Para ulama bersepakat disyari’atkannya tertib di dalam berwudlu, namun mereka berselisih apakah hukumnya wajib atau sunnah menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama : hukumnya wajib, dan ini adalah salah satu pendapat Malik, madzhab Asy Syafi'I dan yang masyhur dari madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Pendapat kedua : Hukumnya sunnah, dan ini adalah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Malik dan dipilih oleh sejumlah ulama Syafi'iyah seperti Al Muzani, ibnul Mundzir dan Abu Nashr Al Bandaniji.
Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
"Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari kamu sampai ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wa jalla; ia mencuci wajahnya, mencuci kedua tangannya sampai siku-siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) dua kakinya sampai mata kaki".
Dikeluarkan oleh Abu Dawud no 858, dan ibnu Majah no 460 dari jalan Al Hajjaj bin Al Minhal haddatsana Hammam haddatsana Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dari Ali bin Yahya bin Khollad dari ayahnya dari pamannya yaitu Rifa'ah bin Rafi'. Qultu : sanad ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا في وجود ترتيب أفعال الوضوء على نسق الآية. فقال قوم: هو سنة، وهو الذي حكاه المتأخرون من أصحاب مالك عن المذهب، وبه قال أبو حنيفة والثوري وداود. وقال قوم: هو فريضة، وبه قال الشافعي وأحمد وأبو عبيد،
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما الاشتراك الذي في واو العطف، وذلك أنه قد يعطف بها الأشياء المترتبة بعضها على بعض، وقد يعطف بها غير المرتبة، وذلك ظاهر من استقراء كلام العرب، ولذلك انقسم النحويون فيها قسمين، فقال نحاة البصرة: ليس تقتضي نسقا ولا ترتيبا، وإنما تقتضي الجمع فقط، وقال الكوفيون: بل تقتضي النسق والترتيب؛
والسبب الثاني اختلافهم في أفعاله عليه الصلاة والسلام، هل هي محمولة على الوجوب أو على الندب؟ فمن حملها على الوجوب قال بوجوب الترتيب، لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه توضأ قط إلا مرتبا، ومن حملها على الندب قال إن الترتيب سنة،
Para ulama berbeda pendapat tentang urutan (tertib) perbuatan yang harus dilakukan dalam wudhu sesuai dengan urutan dalam ayat. Segolongan ulama mutaakhirin dari pengikut Malik, Abu Hanifah, Tsauri, dan Dawud berpendapat bahwa tertib perbuatan dalam ayat itu berkonotasi sunnat. Sedangkan menurut Syafi’i’ Ahmad, dan Abu Ubaid, tertib perbuatan itu berkonotasi wajib.
Dua hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat di atas; Pertama, kata penghubung ‘wawu athaf’ yang berarti ‘dan’ itu mengandung fungsi ganda. Yakni dapat difungsikan sebagai penghubung antara satu perbuatan dengan perbuatan lain secara tertib dan bisa juga secara tidak tertib. Fungsi tersebut sudah sering digunakan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli nahwu terbagi menjadi dua aliran. Aliran Basrah mengatakan bahwa penghubung ‘wawu athaf’ itu tidak menunjukkan arti berurutan (tertib), tapi hanya menunjukkan ‘adanya perbuatan’ itu. Sedang menurut aliran Kufah, penghubung itu menunjukkan arti ‘berurutan’ (tertib).
Kedua, perselisihan para ulama dalam menafsirkan perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Apakah perbuatan Nabi dalam wudhu itu menunjukkan arti wajib atau sunnat?
Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi tersebut menunjukkan hukum wajib, maka urut (tertib) itu wajib, karena Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam selalu melaksanakan wudhu secara tertib. Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam tersebut menunjukkan sunnat, maka tertib dalam wudhu itu hukumnya sunnat.
[Bidayatul Mujtahid 1/13 (1/ 23].
عن خالد بن مَعْدَانَ عن بعضِ أزواجِ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم (أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم رأى رجلًا يصلي في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمَ لَمْ يُصِبْهَا الماءُ فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم أن يُعِيْدَ الوضوءَ).
رواه أحمد وأبو داود وزاد والصلاةَ قال الأَثْرَمُ: قُلْتُ لأحمدَ هذا إسْنَادُهُ جَيِّدٌ قال جَيِّدٌ.
Dari Khalid bin Ma’dan dan dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki sedang shalat padahal di atas tapak kakinya ada kulit yang mengkilat selebar dirham yang tidak kena air (wudhu), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia mengulangi wudhu” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan Abu Dawud menambah dengan perkataan “Dan mengulangi shalat” Al-Atsram berkata, “Aku bertanya pada Imam Ahmad, adakah sanad hadits ini baik? Ia menjawab : ‘Baik)
وعن عُمَرِ بن الخطابِ: (أنَّ رجلًا توضأَ فترك مَوْضِعَ ظُفْرٍ على قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال: ارجعْ فأحْسِنْ وضوءك قال: فرجع فتوضأَ ثم صلَّى).
رواه أحمد ومسلم ولم يذكر فتوضأ.
Dari Umar bin Khattab, bahwa seorang laki-laki wudhu tetapi ia tidak menyiram tempat kuku atas kakinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, maka ia bersabda, “Ulangilah dan perbaikilah wudhumu”. Umar berkata, “Lalu ia mengulangi wudhu lalu shalat” (HR. Ahmad, dan Muslim tidak menyebut, ‘lalu ia wudhu’)
Imam Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول يدل على وجوب إعادة الوضوء من أوله على من ترك من غسل أعضائه مثل ذلك المقدار.
والحديث الثاني لا يدل على وجوب الإعادة لأنه أمره فيه بالإحسان لا بالإعادة والإحسان يحصل بمجرد إسباغ غسل ذلك العضو.
Hadits pertama menunjukkan wajib mengulangi wudhu dari permulaannya bagi orang yang tidak mencuci sebagian anggotanya sebesar ukuran yang terdapat di dalam hadits itu. Hadits kedua menunjukkan tidak wajib mengulangi karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memperbaiki cukup dengan menyempurnakan anggota yang tidak tercuci itu saja.
فالحديث الأول يدل على مذهب من قال بوجوب الموالاة لأن الأمر بالإعادة للوضوء كاملًا للإخلال بها بترك اللمعة وهو الأوزاعي ومالك وأحمد بن حنبل والشافعي في قول له.
والحديث الثاني وحديث أنس السابق يدلان على مذهب من قال بعدم الوجوب وهم العترة وأبو حنيفة والشافعي في قول له
Hadits pertama menjadi dalil bagi orang yang berpendapat atas wajibnya berturut-turut, karena perintah mengulangi wudhu dengan sempurna itu disebabkan oleh meninggalkan kulit yang mengkilat (tidak tercuci). Demikian menurut Al-Auza’I, Malik, Ahmad, Ibnu Hanbal, dan menurut salah satu pendapat Al-Syafi’i.
Hadits kedua dan hadits Anas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya ‘berturut-turut’. Mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Atrah, Abu Hanifah, dan menurut Syafi’i di dalam salah satu pendapatnya.
[Nailul Authar 1/144 (1/386)]
Hadits-hadits yang menunjukkan tidak tertib dalam wudlu, yaitu
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَرِيزٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَيْسَرَةَ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيَّ، قَالَ: " أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hariiz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib Al-Kindiy, ia berkata : Didatangkan air wudlu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berwudlu dengan mencuci dua telapak tangannya tiga kali, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci dua hastanya tiga kali tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristinsyaaq tiga kali, dan mengusap kepalanya dan telinganya bagian luar dan dalam, dan mencuci dua kakinya tiga kali” [Al-Musnad, 4/132 (28/425) no. 17188].
Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :
1. ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang perawi tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 618 no. 4173; dan Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal. 158 no. 1347].
2. Hariiz bin ‘Utsmaan bin Jabr bin Ahmar bin As’ad Ar-Rahabiy Al-Masyriqiy, Abu ‘Utsmaan/Abu ‘Aun Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun dituduh berpemahaman Nashibiy. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 163 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 231 no. 1194 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 82 no. 27].
3. ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, Abu Salamah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘maqbuul’. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4048].
Berikut perincian perkataan para ulama tentangnya :
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Majhuul, tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Al-‘Ijliy berkata : “Taabi’iy, tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Daawud berkata : “Guru-guru dari Hariiz semuanya tsiqaat”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata : “Majhuul al-haal, tidak diketahui ada orang yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Al-Albaaniy berkata : “Haditsnya hasan”.
Perkataan Ibnul-Madiiniy di atas tidaklah benar, karena yang meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Maisarah selain Hariiz, adalah : Tsaur bin Yaziid (tsiqah) dan Shafwaan bin ‘Amru (tsiqah) sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal. Juga telah meriwayatkan darinya Mu’aawiyyah bin Shaalih. Tautsiq Abu Daawud meskipun sifatnya umum, maka itu tetap dapat dipertimbangkan. Tautsiq ini bersamaan dengan tautsiq Ibnu Hibbaan dan Al-‘Ijliy, beserta periwayatan beberapa orang perawi tsiqaat darinya, mengangkat jahalah ‘Abdurrahmaan.
Oleh karena itu, statusnya adalah shaduuq, hasanul-hadiits, wallaahu a’lam.
[Tahdziibul-Kamaal 17/450-451 no. 3973,Tahdziibut-Tahdziib 6/284 no. 556,Bayaanul-Wahm wal-Iihaam 4/109 no. 1547,Al-Kaasyif 1/646 no. 3327, Mu’jamu Asamiyyir-Ruwaat 2/504-505, Tahriirut-Taqriib 2/351 no. 4022, Kasyful-Iihaam hal. 456 no. 364, dan Natsnun-Nabaal hal. 779 no. 1788].
4. Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib bin ‘Amru Al-Kindiy, Abu Kariimah/Abu Yahyaa; salah seorang shahabat yang masyhuur. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 87 H di Syaam dalam usia 91 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 969 no. 6919].
Ahmad dalam periwayatan dari Abul-Mughiirah mempunyai mutaba’ah dari Abu Zaid Al-Hauthiy dan Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab bin Najdah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 1076 dan dalam Al-Kabiir 20/276-277 no. 654.
Abu Daawud [no. 121] membawakan dari jalan Ahmad dengan lafadh berkumur dan istinsyaaq sebelum mencuci wajah, namun yang mahfuudh dari jalan Al-Miqdaam adalah sebagaimana tersebut di atas.
Riwayat lain, Abu Daawud rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ابْنِ عَفْرَاءَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ يَأْتِينَا، فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْكُبِي لِي وَضُوءًا، فَذَكَرَتْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ قَالَتْ فِيهِ: " فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، وَوَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مَرَّةً، وَوَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا، وَوَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah mendatangi kami”. Lalu ia (Rubayyi’) menceritakan kepada kami bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tuangkanlah air wudlu untukku". Lalu ia (Ar-Rubayyi') menyebutkan sifat wudlu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata perihal sifat wudlu beliau tersebut : “Beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh kedua tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, di bagian akhir kepalanya kemudian bagian depannya, dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali” [As-Sunan no. 126 – dan darinya (Abu Daawud), Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar no. 195].
Musaddad mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Yahyaa Ar-Rammaaniy [Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/64 (1/105) no. 300], Mu’aadz bin Al-Mutsannaa [Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/270-271 no. 686], dan ‘Aashim bin ‘Aliy Al-Waasithiy [Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur no. 106].
Hadits Rubayyi’ mempunyai lafadh yang berlainan, ada yang ringkas, ada yang panjang yang kesemuanya berporos pada ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil.
Ia adalah : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun dalam haditsnya terdapat kelemahan – dan dikatakan berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thaqabah ke-4 dan wafat setelah tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3617].
Selain itu, Bisyr bin Al-Mufadldlal (tsiqah lagi tsabat) diselisihi oleh Ibnu ‘Uyainah (tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah), Ats-Tsauriy (tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagihujjah), Ma’mar bin Raasyid (tsiqah, tsabat, lagi mempunyai keutamaan), Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (tsiqah lagi haafidh), Rauh bin Al-Qaasim (tsiqah lagi tsabat), Al-Hasan bin Shaalih bin Hay (tsiqah lagi ‘aabid), Zuhair bin Muhammad (tsiqah), ‘Ubaidullah bin ‘Amru (tsiqah, faqiih, namun kadang ragu), dan Fulaih bin Sulaimaan (shaduuq, namun mempunyai banyak kekeliruan) yang menyebutkan tahapan berkumur dan istinsyaaq sebelum membasuh wajah.
Oleh karena itu hadits Rubayyi’ dengan lafadh di atas tidaklah mahfuudh.
Riwayat Al-Miqdaam di atas menunjukkan bahwa tartib dalam wudlu bukanlah merupakan kewajiban, namun hanya sunnah saja. Al-Miqdaam bin Ma’di Kaarib radliyallaahu ‘anhu telah mengkhabarkan apa yang tidak dikhabarkan oleh shahabat lainnya, sehingga berlakulah kaedah : orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui, dan orang yang hapal menjadi hujjah bagi orang yang tidak hapal.
Oleh karena itu ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” [QS. Al-Maaiadah :6]
dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ، حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى، يَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ta’ala. Ia mencuci wajah dan kedua tangannya hingga siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) kedua kakinya hingga mata kaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1136, Ibnu Maajah no. 460, dan yang lainnya; shahih]
tidak menunjukkan (wajibnya) tartib (urutan) yang dimulai dari membasuh muka, tangan, menyapu kepala, lalu membasuh kaki. Hal itu dikarenakan jenis-jenis pekerjaan tadi dihubungkan dengan wawu ‘athaf yang jika ditinjau dari ilmu bahasa (nahwu) tidak menunjukkan tartib.
Diqiyaskan juga dengan tayammum yang notabene pengganti wudlu. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” [QS. Al-Maaidah : 6].
Pada ayat di atas, kegiatan menyapu muka dan tangan dihubungkan wawu ‘athaf, sama seperti ayat wudlu sebelumnya. Seandainya ayat ini dipahami sebagai tartib, maka telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mendahulukan menyapu tangan sebelum muka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا، ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 347].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
فيه أنّ الترتيب غير مشترط في التيمّم
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwatartib tidak dipersyaratkan dalam tayammum” [Fathul-Baariy, 1/457].
Ada beberapa atsar yang ternukil dari sebagian salaf yang mendukungnya, antara lain :
Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 353-354 no. 325-326.
حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: " مَا أُبَالِي إِذَا أَتْمَمْتُ وُضُوئِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ "
Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ‘Auf, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Hind, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy : “Aku tidak peduli apabila aku menyempurnakan wudluku dengan anggota tubuh manapun aku memulainya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/39 (1/370) no. 421; mursal, karena ‘Abdullah bin ‘Amru tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Aliy].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، كَانَ يَبْدَأُ بِمَيَامِنِهِ فِي الْوُضُوءِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلامُ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ "،
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ زِيَادٍ، مَوْلَى بَنِي مَخْزُومٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَبِي هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim : Bahwasannya Abu Hurairah memulai wudlu dengan anggota badan sebelah kanan. Maka sampailah hal itu pada ‘Aliy ‘alaihis-salaam, maka ia memulainya dengan sebelah kiri.
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Ziyaad maulaa Bani Makhzuum, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam dam Abu Hurairah riwayat semisalnya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 352-353 no. 322-323; hasan].
نا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْوَكِيلُ، نا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نا هُشَيْمٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَسْعُودِيِّ، حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ، عَنْ أَبِي الْعُبَيْدَيْنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَوَضَّأَ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah Al-Wakiil : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari ‘Abdurrahmaan Al-Mas’uudiy : Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Kuhail, dari Abul-‘Ubaidain, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang berwudlu, lalu ia mendahulukan sebelah kiri. Maka ia menjawab : “Tidak mengapa” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 297].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: ثنا مَنْصُورٌ، عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا فِيمَنْ قَدَّمَ وَضُوءَهُ شَيْئًا قَبْلَ شَيْءٍ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Manshuur, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa orang yang mendahulukan anggota tubuh satu sebelum yang lain dalam wudlunya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 327].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " مَا أَصَابَ الْمَاءَ مِنْ مَوَاضِعِ الطَّهُورِ فَقَدْ طَهُرَ "
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Awwaam, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apa saja yang terkena air dari tempat-tempat-tempat yang mesti dibasuh ketika bersuci/wudlu, sungguh ia menjadi suci” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 328; shahih].
Dari Busr bin Sa'id ia berkata :
أَتَى عُثْمَانُ الْمَقَاعِدَ فَدَعَا بِوَضُوءٍ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَرِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا يَتَوَضَّأُ يَا هَؤُلَاءِ أَكَذَاكَ قَالُوا نَعَمْ لِنَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Utsman mendatangi maqa'id dan meminta air wudlu lalu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq kemudian mencuci wajahnya tiga kali kemudian kedua tangannya tiga kali tiga kali dan kedua kakinya tiga kali tiga kali kemudian mengusap kepalanya kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu begini, wahai kalian apakah benar demikian ? mereka menjawab: "Ya". Beliau berkata kepada sekelompok shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR Ad Daraquthni. Daif ).
Pendapat inilah yang raajih, yang dipegang oleh Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya [Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 1/55 dan Badaai’ush-Shanaai’ oleh Al-Kaasaaniy 1/21], masyhur dalam madzhab Maalikiyyah [Al-Muqaddimaat oleh Ibnu Rusyd Al-Jadd 1/16, Al-Bidaayah oleh Ibnu Rusyd 1/75, dan Tahdziibul-Masaalik oleh Al-Fandalaawiy 1/68], An-Nawawiy [Al-Majmuu’ 1/433], dan yang lainnya.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
قال الله عز وجل فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم إلى الكعبين
قال وتوضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم كما أمره الله عز وجل وبدأ بما بدأ الله تعالى به قال فأشبه والله تعالى أعلم أن يكون على المتوضيء في الوضوء شيئان أن يبدأ بما بدأ الله ثم رسوله عليه الصلاة والسلام به منه ويأتي على إكمال ما أمر به فمن بدأ بيده قبل وجهه أو رأسه قبل يديه أو رجليه قبل رأسه كان عليه عندى أن يعيد حتى يغسل كلا في موضعه بعد الذي قبله وقبل الذي بعده لا يجزيه عندي غير ذلك وإن صلى أعاد الصلاة بعد أن يعيد الوضوء ومسح الرأس وغيره في هذا سواء
Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “…. apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…” (QS. Al-Ma’idah 5 : 6)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu sebagaimana yang diperintahkan kepadanya, dan memulai dengan apa yang dimulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dengan demikian –wallahu a’lam- orang yang berwudhu hendaklah memperhatikan dua perkara; yaitu memulai dengan apa yang dumulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala, kemudian yang dimulai oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hendaknya menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya. Barangsiapa memulai dengan tangannya sebelum muka, atau kepalanya sebelum dua tangannya, atau dua kakinya sebelum kepalanya, maka menurut saya hendaklah ia mengulang wudhunya sehingga ia membasuh sesuai urutan. Wudhunya tidak sah –menurut saya- kecuali bila dikerjakan sesuai urutannya. Lalu apabila ia telah melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya setelah berwudhu terlebih dahulu sesuai dengan urutan.
[Al-Umm 1/35 (Ringkasan Kitab Al-Umm 1/43)]
Imam Nawawi dakam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
الفرض السادس الترتيب فلو تركه عمدا لم يصح وضوؤه لكن يعتد بالوجه وما غسله
بعده على الترتيب ولو تركه ناسيا فقولان المشهور الجديد لا يجزئه ولو غسل أربعة أنفس أعضاءه دفعة باذنه لم يحصل إلا الوجه على الصحيح وعلى الثاني يحصل الجميع
Syarat wajib wudhu yang keenam adalah Tertib (berurutan). Apabila dia meninggalkannya dengan sengaja, maka wudhunya tidak sah. Akan tetapi membasuh wajah dan lainnya setelah wajah secara berurutan dianggap sah. Apabila meninggalkannya karena lupa, maka dal hal ini terdapat dua pendapat Imam Syafi’i; Pertama, menurut pendapat yang masyhur dan baru tidak sah. Apabila ada empat orang yang membasuhkan anggota wudhunya secara bersamaan dengan seizinnya, maka tidak dianggap kecuali membasuh wajah saja, menurut pendapat yang sahih. Kedua, semua sah dan dianggap.
[Raudhatuth Thalibin 1/41 (1/204)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
فلم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه توضأ إلا مرتبا, والوضوء عبادة ومدار الأمر فى العبادات على الإتباع, فليس لأ حد أن يخالف المأثور فى كيفية وضوئه رسول الله صلى الله عليه وسلم خصوصا ماكان مطردا منها
Tidak ada sebuah haditspun yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam berwudhu tanpa berurutan dan tanpa tertib. Wudhu merupakan suatu ibadah, sedangkan prinsip utama ibadah itu ialah meneladani atau mengikuti jejak langkah sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak boleh menyalahi sunnah yang sahih yang berhubung tata cara wudhu Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, terutama tata cara yang sudah menjadi suatu ketetapan.
[Fiqih Sunnah1/ (1/52)].
Peraktek para shahabat ketika mencontohkan tata cara wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara tertib. Diantaranya hadits 'Utsman bin 'Affan radliyallahu 'anhu :
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا
"Dari Humran maula 'Utsman bahwa 'Utsman meminta air wudlu lalu beliau berwudlu; beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istintsar, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangan kanannya sampai siku-siku tiga kali, kemudian mencuci tangan kirinya seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya kemudian mencuci kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali kemudian mencuci kaki kiri seperti itu juga kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu seperti wudluku ini". (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim).
Diantaranya juga hadits Abdullah bin zaid radliyallahu 'anhu :
قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"dikatakan kepadanya,"Berwudlulah seperti wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau meminta bejana lalu menuangkan air kepada dua telapak tangannya dan mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci wajahnya tiga kali kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci dua tangannya sampai siku-siku dua kali dua kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mengusap kepalanya dari depan kebelakang kemudian mencuci dua kakinya sampai mata kaki kemudian berkata: "Beginilah wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". (HR Bukhari dan muslim dan ini adalah lafadz Muslim).
Sisi pendalilannya: Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan tertib dalam mencuci anggota wudlu karena disitu digunakan kata "kemudian" pada seluruhnya".
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Semua shahabat yang menceritakan wudlu Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menceritakannya secara tertib. Dan ia menafsirkan apa yang ada dalam kitabullah".
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Dan adalah wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilakukan secara tertib dan muwalah dan beliau tidak pernah sekalipun menyalahinya (tidak tertib)".
Mayoritas ulama berpendapat bahwa berurutan (tertib) dalam membasuh anggota wudhu ketika berwudhu hukumnya wajib
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar