Translate

Minggu, 10 April 2022

Makam Nabi Daniel Yang Disembunyikan

 Dalam Islam nama Nabi Daniel termasuk jarang terdengar bahkan banyak muslim yang tidak mengetahui. Ternyata, ada Nabi utusan Allah yang bernama Daniel. Hal ini dikarenakan Nabi Daniel bukan salah satu nabi yang namaya wajib diketahui oleh umat Islam.

Namun, jika melihat sisi sejarahnya Nabi Daniel merupakan seorang utusan Allah yang pernah hidup di Mesir. Beliau merupakan salah satu dari keturunan Nabi Daud. Selain itu, Nabi Daniel juga dikenal sebagai seorang nabi dari Bani Israel, yang dikenal dalam ajaran agama Yahudi dan Kristen, terutama dicatat dalam Kitab Daniel di Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen.

Daniel hidup di masa pembuangan bangsa Israel dari Kerajaan Yahuda ke Babilonia. Pada tahun yang ke-3 pemerintahan Yoyakim (raja Yehuda)  di Yerusalem, saat itu datanglah Nebukadnezar yang merupakan raja Babilonia yang bertujuan untuk mengepung kota itu. Nebukadnezar merupakan seorang raja yang terkenal sangat kejam.

Tidak ada satupun laki-laki Bani Israil yang hidup melainkan mengalami nasib mati dibunuh. Anak-anak dipisahkan dari orang tuanya dan dilatih untuk mengabdikan diri untuk sang raja. Bagi anak yang memiliki keistimewaan ataupun kecerdasan mereka disaring untuk dapat mengabdikan kepintarannya kepada raja, dan di antara mereka ada Nabi Daniel. Ia ditawan dan dipenjarakan bersama dengan keturunan Nabi Ya’kub dan Nabi Yusuf.

Suatu hari sang Raja Nebukadnezar melihat sebuah patung raksasa. Patung itu berkepala emas, lengannya dari perak, tubuhnya dari tembaga, dan kakinya dari besi. Namun patung itu hancur berserakan hanya karena sebuah batu. Sang raja pun penasaran dengan mimpinya.

Maka ia bertanya kepada peramal yang ada di kotanya, akan tetapi semua peramat dikotanya tak satupun mampu mengartikan mimpinya. Lalu ada seorang pemuda yang sempat berada di penjara bersama Daniel mengabarkan kepada Nebukadnezar bahwa Daniel mampu menafsirkan mimpi.

Maka dipanggillah Daniel untuk menafsirkan mimpinya. Daniel kemudian menafsirkan mimpi sang raja bahwasanya patung itu merupakan tanda penguasa yang akan silih berganti. Emas merupakan Babilonia yang kemudian akan hancur digantikan Kerajaan Persia sebagai perak, lalu Kerajaan Yunani sebagai tembaga, dan Kekaisaran Romawi sebagai besi. Namun seluruh penguasa itu akan berakhir dengan kehancuran.

Daniel sangat jelas mengartikan mimpi Nebukadnezar, karena kepiawaiannya maka sang rajapun dibuat kagum akan kehebatan Nabi Daniel. Nabi Daniel kemudian dibebaskan dari penjara dan dijadikan konsultan sekaligus guru pribadi Nebukadnezar.

Kedekatan antara Nebukadnezar dengan Nabi Daniel ini membuat petinggi Majusi geram. Mereka kemudian merencanakan sebuah makar untuk membunuh Nabi Daniel. Maka menyusun siasat supaya Daniel duhukum oleh sang raja.Sayang para petinggi Majusi tidak menemukan celah kesalahan dari Daniel.

Namun, mereka mengetahui bahwa Daniel merupakan seorang hamba yang taat kepada Tuhan yang berbeda dengan kaum di kota tersebut. Karena perbedaan itulah petinggi Majusi mulai menghasut sang raja karena Daniel dirasa tidak menghormati para dewa-dewa yang di sembah oleh mereka.

