Translate

Minggu, 31 Januari 2021

Sejarah Banjarsari Ciamis

 

Pernahkah Anda singgah berkunjung ke Banjarsari Ciamis atau sekedar melewatinya? Daerah ini ternyata menyimpan banyak cerita masa lalu yang mungkin sudah dilupakan oleh sebagian besar warga Ciamis khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Selain jarang diungkap, penyebarluasan informasinya pun memang terasa masih minim dan nyaris tidak terdengar, sehingga masyarakat umumnya tidak mengetahui sejarah Banjarsari. Sebuah tulisan yang akan menambah wawasan kita tentang riwayat daerah tersebut. Selamat membaca dan kembali ke masa lalu.

Tahun 1628 Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa. Namun Bahureksa tidak mengadakan hubungan dengan Dipati Ukur. Oleh karena itu Dipati Ukur tidak dapat melakukan perundingan dengan Bahureksa.

Pada waktu yang telah ditentukan, Dipati Ukur memimpin pasukannya bergerak menuju Batavia untuk menyerang Kompeni. Ketika pasukan dipeti Ukur tiba di Batavia, ternyata pasukan Mataram belum datang. Oleh karena itu, Dipati Ukur gagal mengusir Kompeni dari Batavia. Kegagalan itu terjadi karena ketidakseimbangan persenjataan dan tidak mendapat dukungan dari pasukan Mataram. Padahal seharusnya pasukan Mataram yang menjadi kekuatan ini penyerangan, dibantu oleh pasukan Dipati Ukur.

Atas kegagalan menjalankan tugas dari raja Mataram, rupanya Dipati Ukur berpikir, daripada ia menerima hukuman berat dari Sultan Agung, lebih baik ia tidak setia lagi terhadap Mataram. Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya mengabaikan kekuasaan Mataram dan melakukan gerakan memberontak terhadap Mataram.

Sikap Dipati Ukur tersebut segera diketahui oleh penguasa Mataram. Pihak Mataram berusaha keras menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Bila pemberontakan itu tidak segera ditumpas, akan merugikan pihak Mataram.

Akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632.

Penangkapan Dipati Ukur Oleh Adipati Kawasen

Naskah Leiden Oriental adalah naskah yang memuat tentang pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen). Naskah ini ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Ghaluh. Peristiwa penangakapan Dipati Ukur Oleh Bupati Kawasen ini menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Berikut adalah cuplikan naskah Leiden Oriental yang menceritakan tentang penangakapan Dipati Ukur oleh Adipati Kawasen (Bagus Sutapura):

“Nunten pada guneman lan para bupati kabeh. Daweg pada angulati srana kang bhade bisa nyekel Dipati Mogol punika. Nunten kyai Dhipati Galuh Bendanagara angsal sanunggal santana Kawasen westa bagus Sutapura, gawena lagi ambhating raga, sanggem anyekel Dipati Ukur. Sarta lajeng kumanabang sareng sareng samenek ing Gunung lumbung punika. Nunten dipun tibani watu Westa Munding Jalu dipun capakeun dening Bagus Sutapura, dipun balangakeun sumangsang wonten sainggiling lajeng leles. Mangke nyataning Batulayang sareng sampun sumangsang watu puniku. Nunten Bagus Sutapura angamuk pribadi, katah kiang pejah balanipun Dipati Ukur punika sarta dipun besta dibakta dateng Ghaluh.”

Artinya:
“Hasil musyawarah para Bupati yang akan diberi tugas menangkap Dipati Ukur yang memberontak, kemudian Kyai Ghaluh Bandanagara mendapatkan Senopati dari Kawasen (Bagus Sutapura) yang orang sedang bertapa untuk menangkap Dipati Ukur. Bagus Sutapura lalu maju untuk berperang. Ia naik gunung lumbung. Begitu Bagus Sutapura naik ke Gunung Lumbung, Bagus Sutapura dijatuhi batu yang bernama Munding Jalu oleh Dipati Ukur. Batu itu kemudian ditangkap oleh Bagus Sutapura, kemudian dilemparkan dan nyangkut di phon leles. Berhubung dengan ditangkapnya Batu itu (Munding Jalu), maka tempat itu dinamakan batu layang. Kemudian Bagus Sutapura menyerng sendirian sampai pengikut Dipati Ukur banyak yang tewas. Akhirnya Dipati Ukur dapat ditangkap oleh bagus Sutapura dan diikat kemudian dibawa ke galuh”

Sejarah Galuh yang disusun oleh raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Diantara naskah tersebut yang menceritakan Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) adalah:

Heunteu kocap dijalanna
Di dayeuh Ukur geus Neupi
Ki Tumenggung narapaksa
Geus natakeun baris
Gunung Lembung geus dikepung
Durder pada ngabedilan
Jalan ka gunung ngan hiji
Geus diangseug eta ku gagaman perang

Dipati Ukur sadia
Batuna digulang galing
Mayak Gagaman di lebak
Rea anu bijil peujit
Sawareh nutingkulisik
Pirang-pirang anu deungkeut
kitu bae petana
Batuna sok pulang panting
Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan

Urang mundur ka Sumedang
Didinya Urang Badami
Nareangan anu bisa
Nyekel raheden Dipati
Bupati pada mikir
Emut ku Dhipati galuh
Ka Ki bagus Sutapura
Waktu eta jalma bangkit
Seg disaur ana datang diperiksa

Kyai bagus Sutapura
Ayeuna kawula meureudih
Dipati Ukur sing beunang
Ditimbalan dijeng gusti
Nanging kudu ati-ati
Perkakasna eta batu
Gedena kabina-bina
Dikira sagede leuit
Dingaranan Batu Simunding lalampah

Kyai bagus Sutapura
Perkakasna ngan pedang jeung keris
Datang kana pipir gunung
Tuluy gancangan nanjak
Geus datang kana tengah-tengah gunung
Batu Ngadurungdung datang
Dibunuh geus burak-barik

Nu sabeulah seug dicandak
Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai
Nu matak ayeuna masyhur
Ngarana batu layang
Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk
Balad Ukur ennggeus ruksak
Ukur ditangkap sakali.

Hariring katu nimbalang
Eta maneh bener Kyai Dipati
Eh ayeuna Tumenggung
Tumenggung Narapaksa
Karep kamenta Ngabehi anu tilu
Ayeuna angkat Bupati

Kyai bagus Sutapura
ayeuna ngarana kudu diganti
Bari diangkat Tumenggung
Tumenggung Sutanangga
Jeung bere cacah 7000
Ayeuna Geus tetep linggih

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura.

Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen (wilayah Kawasen pada saat itu antara Pamotan (Kalipucang) sampai Bojong Malang (Cimaragas sebelah Barat) berpusat di Kawasen-Banjarsari).

Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wira angun angun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya). Bagus Sutapura memerintah Kawasen sampai dengan 1653 M.

Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Demikianlah untaian cerita nyata yang pernah terjadi tentang Pemberontakan Dipati Ukur & Penangkapan Dipati Ukur Oleh Bagus Sutapura Adipati Kawasen. Dari berbagai sumber yang ada tentang Jasa Bagus Sutapura yang telah berjasa mengagalkan pemberontakan yang dilakukan oleh Dipati Ukur.

Selanjutnya Tahun 1643 Bagus Sutapura diangkat sebagai Dalem Kawasen dengan gelar Tumenggung Sutanangga. Kadaleman Kawasen sekarang bernama Banjarsari.

Kadaleman Kawasen resmi dibubarkan pada tahun 1810 M berdasarkan Besluit yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Herman Deandels.

Peninggalan-peninggalan dari kebesaran Kadaleman Kawasen yang tersisa sampai saat ini hanya berupa makam-makam dari para Dalem Kawasen yang berkuasa di Kawasen beserta para pejabat kawasen. Di Banjarsari sendiri orang kebanyakan hanya tahu Kawasen itu adalah salah satu Desa di Kecamatan Banjarsari yang tidak ada sejarahnya. Selain itu sekarang tidak tampak Bahwa di Banjarsari dulu adalah sebuah kabupaten yang besar dan masyhur di Tatar Parahiyangan dengan nama Kawasen. Hal ini terjadi karena Kurangnya kesadaran masyarakat untuk kembali menelusuri sejarah “Nyakcruk Galur Mapay Patilasan”.

Sepertinya pemerintah setempat khususnya Ciamis kurang memperhatikan sisa-sisa peninggalan dari Kadaleman kawasen. Seandainya Pemerintah ciamis sadar bahwasanya di Banjarsari masih ada sisa-sisa kebudayaan dalam hal ini Kadaleman kawasen, maka Kawasen ini layak dijadikan sebagai Situs Wisata Budaya yang ada di Bumi tatar galuh Tercinta.

Semoga tulisan singkat mengenai kebesaran kadaleman kawasen ini dapat memberikan hikmah suri taulada kepada kita semua tentang jiwa Patriotisme Bagus Sutapura yang tercermin dalam jiwa dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar