timur yang menjadi kampung Jlegong sekarang ini. 


Dari masa ke masa zaman ke zaman di Desa Jlegong banyak tokoh Sakti maupun Ulama' ya berperan aktif di wilayah tersebut,  seperti halnya  Kyai Suto Drono, Kyai Jazuli, Ki Maryono, Ki Wongso Kromo,  Ki Wongso Wikarto dll. Namun penulis belum berani untuk menceritakan riwayat sejarah para tokoh-tokoh tersebut. 


Pada masa penjajahan di Desa ini pun menjadi salah satu basis perjuangan serta tempat pengungsian,  diantaranya bukti adalah situs Igir Gongso serta beberapa lokasi perlindungan bagi pengungsi yang tersebar di berbagai lokasi,  namun sangat disayangkan tempat tempat tersebut sudah tidak seperti semula dikarenakan adanya pemukiman serta lahan pertanian. 

Di desa ini terdapat suatu tradisi yaitu Manganan (makan bersama), yang di laksanakan pada bulan Sya'ban. 

Tempatnya sendiri di Punden Mbah Sayyid. Tradisi Sadranan di Punden Mbah Sayyid memiliki bentuk ritual Tradisi, simbol dan makna tradisi, fungsi tradisi, serta faktor-faktor pendorong terjadinya tradisi Sadranan di Punden Mbah Sayyid. Bentuk ritual tradisi terdapat dalam prosesi pelaksanaan tradisi Sadranan yang terdiri dari lima bentuk yaitu: ritual persiapan, ritual istighosah, acara sambutan, ritual tahlil bersama, dan makan bersama. 

Simbol dan makna tradisi yang terdapat dalam tradisi manganan yaitu bubur merah dan putih mempunyai makna tentang asal muasal diciptakannya manusia, daun berjajar mempunyai makna tata cara orang shalat berjamaah, kembang setaman bermakna tentang menjaga nama baik, kemenyan mempunyai makna sarana seseorang untuk memanjatkan doa, nasi dan lauk pauk bermakna ungkapan rasa syukur pada Tuhan, sayur bening mempunyai makna bersih jiwa dan raga ketika beribadah, jadah pasar bermakna bahwa manusia hidup tidak sendiri, dan ingkug mempunyai makna manusia di hadapan Tuhan harus bersujud. 

Fungsi yang terdapat dalam tradisi Sadranan adalah sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat, dan fungsi meningkatkan perasaan solidaritas. 

Faktor-faktor pendorong dilaksanakannya tradisi Sadranan adalah faktor kekerabatan, faktor pendidikan, dan faktor religi.

Hukum Memakai Cincin

 

Memakai cincin bagi lelaki sebagaimana memakai jenis pakaian lainnya, pada asalnya adalah perkara mubah, tidak ada nilai pahalanya. Kecuali jika ada kebutuhan, seperti untuk stempel pengesahan surat atau keputusan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan cincin beliau untuk stempel surat yang beliau kirim ke berbagai negara kafir di sekitar Madinah.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ ، وَجَعَلَ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ ، وَنَقَشَ فِيهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ مِثْلَهُ ، فَلَمَّا رَآهُمْ قَدِ اتَّخَذُوهَا رَمَى بِهِ ، وَقَالَ لَا أَلْبَسُهُ أَبَدًا

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan cincin dari perak, dan mata cincin diposisikan ke arah telapak tangan, di sana ada ukiran Muhammad Rasulullah. Kemudian banyak orang ikut memakai cincin seperti itu. Ketika beliau melihat banyak sahabat memakai cincin, beliaupun melepas cincin beliau dan mengatakan, ‘Saya tidak akan lagi memakainya selamanya.’ (HR. Bukhari 5866)

Dan cincin beliau telah hilang.

Ibnu Umar menceritakan,

فَلَبِسَ الْخَاتَمَ بَعْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ، حَتَّى وَقَعَ مِنْ عُثْمَانَ فِى بِئْرِ أَرِيسَ

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, cincin itu dipakai oleh Abu Bakr, Umar, kemudian Utsman, hingga cincin itu terjatuh di sumur Aris di zaman Utsman. (HR. Bukhari 5866)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan menggunakan cincin beliau untuk stempel surat-surat beliau. Sehingga ketika fungsi itu telah usai, beliau tidak lagi butuh cincin. Ini dijadikan dalil bahwa memakai cincin ada 2 hukum:

[1] Jika dibutuhkan hukumnya anjuran

[2] Jika tidak dibutuhkan, hukum asalnya mubah.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

وقالوا: إن التختم سنة لمن يحتاج إليه، كالسلطان والقاضي ومن في معناهما، وتركه لغير السلطان والقاضي وذي حاجة إليه أفضل. وذهب المالكية إلى أنه لا بأس بالخاتم من الفضة، فيجوز اتخاذه، بل يندب بشرط قصد الاقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولا يجوز لبسه عجبا

Para ulama mengatakan, memakai cincin hukumnya sunah bagi orang yang membutuhkannya, seperti pemimpin atau qadhi atau semisalnya. Sementara untuk selain pemimpin atau qadhi lebih afdhal tidak memakai cincin.

Sementara Malikiyah mengatakan, tidak masalah menggunakan cincin perak, bahkan dianjurkan dengan syarat diniatkan untuk meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai cincin untuk kebanggaan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 11/23-24).

Imam Malik pernah meriwayatkan dari Shadaqah bin Yasar bahwa beliau pernah bertanya kepada seorang tabiin – Said bin al-Musayyib – lalu Said mengatakan,

البس الخاتم ، وأخبر الناس أني قد أفتيتك

Silahkan pakai cincin.. dan sampaikan kepada masyarakat bahwa saya telah memberikan fatwa ini kepadamu. (Fathul Bari, 10/400).

Ini menunjukkan bahwa pada asalnya memakai cincin hukumnya mubah

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ (رواه مسلم، رقم 2094)

“Sesunguhnnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memakai cincin perak di sebelah kanan di dalamnya ada mata cincin dari Habasy dimana beliau menjadikannya di samping telapak tangannya.” (HR. Muslim, no. 2094).

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَماً مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فَصَّهُ فِي بَطْنِ كَفِّهِ إِذَا لَبِسَهُ ، فَاصْطَنَعَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ مِنْ ذَهَبٍ ، فَرَقِيَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ : إِنِّي كُنْتُ اصْطَنَعْتُهُ ، وَإِنِّي لاَ أَلْبَسُهُ ، فَنَبَذَهُ فَنَبَذَ النَّاسُ . قَالَ جُوَيْرِيَةُ : وَلاَ أَحْسِبُهُ إِلاَّ قَالَ فِي يَدِهِ الْيُمْنَى .(رواه البخاري، رقم 5876، وفي رواية عند مسلم أيضا، رقم 2091 فيها التصريح باليمين أيضا)

Dari Nafi’ bahwa Abdullah memberitahukan sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuat cincin dari emas dan dijadikan matanya di sisi dalam tangannya ketika memakainya. Dan orang-orang membuat cincin dari emas. Kemudian beliau naik mimbar memuji dan menyanjung kepada Allah seraya bersabda, “Sungguh saya dahulu membuatnya. Dan sesungguhnya saya tidak memakainya. Maka beliau buang dan orang-orang pada membuangnya. Juwairiyah mengatakan, “Saya tidak mengira kecuali berkata di tangan sebelah kanan.” (HR. Bukhori, no. 5876 dalam redaksi Muslim juga 2091 dengan jelas sebelah kanan juga)

Dari Anas radhiallahu anhu berkata:

صَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا ، قَالَ : إِنَّا اتَّخَذْنَا خَاتَمًا وَنَقَشْنَا فِيهِ نَقْشًا ، فَلَا يَنْقُشَنَّ عَلَيْهِ أَحَدٌ . قَالَ : فَإِنِّي لَأَرَى بَرِيقَهُ فِي خِنْصَرِهِ (رواه البخاري، رقم 5874، وبوب عليه بقوله : باب الخاتم في الخنصر)

“Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuat cincin. Seraya bersabda, “Sesungguhnya kami membuat cincin dan memahatnya dengan pahatan. Maka janganlah seseorang memahatnya. Berkata (Anas), “Sesungguhnya saya melihat kilatannya di jari kelingkingnya.” )HR. Bukhori, 5874 dan beliau membuat bab dengan mengatakan ‘Bab Al-Khotam Fil Khinsir, Bab cincin di kelingking).

Bahkan Terdapat larangan memakainya di jari tengah dan jari telunjuk. Sebagaimana dalam hadits Ali bin Abi Tolib radhiallahu anhu berkata:

( نهاني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أتختم في أصبعي هذه أو هذه قال : فأومأ إلى الوسطى والتي تليها (رواه مسلم، 2078)

“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarangku memakai cincin di jariku ini atau ini berkata, sambil menunjuk ke jemari tengah dan setelahnya.” (HR. Muslim, no. 2078).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa hukumnya makruh. Iman an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makruh bagi pria untuk memekai cincin di jari tengah dan telunjuk karena hadits ini, dan makruhnya adalah makruh tanzîh.”[

Adapun Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahwa hukumnya haram. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda antara orang yang shalat dengan memakai cincin di jari yang dilarang dengan orang yang shalat dengan memakai pakaian sutera atau melakukan perkara haram yang lain, karena masing-masing telah melakukan perbuatan terlarang dalam shalatnya.”[

Hadits ini berlaku untuk pria saja. Maka hendaknya kaum pria tidak memakai cincin di jari tengah atau telunjuk karena hukumnya minimal makruh. Adapun wanita boleh memakainya di jari mana saja menurut kesepakatan Ulama (ijma’).

Berbagai upaya dilakukan untuk menguak rahasia dan hikmah di balik kegemaran Rasul itu. Salah satunya seperti yang tertuang dalam Fatawa Ibn Hajar al-Haytami al-Kubra. Kitab ini mengutip beberapa dalil dari hadis dengan beragam derajat kesahihannya, yang berbicara perihal manfaat sunah pemakaian cincin seperti yang dicontohkan Rasul. 

Al-Haitami menjelaskan, misalnya, dalam titik tertentu penggunaan cincin itu bisa memicu keberkahan hidup dan menjauhkan diri dari kefakiran. Bukan karena batu cincin itu mampu mendatangkan nikmat atau bala, sama sekali bukan. Melainkan nilai estetika dan keindahan yang tersimpan menyimpan energi positif yang berpengaruh membangkitkan semangat dan gairah pemakainya.   

Barangkali energi positif di balik keindahan yang diciptakan oleh yang Mahaindah itulah, yang menjadikan batu yaqut warna kuning, begitu istimewa. Meski dalil hadisnya lemah, batu itu disebut-sebut bisa mencegah pemakainya dari penyakit sampar. Dengan demikian, tak heran bila Rasul menyukai batu cincin dari Afrika dan Yaman, karena keelokannya.   

Apa pun bentuk cincin yang dikenakan, selama memenuhi ketentuan syari’inya, pada dasarnya akan memancarkan energi dari keindahan yang dipancarkan. Energi tersebut tentu tidaklah muncul dengan sendirinya. 

Energi datang dari Sang Mahapencipta keindahan. Keindahan itu hanya akan menguap begitu saja, bila terkotori dengan keangkuhan, kesombongan, dan ambisi duniawi dari sebuah cincin. Sebab, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Karena Dia pulalah sejatinya pemilik dari segala keindahan yang ada di muka bumi.  

Salah satu hal prinsip yang perlu mendapat perhatian bagi setiap pemakai cincin adalah bahwa cincin itu adalah untuk perhiasan. jangan sekali-kali menganggap atau berkeyakinan bahwa cincin yang dipakainya itu mempunyai ‘magic’ atau kekuatan yang dapat mendatangkan manfaat atau keuntungan serta dapat menolak madharat atau bala’. Hal ini dapat menjerumuskan pemakainya dalam kesyirikan, satu dosa besar yang tak terampuni oleh Allah SWT. 

التختم ليس بسنة مطلوبة بحيث يطلب من كل أن إنسان أن يتختم، ولكن إذا احتاج إليه، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لمَّا قيل له إن الملوك الذين يريد أن يكتب إليهم لا يقبلون كتاباً إلى مختوماً اتخذ الخاتم من أجل أن تختم به الكتب التي يرسلها إليهم

Memakai cincin bukanlah sunah yang ditekankan. Dalam arti, dianjurkan bagi setiap orang untuk memakai cincin. Akan tetapi sunah jika dia membutuhkan. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar informasi bahwa para raja yang hendak dikirimi surat, tidak mau menerima surat kecuali yang ada stempelnya, maka beliau membuat cincin agar bisa digunakan untuk menstempel surat-surat yang beliau kirim kepada mereka.

فمن كان محتاجاً إلى ذلك كالأمير والقاضي ونحوهما كان اتخاذه اتباعاً لرسوله الله صلى الله عليه وسلم، ومن لم يكن محتاجاً إلى ذلك لم يكن لبسه في حقه سنة بل هو من الشيء المباح، فإن لم يكن في لبسه محذور فلا بأس به، وإن كان في لبسه محذور كان له حكم ذلك المحذور، وليعلم أنه لا يحل للذكور التختم بالذهب لأنه ثبت النهي عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Oleh karena itu, siapa yang membutuhkan cincin, seperti pemerintah, hakim atau yang lainnya, maka menggunakan cincin dalam hal ini termasuk mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun siapa yang tidak membutuhkan cincin, maka memakai cincin bagi dirinya bukan termasuk sunah, hanya sebatas memiliki hukum mubah. Jika tidak ada unsur larangan ketika memakai cincin, tidak jadi masalah. Akan tetapi jika ada unsur terlarang ketika memakai cincin(seperti memakai cincin emas bagi laki-lakired), maka hukumnya sebagaimana keberadaan unsur terlarang itu. Dan perlu dipahami bahwa tidak halal bagi laki-laki untuk memakai cincin emas. Karena terdapat larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang cincin emas untuk laki-laki.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 10 Januari 2021

Makna Filosofi Blangkon

 

Blangkon dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno merupakan sebuah pakaian keseharian yang bisa dikatakan pakaian wajib. Terlebih dalam acara ritual seperti upacara adat, blangkon tidak pernah terlupakan. Blangkon memiliki makna filosofis yang sangat tinggi, walaupun bentuknya sederhana dengan warna biasa. Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan dirinya. Tidak seperti topi yang mungkin hanya dimaknai sebagai penutup kepala dan fashion. Keunggulan blangkon dari penutup kepala lainnya yakni terletak pada makna filosofis yang tersirat di dalam blangkon itu sendiri.     

Ketika diri mengetahui makna filosofis yang tinggi di dalam blangkon itu sendiri, maka diri akan mempu menilai bahwa blangkon bukanlah sesuatu yang sederhana melainkan sesuatu yang sangat berharga. Makna filosofis blangkon sendiri terdiri dari beberapa hal sepertihalnya makna yang terkait pada sesuatu yang transedental.

Blangkon pada bagian belakang pasti memiliki dua ujung kain. Hal tersebut secara simbolis dari sendi-sendi agama Islam yakni shahadat tauhid dan shahadat rasul. Dimana dua kain tersebut diikat menjadi satu kesatuan menjadi syahadatain. Pemakaian blangkon pun terletak di kepala yakni sebagai simbolis bahwa syahadatain ditempatkan pada posisi teratas dan terhormat dalam diri manusia. Blangkon pun tidak bisa dan tidak boleh dikenakan di anggota badan yang lainya sebagai simbolis syahadat tidak boleh diletakkan di bawah sebab akan merusak agama atau keimanan, maka harus diletakka di posisi paling atas. 

Selain itu juga menunjukkan bahwa apapun yang keluar dari kepala atau akal pikiran harus dilandasi dengan keimanan yang kuat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta memperhatikan aturan-aturan dan nilai-nilai keislaman. Dalam pemikiran yang sebebas apapun yang dilakukan manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya agar berguna dan bermanfaat bagi orang banyak. Alangkah lebih baiknya juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana ajaran islam rahmatan lil’alamin.

Apabila diperhatikan lebih mendalam blangkon memang memiliki keistimewaan tersendiri dalam setiap unsurnya. Sepertihalnya lipatan-lipatan yang melingkar dan dibelangnya terdapat mondolan. Lipatan tersebut berjumlah 17 lipatan dimana 17 tersebut merupakan simbolisme dari 17 rakaat dalam shalat lima waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia hidup harus mengutamakan dan jangan sampai melupakan sholat lima waktu. Selain itumondolan di belakang dengan simbolisme agar manusia tercegah dari tidur dan menutup mata. Tidur disini pun bukan hanya tidur sebagai sitirahat. Namun di dalam hidup manusia tidak boleh tidur, diusahakan harus bisa selalu mengingat Gusti dan selalumelek terhadap segala yang ada sehingga rasa empati, peduli, peka dan roso-pangrosonya terbangun dan selalu menyala. Sehingga manusia bisa selalu berjuang untuk berjalan rahman dan rahim dalam lelaku hidupnya.

Selian itu mondolan pun berada di tengah dan lurus ke atas, yakni memiliki simbolisme bahawa manusia harus berjuang untuk lurus, tegak menuju atau terhadap sang pencipta. Apabila ditarik benang merah makna mondolan merupakan pengingat agar manusia tidak menutup mata terhadap Sang Mahakuasa dan selalu lurus menjalankan perintahnya. Selain itu juga ingat untuk terus selalu berusaha seperti apa yang selalu dimohonkan dalam salat ‘ihdinasyirotol mustaqim’. Bukan hanya itu saja. Sisa kain di samping mondolan apabila dihitung berjumlah 6 yang mengandung simbol rukun iman dalam agama Islam.

Selain itu blangkon  juga sebagi simbol pertemuan antara Jagad Alit (Microkosmos)  dengan Jagad Gedhe (Macrokosmos).Blangkon merupakan isyarat jagad gedhe karena nilai-nilai trasedental. Sedangkan kepala  yang ditumpangi blangkon merupakan isyarat jagad alit. Hal inin terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Oleh sebab itu agar manusia mampu menjalankan tugasnya di muka bumi ini membutuhkan kekuatan dari Tuhan yang disimboliskan dengan blangkon. Setelah manusia mendapatkan kekuatan tersebut resmilah ia sebagai kholifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam seisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu masyarakat Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain  hamba Tuhan juga merupakah khalifah di bumi.

Makna filosofi blangkon di atas merupakan versi orang Jawa terutama jawa-islam. Makna tersebut tercipta pada periode penyebaran islam di pulau Jawa. Para penyebar agama islam yang kemudian dikenal sebagai wali Songo menggunakan simbolisasi blangkon sebagai media dakwah. Terutama sunan Kalijaga. Beliaulah orang yang kreatif memakai simbol-simbol kebudayaan sebagai sarana dakwah. Tak heran jika islam mampu diterima secara efektif oleh masyarakat Jawa saat itu sebab banyak memakai adat setempat sebagai medium dakwah.

Itulah makna filosofi blangkon yang sangat luas. Meski blangkon merupakan sesuatu yang sederhana, namun mampu memberikan mata air kearifan yang luhur. Ini menandakan bahwa para pendahulu masyarakat Jawa tidak pernah main-main dalam memaknai hidup. Mereka juga merupakan ahli pikir yang handal. Terbukti mereka mampu menciptakan sesuatu yang sederhana tetapi syarat makna. Itu merupakan hal yang luar biasa dan sulit ditiru. Boleh dikatakan bahwa mereka adalah para intelektual yang mampu menghasilkan karya-karya agung (magnum opus). Karya mereka bersifat abadi, bukan sementara. Buktinya sampai sekarang makna blangkon tetap memiliki relevansi dengan zaman. Meski blangkon tercipta berabad-abad lalu, namun maknanya masih segar sampai saaat ini.

Makna dan filosofi adiluhung dari blangkon adalah makna yang mengungkapkan perasaan dan harapannya dengan simbol-simbol unik dan artistik yang sebenarnya mengandung ajaran yang patut dijadikan pedoman dan teladan, yaitu dimana pun orang jawa berada tetap harus tahu jati dirinya (Jangan sampai Wong Jawa kari separo/ilang Jawane), walaupun secara konsep kita juga harus tetap menjunjung budaya dan adat istiadat di tempat kita sebagaimana pepatah dimana bumi dipijak disitu langit di junjung.

Jati diri tetap harus ada dan dimiliki oleh siapapun karena pada prinsipnya semua suku, agama, ras dan kepercayaan tetap membawa pesan yang baik dan positif untuk menjadi pedoman dan panduan agar hidup kita lebih baik.

Beberapa istilah yang terkandung dalam blangkon yang merupakan filosofi blangkon itu sendiri adalah:
1). Wiron/wiru yang berjumlah tujuh belas lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
2). Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat.
3).Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
4).Kemadha, bermakna menyamakan anak didik atau menganggap sama seperti putra sendiri.
5). Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja.

Makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon ada delapan, yaitu:
1). Motif Modang, mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
2). Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos dan apa adanya
3). Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
4). Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
5). Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
6). Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
7). Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi. 
8). Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi.

Ternyata pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya. Seorang pembuat blangkon membutuhkan virtuso skill atau keahlian keindahan. Letak keindahan dari blangkon, selain dilihat dari pemenuhan pakem juga cita rasa sosial. Apalagi pakem blangkon sesungguhnya bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para pemakainya.

Ternyata blangkon memiliki filosofi transcendental antara mahluk dengan pencipta -Nya. Bila diperhatikan maka blangkon akan memiliki dua ujung kain yang mana satu mensimbolkan syahadat Tauhid dan satu lagi mensimbolkan syahadat Rasul. Bila dua syahadat tersebut disatukan maka akan menjadi syahdat ‘ain. Bila pertemuan dua syahadat tersebut diletakan diatas kepala artinya berada di tempat yang terhormat. Harapannya segala pemikiran yang keluar dari kepala didasarkan pada sendi-sendi Islam. Kini dalam perkembangan waktu, dari ikat kepala juga dapat diketahui asal usul seseorang.

Di dalamnya terdapat identitas yang di wakili oleh wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya. Semakin tinggi nilai yang diwakili maka kelas sosial pengguna blangkon dipastikan akan semakin tinggi pula. Namun tetap saja nilai utama yang hendak disampaikan adalah bentuk pengendalian diri. Jangan sampai kepala sebagai pusat dari tindak tanduk tidak terkontrol dengan baik. Nilai filosofis lain yang ada terlihat dari ada tidaknya mondolan adalah bentuk representasi dari orang Jawa khususnya Jogja yang suka menyembunyikan perasaan. Perasaan yang disembunyikan tersebut pada akhirnya akan muncul juga.

Hanya saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Ia hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih, jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya. Terbukti saat ini masyarakat jawa-islam sedikit demi mengalami pergeseran nilai.

Sebagai generasi muda, maka marilah bersama-sama menjaga kearifan lokal dan peninggalan nenek moyang terdahulu. Sebab hal tersebut merupakan kekayaan Bangsa Indonesia yang sangat berharga dan tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Jumat, 01 Januari 2021

Alasan Ilmiah Dilarangnya Meniup Makanan Dan Minuman

 

Terdapat hadits yang melarang kita bernapas dalam gelas/wadah dan meniup gelas yang berisi minuman, terutama ketika gelas berisi air yang panas.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernafas di dalam gelas atau meniup isi gelas.”
Demikian juga hadits riwayat Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِى الشُّرْبِ. فَقَالَ رَجُلٌ الْقَذَاةُ أَرَاهَا فِى الإِنَاءِ قَالَ « أَهْرِقْهَا ». قَالَ فَإِنِّى لاَ أَرْوَى مِنْ نَفَسٍ وَاحِدٍ قَالَ « فَأَبِنِ الْقَدَحَ إِذًا عَنْ فِيكَ »

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup-niup saat minum. Seseorang berkata, “Bagaimana jika ada kotoran yang aku lihat di dalam wadah air itu?” Beliau bersabda, “Tumpahkan saja.” Ia berkata, “Aku tidak dapat minum dengan satu kali tarikan nafas.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, jauhkanlah wadah air (tempat mimum) itu dari mulutmu.

An-Nawawi menjelaskan bahwa ini adalah adab ketika minum. Meniup minuman akan mengotori air yang diminum. An-Nawawi berkata,

والنهي عن التنفس في الإناء هو من طريق الأدب مخافة من تقذيره ونتنه وسقوط شئ من الفم والأنف فيه ونحو ذلك

“Larangan bernafas di dalam gelas ketika minum termasuk adab, karena dikhawatirkan akan mengotori air minum atau ada sesuatu yang jatuh dari mulut atau dari hidung atau semacamnya.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa bisa saja mulut itu tidak sedap baunya, sehingga menimbulkan rasa jijik ketika meminumnya. Beliau berkata,

وأما النفخ في الشراب فإنه يكسبه من فم النافخ رائحة كريهة يعاف لأجلها ولا سيما إن كان متغير الفم وبالجملة : فأنفاس النافخ تخالطه ولهذا جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين النهي عن التنفس في الإناء والنفخ فيه

“Meniup minuman bisa menyebabkan air itu terkena bau yang tidak sedap dari mulup orang yang meniup, sehingga membuat air itu menjijikkan untuk diminum. Terutama ketika terjadi bau mulut. Kesimpulannya, nafas orang yang meniup akan bercampur dengan minuman itu, karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan bernafas di dalam gelas dengan meniup isi gelas.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa perbuatan meniup-niup lebih parah dibandingkan sekedar bernapas pada minuman. Beliau berkata,

والنفخ في هذه الأحوال كلها أشد من التنفس

“Meniup-niup pada keadaan ini (pada gelas minuman) lebih berbahaya daripada bernapas pada wadah minuman.”

Secara kesehatan, kebiasaan meniup-niup minuman juga tidak baik untuk kesehatan. Mulut bisa jadi mengandung bakteri penyebab penyakit yang kemudian berpindah ke minuman dan masuk ke dalam tubuh. Solusi terbaik untuk hal ini adalah menunggu sampai minuman agak dingin atau mengipasnya dengan sesuatu.

Mengapa hal tersebut dilarang, sudah pasti ada alasan yang tidak mengada-ngada, seperti penjelasan ilmiah di bawah ini, begitu jelas pemaparan bahwa meniup makanan dan minuman panas adalah kebiasaan buruk.

Makanan dan minuman panas mengeluarkan uap air yang disebut H2O. Ketika kita meniupnya, berarti memberikan gas ekskresi yang mengandung karbondioksida CO2. Ketika uap air yang dicampur dengan gas karbon dioksida itu akan bereaksi dan menghasilkan asam karbonat yang bersifat asam.

H2O + CO2 -> H2CO3

Dalam darah kita ditemukan H2CO3 yang berguna untuk mengatur pH dalam darah. Darah adalah Buffer (solusi untuk mempertahankan pH) untuk menjaga kondisi asam lemah H2CO3 di dalam bentuk HCO3 untuk memastikan darah memiliki pH antara 7:35-7:45 dengan reaksi berikut:

CO2 + H20 <= H2CO3 => HCO3- + H +

Tubuh menggunakan penyangga pH dalam darah sebagai pelindung dari perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pH darah. Ketika ada perubahan, dapat menyebabkan keseimbangan pH darah tidak dapat dipertahankan dalam keadaan normal apakah itu lebih asam atau basa dan ini akan mengganggu sistem.

Apa yang terjadi setelah kita makan atau minum makanan yang ditiup? Akan meningkatkan keasaman darah dan menyebabkan kondisi di mana darah akan menjadi lebih asam (pH menurun).

Seiring dengan penurunan pH darah, pernafasan menjadi lebih cepat karena tubuh berusaha untuk menstabilkan keasaman darah dalam fase normal dengan mengurangi jumlah karbon dioksida.

Ginjal juga berusaha untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengeluarkan lebih banyak asam melalui urine. Tetapi kedua mekanisme akan sia-sia jika tubuh terus memproduksi terlalu banyak asam.

Dalam jangka panjang akan menyebabkan asma, mengantuk, mual dan tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Sampai dapat menyebabkan tekanan darah rendah, stroke, dan bahkan dapat menyebabkan koma hingga kematian.

Sederhananya, Karbondioksida merupakan gas hasil ekskresi dari pernapasan. Penelitian tersebut masih memerlukan kajian ulang, efek sampingnya mungkin tidak dalam waktu dekat, namun berjaga-jaga lebih baik. Terlebih bagi yang sedang tidak sehat atau memiliki riwayat penyakit akut, sangat dianjurkan tidak meniup makanan atau minuman panas saat akan memakannya, terlebih jika itu untuk anak atau orang lain yang akan memakan atau meminumnya.