Karena itu sang rajapun akhirnya merasa geram. Maka merekapun memikirkan hukuman yang setimpal bagi seorang pembangkang. Maka digalilah sebuah lobang besar, kemudian Nabi Daniel dimasukkan ke dalamnya bersamaan dengan kawanan singa yang sedang kelaparan.

Namun, kuasa Allah, setelah beberapa hari lamanya Daniel berada di lobang tersebut, ternyata beliau dalam keadaan sehat dan utuh. Setelah kerajaan dalam keadaan tenang kembali, Nabi Danielpun mencari cara agar ia dapat keluar dari lubang tersebut.

Karena pertolongan Allah, Beliaupun mampu memanjat lubang berisi singa tersebut. Nabi Daniel memutuskan untuk menuju daerah Hurmuzan, dan menghabiskan sisa-sisa hidupnya untuk berdakwah di sana hingga beliau meninggal dunia di sana.

Pememuan Makam Nabi Daniel



Jasad Nabi Daniel ditemukan oleh sahabat Abu Musa Al-Asy’ariy ketika berjihad melawan bangsa Tartar di daerah Hurmuzan. Jasad nabi Daniel ditemukan di baitul mal Hurmuzan dan penduduk Hurmuzan menjelaskan bahwa jasad tersebut telah meninggal 300 tahun yang lalu, akan tetapi jasadnya masih utuh dan tidak membusuk sedikit pun. Lalu Abu Musa Al-Asy’ariy mengirim surat kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah saat itu. Umar bin Khattab menjelaskan bahwa itu adalah jasad nabi Daniel dan memerintahkan untuk MENYEMBUNYIKAN KUBURNYA.

Diriwayatkan oleh Ibu Abi Syaibah dengan dari sahabat Anas,

عَنْ أَنَسٍ: أَنَّهُمْ لَمَّا فَتَحُوا تُسْتَرَ قَالَ: ” فَوَجَدَ رَجُلًا أَنْفُهُ ذِرَاعٌ فِي التَّابُوتِ , كَانُوا يَسْتَظْهِرُونَ وَيَسْتَمْطِرُونَ بِهِ , فَكَتَبَ أَبُو مُوسَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِذَلِكَ , فَكَتَبَ عُمَرُ: إِنَّ هَذَا نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالنَّارُ لَا تَأْكُلُ الْأَنْبِيَاءَ , وَالْأَرْضُ لَا تَأْكُلُ الْأَنْبِيَاءَ , فَكَتَبَ أَنِ انْظُرْ أَنْتَ وَأَصْحَابُكَ يَعْنِي أَصْحَابَ أَبِي مُوسَى فَادْفِنُوهُ فِي مَكَانٍ لَا يَعْلَمُهُ أَحَدٌ غَيْرُكُمَا قَالَ: فَذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو مُوسَى فَدَفَنَّاهُ

“Tatkala mereka (Abu Musa Al-Asy’Ariy) menaklukan tustur, mereka menemukan jasad seseorang yang hidungnya panjang. Penduduk Hurmuzan ber-isti’anah (minta bantuan) dan meminta hujan dengan perantara jasad tersebut. Abu Musa segera menulis surat kepada Umar bin Khattab. Umar membalas surat: ‘Sesungguhnya ini (jasad tersebut) adalah nabi di antara para nabi. Api tidak akan membakar jasad para Nabi dan bumi tidak akan merusaknya. Hendaklah engkau dan salah seorang sahabatmu menguburkannya di tempat yang tidak ada serorang pun yang mengetahuinya kecuali kalian berdua’. Kemudian aku dan Abu Musa pergi untuk menguburkannya.” [

Cara menyembunyikan kubur beliau dengan cara para sahabat mengali 13 lubang kubur di sungai (airnya dibendung sementara) lalu menguburkannya pada salah satu lubang di malam hari sehingga tidak ada yang mengetahui di mana kubur beliau.

Diriwayatkan Al-Baihaqy dalam Dala-ilun Nubuwwah, “Dari Khalid  bin Dinar dari Abu ‘Aliyah,

فَقُلْتُ لِأَبِي الْعَالِيَةِ: مَا كَانَ فِيهِ؟ فَقَالَ: ” سِيرَتُكُمْ، وَأُمُورُكُمْ، وَدِينُكُمْ، وَلُحُونُ كَلَامِكُمْ، وَمَا هُوَ كَائِنٌ بَعْدُ ” قُلْتُ: فَمَا صَنَعْتُمْ بِالرَّجُلِ؟ قَالَ : ” حَفَرْنَا بِالنَّهَارِ ثَلَاثَةَ عَشَرَ قَبْرًا مُتَفَرِّقَةً، فَلَمَّا كَانَ فِي اللَّيْلِ دَفَنَّاهُ وَسَوَّيْنَا الْقُبُورَ كُلَّهَا، لِنُعَمِّيَهُ عَلَى النَّاسِ لَا يَنْبُشُونَهُ

“Aku berkata kepada Abu Aliyah, ‘Apa yang kalian lakukan pada jasad nabi tersebut?’. Abu ‘Aliyah berkata, kami menggali di sungai (airnya dibendung sementara) sebanyak 13 lubang kubur yang terpisah-pisah. Pada saat malam hari, kami menguburkannya dan kami ratakan semua kubur tersebut agar manusia tidak mengetahui dan tidak menggalinya kembali.”[

Ahli sejara Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa jasad tersebut adalah nabi Daniel karena bisa diperkirakan dari waktu kematiannya dan khabar mengenai kapan masa hidupnya.

وَهُوَ قَرِيبٌ مِنْ وَقْتِ دَانْيَالَ ، إِنْ كَانَ كَوْنُهُ دَانْيَالَ هُوَ الْمُطَابِقَ لِمَا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ

“Waktunya dekat dengan waktu kehidupan nabi Daniel. Apabila pasti nabi Daniel mala ini sesuai dengan perkaranya (Lama meninggal dan waktu ditemukan jasadnya).”[

Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Umar bin Khattab menulis surat kepada Abu Musa dan Umar berkata,

إذَا كَانَ بِالنَّهَارِ فَاحْفِرْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ قَبْرًا، ثُمَّ ادْفِنْهُ بِاللَّيْلِ فِي وَاحِدٍ مِنْهَا، وَعَفِّرْ قَبْرَهُ، لِئَلَّا يَفْتَتِنَ بِهِ النَّاسُ

“Pada siang hari, gali lah 13 lubang kubur, kemudian kuburkan lah pada malam hari pada salah satu lubang tersebut, sembunyikan kuburnya agar tidak menjadi fitnah (disembah-sembah dan dikeramatkan) oleh manusia.”[

Wallohu A'lam

Senin, 04 April 2022

Hukum Memakai Softlens Saat Wudhu

 Wudhu adalah syarat sah shalat. Jika wudhunya tidak sah, maka shalatnya tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, jika wudhunya tidak sah karena rukunnya tidak terpenuhi, maka shalatnya tidak sah.

Perintah wudhu ini dapat ditemukan pada Surat Al-Maidah ayat 6.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

Artinya, “Wahai orang yang beriman, jika kalian hendak melakukan shalat, basuhlah wajah kalian,” (Surat Al-Maidah ayat 6).

Lalu bagaimana dengan hukum memakai soflens yang mencegah sampainya air wudhu ke mata?

Sebagaimana diketahui pembasuhan wajah merupakan salah satu anggota tubuh yang wajib dibasuh dengan air saat wudhu. Sedangkan mata terletak di bagian wajah. Bagaimana dengan softlens yang mencegah air wudhu?

Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah mata termasuk bagian yang wajib dibasuh saat wudhu sebagaimana kewajiban pembasuhan wajah. Jika pertanyaan ini terjawab, maka hukum memakai softlens saat wudhu akan terjawab, yaitu yang terkait dengan keabsahan wudhunya.

Dari Mazhab Syafi’i, kita menemukan keterangan bahwa mata bukan anggota tubuh yang wajib dibasuh meski posisi terletak di wajah. Keterangan ini dapat ditemukan di Kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.

ولا تغسل العين ومن اصحابنا من قال يستحب غسلها لان ابن عمر رضى الله عنهما كان يغسل عينه حتى عمى والاول أصح لانه لم ينقل ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قولا ولا فعلا فدل على أنه ليس بمسنون ولان غسلها يؤدى إلى الضرر

Artinya, “Mata tidak dibasuh. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa mata dianjurkan untuk dibasuh karena Sahabat Ibnu Umar RA dulu membasuh matanya hingga daya penglihatannya berkurang. Pendapat pertama lebih shahih karena tidak ada keterangan nukilan berupa penyataan atau perbuatan dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, ini menjadi dalil bahwa pembasuhan mata tidak dianjurkan dan pembasuhannya dapat mengakibatkan mudharat,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab dalam Al-Majemuk, [Kairo, Darut Taufiqiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 389).

Dalam Kitab Al-Majemuk yang mensyarahkan Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi menegaskan, ulama menyepakati bahwa mata bukan anggota tubuh yang wajib dibasuh. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal kesunnahan pembasuhan mata.

أما حكم المسألة فلا يجب غسل داخل العين بالاتفاق وفي استحبابه الوجهان اللذان ذكرهما المصنف أصحهما عند الجمهور لا يستحب

Artinya, “Adapun hukum masalah ini, ulama sepakat atas ketidakwajiban (seseorang) membasuh bagian dalam mata. Perihal kesunahan membasuh mata, terdapat dua pendapat ulama. Kedua pendapat ini disebutkan oleh penulis, Abu Ishaq As-Syairazi. Pendapat yang paling sahih adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu tidak ada kesunahan membasuh mata,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk, Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Darut Taufiqiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 389).

Imam An-Nawawi menambahkan terkait kewajiban pembasuhan dua sudut mata yang menjadi tempat aliran air mata. Sudut mata tetap dibasuh, terutama bila ada kotoran mata yang mencegah sampainya air. Tetapi mayoritas ulama menyatakan bahwa pembasuhan sudut mata dianjurkan secara mutlak baik ada atau tidak ada kotoran mata.

هذا الذى ذكرناه انما هو في غسل داخل العين أما مآقى العينين فيغسلان بلا خلاف فان كان عليهما قذى يمنع وصول الماء إلى المحل الواجب من الوجه وجب مسحه وغسل ما تحته والا فمسحهما مستحب هكذا فصله الماوردى وأطلق الجمهور أن غسلهما مستحب

Artinya, “Ini yang kita sebutkan adalah hukum perihal pembasuhan mata bagian dalam. Sedangkan bagian saluran air mata tetap wajib dibasuh tanpa khilaf ulama. Jika di bagian saluran air mata terdapat kotoran (tahi) mata yang yang mencegah sampainya air ke tempat yang wajib di basuh di wajah, maka saluran air mata yang tertutup tahi mata wajib dibasuh. Jika tidak (mencegah sampainya air), maka pembasuhan keduanya dianjurkan sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Imam Al-Mawardi. Tetapi mayoritas ulama menyatakan bahwa pembasuhan saluran air mata bersifat sunnah secara mutlak,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk, Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Darut Taufiqiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 390).

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa wudhu orang yang memakai softlens tetap sah karena mata bukan anggota tubuh yang wajib dibasuh, apalagi misalnya jika pemakaian softlens sama sekali tidak mencegah air masuk ke dalam mata. Kalau pun softlens mencegah air ke dalam mata, maka itu pun tidak masalah.

Adapun perihal pilihan antara kacamata dan softlens berpulang kepada kenyamanan setiap individu yang memiliki masalah pada penglihatan. Sedangkan perihal, penggunaan secara teknis softlens untuk menghindari efek sampingnya dapat dikonsultasikan ke pihak medis yang ahli di bidang mata.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Memakai Softlens Saat Berpuasa Tidak Membatalkan Puasa

 Memakai softlens, lensa mata, atau lensa kontak, tak sekadar untuk estetika, tetapi juga untuk membantu penglihatan bagi kamu yang malas pakai kacamata. Namun, hal ini menjadi pertanyaan ketika dilakukan saat berpuasa di bulan Ramadan. Alasannya, karena terdapat larangan memasukan benda apa pun ke dalam tubuh.


Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam ibadah puasa adalah menjaga diri agar tidak ada benda yang masuk ke dalam tubuh melalui lubang-lubang di tubuh yang tersedia, seperti mulut, hidung, telinga, dan dua lubang kemaluan.


Adapun mata yang dilekatkan softlens tidak termasuk lubang yang perlu dijaga saat puasa. Hal ini disebutkan oleh Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dari Mazhab Syafi’i dalam Busyral Karim berikut ini:


قوله )الرابع الإمساك عن دخول عين جوفا كباطن الأذن والإحليل بشرط دخوله من منفذ مفتوح(… و )خرج( بمن منفذ مفتوح وصولها من منفذ  غير مفتوح


Artinya, “(Keempat adalah menahan diri dari masuknya suatu benda ke dalam lubang seperti bagian dalam telingan dan lubang kemaluan dengan syarat masuk melalui lubang terbuka)... Di luar dari pengertian ‘melalui lubang terbuka’, masuknya sebuah benda melalui lubang yang tidak terbuka,” (Lihat Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin, Busyral Karim bi Syarhil Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, [Beirut, Darul Fikr: 1433-1434 H/2012 M], juz II, halaman 460-461).


Dalam kasus softlens atau benda yang masuk ke dalam mata saat puasa, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pandangan ulama diulas oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Ibanatul Ahkam ketika membahas hadits berikut ini:


وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - اِكْتَحَلَ فِي رَمَضَانَ, وَهُوَ صَائِمٌ - رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ. قَالَ اَلتِّرْمِذِيُّ: لَا يَصِحُّ فِيهِ شَيْءٌ


Artinya, “Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bercelak di Bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa,” (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif. At-Tirmidzi mengatakan, perihal ini tidak ada kabar yang shahih).


Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menyebutkan bahwa mata bukan lubang di tubuh yang harus dipelihara. Menurut keduanya, tindakan bercelak bagi orang yang berpuasa tidak membatalkan puasanya.


يفطر الصائم مما يدخل إلى جوفه من منفذ كفمه وأنفه ولذا كرهت المبالغة في المضمضة والاستنشاق للصائم أما العين فإنها ليست بمنفذ معتاد ولهذا فلو اكتحل الصائم لا يكون مفطرا 


Artinya, “Puasa seseorang menjadi batal karena sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya melalui lubang seperti mulut dan hidung. Oleh karena itu, hukum tindakan berlebihan dalam berkumur dan menghirup air ke dalam hidung makruh bagi orang yang berpuasa. Sedangkan mata bukan lubang yang lazim. Oleh karenanya, tindakan bercelak oleh orang yang berpuasa tidak membatalkan puasanya,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 303).


Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki mengangkat perbedaan pendapat ulama perihal bercelak di siang hari saat puasa sebagai berikut ini: 


جواز اكتحال الصائم نهارا قالت الشافعية والحنفية الاكتحال للصائم جائز ولا يفطر سواء أوجد طعمه في حلقه أم لا، ولكنه عند الشافعية خلاف الأولى. وقالت المالكية والحنابلة يفسد الصوم بالاكتحال نهارا إذا وجد طعمه في فمه ويكره إذا لم يجد طعمه في فمه 


Artinya, “Perihal bercelak mata di siang hari, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi mengatakan, orang yang sedang berpuasa boleh bercelak mata. Puasanya tidak batal baik celak itu terasa di tenggorokan atau tidak terasa. Tetapi menurut ulama Syafi’iyah, bercelak saat puasa di siang hari menyalahi keutamaan. Sedangkan Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali menyatakan, puasa seseorang batal karena bercelak siang bila terdapat bahan materialnya terasa di lidah. Tetapi tindakan itu dimakruh [tanpa membatalkan puasa] bila materialnya tidak terasa di lidah,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 303-304).


Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal penggunaan softlens saat puasa. Tetapi masyarakat Indonesia yang mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i dapat mengikuti pandangan ulama syafi’iyah perihal pemakaian softlens di siang hari saat puasa. 


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda