Translate

Rabu, 30 November 2016

Jika Ingin Bertemu Kanjeng Nabi Muhammad

Bagi Seorang Muslim, Rindu Kepada Rasul adalah Hal yang tidak kita heran kan lagi, karena Rindu pada rasul berarti Rindu akan aklak dan budipekerti yang sangat di damba, Suatu Keuntungan yang sangat tidak ternilai bila kita dapat bertemu Nabi Tercinta Nabi Muhammad Saw.

Jika Kita Berniat atau berkeinginan untuk melihat Rasulullah SAW Diharus Kan Memiliki Hal Seperti Berikut ini:

Sikap merendahkan diri kepada Allah SWT.
Beradab bersama Rasulullah SAW.
Memandang sesuatu sesuai yang disenangi dan di Ridhai Oleh Allah dan Rasul-NYA.
Menjauhi semua tempat yang tidak di Ridhai oleh Allah dan Rasul-NYA.

Dinukil dari kitab Lawaqihul Anwar Al Qudsiyyah karya Syeh Abdul Wahhab As Sya'roni.

فإن أكثرت من الصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم فربما تصل إلى مقام مشاهدته صلى الله عليه وسلم ، وهي طريق الشيخ نور الدين الشوني ، والشيخ أحمد الزواوي ، والشيخ محمد بن داود المنزلاوي ، وجماعة من مشايخ اليمن ، فلا يزال أحدهم يصلي على رسول الله صلى الله عليه وسلم ويكثر منها حتى يتطهر من كل الذنوب ، ويصير يجتمع به يقظة أي وقت شاء ومشافهة ، ومن لم يحصل له هذا الاجتماع فهو إلى الآن لم يكثر من الصلاة والتسليم على رسول الله صلى الله عليه وسلم الإكثار مطلوب ليحصل له هذا المقام .

Jika engkau memperbanyak membaca sholawat dan salam kepada Nabi shollallohu alaihi wasallam maka terkadang engkau bisa mencapai maqom musyahadah kepada Nabi shollallohu alaihi wasallam, ini adalah jalannya syeh Nuruddin As Syuni, syeh Ahmad Zawawi, syeh Muhammad Bin Dawud al Manzilawi dan segolongan masayekh Yaman, mereka terus menerus membaca sholawat kpd Rasul shollallohu alaihi wasallam dan memperbanyaknya sehingga menjadi bersih dari segala dosa dan bisa berkumpul dengan Nabi dan berdialog dengannya secara sadar di waktu kapanpun yg di inginkan.

Barang siapa yg tdk berhasil ttg berkumpul ini maka sampai sekarang dia bukanlah orang yg memperbanyak sholawat dan salam kpd Rasululloh shollallohu alaihi wasallam.
Memperbanyak baca sholawat dan salam itu dibutuhkan agar bisa mencapai maqom ini.

وأخبرني الشيخ أحمد الزواوي أنه لم يحصل له الاجتماع بالنبي صلى الله عليه وسلم يقظة حتى واظب الصلاة عليه سنة كاملة يصلي كل يوم وليلة خمسين ألف مرة ، وكذلك أخبرني الشيخ نور الدين الشوني أنه واظب على الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم كذا وكذا سنة كل يوم يصلي ثلاثين ألف صلاة .

Telah menghabarkan kpdku syeh Ahmad az Zawawi bahwa sesungguhnya tdklah bisa berhasil berkumpul dengan Nabi shollallohu alaihi wasallam secara sadar sehingga menekuni membaca sholawat nabi sehari semalam sebanyak lima puluh ribu kali selama setahun penuh.

Begitu juga mengabarkan kpdku Syeh Nuruddin as Syuni bahwa sesungguhnya beliau menekuni membaca sholawat kpd Nabi shollallohu alaihi wasallam segini dan segini tahun, setiap harinya membaca sholawat tiga puluh ribu sholawat.

وسمعت سيدي عليا الخواص رحمه الله يقول : لا يكمل عبد في مقام العرفان حتى يصير يجتمع برسول الله صلى الله عليه وسلم أي وقت شاء ، قال : وممن بلغنا أنه كان يجتمع بالنبي صلى الله عليه وسلم يقظة ومشافهة من السلف ، الشيخ أبو مدين شيخ الجماعة ، والشيخ عبد الرحيم القناوي ، والشيخ موسى الزولي ، والشيخ أبو الحسن الشاذلي ، 
والشيخ أبو العباس المرسي ، والشيخ أبو السعود بن أبي العشائر ، وسيدي إبراهيم المتبولي

Aku mendengar Sayyidi Ali Al Khowas berkata :
" seorang hamba tdk akan sempurna dalam maqom 'irfan hingga bisa berkumpul dengan Rasul shollalohu alaihi wasallam pada waktu kapanpun yg diinginkan."
sayyidi Ali berkata :
" dan sebagian dari ulama' salaf yg telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya ulama' tsb telah berkumpul dengan Nabi shollallohu alaihi wasallam secara sadar dan berdialog adalah syeh Abu Madyan yaitu syehnya jama'ah, syeh Abdur Rahim al Qunawi, syeh Musa Azzuli, syeh Abul Hasan As Syadzili, syeh Abul Abas al Mursi, syeh Abus Su'ud bin Abil 'asya'ir, dan sayyidi Ibrahim al Matbuli.

والشيخ جلال الدين الأسيوطي ، كان يقول : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم واجتمعت به نيفا وسبعين مرة . وأما سيدي إبراهيم المتبولي فلا يحصى اجتماعه به لأنه كان في أحواله كلها ويقول : ليس لي شيخ إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وكان الشيخ أبو العباس المرسي يقول : لو احتجب عني رسول الله صلى الله عليه وسلم ساعة ما عددت نفسي من جملة المؤمنين .

Syeh Jalaluddin Al Assuyuti pernah berkata :
" aku pernah melihat nabi shollallohu alaihi wasallam dan berkumpul dengan beliau sebanyak lebih dari tujuh puluh kali."
adapun sayyidi Ibrahim Al Matbuli maka tdk dapat dihitung berapa kali beliau berkumpul dengan Nabi karena sesungguhnya dalam seluruh keadaannya (ahwal) dulu beliau berkata : 
" tiada guru bagiku kecuali Rasululloh shollallohu alaihi wasallam."
Syeh Abul Abbas al Mursyi pernah berkata :
" jikalau Rasululloh shollallohu alaihi wasallam terhijab dariku walaupun sesaat maka aku tdk akan menganggap diriku kedalam kelompok orang2 yg beriman."

واعلم أن مقام مجالسة رسول الله صلى الله عليه وسلم عزيزة جدا ، وقد جاء شخص إلى سيدي علي المرصفي وأنا حاضر فقال : يا سيدي قد وصلت إلى مقام صرت أرى رسول الله صلى الله عليه وسلم يقظة أي وقت شئت ، فقال له : يا ولدي بين العبد وبين هذا المقام مائتا ألف مقام ، وسبعة وأربعون ألف مقام ، ومرادنا تتكلم لنا يا ولدي على عشر مقامات منها ، فما درى ذلك المدعي ما يقول وافتضح فاعلم ذلك .
* (والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم) *

Ketahuilah bahwa sesungguhnya maqom mujalasah (dudk bersama) Rasululloh shollallohu alaihi wasallam sangat langka sekali, seseorang telah datang kepada sayyidi Ali Almursifi dan aku (syeh Abdul Wahhab as Sya'roni) saat itu hadir, 
orang tsb berkata : " wahai sayyidku, aku telah mencapai maqom dimana aku bisa melihat Rasululloh shollallohu alaihi wasallam secara sadar di waktu kapanpun yg ku ingginkan ."
Sayyidi Ali al Mursifi berkata : " wahai anakku diantara seorang hamba dan maqom tsb ada dua ratus empat puluh ribu maqom, dan yg kau maksudkan yaitu berbicara dengan kami itu baru sepersepuluh dari maqom2 tsb."
Orang yg mengaku ngaku tsb tdk tahu apa yg di ucapkan dan dia malu sendiri. maka ketahuilah hal itu.‎
Dan Allah menunjukkan kpd siapa saja yg di kehendakiNya kepada jalan yg lurus.

Dalam kitab Afdhalush Shalawat 'Alaa Sayyidis Saadaat dijelaskan salah satu shalawat yang ampuh untuk dapat berjumpa dengan kanjeng Rasul Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Berikut ini shalawat yang dimaksud:

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الجَامِعِ لِأَسْرَارِكَ وَالدَّالِ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allaahumma Shalli wa Sallim 'Alaa Sayyidinaa Muhammadin Al-Jaami' Liasraarika wad Daali 'Alaika wa 'Alaa Aalihi wa Shahbihi wa Sallim

Artinya:

"Ya Allah, bershalawat dan bersalamlah kepada Sayyidina Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam, sosok yang menyimpan rahasia-rahasia-Mu, yang menjadi bukti keberadaanMu, dan atas keluarga dan sahabat-sahabatnya."

Dalam kitab Afdhalush Shalawat 'Alaa Sayyidis Saadaat karya Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dijelaskan mengenai keutamaan shalawat di atas sebagai berikut:

 قال العلامة السيد أحمد دحلان في مجموعته التي جمع فيها جملة صلوات على النبي صلى الله عليه وسلم هذه الصيغة اللهم صل وسلم على سيدنا محمد الجامع لأسرارك والدال عليك وعلى آله وصحبه وسلم كل يوم ألف مرة ا.ه. ولم يذكر أن هذا الاجتماع يكون في المنام أو في اليقظة والظاهر أنه في المنام

Artinya:

"Al-Aalim As-Sayyid Ahmad Dahlan berkata dalam kitab kumpulan shalawatnya, yang mana beliau menghimpun di dalamnya sighat shalawat kepada kanjeng nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut ini, yaitu, "Allaahumma shalli wa sallim 'alaa sayyidinaa Muhammadin al-Jaami' liasraarik wad daali 'alaik wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallim", setiap hari sebanyak 1000x. Dan beliau tidak menyebutkan apakah pertemuan dengan kanjeng rasul ini dalam mimpi ataukah dalam keadaan sadar. Nampaknya pertemuan itu terjadi pada saat tidur."

نقل الولي الشهير سيدي الشيخ إسماعيل حقي في روح البيان في تفسير سورة النجم عن الإمام السهيلي في الروض الآنف أن من رأى نبينا محمداً صلى الله عليه وسلم وليس في رؤياه مكروه لم يزل خفيف الحال وإن رآه في أرض مجدبة أخصبت أو في أرض قوم مظلومين نصروا ومن رآه عليه الصلاة والسلام فإن كان مغموماً ذهب غمه أو مديوناً قضى الله دينه وإن كان مغلوباً نصر وإن كان غائباً رجع إلى أهله سالماً وإن كان معسراً أغناه الله تعالى وإن كان مريضاً شفاه الله تعالى

Artinya:

"Al-Wali asy-Syahir Sayyidi Asy-Syaikh Ismail Haqqi telah menukil dalam kitab Ruhul Bayaan dalam menafsirkan Surah an-Najm pernyataan dari Al-Imam As-Suhaili dalam kitab Ar-Raudhah bahwasanya orang yang bermimpi kanjeng nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan dalam mimpinya itu ia tidak melihat ada sesuatu yang dibencinya, maka ia akan senantiasa merasa tenang dan semuanya mudah. Apabila ia melihat kanjeng nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di suatu tanah atau daerah yang gersang, maka tanah itu akan subur. Atau ketika ia bermimpi beliau sedang berada di tempat orang-orang yang dizalimi, maka mereka akan menang. Siapa yang bermimpi beliau, jika ia sedih maka kesedihannya akan lenyap, atau sedang dililit hutang maka Allah akan membayar hutangnya, apabila ia kalah maka Allah akan menolongnya, jika ia tersesat maka ia akan dapat kembali kepada keluarganya dalam keadaan selamat, jika ia sedang susah hartanya, maka Allah akan membuatnya kaya, dan jika ia sedang sakit, maka Allah akan menyembuhkannya."
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Kenapa Baru Ketemu Bisa Langsung Akrab

Pernahkah Anda melihat orang yang asyik ngobrol walaupun masih baru kenalan tapi mereka bisa langsung jadi akrab? Atau mungkin Anda pernah mengalaminya sendiri? Tentu sangat menyenangkan kan kalau kita bisa langsung akrab dengan orang lain. Jadinya kita bisa cepat dapet banyak teman baru. Dan biasanya orang lain pun senang saat ketemu dengan kita. ‎

Mencintai dan di cintai belum tentu jadi jodohnya, bicara soal jodoh sejati memang rada rumit, banyak mereka hidup berpasangan, namun jangan dulu mengatakan keduanya sudah jodoh, jika saja kamu tahu semua isi hati seseorang, mungkin bicara hal seperti ini tak ada gunanya.

Seseorang bisa berubah prilakunya menjadi lebih baik, bijak, penyabar dan juga ramah-tamah, begitulah jika bertemu seseorang lawan jenis yang dianggapnya menarik.

Namun prilaku bawaan tetap bersemayam pada diri seseorang, dan prilaku asli itu akan keluar jika sudah tak kuasa menahan suasana.

Betapa indahnya jika kamu berada dekat dengan seseorang yang sejodoh dengan kamu, semua kekurangan kamu seperti amblas, begitu juga yang kamu rasakan terhadap orang yang sejodoh dengan kamu, seakan semua serba enak dan menyenangkan dalam segi apa saja.

Meski baru bertemu, baru kenal namun semua seakan nyambung dan terasa menyenangkan, ketika kamu memiliki satu pendapat si dia juga sependapat dengan kamu. Atau sebaliknya. Biasa jika kamu berdekatan dengan seorang baru kenal, kamu pastinya diselimuti rasa segan, grogi, dan selalu berhati-hati dalam bersikap diri. Lain halnya dengan pertemuan kamu dengan seseorang yang sejodoh dengan kamu. Pokoknya langsung akrab deh seperti sudah lama saling mengenal.

Meski kamu telah berusaha menutupi jati diri, namun seakan kebetulan si dia sudah tahu siapa kamu, katakanlah kebiasaan buruk kamu, namun si dia seakan tak mempersoal, nah inilah ciri orang yang sejodoh dengan kamu.

Rasulullah saw bersabda:

اَلأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ،فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا إخْتَلَفَ

“Ruh  adalah  bala  tentara  yang  berjenis-jenis.   Ruh yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling bermusuhan akan berselisih.”  (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3336 secara mu’allaq dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha.

Dalam Musnad Imam Ahmad diceritakan, bahwa asbabul wurud hadis ini yaitu ketika seorang wanita penduduk Makkah yang selalu membuat orang tertawa hijrah ke Madinah, ternyata dia tinggal dan bergaul dengan wanita yang sifatnya sama sepertinya. Yaitu senang membuat orang tertawa. Karena itulah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini. 

Al-Imam An-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim (16/pada hadits no. 2638):

“Para ulama mengatakan, maknanya mereka adalah sekelompok manusia yang berkumpul atau manusia yang bermacam-macam lagi berbeda-beda. Ruh-ruh itu saling mengenal karena suatu perkara yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan ruh-ruh itu di atasnya..”

Ada yang mengatakan, karena mereka dijadikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di atas sifat-sifat yang saling mencocoki dan tabiat yang saling bersesuaian.

Ada yang mengatakan, karena mereka diciptakan secara bersama kemudian jasad mereka saling berpisah, sehingga yang mencocoki tabiat yang lain, dia akan bersatu dengannya. Dan yang saling berjauhan tabiatnya maka dia akan lari dan menyelisihinya.

Al-Khaththabi dan lainnya berkata bahwa persatuan mereka adalah kebahagiaan atau kesengsaraan ketika Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan mereka pada awalnya. Dan ruh-ruh itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling berlawanan, jika jasad-jasad itu saling bertemu di dunia maka mereka akan bersatu atau berselisih sesuai yang mereka diciptakan di atasnya. Sehingga orang yang baik cenderung kepada orang yang baik, dan orang yang jahat juga cenderung kepada orang yang jahat.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ruh itu sebuah tentara yang dipersiapkan akan bertemu dengan yang sepadan. Sebagaimana kuda, jika dia cocok maka akan menyatu dengannya, dan bila tidak akan berpisah’.”

Dan di dalam suatu permisalan:

وكل من شكله يرغب

Setiap orang yang memiliki persamaan bentuk dengan orang lain, maka dia akan mencintainya

Dalam permisalan yang lain:

إن الطيور على أشكالها تقع
فكل يرغب في مثله

Sesungguhnya burung-burung itu akan bertengger bersama burung yang sama bentuknya sehingga setiap orang akan mencintai yang semisal dengannya.

Selain itu, di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, dan bahwa ruh itu merupakan makhluk, ketika bersatu atau berpisah bagaikan sebuah pasukan bila bertemu dan berhadapan. Hal ini karena Allah subhanahu wa ta’aala telah menjadikannya ada yang beruntung dan ada pula yang celaka.

Setelah itu jasad yang menjadi tempat ruh akan bertemu di dunia, maka akan bertemu atau berpisah sesuai dengan keserupaan atau tidaknya, yang telah diciptakan baginya di awal penciptaannya. Sehingga engkau melihat seseorang yang baik akan mencintai yang baik, dan orang yang jahat akan senang kepada yang serupa. Dan masing-masing dari keduanya akan lari dari lawannya.

Ajaib sekali menurut saya, bagaimana bisa seorang yang baru kenal, lalu bisa sangat akrab seolah olah sudah kenal lama atau seperti bertemu teman lama, langsung merasa cocok saja sebagaimana kisahasbaabul wurud hadits ini. Sebaliknya, kalau memang tidak cocok, walau sudah kenal lama, maka akan biasa biasa saja, tidak akrab. Kok bisa begitu ya..

Mengutip perkataan seorang teman,

“sejak di alam ruh…hati kita kan memang sudah saling terpaut : )”

Mungkin ini sedikit jawaban dari fenomena2 yang terjadi di alam dunia akibat peristiwa dari alam ruh sono, fenomena ‘langsung cocok aja gituh’ antara pemilik tulang rusuk dan tulang rusuk, antara pemilik sandal sebelah dan sebelah yang lain, antara tutup dengan botolnya,

Cinta dan permusuhan telah terjadi sejak hari di mana manusia mengikat perjanjian dengan Allah di alam Dzar.  Kemudian cinta dan permusuhan itu tampak di alam dunia ini.  Seorang penyair berkata:

 

تَأْبَى قُلُوْبٌ قُلُوْبَ قَوْمٍ        وَمَا لَهَا عِنْدَهَا ذُنُـوْبُ

وَتَصْطَفِيْ أَنْفُسٌ نُفُوْسًا         وَمَا لَهَا عِنْدَهَا نَصِيْـبُ

مَا ذَاكَ إِلاَّ لِمُضْمَرَاتٍ          أَحْكَمَهَا مَنْ لَهُ الْغُيُوْبُ

 

Berapa banyak hati yang membenci

suatu kaum yang sedikit pun tak bersalah

dan menyukai orang lain

yang tak pernah ia perhitungkan

karena berbagai rahasia yang ditetapkan

Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban.

Ruh yang saling mengenal di alam ‘azali akan bersatu di alam dunia ini.  Mereka akan saling menyayangi dan mencintai.  Cinta dan kasih sayang mereka tidak akan pernah putus oleh sebab apa pun.  Sedangkan ruh yang saling bermusuhan di alam ‘azali akan berselisih di dunia ini.  Mereka tidak akan pernah sepakat dan saling mencintai dengan sebab dan upaya apa pun. 

Al-Ashma'iy  berkata:

إذا تلاقت القلوب تقاربت القلوب في النسبة تلاقت الأبدان بالصحبة"إذا كان القلبُ صالحًا فلا يأوي إلا إلى الصالح، وإذا كان القلبُ طالحًا فلايأوي إلا إلى الطالِح،

"Apabila hati-hati makhluk itu saling bertemu pasti hati-hati tersebut saling mendekat dalam penisbahan dan jasad-jasadnya saling bertemu dalam persahabatan.

Seandainya suatu hati itu shalih maka tidak akan cenderung kecuali kepada kepada kebaikan. Dan seumpamanya hati itu tholih(jahat) maka tidak akan condong kecuali kepada kejelekan.

Maka dari itu, pelaku kefasikan satu dengan lainnya saling tertarik dan berakar urat(menguatkan). Pelaku amal kebaikan akan terkait satu dengan lainnya. Pelaku bid'ah dan pengikut hawa nafsu terpikat satu dengan yang lainnya. Dan demikian ini segala sesuatu terpaut kepada yang semisalnya. Segala sesuatu terpikat kepada yang mirip dengannya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Pengertian Sifat Wajah Bagi ALLOH


Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan makna ayat tentang sifat. Wajah Bagi Allah. Ayat yang dimaksud berbunyi :
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Al-Qashash : 88) 

Ini merupakan kalimat berita yang menyatakan bahwa Allah adalah Zat Yang Kekal, Abadi, Hidup, Yang Maha Mengatur segalanya; semua makhluk mati, sedangkan Dia tidak mati. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 26-27)

Di dalam kitab sahih disebutkan melalui jalur Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا شَاعِرٌ [كَلِمَةُ] لَبِيَدٍ: أَلَا كلُّ شَيْء مَا خَلا اللهَ بَاطِلُ

Kalimat yang paling benar yang dikatakan oleh penyair adalah kata-kata Labid, yaitu: "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah pasti binasa.”

Mujahid dan As-Sauri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Al-Qashash: 88) Yaitu terkecuali sesuatu yang dimaksudkan demi Dia;  Imam Bukhari meriwayatkan pendapat ini di dalam kitab sahihnya seakan-akan dia menyetujuinya.

Menurut Ibnu Jarir, orang yang berpendapat demikian berpegang kepada perkataan seorang penyair yang mengatakan:

أسْتَغْفِرُ اللهَ ذنبًا لَسْتُ مُحْصِيَهُ ...رَبّ العبَاد، إلَيه الوَجْهُ والعَمَلُ ...

Aku memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang aku tidak dapat menghitungnya; Dia adalah Tuhan semua hamba, hanya kepada-Nyalah dihadapkan (ditujukan) wajah (niat) dan amal perbuatan.

Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama,, karena pendapat ini menyatakan bahwa semua amal perbuatan itu sia-sia, terkecuali amal perbuatan yang dikerjakan demi Zat Allah semata, yaitu amal-amal saleh yang sesuai dengan kaidah syariat.

Sedangkan kesimpulan pendapat pertama menyatakan bahwa eksistensi segala sesuatu pasti binasa kecuali hanya Zat Allah Swt. Yang Mahasuci, karena sesungguhnya Dia Yang Pertama dan Dia pula Yang Akhir, dengan pengertian 'pertamanya Dia tidak ada awalnya, dan terakhirnya Dia tidak ada akhirnya.' Dia ada sebelum segala sesuatu ada, dan Dia tetap ada sesudah segala sesuatu tiada.

Abu Bakar Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abud Dunia mengatakan di dalam kitab Tafakkur wai I'tibar, bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Sulaim Al-Bahili, telah menceritakan kepada kami Abul Walid yang mengatakan bahwa Ibnu Umar r.a. apabila hendak membersihkan hatinya, ia mendatangi tempat yang telah ditinggalkan oleh para penghuninya, lalu berdiri di depan pintunya dan berseru dengan suara yang sedih.”Kemanakah para penghunimu?" Kemudian merenungkan dirinya dan membaca firman-Nya:Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Zat Allah.(Al-Qashash: 88)

Sebab segala yang di bumi ini akan hancur bila berhadapan dengan wajah Allah. Sebagai Nabi menjelaskan dalam sabdanya : 

حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ

“Hijab-Nya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakar-lah di antara makhluk-Nya oleh cahaya muka-Nya sejauh pandangan.” (HR Muslim dari Abu Musa) 

Inilah yang pernah terjadi ketika nabi Musa meminta agar Allah menampakkan dirinya. Allah berfirman : 

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ 

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (Al-A’raf :143) 

Allah Swt. menceritakan perihal Musa a.s., bahwa ketika masa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya telah tiba, dan pembicaraan langsung kepada Allah sedang berlangsung, maka Musa memohon kepada Allah untuk dapat melihat-Nya. Musa berkata seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي}

Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Tuhan berfirman.”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku" (Al-A'raf: 143)

Makna huruf lan dalam ayat ini menyulitkan analisis kebanyakan ulama tafsir, mengingat pada asalnya huruf lan diletakkan untuk menunjukkan makna ta-bid(selamanya). Karena itulah orang-orang Mu'tazilah berpendapat bahwa melihat Zat Allah merupakan suatu hal yang mustahil di dunia ini dan di akhirat nanti. Tetapi pendapat ini sangat lemah, mengingat banyak hadis mutawatir dari Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah di akhirat nanti, pembahasannya akan kami ketengahkan dalam tafsir firman Allah Swt.:

{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ. وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ}

Wajah-wajah (orang-orang mukmin)pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22-23)

Dan firman Allah SWT yang menceritakan perihal orang-orang kafir:

{كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ}

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari(melihat) Tuhan mereka. (Al-Muthaffifin: 15)

Menurut suatu pendapat, huruf landalam ayat ini menunjukkan makna pe-nafi-an terhadap pengertian ta-bid di dunia, karena menggabungkan antara pengertian ayat ini dengan dalil qat'i yang membenarkan adanya penglihatan kelak di hari akhirat.

Menurut pendapat lain, makna kalimat ayat ini sama dengan makna kalimat yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:


{لَا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

Dan Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 103)
 
Menurut yang tertera di dalam kitab-kitab terdahulu, Allah Swt. berfirman kepada Musa a.s., "Hai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup pun yang melihat-Ku melainkan pasti mati, dan tiada suatu benda mati pun melainkan ia pasti hancur luluh." 

Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh Firman-Nya:

{فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا}

Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143)

Sehubungan dengan tafsir ayat ini Abu Ja'far ibnu Jarir At-Tabari di dalam kitabnya mengatakan bahwa:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُهَيْل الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا قُرَّة بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "لما تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ، أَشَارَ بِإِصْبَعِهِ فَجَعَلَهُ دَكًّا" وَأَرَانَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sahl Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Qurah ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari seorang lelaki, dari Anas, dari Nabi Saw., "Ketika Tuhannya menampakkan diri­Nya pada gunung itu dan menunjukkan isyarat-Nya ke gunung itu, maka dengan serta merta gunung, itu menjadi hancur karenaNya." Abu Ismail (perawi) menceritakan hadis ini seraya memperlihatkan kepada kami isyarat dengan jari telunjuknya.

Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya."

Kemudian Abu Ja'far ibnu Jarir At-Tabari mengatakan:

حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا حجَّاج بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا حَمَّاد، عَنْ لَيْث، عَنْ أَنَسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا} قَالَ: "هَكَذَا بِإِصْبَعِهِ -وَوَضَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِصْبَعَهُ الْإِبْهَامَ عَلَى الْمَفْصِلِ الْأَعْلَى مِنَ الْخِنْصَرِ-فَسَاخَ الْجَبَلُ"

telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Lais, dari Anas, bahwa Nabi Saw. membaca ayat berikut: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunitng itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Lalu Nabi Saw. mengisyaratkan dengan salah satu jarinya, beliau meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingkingnya dan bersabda, "Maka hancur luluhlah gunung itu."

Demikianlah sanad yang disebutkan di dalam riwayat ini, yaitu Hammad ibnu Salamah, dari Lais, dari Anas, Tetapi menurut riwayat yang masyhur adalah Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas. 

Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا هُدْبَة بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ {فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا} قَالَ: وَضَعَ الْإِبْهَامَ قَرِيبًا مِنْ طَرْفِ خِنْصَرِهِ، قَالَ: فَسَاخَ الْجَبَلُ -قَالَ حُمَيْدٌ لِثَابِتٍ: تَقُولُ هَذَا؟ فَرَفَعَ ثَابِتٌ يَدَهُ فَضَرَبَ صَدَرَ حُمَيْدٍ، وَقَالَ: يَقُولُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَقُولُهُ أَنَسٌ وَأَنَا أَكْتُمُهُ؟

telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hudbah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman Allah Swt.:Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Lalu beliau Saw. meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingking­nya seraya bersabda, "Maka seketika itu juga gunung itu hancur luluh." Humaid berkata kepada Sabit, "Apakah beliau Saw. mengisyaratkan seperti itu?" Maka Sabit menarik tangannya dan memukulkannya ke dada Humaid seraya berkata, "Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah Saw, diisyaratkan pula oleh Anas, lalu apakah saya menyembunyikannya?"

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bahwa:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُثَنَّى، مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُسَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ [جَعَلَهُ دَكًّا] } قال: قال هكذا -يعني أنه خرج طَرَفَ الْخِنْصَرِ -قَالَ أَحْمَدُ: أَرَانَا مُعَاذٌ، فَقَالَ لَهُ حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ: مَا تُرِيدُ إِلَى هَذَا يَا أَبَا مُحَمَّدٍ؟ قَالَ: فَضَرَبَ صَدْرَهُ ضَرْبَةً شَدِيدَةً وَقَالَ: مَنْ أَنْتَ يَا حُمَيْدُ؟! وَمَا أَنْتَ يَا حُمَيْدُ؟! يُحَدِّثُنِي بِهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَقُولُ أَنْتَ: مَا تُرِيدُ إِلَيْهِ؟!

telah menceritakan kepada kami Abul Musanna Mu’az ibnu Mu’az Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman­Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu. (Al-A'raf: 143) Maka Nabi Saw. mengisyaratkan demikian, yakni beliau Saw. mengeluarkan jari kelingkingnya. Ahmad mengatakan bahwa Mu'az memperagakannya kepada kami demikian. Humaid At Tawil berkata kepadanya, "Apakah yang engkau maksudkan dengan isyarat itu, hai Abu Muhammad?" Maka Mu'az memukul dadanya dengan pukulan yang cukup kuat, lalu berkata, "Siapakah engkau ini, hai Humaid; dan mengapa engkau ini, hai Humaid? Yang menceritakan demikian kepadaku ialah Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw. Lalu apakah yang kamu maksudkan?"

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dalam tafsir ayat ini, dari Abdul Wahhab ibnul Hakam Al-Warraq, dari Mu'az ibnu Mu'az dengan sanad yang sama. Juga dari Abdullah ibnu Abdur Rahim Ad-Darimi, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui hadis Hammad.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama. Lalu Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahihdengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.

Abu Muhammad Al-Hasan ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Khalal telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ali ibnu Suwaid, dari Abul Qasim Al-Bagawi, dari Hudbah ibnu Khalid, dari Hammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkannya. Dan ia mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih, tidak ada cacatnya.

Daud ibnul Muhabbar telah meriwayatkannya dari Syu'bah, dari Sabit, dari Anas secara marfu'. Tetapi riwayat ini tidak dianggap, mengingat Daud Ibnul Muhabbar seorang pendusta.

Abul Qasim At-Tabrani dan Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui dua jalur, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Anas secara marfu dengan lafaz yang semisal. Ibnu Murdawaih menyandarkannya melalui jalur Ibnul Bailamani, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu', hal ini pun tidak sahih. Imam Turmuzi meriwayatkannya, dan Imam Hakim menilainya sahih, tetapi dengan syarat Imam Muslim.

As-Saddi telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt.: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu. (Al-A'raf: 143) Bahwa tiada yang ditampakkan oleh Allah melainkan hanya sebesar jari kelingking. kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.(Al-A'raf: 143) Dakkan artinya 'menjadi abu'. dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Yakni jatuh tak sadarkan dirinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Maksudnya, jatuh dalam keadaan mati.

Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa bukit itu jebol dan jatuh menggelinding ke laut. Sedangkan Nabi Musa ikut bersama gunung itu.

Sunaid telah meriwayatkan dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Abu Bakar Al-Huzali sehubungan dengan makna firman-Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh,(Al-A'raf: 143) Disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam bumi dan tidak akan muncul lagi sampai hari kiamat. Di dalam sebagian kisah disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam tanah dan terns amblas ke dalamnya sampai hari kiamat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّة، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى أَبُو غَسَّانَ الْكِنَانِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الْجَلْدِ بْنِ أيوب، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّة، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَمَّا تَجَلَّى اللَّهُ لِلْجِبَالِ طَارَتْ لِعَظَمَتِهِ سِتَّةُ أَجْبُلٍ، فَوَقَعَتْ ثَلَاثَةٌ بِالْمَدِينَةِ وَثَلَاثَةٌ بِمَكَّةَ، بِالْمَدِينَةِ: أُحُدٌ، وَوَرْقَانُ، وَرَضْوَى. وَوَقَعَ بِمَكَّةَ: حِرَاءٌ، وثَبِير، وَثَوْرٌ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya Abu Gassan Al-Kannani, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Imran, dari Mu'awiyah ibnu Abdullah, dari Al-Jalad ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Ketika Allah tampak bagi gunung-gunung itu, maka beterbanganlah karena kebesaran-Nya enam buah gunung; tiga di antaranya jatuh di Madinah, dan yang tiga lagi jatuh di Mekah. Di Madinah adalah Uhud, Warqan, dan Radwa; sedangkan yang di Mekah ialah Hira, Sabir, dan Saur.
Hadis ini garib, bahkan munkar.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abul Balah, bahwa telah menceritakan kepada kami Ai-Ha isain ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Husain ibnul Allaf, dari Urwah ibnu Ruwayyim yang mengatakan bahwa sebelum Allah menampakkan Diri-Nya kepada Musa di Tursina, gunung-gunung itu dalam keadaan rata lagi licin. Tetapi setelah Allah menampak­kan diri-Nya kepada Musa di Tursina, maka hancur leburlah gunungnya, sedangkan gunung-gunung lainnya terbelah dan retak-retak serta terbentuklah gua-gua.

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Bahwa ketika hijab Allah dibuka-Nya kepada gunung itu dan gunung itu melihat cahaya-Nya, maka jadilah bukit itu seperti tepung.

Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Bahwa makna yang dimaksud dengan dakka ialah fitnah.

Firman Allah Swt.:

{وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا}

Dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143)

Sehubungan dengan makna ayat ini terdapat hadis Abu Sa'id dan Abu Hurairah, dari Nabi Saw., yang menerangkan tentangnya. 
Hadis Abu Sa'id di-sanad-kan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya,dalam bab tafsir ayat ini. Untuk itu ia mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ اليهود إلى النبي صلى الله عليه وسلم قَدْ لُطِمَ وَجْهُهُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِكَ مِنَ الْأَنْصَارِ لَطَمَ وَجْهِي. قَالَ: "ادْعُوهُ" فَدَعَوْهُ، قَالَ: "لِمَ لَطَمْتَ وَجْهَهُ؟ " قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي مَرَرْتُ بِالْيَهُودِيِّ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى الْبَشَرِ. قَالَ: قُلْتُ: وَعَلَى مُحَمَّدٍ؟ فَأَخَذَتْنِي غَضْبَةٌ فَلَطَمْتُهُ، قَالَ: "لَا تُخَيِّرُونِي مِنْ بَيْنِ الْأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يُصْعَقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ، فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُوزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّورِ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa seorang lelaki Yahudi datang kepada Nabi Saw., sedangkan mukanya baru saja ditampar, lalu ia mengadu, "Hai Muhammad, sesungguhnya seseorang dari sahabatmu dari kalangan Ansar telah menampar wajahku." Nabi Saw. bersabda, "Panggillah dia!" Lalu mereka memanggil lelaki itu dan bersabda kepadanya, "Mengapa engkau tampar mukanya?" Lelaki Ansar menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika saya sedang lewat bersua dengan orang Yahudi, lalu orang Yahudi itu kudengar mengatakan, 'Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas manusia semuanya.' Lalu saya mengatakan kepadanya, 'Dan juga di atas Muhammad?' Lelaki itu menjawab, 'Ya juga di atas Muhammad.' Maka saya menjadi emosi, lalu kutampar mukanya," Rasulullah Saw. bersabda:Janganlah kalian melebihkan aku di atas para nabi semuanya, karena sesungguhnya manusia pasti pingsan di hari kiamat, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar. Tiba-tiba aku menjumpai Musa sedang memegang kaki A’rasy. Aku Tidak mengetahui apakah dia sadar sebelumku ataukah dia telah beroleh balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur.

Imam Bukhari telah meriwayatkannya di berbagai tempat (bab) dari kitabSahih-nya, dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab Sahih-nya dalam pembahasan "Kisah-kisah para Nabi". 

Imam Abu Daud telah meriwayatkannya di dalam kitab Sunnah-nya melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Yahya ibnu Imarah ibnu Abul Hasan Al-Mazini Al-Ansari Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa'id Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri dengan lafaz yang sama.

Adapun mengenai hadis Abu Hurairah, Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya menyebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: اسْتَبَّ رَجُلَانِ: رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَرَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ، فَقَالَ الْمُسْلِمُ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُحَمَّدًا عَلَى الْعَالَمِينَ. وَقَالَ الْيَهُودِيُّ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى الْعَالَمِينَ، فَغَضِبَ الْمُسْلِمُ عَلَى الْيَهُودِيِّ فَلَطَمَهُ، فَأَتَى الْيَهُودِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ، فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاعْتَرَفَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُخَيِّرُونِي عَلَى مُوسَى؛ فَإِنَّ النَّاسَ يُصْعَقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ، فَأَجِدُ مُوسَى مُمْسِكًا بِجَانِبِ الْعَرْشِ، فَلَا أَدْرِي أَكَانَ مِمَّنْ صَعِقَ فَأَفَاقَ قَبْلِي، أَمْ كَانَ مِمَّنِ اسْتَثْنَاهُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ"

telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman dan Abdur Rahman Al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki bertengkar, salah seorangnya adalah orang muslim, sedangkan yang lain orang Yahudi. Orang Mus­lim mengatakan, "Demi Tuhan yang telah memilih Muhammad atas semua manusia." Maka si Yahudi berkata, "Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas semua manusia." Maka orang muslim itu marah kepada si Yahudi, lalu ia menamparnya. Kemudian orang Yahudi itu datang kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw. menanyakan kedatangannya, maka lelaki Yahudi itu mengadukan perkaranya. Lalu Rasulullah Saw. memanggil si lelaki muslim itu, dan si lelaki muslim mengakui hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian melebihkan aku atas Musa, karena sesungguhnya semua orang mengalami pingsan di hari kiamat nanti, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar. Tiba-tiba aku melihat Musa sedang memegang bagian sisi 'Arasy. Aku tidak mengetahui apakah dia termasuk orang-orang yang pingsan, lalu ia sadar sebelumku, ataukah dia termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah Swt. (tidak mengalami pingsan)

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan sanad yang sama.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan bahwa orang yang menampar si Yahudi itu dalam kasus tersebut adalah sahabat Abu Bakar As- Siddiq r.a. Akan tetapi, menurut keterangan hadis yang terdahulu dari kitab Sahihain disebutkan bahwa lelaki yang menampar si Yahudi itu adalah seorang Ansar; hal ini lebih sahih dan lebih jelas.

Pengertian yang tersirat dari sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

"لَا تُخَيِّرُونِي عَلَى مُوسَى"

Janganlah kalian mengutamakan aku atas Musa.

Sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam sabdanya yang lain, yaitu:

"لَا تُفَضِّلُونِي عَلَى الْأَنْبِيَاءِ وَلَا عَلَى يُونُسَ بْنِ مَتَّى"

Janganlah kalian mengutamakan diriku atas para nabi, jangan pula atas Yunus ibnu Mata
Menurut suatu pendapat, hal ini termasuk ke dalam Bab "Tawadu’ (rendah diri) Nabi Saw.". 

Tetapi menurut pendapat lain, hal tersebut diungkapkan oleh Nabi Saw. sebelum Nabi Saw. mengetahui keutamaan dirinya di atas semua makhluk. Menurut pendapat lainnya,-Nabi Saw. melarang bila dirinya paling diutamakan di antara para nabi lainnya dengan cara emosi dan fanatisme. Dan menurut pendapat lainnya lagi, hal tersebut dilarang bila dikatakan hanya sekadar pendapat sendiri dan seenaknya.

Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

"فَإِنَّ النَّاسَ يُصْعَقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Sesungguhnya semua manusia akan mengalami pingsan pada hari kiamat nanti.
Menurut makna lahiriahnya 'pingsan' ini terjadi menjelang hari kiamat, karena pada hari itu terjadilah suatu perkara yang membuat mereka semuanya tidak sadarkan dirinya.

Barangkali pula hal tersebut terjadi di saat Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi datang untuk memutuskan peradilan, lalu Dia menampakkan diri-Nya pada semua makhluk untuk melakukan pembalasan terhadap mereka. Perihalnya sama dengan pingsan yang dialami oleh Musa a.s. karena Tuhan menampakkan diri-Nya. Untuk itulah, maka dalam hadis ini disebutkan melalui sabdanya:

"فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُوزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّورِ"؟

Aku tidak mengetahui apakah Musa sadar sebelumku. ataukah dia sudah cukup mendapat balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur.

Al-Qadi Iyad di dalam permulaan kitabAsy-Syifa telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Muhammad ibnu Muhammad ibnu Marzuq: 

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّابٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَمَّا تَجَلَّى اللَّهُ لِمُوسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَانَ يُبْصِرُ النَّمْلَةَ عَلَى الصَّفَا فِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ، مَسِيرَةَ عَشَرَةِ فَرَاسِخَ"

bahwa telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Qatadah, dari Yahya ibnu Wassab, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:Ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa as., maka Musa dapat melihat semut yang berada di Bukit Safa(Mekah) dalam kegelapan malam sejauh perjalanan sepuluh farsakh (pos).

Kemudian Al-Qadi Iyad mengatakan, "Tidaklah jauh pengertian hal ini dengan apa yang dialami oleh Nabi kita. sebagai keistimewaan buatnya, sesudah beliau mengalami Isra dan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang terbesar." 

Demikianlah menurut Al-Qadi Iyad, seakan-akan dia menilai sahih hadis ini. Tetapi kesahihan hadis ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat para perawi yang disebutkan di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal. Sedangkan hal semisal ini hanya dapat diterima bila diketengahkan melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dabit sampai ke penghujung sumbernya.

Demikian pula yang akan terjadi pada hari kiamat. Dimana Allah akan memperlihatkan wajah-Nya ke bumi ini dalam sekejap mata atau lebih cepat lagi. Allah berfirman : 

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا أَمْرُ السَّاعَةِ إِلَّا كَلَمْحِ الْبَصَرِ أَوْ هُوَ أَقْرَبُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 

“Dan kepunyaan Allah-lah segala apa yang tersembunyi di langit dan di bumi. Tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nahl : 77) 

Padahal kita ketahui kejadian kiamat lebih lama dari sekejap mata mencakup di tiupnya sangkakala, langit digulung, bintang berserakan, gunung meletus, laut meluap dan sebagainya. Sebab maksudnya adalah puncak kiamat ketika Allah menampakkan wajah-Nya tidak lebih dari sekejap mata. Inilah yang membuat manusia, gunung dan apa yang ada di atas bumi hancur menjadi debu. Allah berfirman : 

يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ 

“Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Al-Qari’ah : 4-5) 

Demikian pula firman Allah : 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلَا أَمْتًا 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu datar sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan yang tinggi-tinggi.” (Thaha : 105-107) 

FADHILAH 

Beberapa fadhilah penting dari ayat ini adalah : 

1. Agar manusia tidak minta melihat Allah untuk mau beriman 

Sebagimana firman Allah : 

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang", karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” (Al-Baqarah : 55) 

2. Allah melaknat dunia 

Sesungguhnya Allah melaknat dunia dan isinya kecuali orang-orang yang beriman. Sebagaimana sabda Nabi : 

إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ 

“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan) 

Adapun pada hari kiamat sudah tidak ada lagi orang beriman sehingga Allah hancurkan seluruh ini dunia yang terlaknat ini. Sebab bagi Allah nilai dunia ini tidak lebih baik dari satu sayap seekor nyamuk atau seonggok bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Oleh karena itu, Allah jadikan apa yang di atas bumi ini akan hancur bila berhadapan dengan-Nya. 

3. Allah meridhai surga bagi manusia 

Sedangkan Allah meridhai surga bagi manusia. Oleh karena itu, Dia menampakkan wajah-Nya nanti di surga kepada penghuninya. Allah berfirman : 

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah : 22-23) 

Pada saat Allah menampakkan wajah-Nya di surga nanti, surga dan penghuni tidak akan menjadi hancur sebab Allah ciptakan demikian.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 29 November 2016

Pengertian Tentang Sholat Daim

Shalat dalam tinjauan tasawuf ada dua macam, yaitu sholat yang bersifat syariat yaitu sholat lima waktu (shalat wajib dan sunnah), sedangkan yang kedua adalah sholat Daim. Adapun daim berarti kekal atau tetap, Shalat daim berarti doa atau dzikir yang kekal dan tetap. Shalat daim, seperti diungkapkan dalam firman Allah:‎

ٱلَّذينَ هُمْ عَلى صَلاتِهِمْ دائِمُونَ

Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya secara terus-menerus (Qs. al-Ma’arij ayat 23)

Ketika Ruh masih dalam kondisi yang ruhani, Sebelum diberi badan jasmani dan dibentuk oleh Allah. Pada hakekatnya Ruh sudah dibimbing agar selalu ingat (Dzikir) kepada Allah.

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى شَهِدْنا 

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A‘raf:172)

Shalat Daim Dalam Tasawuf Jawa

Sebelum kita memahami Shalat Daim, ada baiknya kita memahami apa sebenarnya arti dari kata Shalat itu. Arti daripada shalat adalah mengingat-ingat GUSTI ALLAH (Dzikrullah) di waktu duduk, berdiri dan melakukan aktivitas dalam kehidupan ini. Sedangkan kata Daim itu memiliki arti terus-menerus ataupun tak pernah putus. 

Jadi, jika kedua kata itu digabungkan maka Shalat Daim itu berarti mengingat-ingat GUSTI ALLAH tanpa pernah putus. Atau Dzikrullah secara terus menerus. 
Shalat daim terdapat dalam kepustakaan Jawa. Tidak seperti shalat lima waktu dan shalat sunah (nawafil), shalat daim tidak terikat dengan waktu, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Sebutan lengkap untuk salat ini adalah shalat daim mulat salira, yaitu zikir yang kekal dan mawas diri. Mawas diri di sini berarti selalu ingat atau eling kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam buku Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dijelaskan: “Shalat daim ialah sembahyang yang tetap, yang selalu dilaksanakan, atau sembahyang yang tidak pernah ditinggalkan, mawas diri, dan mawas aku (melihat dengan teliti akan diri sendiri atau dirinya dalam arti yang seutuhnya). Melakukan ini amat penting bagi kita yang mencari ilmu hakikat. Dan melakukan yang demikian inilah yang disebut dengan salat daim mulat sarira.”

Tidak berbeda dengan penjelasan ini, R. Ngabehi Ranggawarsita (Ronggowarsito) dalam bukunya Wirid Ma’lumat Jati menyatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat daim adalah: “memperhatikan dengan seksama rasa hidup kita semua, lalu mengakui dirinya menjadi penampakan lahiriah Tuhan Yang Maha Suci yang sejati, Yang Maha Kuasa, Yang Kuasa menciptakan segala sesuatu. Kalau sudah bisa demikian, itulah yang disebut shalat daim, yaitu shalat sejati.”

Tentang salat daim ini dijelaskan oleh Ranggawarsita, yaitu “saya berniat salat daim untuk selama hidupku, berdirinya adalah hidupku, rukuknya adalah penglihatanku, iktidalnya adalah pendengaranku, sujudnya adalah penciumanku, bacaan ayat adalah ucapanku, duduknya adalah imanku, pujiannya adalah keluar masuknya nafasku, zikirnya adalah ingatanku, kiblatnya adalah renunganku, fardu menjalankan yang wajib lantaran kodratku sendiri. Disitu lalu pasrah kepada Zat hidup kita pribadi . jangan ragu-ragu lagi, karena yang demikian itu telah berdiri Zat, sifat dan perbuatan kita ini sudah menjadi Al-Qur’an sejati, sebagai tanda hakikat semua shalat.”

Lebih lanjut ia menjelaskan, “Itulah shalat daim, yakni salat yang sejati, ia tanpa di antarai waktu, tidak mempunyai hitungan rakaat, mereka ini bisa disebut shalat sambil bekerja, melakukan pekerjaan sambil salat, duduk dengan berdiri, berdiri dengan duduk, lari dengan berhenti, membisu dengan berceritera, bepergian dengan tidur, tidur dengan jaga. Seperti itulah ibaratnya, sebab hakikat shalat daim tanpa sujud dan rukuk, yakni hanya berada dalam rasa hidup kita.”

Menurut Ranggawarsita, karena hakikat shalat terletak pada perbuatan utama, yakni sabar dalam pendengaran, maka jika seseorang bisa menutup telinga untuk tidak mendengar hal-hal yang tidak bermanfaat, berarti ia telah melaksanakan shalat.

Shalat daim tersebut menurut mereka merupakan bentuk pengembaraan ahli kerohanian dalam mencari Tuhan. Untuk menemui Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan Maha Sempurna, maka dalam pencarian itu seseorang harus suci secara lahir dan batin. Karena itu ia harus menghidupkan hati dan perasaannya untuk selalu ingat dan berzikir kepada Tuhan. Hal ini bisa dicapai dengan cara shalat daim dalam arti tasawuf, yaitu “ ingat dan zikir yang terus-menerus”.

Dengan demikian shalat daim ini tidak dalam arti salat fardu lima waktu dan salat sunah, melainkan lebih sesuai jika diartikan zikir secara sufi yang terus-menerus.
Al-Qur’an menganjurkan banyak berzikir di luar salat. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman:

فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَ ابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ اذْكُرُوا اللهَ كَثيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.al-jumuah:10)

فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِياماً وَ قُعُوداً وَ عَلى جُنُوبِكُمْ 

Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah pada waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring. (Qs. An-Nisa’: 103)

Rasulullah Saw. adalah contoh yang sempurna, beliau menjalankan shalat lima waktu dan shalat sunnah-sunnah lainnya, tetapi beliau juga menjalankan shalat daim dalam sehari-harinya.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يذكر اللَّه على كل أحيانه. رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari `Aisyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam selalu berzikir kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan”. (HR. Muslim.)

Salah satu contoh dari Shalat Daim dapat kita tauladani dari sejarah saat Sunan Bonang menggembleng Raden Mas Syahid sebelum bergelar Sunan Kalijaga. 

Saat itu Sunan Bonang sudah mengajarkan apa yang dinamakan Shalat Daim pada Raden Mas Syahid. Bagaimana Shalat Daim itu? Pertama kali Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri. 

Menurut ajaran dari Sunan Bonang, Shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, pasrah pada kehendak GUSTI ALLAH. Raden Mas Syahid tidak disuruh untuk dzikir ataupun melakukan ritual apapun. Apa rahasia dibalik duduk diam tersebut? Cobalah Anda duduk dan berdiam diri. Maka hawa nafsu Anda akan berbicara sendiri. Ia akan melaporkan hal-hal yang bersifat duniawi pada diri Anda. Hal itu semata-mata terjadi karena hawa nafsu kita mengajak kita untuk terus terikat dengan segala hal yang berbau dunia. 

Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun setelah sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan benar-benar tidak memiliki daya untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan lenyap. Dalam kondisi demikian, manusia akan berada dalam kondisi nol atau suwung total. Karena ego dan hawa nafsu sudah terkalahkan. 

Demikian juga dengan kondisi Raden Mas Syahid ketika bertapa di pinggir kali. Ia hanya pasrah dan tidak melakukan ritual apapun. Hanya diam dan hening. Hingga akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan GURU SEJATINYA. 

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”

Lewat Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu 

Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.

(unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan Maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia).
‎‎‎
Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Shalat sejati adalah SHALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. 

Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat Suluk Wujil, yaitu

PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, 
NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, 
PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, 
SASOLAHE RAGANIREKI, 
TAN SIMPANG DADI SEMBAH, 
TEKENG WULUNIPUN, 
TINJA TURAS DADI SEMBAH, 
IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. 

(Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir).
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin. 
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 27 November 2016

Sholat Sunat Yang Setara Dengan Lailatul Qodar

Shalat sunah atau shalat nawafil (jamak: nafilah) adalah shalat yang dianjurkan untuk dilaksanakan namun tidak diwajibkan sehingga tidak berdosa bila ditinggalkan dengan kata lain apabila dilakukan dengan baik dan benar serta penuh ke ikhlasan akan tampak hikmah dan rahmat dari Allah SWT yang begitu indah.
Dalil Adanya Shalat Sunnah

جَاءَ اَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا ذَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ؟ قَالَ: اَلصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. البخاري و مسلم

Telah datang seorang Arab gunung, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, shalat apa yang difardlukan oleh Allah atas saya ?”. Jawab Rasulullah SAW, “Shalat lima waktu, kecuali kalau engkau mau shalat sunnah”. [HSR. Bukhari dan Muslim]

Keterangan :
Selain shalat yang lima waktu (Shubuh, Dhuhur, 'Ashar, Maghrib dan 'Isyak), adalah shalat sunnah / tathawwu'.
Sebaiknya Dikerjakan di Rumah

Nabi SAW bersabda :

اَفْضَلُ الصَّلاَةِ صَلاَةُ اْلمَرْءِ فِى بَيْتِهِ اِلاَّ اْلمَكْتُوْبَةَ. البخارى و مسلم

Sebaik-baik shalat itu ialah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardlu. [HSR. Bukhari dan Muslim]

Boleh dikerjakan dengan berdiri, duduk maupun berbaring :

Dari Imron bin Hushain, Nabi SAW bersabda :

اِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ اَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاعِدِ. البخارى
Jika (orang) shalat dengan berdiri, itu adalah yang paling baik/sempurna dan barangsiapa yang shalat dengan duduk, maka baginya setengah dari pahala yang berdiri, dan barangsiapa shalat dengan berbaring maka baginya setengah dari pahala yang duduk". [HSR. Bukhari]

Keterangan :
Shalat-shalat yang dimaksud dalam hadits ini adalah Shalat Sunnah, bukan shalat wajib,karena shalat wajib tidak boleh dikerjakan dengan duduk atau berbaring kecuali dengan sebab atau udzur yang dibenarkan oleh agama.
Sabda Nabi SAW :

صَلّ قَائِمًافَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًافَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَىجَنْبِكَ. الجماعة الا مسلما
Shalatlah dengan berdiri, jika tidak dapat maka shalatlah dengan duduk dan kalau tidak dapat, maka shalatlah dengan berbaring. [HR. Jama'ah kecuali Muslim]
Diantara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini adalah shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’. Diantara dasar dalilnya adalah:

حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkara : “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam; dan ketika itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : ‘Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?’ -  atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 117].
حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Mujaahid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah (shalat) ‘Isyaa’, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Empat raka’at setelah ‘Isyaa’ setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7352; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ ؛ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Jabbaar bin ‘Abbaas, dari Qais bin Wahb, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7353; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ أَيْمَنَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ تُبَيْعٍ، عَنْ كَعْبِ بْنِ مَاتِعٍ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ، عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Waahid bin Aiman, dari ayahnya, dari Tubai’, dari Ka’b bin Maati’, ia berkata : Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7354; sanadnya hasan].
Atsar Ka’b bin Maati’ atau Ka’b Al-Ahbar ini juga diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4895-4896 dengan sanad hasan.
Faedah:
1.     Riwayat-riwayat di atas menegaskan tentang masyruu’-nya shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’.
2.     Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr, meskipun sanadnya mauquuf pada shahabat radliyallaahu 'anhum, namun hukumnya adalah marfuu’, kar‎ena di dalamnya tidak ada ruang ‎ijtihaad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya statement itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3.     Afdlal, shalat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjama’ah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 731].
4.     Shalat sunnah tersebut dilakukan empat raka’at tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat sunnah malam dilakukan dua-dua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991].
5.     Diantara ulama yang menegaskan sunnahnya amalan ini antara lain :
As-Sarkhasiy rahimahullah berkata:
فَأَمَّا التَّطَوُّعُ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَرَكْعَتَانِ فِيمَا رَوَيْنَا مِنْ الْآثَارِ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا فَهُوَ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمَرْفُوعًا مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ كُنَّ لَهُ كَمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Adapun shalat sunnah setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia shalat empat raka’at maka afdlal berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar r‎adliyallaahu ‘anhu secara mauquuf dan ‎marfuu’ : ‘Barangsiapa shalat setelah ‘Isyaa’ sebanyak empat raka’at, maka baginya pahala senilai empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Al-Mabsuuth 1/459].
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Sholat Di Akhir Waktu

Sungguh tulisan ini tidak bermaksud menggampangkan (tasahul) dalam urusan waktu shalat. Hanya ingin nengatakan dan memberikan penjelasan bagi mereka yang sering tertinggal shalatnya agar segera menindakkannya. Karena waktu shalat itu disediakan dari awal hingga akhir. Selama belum tiba waktu shalat yang lain, pintu shalat masih tetap terbuka.

Pada asalnya sholat yang paling utama adalah yang dilaksanakan pada awal waktunya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah sholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda :

أيّ الأعمال أفضل؟ قال : الصّلاة على وقتها

"Amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab, "shalat pada waktunya." ( Hadist Shohih Riwayat Hakim )

Tetapi jika, memang matahari terik sekali, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah, maka tidak apa-apa kalau sholat dhuhur tersebut diakhirkan sampai terik matahari berkurang, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah sholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda :

إذا اشتدّ الحرّ فأبردوا بالصلاة فإنّ شدّة الحرّ من فيح جهنّم

"Jika panas sangat terik maka sholatlah pada saat panas sudah reda karena teriknya panas matahari merupakan bagian dari muntahan jahannam." (HR Bukhari dan Muslim)

Jangan pernah beranggapan bahwa qadha shalat (menghutang shalat) lebih baik dari pada shalat di akhir waktu, karena pemahaman seperti itu adalah sangat salah. Ketahuilah bahwa shalat tepat pada awal waktu sama artinya dengan meraih ridha Allah swt. sedang shalat di akhir waktu hanya mengharap ampunan dari-Nya.

ويجوز تأخير الصلاة الى اخر الوقت لقوله صلى الله عليه وسلم اول الوقت رضوان الله واخره عفو الله ولانا لولم يجوز التأخير لضاق على الناس فسمح لهم بالتأخير

Dan dibolehkan mengakhirkan shalat hinngga akhir waktunya, karena sabda Rasulullah saw awal waktu itu ridlanya Allah dan akhirnya itu maafnya Allah. dan jika sekiranya kita tidak diperbolehkan ta’khir, maka itu merupakan keribetan manusia, maka dimaafkanlah menta;khirkan shalat

Teks di atas menunjukkan betapa ridha Allah itu disiapkan bagi mereka yang melakukan shalat di awal waktu, dan ampunan Allah swt bagi mereka yang shalat di akhir waktu. Maka Jelas berbeda antara ampunan dan ridha. Jika kata ridha mengandung nilai tambah yang diperoleh seorang hamba dari shalatnya, semacam buah tangan. Adapun ampunan hanya semacam pengertian atau pemakluman dari Allah swt. akan kemurahan-Nya kepada mereka yang telat shalatnya.

Sebagaimana sistem "remunerasi" yang memberi (gaji tambahan) bagi mereka yang datang lebih awal dan aktif bekerja dan hanya sebatas pengertian (tanpa imbalan tambahan) bagi mereka yang bermalas-malasan. Artinya ampunan yang diberikan oleh Allah kepada hambanya yang mengakhirkan shalat dapat dimaknai sekedar pembebasan seorang hamba dari dosa (karena telah teledor menghadiri panggilan-Nya dalam sahalat). Oleh karena itu seorang hamba yang dalam hidupnya memiliki motifasi tinggi dalam usahanya mendekatkan diri pada Allah swt. pastilah akan lebih bersemangat mengejar ridhanya dari pada sekedar menghindarkan diri dari siksa-Nya. Sebagaimana dalam An-Nashaikh ad-Diniyah wal Washaya al-Imaniyyah:

ومن المحافظة على الصلاة والاقامة لها المبادرة بها فى اول مواقيتها وفى ذالك فضل عظيم وهو دليل على محبة الله وعلى المسارعة فى مرضاته ومحابه  

Dan salah satu usaha menjga shalat adalah bersegera mendirikannya pada awal waktu. Sungguh di situlah terdapat fadhilah yang agung. Dan sekaligus juga merupakan bukti kecintaan seseorang kepada Allah swt, dan kecintaan atas hal-hal yang diridhainya.

Sunnahnya Mengakhirkan Shalat Isya

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

“Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu sebagian besar malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda: “Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim no. 638)

Dari Jabir bin Samurah -radhiallahu anhu- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengakhirkan shalat isya.” (HR. Muslim no. 643)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ

“Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu dia berkata:

أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ

“Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421)

Penjelasan ringkas:

Hukum asal dari shalat-shalat lima waktu adalah dikerjakan di awal waktunya masing-masing. Kecuali shalat isya, karena adany dalil-dalil yang tegas menunjukkan disunnahkannya untuk mengerjakan shalat isya di akhir malam. Walaupun demikian, Rasulullah  tidaklah mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.

Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda