Sempat beredar kabar di tengah-tengah kaum muslimin tentang larangan bagi orang yang berqurban untuk ikut memakan daging qurbannya. Maka ini adalah TIDAK BENAR, sebab nash-nash dan dalil yang shahih justru mengatakan sebaliknya.
Dianjurkan bagi shahibul kurban untuk ikut memakan hewan qurbannya. Bahkan ada sebagian ulama menyatakan shahibul kurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala;
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Sebagian ulama' madzhab Safi'i dan sebagian ulama' salaf berpendapat bahwa memakan daging qurban tersebut hukumnya wajib berdasarkan dhohir ayat diatas. Namun mayoritas ulama' madzhab Syafi'i menyatakan bahwa perintah tersebut tidak wajib dengan pertimbangan ayat lainnya, yaitu ;
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah". (Al-Hajj : 36)
Dari ayat ini mereka berkesimpulan bahwa sesuatu yang dijadikan untuk kita, berarti kita boleh memilih antara mengerjakannya atau tidak. Sedangkan menurut pendapat yang mayoritas kalangan ulama' madzhab Syafi'i hukum memakan daging qurban sunat adalah sunat untuk tujuan tabarruk (mendapatkan keberkahan), dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah . Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Nabi ;
عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: " هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
"Dari Abu 'Ubaid , budak Ibnu Azhar, ia berkata; "Saya menyaksikan Ied bersama Umar bin Khatthab . Dia berkata; 'Ada dua hari yang Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam melarang untuk berpuasa; hari raya Idul Fitri kalian ini, dan hari di mana kalian memakan binatang kurban kalian".(Shohih Bukhori, no.1990)
Dalam satu hadits disebutkan ;
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَأْكُلَ شَيْئًا , وَإِذَا كَانَ الْأَضْحَى لَمْ يَأْكُلْ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ , وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكَلَ مِنْ كَبِدِ أُضْحِيَّتِهِ
"Ketika hari raya Idul Fitri, Rosululloh tidak keluar dulu sebelum makan sesuatu, dan ketika hari raya qurban beliau tidak memakan apapun sampai keluar. Saat kembali, beliau memakan hati dari hewan qurbannya". (As-Sunan Al-Kubro Lil-Baihaqi, no.6161).
Berdasarkan hadits diatas ulama' menyatakan kesunatan untuk memakan hati hewan qurbannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh.Adapun hikmah pemilihan hati dari hewan tersebut adalah tafa'ul (mengharapkan kebaikan) bisa masuk surga, sebab makanan pertama yang dihidangkan kepada penghuni surga adalah hati ikan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori ;
أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الجَنَّةِ زِيَادَةُ كَبِدِ حُوتٍ
"Makanan yang pertama dimakan oleh penghuni surga adalah hati dari ikan".
Menurut qoul jadid (pendapat Imam Syafi'i yang baru) dan ini merupakan pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i batasan maksimal daging yang boleh dimakan adalah sepertiganya, sedangkan menurut qoul qodim batasannya adalah separuhnya. Dan yang paling afdhol adalah hanya memakan sedikit saja dari daging qurbannya, dan mensedekahkan kelebihannya.
Imam Rofi'i menyatakan bahwa orang yang berqurban mendapatkan pahala mengerjakan qurban secara keseluruhan, sedangkan pahala sedekah yang ia dapatkan tergantung dari berapa daging yang tersisa jika ia ikut memakannya. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Nawawi sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitab Al-Majmu'.
Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »
”Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”
Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada. Namun apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib. Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah Ushul Fiqih, ”Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum sebelum dilarang” Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum adanya larangan tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,
وَقَوْله ” كُلُوا وَأَطْعِمُوا ” تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ بِوُجُوبِ الْأَكْل مِنْ الْأُضْحِيَّة ، وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ أَمْر بَعْد حَظْر فَيَكُون لِلْإِبَاحَةِ
”Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul qurban wajib memakan sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah Nabi –shallallahu ’alaihi wa sallam- ”makanlah dan berilah makan” dalam hadits di atas. Namun sebenarnya mereka tidak memiliki dalil yang jelas. Karena perintah tersebut datang setelah adanya larangan, maka dihukumi mubah (boleh).”
Dalam hadits ini kita juga mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging qurban yang ada. Namun larangan tersebut kemudian dihapus.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan tersebut dan menyebutkan alasannya. Beliau bersabda,
« كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَنُبَيْشَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ وَقَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ وَأَنَسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.”
Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ.
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi dan selain mereka.”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar