Translate

Sabtu, 05 November 2016

Sejarah Demonstrasi Yang Berujung Pada Pemberontakan

Sayyidina Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin ‘Adnan. Radhiyallahu 'Anhum.
Abu Amr, Abu Abdullah al-Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua orang putri Rasulullah saw. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib paman Rasulullah saw.

Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura  serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan khulafaur Rasyidin yang  ketiga, imam mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.

Allah banyak menaklukkan berbagai Negara melalui tangannya. Maka semakin luaslah wilayah Negara Islam dan bertambah luaslah Negara khilafah ini serta sampailah misi Rasulullah ke sebelah timur dan barat bumi. Nampaklah kebenaran firman Allah:‎

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. 
QS:An-Nuur | Ayat: 55


هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. 
QS:Ash-Shaff | Ayat: 9

Rasulullah bersabda, “Jika kaisar mati maka tidak ada kaisar lagi setelahnya dan jika Kisra meninggal, maka tidak ada lagi Kisra setelahnya. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, harta-harta karun mereka berdua akan digunakan untuk perang di jalan Allah.” (HR. Muslim)

Semua ini terjadi dan terbukti pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan.

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan. Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.

Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah Shollallohu 'Alaihi Wasallam ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul Shollallohu 'Alaihi Wasallam  mencatat wahyu Allah. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.

Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.

Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.
Munculnya fitnah pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhu terjadi setelah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ; masa sebelum wafat beliau ibarat sebuah pintu yang terkunci dari berbagai fitnah. Ketika beliau Radhiyallahu anhu terbunuh, muncullah berbagai fitnah yang besar, dan muncullah orang-orang yang berseru kepadanya (fitnah) dari kalangan orang yang belum tertanam keimanan dalam hatinya, dan dari kalangan orang-orang munafik yang sebelumnya menampakkan kebaikan di hadapan manusia, padahal mereka menyembunyikan kejelekan dan makar terhadap agama ini.

Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:

أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ كَمَا قَالَ. قَالَ: هَاتِ؛ إِنَّكَ لَجَرِيءٌ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَـارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ، قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ وَلَكِنِ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ. قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لاَ بَأْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا، إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا. قَالَ: يُفْتَحُ الْبَـابُ أَوْ يُكْسَرُ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ يُكْسَرُ. قَالَ ذَلِكَ أَحْرَى أَنْ لاَ يُغْلَقَ. قُلْنَا: عُلِمَ الْبَابُ؟ قَالَ نَعَمْ، كَمَا أَنَّ دُونَ غَدٍ اللَّيْلَةَ إِنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِاْلأَغَالِيطِ. فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ، وَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَنِ الْبَابُ؟ قَالَ: عُمَرُ.

“Siapakah di antara kalian yang hafal sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah?” Lalu Hudzaifah berkata, “Aku hafal seperti yang beliau sabdakan.” (‘Umar) berkata, “Kemarilah, engkau memang berani.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Fitnah seorang laki-laki (yang ada) pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” Beliau (‘Umar) berkata, “Bukan yang ini, akan tetapi yang bergelombang seperti gelombang ombak di lautan.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Hal itu tidak jadi masalah bagimu, sesungguhnya di antara engkau dengannya ada pintu yang tertutup.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Pintu itu dibuka atau dirusak?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan dirusak.” Beliau berkata, “Pintu itu pantas untuk tidak ditutup.” Kami (Syaqiq) bertanya, “Apakah beliau tahu apakah pintu itu?” Dia menjawab, “Betul, sebagaimana (dia tahu) bahwa setelah esok hari ada malam, sesungguhnya aku meriwayatkan hadits dan bukan cerita bohong.” Lalu kami sungkan untuk bertanya kepadanya, dan kami memerintahkan Masruq agar ia bertanya kepada beliau, lalu dia berkata, “Siapakah pintu itu?” Dia (Hudzaifah) menjawab, “‘Umar.”

Itulah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar telah terbunuh, pintu telah dirusak, muncullah berbagai fitnah dan terjadilah banyak musibah. Fitnah yang pertama kali muncul adalah terbunuhnya Khalifatur Rasyid, Dzun Nuraini, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu oleh para penyeru kejelekan, yang berkumpul untuk menghadapinya dari Irak dan Mesir. Mereka mema-suki Madinah dan membunuhnya sementara beliau berada di rumahnya Radhiyallahu anhu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada ‘Utsman bahwa musibah akan menimpanya, karena itulah beliau bersabar dan melarang para Sahabat agar tidak memerangi orang-orang yang membangkang kepadanya, sehingga tidak ada pertumpahan darah karenanya Radhiyallahu anhu.

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَـى حَائِطٍ مِنْ حَوَائِطِ الْمَدِينَةِ… فَجَاءَ عُثْمَـانُ، فَقُلْتُ: كَمَا أَنْتَ؛ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ لَكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ مَعَهَا بَلاَءٌ يُصِيبُهُ.

“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dari kebun-kebun Madinah… lalu datang ‘Utsman, aku berkata, ‘Tunggu dulu! Sehingga aku memohon izin (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) untukmu,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Izinkanlah ia, berilah kabar kepadanya dengan Surga, bersamanya ada musibah yang menimpanya.’”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ‘Utsman dengan menyebutkan musibah yang akan menimpanya, padahal ‘Umar pun meninggal dengan terbunuh. Hal itu karena ‘Umar tidak mendapatkan cobaan sebesar yang didapatkan oleh ‘Utsman; berupa sikap kaumnya yang lancang dan memaksanya untuk melepaskan jabatan kepemimpinan atas tuduhan kezhaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepadanya, dan ‘Utsman memberikan penjelasan yang lugas serta bantahan atas pernyataan-pernyataan mereka.

Dengan terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu kaum muslimin menjadi berkelompok-kelompok, terjadilah peperangan antara para Sahabat, berbagai fitnah dan hawa nafsu menyebar, banyaknya pertikaian, pendapat menjadi berbeda-beda, dan terjadilah berbagai pertempuran yang membinasakan pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum. Sebelumnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui fitnah yang akan terjadi pada zaman mereka.

Dijelaskan dalam sebuah hadits:

فَإِنَّهُ أَشْـرَفَ عَلَى أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ، فَقَالَ: هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى؟ قَالُوْا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي لأَرَى الْفِتَنَ تَقَعُ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَوَقْعِ الْقَطْرِ.

“(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah memperhatikan sebuah bangunan tinggi dari beberapa bangunan tinggi di Madinah, lalu beliau berkata, ‘Apakah kalian melihat fitnah yang aku lihat?’ Para Sahabat menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah terjadi di antara rumah-rumah kalian bagaikan kucuran air hujan.’”

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Penyerupaan dengan kucuran air hujan terjadi pada sesuatu yang banyak dengan cakupannya yang umum, artinya fitnah tersebut banyak dan tidak khusus menimpa satu kelompok. Ini merupakan isyarat adanya peperangan yang terjadi antara mereka, seperti perang Jamal, Shiffin, Hurrah (daerah berbatu), pembunuhan ‘Utsman dan al-Husain Radhiyallahu anhuma… dan yang lainnya. Hadits tersebut juga menunjukkan adanya mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang nampak.

Kekholifahan Sayyidina Utsman 

Tatkala Amirul Mukminin Umar mendapat tikaman, beliau menyerahkan masalah kenegaraan kepada enam orang sahabat. Setelah Umar dikuburkan, keenam sahabat utama tersebut berkumpul. Keenam sahabat tersebut bermusyawarah untuk memilih khalifah hingga pada akhirnya mereka memilih Utsman. Beliau sama sekali tidak pernah berambisi untuk memegang kendali kekuasaan itu. Saat beliau dibaiat sebagai khalifah, beliau telah berusia 70 tahun.

Khutbah pertama Utsman bin Affan di hadapan kaum Muslimin, seperti yang diriwayatkan oleh Saif bin Umar dari Badr bin Utsman dari pamannya berkata, “Ketika Dewan Syura membaiat Utsman bin Affan, dengan keadaan orang yang paling sedih di antara mereka, beliau keluar dan menaiki mimbar Rasulullah dan memberikan khutbahnya kepada orang banyak. Beliau memulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi dan berkata, ‘Sesungguhnya kalian berada di kampung persinggahan dan sedang berada pada sisa-sisa usia, maka segeralah melakukan kebaikan yang mampu kalian lakukan. Kalian telah diberi waktu pagi dan sore. Ketahuilah bahwa dunia dipenuhi tipu daya, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia ini memperdayakan kalian dalam (menaati) Allah. Ambillah pelajaran dari kejadian masa lalu kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan lalai, karena setan tidak pernah lalai terhadap kalian. Mana putra-putra dunia dan temannya yang terpengaruh dengan dunia maka menghabiskan usianya untuk bersenang-senang. Tidaklah mereka jauhi semua itu! Buanglah dunia sebagaimana Allah membuangnya, carilah akhirat karena sesungguhnya Allah telah membuat permisalan dengan yang paling baik. Allah berfirman:‎

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا

Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. 
QS:Al-Kahfi | Ayat: 45


الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. 
QS:Al-Kahfi | Ayat: 46’.”

Kemudian kaum Muslimin berdatangan untuk membaiatnya sebagai khalifah.
     
Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan dipenuhi dengan banyak penaklukkan sebagai penyempurna penaklukkan di masa kekhalifahan Umar. Penaklukkan yang dilakukannya selalu berlanjut, baik melalui jalur darat maupun laut. Beliau melanjutkan kebijakan khalifah sebelumnya, Umar bin Al-Khattab dalam jihad di jalan Allah.Di antara penaklukkan-penaklukkan besar itu ialah:

Di Wilayah Barat.
     
Rakyat Iskandariyah (Mesir) yang beragama nasrani melakukan pemberontakkan terhadap pemerintahan Islam pada tahun 25 H/ 645 M, yang kemudian ditaklukkan oleh Amr bin Al-Ash.

Utsman mengizinkan pasukan Islam untuk melakukan penaklukkan ke seluruh benua Afrika. Maka, berangkatlah Abdullan bin Sa’ad bin Abu Sarah hingga berhasil menaklukkan Tharablis (Tripoli) di wilayah Libya sekarang. Kemudian mereka berhadapan dengan pasukan Romawi di Sabithalah dan berhasil mengalahkan mereka pada tahun 27 H/ 647 M.

Dengan demikian, bergabunglah Barqah, Tharablis, dan wilayah barat Mesir, serta sebagian Naubah ke dalam wilayah kekhalifahan Utsman bin Affan.

Sedangkan Mu’awiyah melakukan serangan ke Cyprus dan berhasil menaklukkannya pada tahun 28 H. Di waktu Umar bin Al-Khattab masih memegang tampuk kepemimpinan, beliau melarang kaum Muslimin untuk melakukan serangan melalui laut. Sedangkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, beliau justru mengizinkannya.

Maka terjadilah perang menghadapi Romawi di lautan. Perang ini disebut Perang Dzatush Shawari. Perang ini merupakan perang laut pertama yang dialami oleh kaum Muslimin. Di masa kekhalifahan Utsman, kaum Muslimin telah memiliki armada laut. Pasukan Islam berhadapan dengan tentara Romawi di pantai Kilkiya. Pasukan Romawi mengalami kekalahan yang telak dalam perang ini. Panglimanya yang bernama Kaisar Konstantin bahkan mati terbunuh.

Mu’awiyah terus melakukan penyerangan ke wilayah Romawi hingga mencapai Amuriyyah, sebuah wilayah di dekat Ankar, pada tahun 33 H/ 653 M.

Di Wilayah Timur.

Panglima Umair bin Utsman sampai ke Farghanah pada tahun 29 H. Sedangkan Abdullah Al-Laitsi mencapai Kabul, Abdullah At-Tamimi sampai ke sungai Hindustan dan Sa’id bin Al-Ash berhasil menaklukkan Jurjan.

Persia melakukan pemberontakkan, namun berhasil dipatahkan oleh Abdullah bin Amir. Akhirnya, Yazdajir melarikan diri ke Karman, kemudian ke Khurasan dan terbunuh di tempat tersebut. Wilayah-wilayah yang melanggar kesepakatan kembali berhasil ditaklukkan.

Demikianlah penaklukkan yang terjadi di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Pada masanya telah terjadi perluasan beberapa wilayah ke dalam pangkuan Islam. Misalnya di Afrika, Cyprus, Armenia, Sind, Kabul, Farghanah, Balakh, dan Herat di Afghanistan. Kemudian dilakukan penaklukkan ulang terhadap negeri-negeri yang melanggar janji, seperti Persia, Khurasan, atau Babul Abwab.

 Pada masa kekhalifahan utsman kondisi masyarakat Muslimin sangatlah makmur dan sejahtera. Al-Bukhari dalam tarikh-nya manulis, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Aku pernah hidup di masa kekhalifahan utsman ketika para pemberontak memusuhinya. Tidak sedikit hari yang mereka lalui kecuali pada hari tersebut mereka berbagi-bagi rezeki. Dikatakan kepadamereka, ‘Wahai kaum Muslimin, segeralah mangambil hadiah kalian!’ lantas mereka mengambilnya dengan berlimpah-limpah. Kemudian dikatakan kepada mereka, ‘Segeralah ambil rezeki kalian!’ lantas mereka mengambilnya dengan berlimpah-limpah. Dikatakan lagi kepada mereka, ‘segeralah ambil minyak samin dan madu kalian!’.” Berbagai hadiah pun terus mengalir, rezeki melimpah ruah, aman dari musuh, ukhuwah terjalin erat, kebaikan banyak tersebar, tidak ada seorang Mukmin pun yang yang ada di atas bumi takut dengan Mukmin lainnya, siapa saja yang ditemui mereka, ia adalah saudaranya dan di antara nasehat dan kasih sayang Rasulullah bahwa beliau mengambil perjanjian mereka agar bersabar jika terjadi Atsrah (sebagian orang mendapat lebih banyak daripada sebagian yang lain).

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “jikalau mereka bersikap sabar ketika melihat apa yang terjadi, tentunya mereka akan mendapatkan rezeki dan pemberian yang lebih melimpah ruah. Namun mereka berkata, ‘Demi Allah, harta tersebut tidak sampai dan tidak diserahkan.’ Sementara di sisi lain pedang yang tersarung terhadap kaum Muslimin, mulai mereka hunus terhadap diri mereka sendiri (perang saudara) dan demi Allah, pedang tersebut masih terus terhunus sampai sekarang ini. Demi Allah, aku melihat bahwa pedang itu akan terus terhunus sampai hari Kiamat.”
Di antara peraturan yang dijalankan oleh Utsman bin Affan adalah bahwa beliau mengharuskan begi setiap gubernurnya untuk menghadiri satu musim pasar yang diadakan setahun sekali. Kemudian ia menuliskan sebuah pengumuman untuk rakyatnya, “Barangsiapa merasa pernah terzalimi oleh salah seorang dari mereka (gubernur), maka ia dapat membalasnya pada setiap musim pasar dan aku akan mengambil hak mereka dari para gubernur.”

Demikianlah kebijakan dan kebijaksanaan Utsman bin Affan.

Amirul Mukminin Utsman bin Affan memiliki beberapa keutamaan yang sangat banyak. Di antara keutamaan-keutamaan beliau adalah:

Beliaulah yang telah membeli sumur Rumah dan menyerahkannya kepada kaum Muslimin.
Beliau juga telah membekali tentara Usrah (tentara Perang Tabuk). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membekali Usrah maka baginya surga.” Maka Utsman pun membekalinya. (HR. Al-Bukhari)
Beliau adalah sahabat Rasulullah yang terbaik setelah Abu Bakar dan Umar. Dari Abdullah bin Umar bahwa ia berkata, “Kami (sahabat Rasulullah) pada zaman beliau memilih siapakah yang terbaik di antara umat manusia, lalu kami pun bersepakat bahwa yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman.” (HR. Al-Bukhari)
Beliaulah yang menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf ketika terjadi perbedaan cara membaca Al-Qur’an di beberapa wilayah Islam. Maka, Utsman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca oleh Rasulullah. Beliau mengkodifikasi Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan bacaan tersebut dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf lainnya. Rasm Utsmani merupakan bacaan kaum Muslimin hingga saat ini.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, bahwa ia berkata, “Bahwa Rasulullah bersabda, ‘Orang yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam agama Allah adalah Umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, yang paling hafal tentang Al-Qur’an adalah Ubai bin Ka’ab, dan yang paling mengetahui tentang ilmu waris adalah Zaid bin tsabit. Setiap umat mempunyai orang terpercaya dan orang terpercaya di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah’.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar, ia berkata, “Bahwa Rasulullah keluar mendatangi kami setelah terbit matahari dan bersabda, ‘Aku melihat sebelum fajar seakan-akan aku diberi Al-maqalid dan timbangan. Adapaun Al-Maqalid adalah kunci-kunci, dan timbangan adalah alat yang biasa kalian pakai untuk menimbang. Kemudian aku diletakkan pada daun timbangan yang satu dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain, dan ternyata aku lebih berat. Kemudian didatangkan Abu Bakar dan ditimbang dengan mereka, ternyata Abu Bakar lebih berat dari mereka. Lantas didatangkan Umar dan ditimbang dengan mereka, ternyata Umar lebih berat dari mereka. Lalu didatangkan Utsman dan ditimbang dengan mereka, ternyata Utsman lebih berat dari mereka. Kemudian timbangan-timbangan itu diangkat’.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Disebutkan sebuah riwayat yang shahih dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa beliau mendikte Utsman untuk menuliskan wasiatnya ketika akan meninggal dunia. Ketika sampai pada masalah kekhalifahan, Abu Bakar jatuh pingsan. Maka Utsman menuliskan nama Umar. Ketika Abu Bakar siuman, ia berkata, “Nama siapa yang engkau tulis?” Utsman menjawab, “Umar.” Abu Bakar berkata, “Seandainya kamu menulis namamu sendiri, maka sebenarnya kamu layak untuk menjabatnya.”

Demikianlah, beberapa keutamaan yang telah penulis sampaikan.

Setelah Umar bin Al-Khattab meninggal,tampuk kekhalifahan pun dipegang oleh Utsman bin Affan melalui musyawarah. Beliau menjabat kekhalifahan itu selama 12 tahun dan setelah itu beliau meninggal dengan cara dibunuh.
Konflik dan Kemelut Politik Islam Hingga Akhir Hayatnya

Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya. Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat sederhana, berhati lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan beliau dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah.

Dalam kenyataannya, menurut Mufradi, satu persatu kepemimpinan di daerah-daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga Khalifah Ustman. Adapun pejabat-pejabat yang diangkat Ustman antara lain:
1.      Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru bin Ash.
2.      Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-Asyari.
3.      Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
4.      Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.

Pengangkatan pejabat dikalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan nepotisme.

Menurut Ali, protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Ustman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, kalau beliau hanya menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan.

Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah diangkatnya Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang menjalankan semua roda pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah.

Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu dan bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut diangkatnya Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.

Tuntutan dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa wakil-wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis surat tersebut menurut mereka adalah Marwan ibn Hakam.

Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak oleh Khalifah. Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak berhasil mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua itu ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya pintu bagi perang saudara).

Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.

Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.

Dugaan Nepotisme Kholifah Usman bin Affan

Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.

Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab. Yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.

Oleh karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Usman bin Affan hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan, hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang dimiliki oleh khalifah Usman bin Affan.

Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. ‎Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.

Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar).

Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar.

Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.

Sebab-sebab Pemberontakan

Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman dapat diteliti dari beberapa segi. Pertama, bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang memeluk Islam tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan tertentu seperti Abudullah ibn Saba’, orang Yaman yang semula pemeluk agama Yahudi. Mereka ini menyebarkan hasutan terhadap Usman. Keberhasilan propaganda jahat Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah banyak.  

Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa pemerintahan Usman benih kebencian ini tumbuh kembali.

Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Usman turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi yang yang sederhana dan sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerinthan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan.‎

Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya. Dengan sikapnya karakter Usman yang seperti itulah akhirnya pada tanggal 17 Juni 656 M Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang tiba-tiba datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat ketiak beliau sedang membaca Alquran. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri Khalifah Usman membawa dampak yang panjang terhadap sejarah Islam sesudahnya.

Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan

Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.

Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah:

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)

Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.

Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.

Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.

Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.

Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan

Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.

Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.

Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.

Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.

Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”

Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.

Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:

“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”

Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).

Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.

Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman ketika sampai pada ayat:

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”

Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”

Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah

Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.

Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.

Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu

Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan.

Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

Kembali ke Madinah melakukan pengepungan

Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.

Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.

Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.

Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Pembelaan sahabat

Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.

Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.

Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.

Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:

“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”

Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.

Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.

Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?

Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah  wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda:

“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah  pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”

Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:

Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.

Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”

Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah  di hari pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:

“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”
Siapa sebenarnya yang membunuh Usman?.
Pertanyaan ini sejak dulu telah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan bahkan menyulut terjadinya perperangan di kalangan Umat Islam. Masalah ini tentu tidak akan mudah dipecahkan begitu saja, sejauh ini memang sangat sulit atau tidak memungkinkan untuk menunjuk satu orang yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Usman RA. Walaupun begitu kami akan mencoba mengurai benang kusut dan menunjukkan bahwa salah satu pembunuh Usman yaitu salah satu dari mereka yang mengepung Usman dan menerobos rumah Usman RA adalah seorang Sahabat Nabi.

Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 7/208 berkata dalam Bab Peristiwa Terbunuhnya Usman bin Affan

وروى ابن عساكر عن ابن عون أن كنانة بن بشر ضرب جبينه ومقدم رأسه بعمود حديد فخر لجنبيه وضربه سودان بن حمران المرادي بعد ما خر لجنبه فقتله وأما عمرو بن الحمق فوثب على عثمان فجلس على صدره وبه رمق فطعنه تسع طعنات وقال أما ثلاث منهن فلله وست لما كان في صدري عليه

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa Kinanah bin Bisyr memukul rusuk dan ubun-ubun Usman dengan besi sehingga Beliau tersungkur disebelahnya. Lalu Saudan bin Humran Al Murady memukul lagi hingga beliau terbunuh. Kemudian Amr bin Hamiq melompat ke dada Usman dan pada saat itu beliau menghembuskan nafas yang terakhir lalu ia menikam Usman dengan sembilan tikaman seraya berkata “Adapun tiga tikaman karena Allah dan enam tikaman karena dendam di dalam dadaku”.

Dari penjelasan Ibnu Katsir ini dapat diketahui bahwa salah satu dari pembunuh Usman adalah Amr bin Hamiq dimana mengenai dia Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 8/48 berkata

عمرو بن الحمق بن الكاهن الخزاعى أسلم قبل الفتح وهاجر وقيل إنه إنما أسلم عام حجة الوداع وورد فى حديث أن رسول الله دعا له أن يمتعه الله بشبابه فبقى ثمانين سنة لا يرى فى لحيته شعرة بيضاء ومع هذا كان أحد الأربعة الذين دخلوا على عثمان

Amr bin Hamiq bin Kahin Al Khuza’i memeluk islam sebelum Fathul Makkah dan peristiwa Hijrah dan ada pula yang mengatakan kalau ia memeluk islam pada Haji wada. Diceritakan dalam suatu hadis bahwa Rasulullah SAW berdoa untuknya “semoga Allah memberimu usia yang baik” Ia hidup sampai berumur 80 tahun dan tidak ada sehelaipun uban di janggutnya. Ia adalah salah satu dari empat orang yang menerobos rumah Usman.

Jika melihat sekilas apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir ternyata Amr bin Hamiq adalah salah seorang yang masuk menerobos rumah Usman ketika terjadi pengepungan terhadap Usman RA. Secara tersirat Amr dikatakan oleh Ibnu Katsir adalah seorang sahabat Nabi. Berikut penjelasan yang lebih tegas bahwa Amr bin Hamiq adalah seorang sahabat

Amr bin Hamiq Al Khuza’i adalah salah seorang dari Sahabat Nabi SAW. Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Isabah 4/623 no 5822, At Tahdzib juz 8 no 37 dan At Taqrib 1/733 bahwa dia adalah seorang sahabat Nabi dan hadisnya diriwayatkan dalamSunan Ibnu Majah dan Sunan An Nasa’i. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 4146 berkata “Amr bin Hamiq Al Khuza’i seorang sahabat Nabi”.

Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al Jarh Wat Ta’dil juz 6 no 1248

عمرو بن الحمق له صحبة

Amr bin Hamiq seorang Sahabat Nabi

Jadi dapat disimpulkan bahwa salah seorang dari mereka yang mengepung Usman dan menerobos rumah Usman serta diriwayatkan ikut serta dalam membunuh Usman adalah seorang Sahabat Nabi yaitu Amr bin Hamiq Al Khuza’i

Sebelum mengakhiri tulisan ini kami akan menyorot sebuah tulisan dalam kitab yang sepertinya begitu dibanggakan oleh para Salafiyun yaitu Kitab Tanzihu Khalil Mu’minin Muawiyah bin Abi Sufyan Min Dzulmi Wal Fisqi Fi Mutholabatihi bi Dami Amirul Mu’minin Utsman bin Affan oleh Al Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Husain Al Fara’ Tahqiq Syaikh Abdul Hamid bin Ali Al Faqihi. Kitab ini telah diterjemahkan oleh para Salafiyun dalam edisi bahasa Indonesia yang berjudul Meluruskan Sejarah Tragedi Terbunuhnya Usman bin Affan. Dalam hal 14 kitab tersebut disebutkan

Pada tahun 33 H, sebagian penduduk Kufah yang tersohor adalah Al Asytar An Nakha’i, Kumail bin Ziyad, Amr bin Hamiq Al Khuza’I dan Sho’shoah bin Sauhan berbicara di hadapan Al Qurra’(golongan kedua) dan pemuka masyarakat dengan pembicaraan yang sangat jelek dan keji yang berisikan celaan terhadap Usman serta celaan terhadap kebijakan dan system pemerintahan yang dijalankannya. Merekapun mencela Gubernur Kufah dengan anggapan bahwa tindakan tersebut adalah amar ma’ruf nahi munkar . Karena inilah mereka diusir oleh Usman ke Syam. Di Syam inilah mereka menulis surat kepada orang-orang yang sepaham dengan mereka baik yang berada di Bashrah, Mesir maupun Kufah.

Sang Penulis menunjukkan bahwa Amr bin Hamiq adalah orang yang berbicara dengan pembicaraan yang sangat jelek dan keji serta berisi celaan terhadap Usman. Padahal sudah jelas bahwa Amr bin Hamiq adalah sahabat Nabi.

Ini berarti seorang Sahabat Nabi mencela sahabat lainnya dengan jelek dan keji.
Bahkan sang penulis mengatakan kalau Amr adalah salah seorang yang menulis surat kepada orang-orang Bashrah, Mesir dan Kufah. Anehnya di saat lain penulis mengatakan kalau surat tersebut dibuat oleh orang-orang munafik untuk memprovokasi orang banyak agar menentang Usman.
Lucu sekali ternyata seorang Salafiyun dalam pembelaannya terhadap para Sahabat Nabi tanpa disadari justru telah menyudutkan dan menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Nabi yaitu Amr bin Hamiq

Yah, ini menunjukkan bahwa Sejarah versi Salafiyyun itu tidak mesti ditelan mentah-mentah. Banyak sekali sisi apologia dengan distorsi atas nama Pembelaan terhadap para Sahabat. Apologia yang berujung pada kontradiksi-kontradiksi yang patut diluruskan.

Detik-detik Khalifah Utsman bin Affan Kala Menjelang Ajal
Ketika itu, para pembesar sahabat berkumpul di rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka saling bekerja sama untuk melindungi khalifah dari para penyebar fitnah. Mereka pun bersiap-siap menjaga beliau dari orang-orang yang bersikap bodoh.
Sebagian dari mereka itu adalah Abdullah bin Umar, Hasan bin Ali, dan Abdullah bin Zubair. Para sahabat itu juga bersenjata lengkap. Sementara sebagian sahabat yang lain berjaga keluar-masuk rumah khalifah Utsman secara bergantian. Sahabat lain yang masih ada keluar dan tidak kembali karena terluka anak panah atau lemparan batu dari musuh.

Mengenai keadaan ini, Hasan al-Basri bercerita, “Hasan bin Ali adalah orang terakhir yang keluar demi melindungi khalifah Utsman.”

Kinanah, budak Shafiyah, juga berkata, “Aku keluar dari rumah bersama empat pemuda Quraisy berurutan dan membawa perlengkapan masing-masing. Mereka semua tahu tentang keadaan khalifah Utsman bin Affan. Keempat pemuda tersebut adalah Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Muhamad bin Hatib dan Marwan bin al-Hakam.”

Kinanah mengatakan lagi, “Aku adalah orang yang membawa Hasan bin Ali saat terluka dari rumah khalifah Utsman.”

Seperti inilah gambaran mereka yang suka menyebar fitnah, mereka yang fasiq, serta mereka yang senang berbuat keburukan. Mereka semua ingin merebut kursi kekhalifahan dengan cara melukai para sahabat yang berada di sekitar khalifah Utsman. Sampai tidak tersisa di rumah itu kecuali beliau sendiri, istri, dan beberapa hamba sahayanya.

Semoga aku dapat mempercayai cerita tentang detik-detik terakhir yang mengerikan dalam kehidupan Amirul Mukminin yang bergelar Dzunnurain ini. Cerita ini diriwayatkan oleh Watsab, seorang hamba sahaya milik khalifah Utsman.

Hasan al-Basri bertutur, “Watsab telah memberitahuku bahwa dirinya adalah orang yang tahu cara membebaskan Amirul Mukminin. Dia berkata, saat itu khalifah Utsman berada di hadapanku. Aku melihat dua bekas tusukan di leher beliau. Di mana tusukan itu didapatnya pada hari pengepungan di rumahnya.”

Watsab melanjutkan, “Khalifah Utsman kemudian mengutusku untuk memanggil Asytar. Maka datanglah dia ke hadapan beliau. Dan aku langsung memberikan tempat duduk kepada mereka berdua. Khalifah Utsman lalu bertanya pada Asytar, ‘Apa yang orang-orang itu inginkan wahai Asytar?’ Asytar menjawab, ‘Mereka menginginkan dua hal yang tidak bisa engkau lakukan wahai Amirul Mukminin.’ ‘Apa itu?’ tanya beliau. Asytar lalu menjawab, ‘Mereka memintamu supaya engkau melepaskan kursi kekhalifahan. Dan pastinya engkau akan berpikir bahwa kekhalifahan ini adalah tujuan mereka. Engkau juga akan berkata pada mereka supaya mereka memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Yang kedua, mereka memintamu untuk memotong bagian tubuhmu sendiri. Jika engkau menolak kedua permintaan itu, maka mereka akan membunuhmu.’ Utsman berkata pada Watsab, ‘Permintaan mana yang lebih dulu harus aku turuti?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada wahai Amirul Mukminin.’ Utsman berkata lagi, ‘Jika disuruh memilih, maka aku akan lebih memilih untuk melepaskan kursi kekhalifahanku’.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khalifah Utsman berkata, “Demi Allah, aku bersumpah! Aku akan tetap maju walau kalian akan menebas leherku. Aku lebih rela kalian menebas leherku daripada aku membiarkan umat Muhamad ini tercerai-berai. Jika aku harus memotong bagian tubuhku, sungguh aku sangat tahu bagaimana kedua sahabatku meninggal (Abu Bakar dan Umar). Mereka berdua dan para sahabat yang saleh lah yang menjadikanku sebagai khalifah. Mereka tidak pernah menerima perlakuan seperti ini sampai meninggal. Sedangkan permintaan kalian yang ingin membunuhku, sungguh bila kalian sampai membunuhku, maka di antara kalian tidak akan ada rasa saling mencintai selamanya. Kalian tidak akan pernah shalat lagi secara berjamaah selamanya. Dan, kalian tidak akan bersama lagi saat kalian bertempur melawan musuh.”

Watsab melanjutkan ceritanya, “Khalifah Utsman kemudian berdiri dan beranjak meninggalkan tempatnya. Kami tinggal sejenak dan kami berdoa semoga musuh-musuh ini cepat pergi dengan membuka blokade. Lalu tiba-tiba datang seorang pemuda bermuka garang seperti serigala. Pemuda itu keluar-masuk rumah khalifah Utsman. Setelah itu, datanglah Muhamad bin Abu Bakar disertai dengan 13 prajurit menemui khalifah Utsman. Dengan kedatangan mereka, beliau tiba-tiba memegangi jenggotnya sendiri dan kemudian memotongnya. Karena kuatnya menahan emosi, terdengarlah suara gesekan gigi geraham beliau dan kemudian beliau berkata, ‘Bukankah cukup Mu’awiyah untuk kalian? Bukankah cukup Ibn Amir untuk kalian? Bukankah cukup kitab suci al-Qur’an untuk kalian?’ Beliau lalu melanjutkan, ‘peganglah jenggotku ini wahai puta saudaraku, peganglah jenggotku ini wahai putra saudaraku!’”

Watsab berkata lagi, “Aku melihat khalifah Utsman meminta tolong kepada salah seorang dari 13 prajurit itu. Prajurit itu kemudian mendekatinya. Tetapi prajurit itu justru menancapkan anak panah ke kepala khalifah Utsman sehingga beliau merasa kesakitan.Setelah melukai bagian kepala khalifah, prajurit itu berkata, ‘Mau yang mana lagi?’ Khalifah Utsman pun berkata pada mereka, ‘Berkumpullah kalian! Tolong-menolonglah kalian antar-sesama.’ Beliau terus mengucapkan kalimat itu hingga mereka membunuhnya.”

Abu Mu’tamar menceritakan kabar dari Hasan bahwa Muhamad bin Abu Bakar datang kepada Sayyidina Utsman  untuk memotong jenggot beliau. Lalu Utsman berkata kepada Muhamad,“Engkau telah mengambil tempat dariku dan engkau juga telah duduk di tempat dudukku. Ketahuilah! Kedua tempat itu dulu pernah dipakai ayahmu, Abu Bakar.’ Setelah itu, tiba-tiba Muhamad keluar dan meninggalkan Utsman tanpa sepatah kata.”

Abu Mu’tamar berkata lagi, “Ada seseorang yang datang menemui Utsman yang biasa disebut sebagai al-Maut al-Aswad. Orang itu tiba-tiba mencekik beliau dengan kuat. Setelah itu, ia keluar dan berkata, ‘Sungguh, aku tidak merasakan apapun yang lebih lembut dari lehernya. Aku telah mencekiknya. Saat itu aku seperti melihat ruhnya seakan-akan berada di antara hendak keluar atau tidak dari dalam tubuhnya’.”

Pun Abu Sa’id, budak Abu Asyad, bertutur, “Ketika itu khalifah Utsman membuka pintu dengan meletakkan mushaf al-Qur’an di antara kedua tangannya. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk ke dalam rumahnya. Beliau kemudian berkata pada orang asing itu, ‘Diantara kita terdapat mushaf al-Qur’an al-Karim’. Kemudian orang itu berlalu begitu saja meninggalkan Utsman. Setelah itu, datang seorang lagi. Beliau kemudian mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakannya kepada orang pertama. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang itu langsung mengancungkan pedangnya ke khalifah Utsman. Beliau secara refleks menangkis dengan tangannya. Maka putuslah tangan beliau. Namun aku tidak tahu persisnya, apakah pedang itu mengenai tangan beliau hingga menyebabkan tangannya putus atau menebasnya saja.”

Abu Sa’id bercerita, “Sungguh tangan khalifah Utsman itu adalah tangan pertama yang digunakan untuk menuliskan ayat-ayat suci al-Qur’an.”

Dalam riwayat lain, Abu Sa’id menuturkan, “Pada saat orang-orang Mesir datang pada Utsman, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Tak diduga-duga, mereka secara serentak langsung menebas tangan Utsman. Maka mengalirlah darah dari tangan beliau dan mengenai ayat al-Qur’an yang berbunyi: 
  
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]:137).

Ibn Sihabuddin al-Zuhri juga bercerita, “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab, apakah dia tahu bagaimana khalifah Utsman terbunuh? Bagaimana keadaannya dan keadaan umat Islam saat itu? Mengapa para sahabat mengkhianatinya?”
Ibn al-Musayyab menjawab, “Utsman dibunuh secara dhalim. Pembunuhnya adalah benar-benar orang yang dhalim. Akan tetapi orang yang mengkhianatinya telah dimaafkan.”

Ibn Sihabuddin al-Zuhri menambahkan, “Telah sampai kepada kami suatu cerita panjang mengenai khalifah Utsman. Namun, cerita ini tidak berurutan kecuali bagian yang menceritakan tentang pembunuhan Sayyidina Utsman.”

Said bercerita, “Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, ‘Pergilah kalian berdua dan berdirilah di depan pintu rumah khalifah Utsman untuk berjaga-jaga. Janganlah sekali-kali kalian biarkan siapapun mendekatinya.’ Mendengar kedua cucu Rasulullah diutus ayahnya, Zubair dan Thalhah akhirnya juga mengutus anak-anak mereka. Setelah itu, tiba-tiba mereka yang berkhianat mulai menghujani rumah khalifah Utsman dengan anak panah. Hingga tubuh Hasan yang menjaga rumah sang khalifah berlumuran darah.Beberapa pelindung Utsman pun ikut terluka, seperti Marwan dan Muhamad bin Thalhah yang berlumuran darah terkena panah, dan salah seorang hamba sahaya milik Sayidina Ali ikut terkena senjata tajam hingga mengakibatkan luka di bagian kepalanya.’

Melihat apa yang menimpa Hasan dan Husein, Muhamad bin Abu Bakar takut akan kemarahan keluarga Bani Hasyim. Ia khawatir fitnah akan menyebar ke mana-mana. Tanpa pikir panjang, Muhamad bin Abu Bakar akhirnya menarik kedua pengikutnya dan berkata pada mereka,‘Jika datang orang-orang Bani Hasyim dan melihat darah mengalir dari wajah Hasan, mereka akan membubarkan para pengkhianat itu dari rumah khalifah Utsman. Kalau ini sampai terjadi, akan gagal apa yang kita rencanakan.’ Mari kita pergi saja dari sini. Setelah itu, kita masuk rumah Utsman melalui atap sehingga kita dengan leluasa membunuhnya tanpa ada seorang pun yang tahu.’

Sebelum masuk ke dalam rumah khalifah Utsman, mereka terlebih dulu memanjat rumah salah seorang dari golongan Anshar. Setelah melewati beberapa rumah, barulah mereka sampai di rumah beliau. Tidak ada seorangpun yang tahu siapa saja yang sedang mengincar beliau. Sebab mereka berada di atas atap rumah. Dan tidak ada seorangpun yang menemani beliau selain hanya istrinya.

Muhamad bin Abu Bakar lalu bilang kepada pengikutnya, ‘Tetaplah di tempat kalian, aku yang akan memulai masuk ke dalam rumah Utsman. Jika nanti aku sudah menangkapnya, masuklah kalian dan tebaslah lehernya.’ Lalumasuklah Muhamad dengan menangkap beliau lantas memotong jenggotnya. Ia berkata padaSayyidina Utsman, ‘Sungguh jika ayahmu melihatmu, ia akan merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang ini.’

Lalu Muhamad agak mengendurkan tangannya. Pengikutnya kemudian masuk ke dalam rumah khalifah Utsman dengan membawa pedang. Mereka langsung mengibaskan pedangnya ke tubuhnya hingga beliau terbunuh. Mereka lantaslari keluar rumah beliau tetapi kemudian mereka masuk lagi ke dalam rumah. Melihat peristiwa itu, istri Utsman teriak histeris. Akan tetapi teriakannya terhalang oleh suara gaduh  yang mengitari rumahnya.

Istri Utsman selanjutnya keluar rumah dan berteriak secara kencang, ‘Amirul Mukminin telah terbunuh.’ Sesegera mungkin Hasan dan Husein masuk ke dalam beserta pengikutnya. Mereka mendapati beliau telah terbunuh. Mereka berkabung dan menangisi kematiannya. Merekapun akhirnya keluar. Di saat mereka keluar, datang lagi segerombolan orang yang ingin melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur kaku.

Kabar ini akhirnya sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan beberapa sahabat yang ada di sekitar mereka di kota Madinah. Mereka keluar guna mendatangi asal-muasal berita itu. Mereka memasuki rumah beliau dan mendapati tubuhnya tanpa nyawa. Setelah menyaksikan sendiri, mereka akhirnya kembali ke rumah masing-masing.

Sesudah melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur kaku, khalifah Ali bertanya pada kedua putranya, ‘Bagaimana mungkin Amirul Mukminin terbunuh sedangkan kalian berada di depan pintu rumahnya?’ Ali mengangkat tangannya seraya menampar wajah Hasan dan kemudian memukul dada Husein. Beliau lalu keluar rumah dalam keadaan marah seraya mencaci-maki Muhamad bin Thalhah dan melaknat Abdullah bin Zubair.
Beliau kemudian bertemu dengan Thalhah. Dan Thalhah menegurnya, ‘Apa yang terjadi wahai Ali? Kenapa engkau sampai tega menampar putra-putramu sendiri, Hasan dan Husein?’
Sayyidina Ali menjawab, ‘Semoga engkau dan mereka berdua dilaknat oleh Allah SWT. Para pengkhianat itu telah membunuh Amirul Mukminin, salah satu sahabat Rasulullah yang ikut andil dalam perang Badar. Mereka tidak punya bukti yang jelas untuk membunuhnya.’

Setelah melihat gerak-gerik Thalhah, Sayyidina Ali tahu bahwa ia ikut andil dalam menggeser kedudukan khalifah Utsman. Thalhah berkata, ‘Jika Marwan itu melindungi khalifah Utsman, maka ia tidak akan terbunuh.’ Beliau menjawab, ‘Jika aku keluarkan dia dari kalian, pasti ia akan terbunuh sebelum ia diadili.’

Sayyidina Ali kemudian berbalik dan pulang ke rumahnya. Tiba-tiba ada sekumpulan orang datang kepada beliau dengan tangisan histeris. Mereka adalah para sahabat Rasulullah beserta pengikutnya. Mereka berkata kepada beliau,‘Wahai Amirul Mukminin.’ Mereka lalu masuk ke rumah Ali. Mereka melanjutkan, ‘Kami akan membaitmu sebagai khalifah. Ulurkanlah tanganmu!’ Beliau menjawab, ‘Bukan kalian yang menentukan perkara ini, tetapi mereka para sahabat yang ikut andil dalam perang Badar. Karena siapa saja yang diridhai oleh mereka yang ikut andil dalam perang Badar, maka ia akan terpilih sebagai khalifah.’

Di tempat itu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang ikut andil perang Badar kecuali Sayyidina Ali sendiri. Mereka lalu berkata, ‘Kami tidak melihat salah seorang pun yang lebih berhak dengan kekhalifahan ini selain engkau wahai Ali. Ulurkanlah tanganmu, kami akan membaitmu.’ Kemudian Ali bertanya, ‘Di mana Thalhah dan Zubair?’

Sebenarnya, sahabat yang pertama kali membaiat Ali adalah Thalhah yang kemudian disusul dengan Sa’ad. Dalam sebuah riwayat, ketika Sayyidina Ali melihat mereka berdua, beliau langsung keluar menuju masjid dan naik ke atas mimbar. Thalhah pun mengikutinya dari belakang. Ia lantas membaiat beliau dengan mengangkat tangannya yang kemudian diikuti Zubair dan Sa’ad serta para sahabat-sahabat yang lain. Beliau lalu turun dari mimbar dan berkhutbah di hadapan pendukungnya. Beliau memanggil Marwan, tetapi ia malah lari. Beliau juga memanggil salah seorang anak Marwan dan anak keturunan Abi Mu’id, namun mereka juga melarikan diri.

Selanjutnya, Ummul Mukminîn Aisyah r.a. keluar dari rumahnya dalam keadaan menangis seraya berkata, “Utsman telah terbunuh.. Utsman telah terbunuh.”

Sayyidina Ali lalu mendatangi istri Utsman dan bertanya, “Siapa yang telah membunuh Utsman?”
Ia menjawab, “Aku tidak tahu, yang pasti ada dua orang yang tidak aku kenali wajahnya. Mereka ditemani Muhamad bin Abu Bakar.” Ia kemudian menceritakan apa yang dilakukan Muhamad bin Abu Bakar di dalam rumahnya pada Sayyidina Ali dan para sahabat yang berada di tempat itu.

Sayyidina Ali kemudian memanggil putra Abu Bakar. Ia bertanya kepadanya perihal apa yang dikabarkan istri khalifah Utsman. Muhamad menjawab, “Dia tidak berbohong. Aku memang masuk ke dalam rumahnya dan ingin membunuhnya. Tiba-tiba saja aku teringat dengan alhmarhum ayahku. Aku pun lantas menjauh darinya dan bertaubat kepada Allah. Aku berani bersumpah bahwa aku tidak membunuhnya. Aku juga tidak sedikit pun menyentuhnya.”

Istri khlalifah Utsman tiba-tiba menimpali, “Memang benar apa yang dikatakannya, tapi setelah itu dia memasukkan dua orang untuk membunuh suamiku.”

Jabir bin Abdullah juga berkisah tentang peristiwa pembunuhan khalifah Utsman. Ia mengatakan, “Ada sekolompok golongan yang datang mengelilingi beliau. Salah seorang dari kaum Habsyi mendatangi Utsman kemudian tiba-tiba menusukkan belati ke dada kanannya. Saat itu, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Beliau terlihat sudah renta saat itu. Beliau kemudian terjatuh dan wafat.”

Abu al-Jarrah, hamba sahaya Ummu Habibah,meriwayatkan pula, “Saat itu aku sedang bersama khalifah Utsman di rumahnya, aku tidak merasakan apa-apa. Tiba-tiba saja Muhamad bin Abu Bakar muncul. Dalam situasi itu kita sepakat untuk berdamai. Lalu masuklah beberapa orang setelah itu melalui langit-langit atap rumah.Mereka membawa tali yang biasa digunakan untuk pagar rumah dan sebilah pedang. Aku buang pedangku dan duduk bersama beliau. Aku dengar suara mereka. Tiba-tiba saja aku melihatSayyidina Utsman membawa mushaf al-Qur’an yang sudah terkena percikan darah. Dan saat itu aku juga melihat Nailah binti al-Farafishah yang kelihatan rambutnya.” Sayyidina Utsman berkata padanya, ‘Ambillah kerudungmu! Sungguh kehormatan rambutmu lebih tinggi dibandingkan keberadaan mereka di sini.’ Kemudian salah seorang di antara mereka mencoba mengancungkan pedang lagi ke muka khalifah Utsman. Beliau kemudian mencoba menghalanginya. Saat mencoba menghalangi, orang itu malah memotong kedua jari beliau. Mereka ramai-ramai membunuhnya dan keluar dengan perasaan sombong. Kemudian Muhamad bin Abu Bakar mendekatiku dan berkata,‘Kenapa kamu ini, wahai budak Ummu Habibah?’ Setelah itu, mereka berlalu dan pergi.”

Kinanah, hamba sahaya Shafiyah binti Hayya, juga meriwayatkan, “Saat itu aku melihat peristiwa pembunuhan khalifah Utsman, aku keluar dari rumah beliau. Di depanku ada empat pemuda Quraisy dengan membawa pedang yang sudah berlumuran darah. Mereka adalah orang-orang yang melindungi Utsman. Di antaranya Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Muhamad bin Khatib dan Marwan bin al-Hakam.”

Muhamad bin Thalhah berkata, “Aku bertanya pada Kinanah, Apakah Muhamad bin Abu Bakar terkena percikan darah khalifah Utsman?”
Ia menjawab, “Aku berlindung kepada Allah SWT. Jika demikian, ia termasuk orang yang bersekongkol dalam pembunuhan khalifah Utsman.”
Kemudian khalifah Utsman berkata kepada Muhamad bin Abu Bakar, “Wahai anak saudaraku, engkau bukan temanku.” Lalu Utsman berbicara sebentar dengannya. Lantas Muhamad pun keluar dari rumahnya tanpa ada percikan darah yang mengenainya.
Aku tanya pada Kinanah, “Kalau begitu, siapa yang membunuhnya?” Ia menjawab, “Orang dari negeri Mesir bernama Jablah bin al-Aiham. Setelah membunuh khalifah Ustman ia kemudian mengelilingi kota Madinah sebanyak tiga kali dengan berteriak, ‘Aku telah membunuh Amîrul Mukminîn’.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Ali di mana waktu itu?” Kinanah menjawab, “Ia berada di rumahnya.”

Dalam riwayat lain yang lebih shahih sanadnya, Muhamad bin Thalhah bertutur, “Siapa yang membunuh khalifah Utsman?” Kinanah menjawab, “Orang yang berasal dari Mesir. Ia disebut dengan keledai (sebutan bagi orang yang mengerjakan pekerjaan dengan bodoh).”

Pada kisah lain yang diceritakan oleh Kinanah, “Aku melihat pembunuh khalifah Utsman. Ia adalah seorang kulit hitam yang berasal dari Mesir. Saat itu, setelah ia membunuh khalifah Utsman di dalam rumahnya, ia mengangkat tangannya dan berkata, ‘Akulah pembunuh khalifah Utsman’.”

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq dan Qatadah, mereka mengatakan, “Orang  yang membunuh Utsman adalah orang yang berdarah Romawi-Yaman. Ia berasal dari kabilah Bani Asad bin Khuzaimah.”

Abdullah bin al-‘Abatsi juga bercerita, “Orang yang telah membunuhnya adalah Saudan bin Ruman al-Muradi.”

Tidak ada keterangan yang tegas dalam halkonspirasi pembunuhan khalifah Utsman ini. Siapa pun itu mereka telah berani mengoyak kehormatan beliau, rumahnya dan keluarganya. Mereka ini seperti kaum Khawarij yang memberontak terhadap kekhalifahan umat Islam yang sudah mapan. Mereka ini termasuk golongan orang-orang fasiq yang gemar melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Hasan al-Basri berkata, “Jagalah barang-barang yang ditinggalkannya (Utsman bin Affan)!” Tetapi di antara mereka ada yang berkata, “Boleh membunuhnya, tapi tidak boleh mengambil hartanya.”
Semoga Allah melaknat mereka dan mempersiapkan adzab yang pedih buat mereka.

Dikisahkan Abu Sa’id, hamba sahaya Abi Asyad, ia berkata, “Ketika mereka selesai membunuh Utsman, mereka lantas pergi bersama-sama ke Tabuk dengan membawa buah-buahan dan madu. Di sana mereka berpesta ria tanpa merasa dosa.”

Hamid bin Hilal juga mengatakan, “Istri Utsman bin Affan betul-betul berkabung saat itu.” Di situasi demikian itu, di antara mereka ada yangberujar, “Betapa besar bokong istri Utsman itu?” Beginilah sifat dan perbuatan buruk yang mereka lakukan. Mereka tak merasa malu menampakkan hawa nafsunya. Sangat terlihat aib mereka, terutama dalam perkataan. Mereka juga mengambil apa saja yang mereka lihat --termasuk harta, pakaian dan lain sebagainya.

Mughirah bin Syu’bah mengutarakan, “Seorang yang bernama Tajibi datang dengan mengacungkan pedangnya untuk merobek perut Utsman. Ketika bertemu Utsman, ia langsung menebas tangan beliau dan menancapkan sebilah pedang di dadanya.”

Beliau terbunuh menjelang shalat Maghrib. Salah seorang pengikutnya berkata, “Sungguh, darah beliau tidak dihalalkan untuk dibunuh. Begitupula dengan hartanya tidak halal untuk diambil. Awas, jangan ada satu pun di antara kalian yang mengambil barang-barang milik khalifah Utsman.” Mereka lalu saling memberitahu dengan berteriak, “Ada harta… ada harta…”

Mereka kemudian berbondong-bondong menghampiri Baitul Mal. Karena didatangi banyak orang, kedua penjaga Baitul Mal itu tak berdaya menahannya dan akhirnya menyerahkan kunci Baitul Mal kepada mereka. Para penjaga itu teriak, “Lari…. Lari… harta ini yang diinginkan oleh mereka.”

Wafatnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan bukan akhir dari musibah yang menimpa umat. Rantai fitnah terus bersambung menimpa umat sebagai ujian dari Allah, sebagaimana Rasulullah  kabarkan dalam sabdanya:‎

وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Jika pedang telah dijatuhkan atas muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”
Berita ini terjadi seperti apa yang Rasul kabarkan. Ketika khalifah Ar-Rasyid, Amirul Mukminin ‘Utsman terbunuh, sejak saat itulah peperangan terus berlangsung di tengah kaum muslimin, dan akan berlanjut hingga hari kiamat. La haula wala quwwata illa billah…
Setelah wafatnya ‘Ustman bin 'Affan, menjadi besarlah dua firqah sesat yang saling bertolak belakang, Khawarij dan Rafidhah. 

Rafidhah melampaui batas dalam mengagungkan Ali dan ahlul bait hingga mengatakan bahwa Ali adalah pencipta dan sesembahan. Sementara Khawarij, mereka mengkafirkan sang khalifah, hingga darah beliau pun mereka halalkan.

Khawarij yang dulunya bermula dari pemikiran sebagaimana tampak dalam kisah Dzul Khuwaishirah, kini muncul sebagai sebuah firqah sesat yang memiliki akar dan kekuatan.

Demikianlah kisah demonstrasi yang berujung Pada Terbunuh nya orang yang agung, yakni Sayyidina Utsman bin Affan. Semoga Allah merahmatimu wahai khalifah yang lurus, dan semoga Allah meridhaimu, wahai menantu dan sahabat sejati Rasulullah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar