Translate

Kamis, 10 November 2016

Penjelasan Tentang Sodomi

‘Sodomi’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai : (1) pencabulan dng sesama jenis kelamin atau dng binatang; (2) sanggama antar manusia secara oral atau anal, biasanya antar pria; semburit.

Wikipedia yang mengutip dari artikel What is Sodomy-nya Brendan I. Koener memberikan definisi : istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami" yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.

Islam mengharamkan secara mutlak hubungan seks (suami-istri) via anal/dubur berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah.
Dalil Al-Qur’an‎
Allah ta’ala berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haidl itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكلوها وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أصحابُ النَّبِيِّ [النبيَّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ". فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ، فَقَالُوا: مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدع مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ! فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَير وعبَّاد بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَالَتْ كَذَا وَكَذَا، أَفَلَا نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا  هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا، فَسَقَاهُمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجدْ عَلَيْهِمَا.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya." Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka Rasulullah Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw. tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Zaid ibnu Salamah. 

Firman Allah Swt.:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}

Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan,‎

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا، أَلْقَى عَلَى فَرْجِهَا ثَوْبًا

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.:Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.‎

قَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ -يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ بْنِ غَانِمٍ -عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ -عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غُرَاب: أَنَّ عمَّة لَهُ حَدَّثَتْهُ: أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِحْدَانَا تَحِيضُ، وَلَيْسَ لَهَا وَلِزَوْجِهَا فِرَاشٌ إِلَّا فِرَاشٌ وَاحِدٌ؟ قَالَتْ: أُخْبِرُكِ بِمَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَخَلَ فَمَضَى إِلَى مَسْجِدِهِ -قَالَ أَبُو دَاوُدَ: تَعْنِي مَسْجِدَ بَيْتِهَا -فَمَا انْصَرَفَ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي، وَأَوْجَعَهُ الْبَرْدُ، فَقَالَ: "ادْنِي مِنِّي". فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ. فَقَالَ: "اكْشِفِي عَنْ فَخِذَيْكِ". فَكَشَفْتُ فَخِذِي، فَوَضَعَ خَدَّهُ وَصَدْرَهُ عَلَى فَخِذِي، وحنَيت عَلَيْهِ حَتَّى دَفِئَ وَنَامَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a., "Salah seorang dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku (menggilimya), lalu beliau keluar ke musalanya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi Saw. merasa kedinginan, lalu ia berkata, 'Mendekatlah kepadaku!' Aku menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw. bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."

Tentang firman Allah ta’ala : ‘Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; maka tidak dijelaskan tempat mana yang diperintahkan Allah, karena hanya menggunakan lafadh ‘haitsu’ (حَيْثُ). Namun, yang dimaksud tempat tersebut adalah farji berdasarkan keterangan dua ayat :
a.    Firman Allah ta’ala  (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ)‘Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu sebagaimana kamu kehendaki’(QS. Al-Baqarah : 223); dimana kalimat ‘datangilah’ bermakna jima’, sedangkan‘tempat bercocok-tanammu’ menjelaskan makna mendatangi yang diperintahkan dengannya adalah tempat menanam benih anak yaitu nutfah (sperma). Bukan dubur, karena ia bukan tempat untuk meletakkan benih anak sebagaimana diketahui.
b.    Firman Allah ta’ala (فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ) ‘Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ (QS. Al-Baqarah : 187); karena maksud kalimat ‘apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ adalah (mendapatkan) anak – menurut pendapat jumhur. Dan ia adalah pendapat Ibnu Jariir, dan ia telah menukil hal itu dari Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Al-Hakam, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashriy, As-Suddiy, Ar-Rabii’, dan Adl-Dlahhaak bin Muzaahim. Telah diketahui bahwa cara mendapatkan anak hanyalah bisa dilakukan dengan jima’ pada farji. Jadi, farji (wanita) itulah objek yang diperintahkan Allah untuk berjima’ padanya. Dengan demikian, jelaslah maksud firman Allah ta’ala : ‘Maka sekarang campurilah mereka’ yaitu melakukannya pada tempat diharapkannya anak, yaitu farji, bukan yang lainnya [lihat :Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithiy, 1/92].
Sebagian ulama ada yang mengartikan firman Allah ta’ala : ‘maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian untuk menjauhinya karena adanya kotoran yang bersifat sementara, yaitu farji. Hal itu dijelaskan oleh kalimat sebelumnya 

(هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ) 
‘Haidl itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’. Telah diketahui bahwa mendatangi tempat kotoran itu tidak diperbolehkan. Pengertian ini sesuai dengan kaidah :
النهي عن الشيء أمر بضده
“Larangan tentang sesuatu mengkonsekuensikan perintah pada kebalikannya”.
Oleh karenanya, kalimat (أَمَرَكُمُ اللَّهُ) ‘yang diperintahkan Allah kepadamu’ adalah konsekuensi dari larangan yang ada pada kalimat (وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) ‘dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’; yang keduanya kembali pada objek yang sama, yaitu farji [baca selengkapnya :Adlwaaul-Bayaan, 1/95].
Allah ta’ala juga berfirman :
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [QS. Al-Baqarah : 223].
Kalimat (أَنَّى شِئْتُمْ) pada ayat di atas juga menjadi jelas maknanya – dengan bahasan sebelumnya - , yaitu dilakukan dengan mendatangi/menjimai tempat bercocok tanam (= tempat diharapkannya anak) dengan posisi apapun yang dikehendaki laki-laki. Apakah wanita (istrinya) dalam keadaan terlentang, miring, telungkup, atau yang lainnya. Terkait dengan hal itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan makna itu sebagaimana disebutkan di bawah :
حدثنا قتيبة بن سعيد، وأبو بكر بن أبي شيبة، وعمرو الناقد. (واللفظ لأبي بكر) قالوا: حدثنا سفيان عن ابن المنكدر. سمع جابرا يقول: كانت اليهود تقول: إذا أتى الرجل امرأته، من دبرها، في قبلها، كان الولد أحول. فنزلت: {نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم}.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan ‘Amru An-Naaqid (lafadhnya adalah milik Abu Bakr); mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibnul-Munkadir, ia mendengar Jaabir berkata : “Orang-orang Yahudi dulu berkata : ‘Apabila seseorang mendatangi kemaluan istrinya dari arah belakang, anak yang kelak akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’”.
Pada riwayat lain di jalur An-Nu’maan bin Raasyid, dari Az-Zuhriy, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir terdapat tambahan:
إن شاء مجبية، وإن شاء غير مجبية. غير أن ذلك في صمام واحد
“Apabila dia ingin dapat dari depan atau belakang, asalkan dari tempat yang satu (yaitu farji)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1435].
أَخْبَرَنَـا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى قِرَاءَةً، أنبأ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مَـالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَابْنُ جُرَيْجٍ، وسفيان بن سعيد الثوري، أن محمد بن المنكدر حدثهم، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،"أَخْبَرَهُ أَنَّ الْيَهُودَ , قَالُوا لِلْمُسْلِمِينَ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً وَهِيَ مُدْبِرَةً، جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ، فَأَنْزَلَ اللَّـهُ تَعَالَى: ﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ﴾, قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي الْحديث: فَقَال َرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin Sa’iid Ats-Tsauriy : Bahwasannya Muhammad bin Al-Munkadir ‎telah menceritakan kepada mereka, dari Jaabir bin ‘Abdillah yang telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslimiin : “Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang, anaknya nanti (yang lahir) akan juling. Maka Allah ta’ala pun menurunkan ayat : “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Ibnu Juraij berkata dalam hadits tersebut : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Boleh dari arah depan ataupun belakang, jika itu pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 2133; shahih].
حدثنا يحيى بن غيلان ثنا رشدين ثنا حسن بن ثوبان عن عامر بن يحيى المعافري حدثني حنش عن بن عباس قال : أنزلت هذه الآية { نساؤكم حرث لكم } في أناس من الأنصار أتوا النبي صلى الله عليه وسلم فسألوه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آتها على كل حال إذا كان في الفرج
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami Risydiin : Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Tsaubaan, dari ‘Aamir bin Yahyaa Al-Mu’aafiriy : Telah menceritakan kepadaku Hanasy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Ayat ini (‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’) diturunkan terkait dengan sekelompok orang dari kaum Anshaar yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ayat tadi, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Datangilah bagaimanapun caranya asalkan pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/268; hasan lighairihi].

حدثنا عبد بن حميد حدثنا الحسن بن موسى حدثنا يعقوب بن عبد الله الأشعري عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس قال جاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله هلكت قال وما أهلكك قال حولت رحلي الليلة قال فلم يرد عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قال فأوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } أقبل وأدبر وأتق الدبر والحيضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : ‘Umar datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah binasa”. Beliau bertanya : “Apa yang membuatmu binasa ?”. ‘Umar berkata : “Aku telah mengubah arah tungganganku semalam‎”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya sedikitpun. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Beliau bersabda : “Boleh dari arah depan ataupun belakang, namun hindarilah dubur dan (berjima’) pada waktu haidl” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2980; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy3/196 dan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 4/435, serta dishahihkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’ 6/319].
Dalil As-Sunnah
Terdapat banyak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menjimai istri pada duburnya. Di antaranya :
حدثنا عفان ثنا وهيب ثنا عبد الله بن عثمان بن خثيم عن عبد الرحمن بن سابط قال : دخلت على حفصة ابنة عبد الرحمن فقلت انى سائلك عن أمر وأنا استحي ان أسألك عنه فقالت لا تستحي يا بن أخي قال عن آتيان النساء في أدبارهن قالت حدثتني أم سلمة ان الأنصار كانوا لا يجبون النساء وكانت اليهود تقول انه من جبى امرأته كان ولده أحول فلما قدم المهاجرون المدينة نكحوا في نساء الأنصار فجبوهن فأبت امرأة ان تطيع زوجها فقالت لزوجها لن تفعل ذلك حتى آتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فدخلت على أم سلمة فذكرت ذلك لها فقالت اجلسي حتى يأتي رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم استحت الأنصارية ان تسأله فخرجت فحدثت أم سلمة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ادعى الأنصارية فدعيت فتلا عليها هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } صماما واحدا
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit, ia berkata : Aku masuk menemui Hafshah binti ‘Abdirrahman, lalu aku berkata : “Aku mau menanyakan kepadamu yang sebenarnya aku malu untuk menanyakan kepadamu”. Hafshah berkata : “Jangan malu wahai saudaraku”. Aku berkata : “(Yaitu tentang) mendatangi wanita dari arah belakang”. Hafshah menjawab : “Telah menceritakan kepadaku Ummu Salamah bahwasannya orang-orang Anshaar tidak menelungkupkan wanita mereka saat berjima’ (yaitu tidak menjimai mereka dari arah belakang). Dan adalah orang-orang Yahudi mengatakan bahwa barangsiapa yang menelungkupkan istrinya (= menjimai dari arah belakang), maka anaknya yang lahir nanti bermata juling. Lalu, datanglah orang-orang Muhaajiriin ke Madinah yang menikahi wanita-wanita Anshaar, lalu mereka menelungkupkan istrinya saat menjimainya. Para wanita Anshaar itu enggan mentaati permintaan suami mereka itu. Mereka (para istri) berkata kepada suaminya : “Jangan kalian melakukannya hingga aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia pun kemudian masuk menemui Ummu Salamah dan menyebutkan permasalahan itu kepadanya. Ummu Salamah berkata : “Duduklah, hingga Rasulullah s‎hallallaahu ‘alaihi wa sallam datang”. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, wanita Anshaar itu malu untuk bertanya kepada beliau dan keluar. Maka Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda : “Panggillah wanita Anshaar tadi”. Ia pun dipanggil dan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini kepadanya ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’. Beliau bersabda : ‘Asalkan pada satu lubang (yaitu farjinya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/305; hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 44/220].
حدثنا سفيان قال ثنا يزيد بن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن عمارة بن خزيمة بن ثابت عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أن الله لا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad, dari ‘Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsaabit, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Allah tidaklah malu dalam menerangkan kebenaran.Janganlah kalian mendatangi istri kalian pada dubur mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 436; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 36/189].
أخبرنا النضر نا حماد بن سلمة حدثني حكيم الأثرم عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أتى كاهنا فصدقه بما يقول أو أتى حائضا أو أتى امرأة في دبرها فقد بريء مما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah : telah menceritakan kepadaku Hakiim Al-Atsram, dari Abu Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ta’alaa ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, atau mendatangi (menjimai) wanita yang haidl atau mendatangi wanita pada duburnya, sungguh ia telah berlepas diri dari apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih no. 482; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 7/68-70 no. 2006].

Ijma’
Al-Maawardiy rahimahullah mengatakan bahwa pengharaman mendatangi istri pada duburnya merupakan ijma’ para shahabat :
لأنه إجماع الصحابة : روي ذلك عن علي بن أبي طالب وعبدالله بن عباس وابن مسعود وأبي الدرداء
“Karena ia (pengharaman mendatangi istri pada duburnya) merupakan ijma’ shahabat. Diriwayatkan hal itu dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’” [Al-Haawiy, 9/319].
Atsar
حدثنا عبد الاعلى عن سعيد عن قتادة عن أبي أيوب عن عبد الله بن عمرو قال : هي اللوطية الصغرى .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Sa’iid, dari Qataadah, dari Abu Ayyuub, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Ia adalah perbuatan liwath kecil” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/363; shahih].
أخبرنا معمر عن بن طاوس عن أبيه قال سئل بن عباس عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال هذا يسائلني عن الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Maka ia berkata : “Orang ini menanyakan kepadaku tentang kekafiran” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20953; shahih].
أخبرنا هناد بن السري عن وكيع عن الضحاك بن عثمان عن مخرمة بن سليمان عن كريب عن بن عباس قال لا ينظر الله يوم القيامة إلى رجل أتى بهيمة أو امرأة في دبرها
Telah mengkhabarkan kepada kami Hanaad bin As-Sariy, dari Wakii’, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaimaan, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat laki-laki yang mendatangi (menjimai) binatang atau wanita pada duburnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 5/320-321 no. 9002; shahih]‎.
حدثنا هدبة حدثنا همام عن قتادة قال حدثني عقبة بن وساج عن أبي الدرداء قال : وهل يفعل ذلك إلا كافر.
Telah menceritakan kepada kami Hudbah : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqbah bin Wasaaj, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : “Tidak ada orang yang melakukannya kecuali orang kafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210; shahih].
عن معمر عن الزهري قال سألت بن المسيب وأبا سلمة بن عبد الرحمن عن ذلك فكرهاه ونهياني عنه
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnul-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan tentang perbuatan itu, maka ia membencinya dan melarangku terhadapnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20955; shahih].
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا فَهُوَ مِنْ الْمَرْأَةِ مِثْلُهُ مِنْ الرَّجُلِ ثُمَّ تَلَا { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّهُ } أَنْ تَعْتَزِلُوهُنَّ فِي الْمَحِيضِ الْفَرْجَ ثُمَّ تَلَا { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَائِمَةً وَقَاعِدَةً وَمُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً فِي الْفَرْجِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata : "Barangsiapa menggauli isterinya pada duburnya, maka ia termasuk wanita yang semisalnya dari kalangan laki-laki”. Kemudian ia membaca ayat : Dan mereka bertanya kepada kamu tentang haidl, maka katakanlah ia itu kotoran, maka jauhilah wanita-wanita yang tengah haid, dan jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang Allah subhanallahu wa ta'ala perintahkan kepada kalian (QS. Al-Baqarah : 223) : “Yaitu, hendaklah kalian jauhi kemaluan mereka ketika sedang haid”. Kemudian ia membaca ayat : Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian (QS. Al-Baqarah : 223) :“Yaitu, baik berdiri, duduk, dari arah depan atau dari arah depan asalkan pada farjinya"[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1135; shahih].
أخبرنا عثمان بن عمر ثنا خالد بن رباح عن عكرمة { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }  قال إنما هو الفرج
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Rabbaah, dari ‘Ikrimah tentang ayat : ‘Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian’, ia berkata : “Hanyalah yang dimaksud akan hal itu adalah farjinya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1124; shahih].
أخبرنا محمد بن يزيد ثنا يونس بن بكير حدثني بن إسحاق حدثني أبان بن صالح عن طاوس وسعيد ومجاهد وعطاء إنهم كانوا ينكرون إتيان النساء في أدبارهن ويقولون هو الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Abaan bin Shaalih, dari Thaawus, Sa’iid, Mujaahid, dan ‘Athaa’ : Bahwasannya mereka semua mengingkari perbuatan mendatangi wanita pada duburnya, dan mereka berkata : “Ia adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1146; hasan].
Catatan Penting
1.      Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
حدثنا أحمد بن داود، قال : أخبرنا يعقوب بن حميد، قال : ثنا عبد الله بن نافع عن هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد : أن رجلا أصاب امرأته في دبرها فأنكر الناس ذلك عليه وقالوا : أتعزبها فأنزل الله عز وجل نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُم ْ
قال أبو جعفر : فذهب قوم إلى أن وطء المرأة في دبرها جائز واحتجوا في ذلك بـهذا الحديث وتأولوا هذه الآية على إباحة ذلك 
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Daawud, ia berkata : Telah mengkhabar kepada kami Ya’quub bin Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada dubur-nya. Maka orang-orang mengingkari hal itu dan berkata : “Apakah engkau menjauhinya ?”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’.
Abu Ja’far berkata : “Sekelompok orang berpendapat bahwa mencampuri istri pada duburnya diperbolehkan, dan mereka berhujjah dengan hadits ini serta menta’wilkan ayat ini tentang kebolehannya” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 3/40].

2.      Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
أخبرنا ابن عبدالحكم قراءةً قال: سمعت الشافعيُّ يقول: ليس فيه-يعني إتيان النساء في الدبر- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في التحريم والتحليل حديثٌ ثابت
“Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Abdil-Hakam secara qira’at, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Tidak ada padanya – yaitu permasalahan mendatangi wanita pada duburnya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman dan penghalalannya hadits yang tsaabit” [Aadaabusy-Syaafi’iy, hal. 217].

3.      Beberapa ulama menyebutkan bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membolehkan perbuatan tersebut berdasarkan riwayat :
حدثني يعقوب قال حدثنا هشيم قال أخبرنا ابن عون عن نافع قال : كان ابن عمر إذا قر ئ القرآن لم يتكلم قال فقرأت ذات يوم هذه الآية : (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) فقال : أتدري فيمن نزلت هذه الآية ؟ قلت : لا. قال : نزلت في إتيان النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepadaku Ya’quub, ia berkata : Telah mencertakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata. Pada suatu hari aku membaca ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’, maka ia berkata : “Apakah engkau tahu kepada siapa ayat ini diturunkan ?”. Aku berkata : “Tidak tahu”. Ia berkata : “Ayat ini diturunkan berkaitan tentang orang yang mendatangi istrinya pada ‘dubur’ mereka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 4/403-404 no. 4326; shahih].
Al-Imam Al-Bukhaariy menyebutkan riwayat senada sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ لَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ فَأَخَذْتُ عَلَيْهِ يَوْمًا فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَكَانٍ قَالَ تَدْرِي فِيمَ أُنْزِلَتْ قُلْتُ لَا قَالَ أُنْزِلَتْ فِي كَذَا وَكَذَا ثُمَّ مَضَى وَعَنْ عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ { فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَالَ يَأْتِيهَا يأتها في..... َ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata hingga selesai. Pada suatu hari aku mengambil mushhaf untuknya, lalu ia membaca Al-Baqarah hingga selesai dengan hafalannya. Lalu ia berkata : “Tahukah kamu tentang apa surat ini turun?”. Aku menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Surat ini turun tentang ini dan itu”. Kemudian dia pergi.‎
Dan dari ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar tentang ayat :‘istri-istrimu adalah ladang bagimu maka datangilah ladang-ladangmu kapan saja sesuai yang kamu sukai’(QS. Al-Baqarah : 223), maka Ibnu Umar berkata : “Yaitu mendatanginya pada….” [Shahih Al-Bukhaariy no. 4526-4527].
Tidak ada keterangan dalam riwayat Al-Bukhaariy menyebutkan dubur. Akan tetapi, Abu Qilaabah menambahkan lafadh dalam jalur ‘Abdush-Shamad : “Pada duburnya (في الدبر)” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/406 no. 4331]. Abu Qilaabah adalah seorang yang tsiqah, sehingga riwayat tersebut shahih.
Namun ada riwayat lain yang ‘bertentangan’ dengan riwayat shahih di atas :
أخبرنا الربيع بن سليمان قال نا أصبغ بن الفرج قال نا عبد الرحمن بن القاسم قال قلت لمالك إن عندنا بمصر الليث بن سعد يحدث عن الحارث بن يعقوب عن سعيد بن يسار قال قلت لابن عمر إنا نشتري الجواري فنحمض لهن قال وما التحميض قال نأتيهن في أدبارهن قال أو أو يعمل هذا مسلم فقال لي مالك فأشهد على ربيعة لحدثني عن سعيد بن يسار أنه سأل بن عمر عنه فقال لا بأس به
Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ashbagh bin Al-Faraj, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Maalik : “Sesungguhnya ketika kami di Mesir, Al-Laits bin Sa’d menceritakan hadits dari Al-Haarits Ya’quub, dari Sa’iid bin Yasaar, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya kami membeli beberapa budak wanita dan kami melakukantahmiidl kepada mereka’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Apa itu tahmiidl ?’. Sa’iid berkata : ‘Kami mendatangi/menjimai mereka pada duburnya’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Uf, uf, mungkinkah itu dilakukan oleh seorang muslim ?‎. (‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim berkata : ) Lalu Maalik berkata (setelah mendengar ceritaku) : ‘Aku bersaksi atas Rabii’ah, ia telah menceritakan kepadaku, dari Sa’iid bin Yasaar bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang hal tersebut, lalu Ibnu ‘Umar berkata : ‘Tidak mengapa dengannya’” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8979; shahih].
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari riwayat An-Nasaa’iy di atas. Dua kemungkinan atas perkataan Ibnu ‘Umar yang membolehkan mendatangi wanita pada duburnya : 
Pertama, ada kemungkinan bahwa orang yang mendengar perkataan Ibnu ‘Umar tersebut salah dalam memahami (= salah paham)‎.‎ ‎
Kedua, ada kemungkinan bahwa Ibnu ‘Umar keliru dalam memahami sebab turunnya ayat lalu berpendapat tentang kebolehan, kemudian ia rujuk setelah mengetahui nash-nash pelarangannya.
Kemungkinan pertama dikuatkan oleh riwayat berikut :
أخبرنا علي بن عثمان بن محمد بن سعيد بن عبد الله بن نفيل قال نا سعيد بن عيسى قال نا المفضل قال حدثني عبد الله بن سليمان عن كعب بن علقمة عن أبي النضر أنه أخبره أنه قال لنافع مولى عبد الله بن عمر قد أكثر عليك القول أنك تقول عن بن عمر إنه أفتى بأن يؤتى النساء في أدبارها قال نافع لقد كذبوا علي ولكني سأخبرك كيف كان الأمر إن بن عمر عرض المصحف يوما وأنا عنده حتى بلغ { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يا نافع هل تعلم ما أمر هذه الآية إنا كنا معشر قريش نجبي النساء فلما دخلنا المدينة ونكحنا نساء الأنصار أردنا منهن مثل ما كنا نريد من نسائنا فإذا هن قد كرهن ذلك وأعظمنه وكانت نساء الأنصار إنما يؤتين على جنوبهن فأنزل الله تعالى { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin ‘Utsmaan bin Muhammad bin Sa’iid bin ‘Abdillah bin Nufail, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Mufadldlal, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Sulaimaan, dari Ka’b bin ‘Alqamah, dari Abun-Nadlr bahwasannya ia telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa ia pernah berkata kepada Naafi’ maulaa Ibni ‘Umar : “Banyak perkataanmu yang beredar bahwasannya engkau berkata dari Ibnu ‘Umar bahwa ia (Ibnu ‘Umar) berfatwa tentang pembolehan mendatangi wanita dari duburnya”. Naafi’ berkata : “Sungguh mereka telah berdusta terhadapku. Akan tetapi akan aku khabarkan kepadamu bagaimana perkara yang sebenarnya. Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah membaca mushhaf untuk hapalannya pada suatu hari, dan waktu itu aku ada di sisinya. Hingga ia sampai pada ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Ia berkata : ‘Wahai Naafi’, apakah engkau mengetahui apa sebab ayat ini diturunkan ?. Sesungguhnya kami masyarakat Quraisy biasa mendatangi para wanita dengan posisi menungging. Maka ketika kami datang ke Madinah dan menikahi wanita Anshaar, kami ingin dari mereka seperti apa yang kami inginkan dari wanita-wanita kami (yang menjimai dengan posisi menungging). Namun ternyata mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai perkara yang besar. Wanita Anshaar itu biasa didatangi dari arah depan/terlentang. Maka Allahta’ala menurunkan ayat : Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8978; hasan].
Dalam riwayat sebab turunnya ayat di awal bahasan ini telah disebutkan para shahabat dulu (sebelum datang ke Madinah) biasa mendatangi istri mereka dari arah belakang, namun pada farjinya. Anggapan orang Yahudi bahwa anak yang juling itu akan lahir jika didahului persenggamaan dari arah belakang, tidak mungkin dipahami bahwa persenggamaan itu dilakukan pada dubur si wanita (sebab itu tidak akan melahirkan anak).
Itulah yang dimaksud Ibnu ‘Umar dalam riwayat di atas. Maka, perkataan Ibnu ‘Umar ‘pada duburnya’, maksudnya adalah mendatangi mereka dari arah dubur mereka (yaitu dari arah belakang), namun tetap pada farjinya. Riwayat An-Nasaa’iy (no. 8978) di atas lebih terperinci daripada riwayat sebelumnya (yang berisi ‘pembolehan’), sehingga penunjukan (dilalah) hukumnya lebih kuat.
Kemungkinan kedua ditunjukkan dari perkataan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri atas diri Sa’iid bin Yasaar. Perkataan Maalik bahwa Sa’iid bin Yasaar pernah diberi fatwa Ibnu ‘Umar bahwa hal itu tidak mengapa, dan kemudian di lain waktu ia membeli budak dan melakukan perbuatan itu lalu ia pun dicela Ibnu ‘Umar karenanya; menunjukkan pelarangan itu adalah datang kemudian.
Namun apapun itu, membawa pendapat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa akan pelarangan mendatangi wanita pada duburnya lebih kuat karena berkesesuaian dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallami – sementara ia dikenal sebagai salah seorang shahaba yang sangat kuat ittiba’-nya kepada Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan para shahabat yang lainnya.‎

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا إسناد صحيح ونص صريح منه بتحريم ذلك، فكل ما ورد عنه مما يحتمل ويحتمل فهو مردود إلى هذا المحكم
“Sanad ini shahih dan seagai nash yangsharih (jelas) darinya (Ibnu ‘Umar) tentang pengharaman hal itu. Setiap riwayat yang datang darinya yang membolehkan atau mengandung kemungkinan membolehkan, maka ia tertolak berdasarkan hukum ini” [Tafsiir Ibni Katsiir].
4.      Ada beberapa nukilan dari beberapa kitab ulama kita yang menyebutkan Maalik bin Anas membolehkan menjimai wanita dari duburnya pada kitab As-Sirr. Juga dikuatkan dengan riwayat yang dinukil Ibnu Hajar :
وَرَوَى عبد الرَّزَّاقِ عن مَعْمَرٍ قال: لو أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ بِقَوْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ في اسْتِمَاعِ الْغِنَاءِ وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ في أَدْبَارِهِنَّ، وبقول أَهْلِ مَكَّةَ في الْمُتْعَةِ وَالصَّرْفِ، وَبِقَوْلِ أَهْلِ الْكُوفَةِ في الْمُسْكِرِ كان شَرَّ عِبَادِ اللَّهِ
“’Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, ia berkata : ‘Seandainya ada seseorang yang mengambil pendapat penduduk Madiinah tentang pembolehan mendengarkan nyanyian dan mendatangi wanita pada duburnya, pendapat penduduk Makkah tentang pembolehan (nikah) mut’ah dan sharf, serta pendapat penduduk Kuufah tentang minuman memabukkan; maka ia menjadi hamba Allah yang paling jelek‎” [At-Talkhiish, 3/398].
Sisi pendalilannya : Jika disebut penduduk Madiinah, maka penghulu mereka di jaman itu adalah Maalik bin Anas. Ma’mar bin Raasyid termasuk kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang selevel dengan Maalik bin Anas rahimahumallah. Ada kemungkinan pendapat penduduk Madiinah itu juga merupakan pendapat Maalik bin Anas.‎

Ibnul-Haajib rahimhullah berkata :
ويحل كل استمتاع إلا الإتيان في الدبر، ونسب تحليله إلى مالك في كتاب (السر) وهو مجهول. وعن ابن وهب: سألت مالكاً وقلت: إنهم حكوا عنك أنك تراه، فقال: معاذ الله، وتلا {نساؤكم حرث لكم} وقال: لا يكون الحرث إلا في موضع الزرع
“Dan dihalalkan setiap kesenangan kecuali mendatangi (menjimai) istri pada duburnya. Adapun penisbatan tentang pembolehannya dari Maalik (bin Anas) dalam kitab As-Sirr adalah majhuul(tidak diketahui). Dari Ibnu Wahb : Aku pernah bertanya kepada Maalik, dan aku berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya mereka menghikayatkan darimu bahwasannya engkau berpendapat membolehkannya’. Maka ia berkata : ‘Ma’aadzallaah’. Lalu ia membaca ayat :‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’. Ia berkata : ‘Tidaklah disebut ladang kecuali ia tempat (ditumbuhinya) tanaman” [Jaami’ul-Ummahaat, 1/261].
Hal yang sama dinukil oleh Al-Qurthubiy rahimahullah :
وقال مالك لابن وهب وعلي بن زياد لما أخبراه أن ناساً بمصر يتحدثون عنه أنه يجيز ذلك ، فنفر من ذلك ، وبادر إلى تكذيب الناقـل فقال : كذبوا عَليَّ ، كذبوا علي ، ثم قال : ألستم قوماً عرباً ، ألم يقل الله تعالى : نِسَاؤُكُمْ حَرْثُُ لَكُمْ وهل يكون الحرث إلا في موضع المنبت ؟ !
“Telah berkata Maalik kepada Ibnu Wahb dan ‘Aliy bin Ziyaad ketika keduanya mengkhabarkan kepadanya bahwa orang-orang Mesir mengatakan darinya (Maalik) bahwa ia telah membolehkannya. Maka ia terkejut akan hal itu dan cepat-cepat mendustakan orang yang menukil. Maalik berkata : ‘Mereka telah berdusta atas namaku, mereka telah berdusta atas namaku’. Kemudian melanjutkan : ‘Bukankah kalian termasuk bangsa ‘Arab ? Tidakkah Allah ta’ala telah berfirman :Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam (QS. Al-Baqarah : 223). Bukankah yang disebut ladang itu tempat yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan ?” [Tafsir Al-Qurthubiy, 3/94-95].
Ibnul-Haaj rahimahullah berkata :
وعن عبدالرحمن بن القاسم أن شرطي المدينة دخل على مالك بن أنس رحمه الله تعالى فسأله عن رجل رفع إليه أنه قد أتى امرأته في دبرها ، فقال مالك : " أرى أن توجعه ضرباً فإن عاد إلى ذلك ففرق بينهما
“Dan dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim : Bahwasannya petugas keamaan/polisi kota Madiinah masuk menemui Maalik bin Anas rahimahullahu ta’ala, lalu bertanya kepadanya tentang seseorang yang diajukan kepadanya dimana ia telah mendatangi istrinya pada duburnya. Maka Maalik berkata : “Aku berpendapat agar kalian menghukumnya dengan deraan. Jika ia mengulangi perbuatan itu, ceraikanlah antara keduanya” [Al-Madkhal, 2/196-197].
Dan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri – sebagai periwayat kitab As-Sirr – mengatakan bahwa Maalik membenci perbuatan tersebut [At-Talkhiish, 3/398].
Perkataan yang ‘adil dalam hal ini adalah : Maalik bin Anas kemungkinan memang pernah mengatakan kebolehannya, namun kemudian ia rujuk dan kemudian tidak membolehkannya karena nampak baginya hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu. Wallaahu a’lam.
Tinjauan Fiqh dan Medis
Islam telah mengharamkan menjimai farji yang dapat menimpakan penyakit seperti ketika haidl dan nifas, dan ini sifatnya tidak permanen/sementara. Maka menjimai tempat yang pada asalnya sarang kotoran dan penyakit lebih ditekankan lagi, karena kotoran yang ada pada lubang dubur ini sifatnya permanen. Ini adalah dalil akal yang tidak terbantahkan.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
اتفق أهل العلم على أنه يجوز للرجل إتيان زوجته في قبلها من جانب دبرها ، وعلى أي صفة شاء، أما الإتيان في الدبر فحرام ، فمن فعله جاهلاً بتحريمه نُهِىَ عنه ، فإن عاد عُزِّرَ
“Para ulama sepakat bahwasannya diperbolehkan bagi seorang laki-laki mendatangi istrinya pada farjinya dari arah belakang, dengan gaya apapun yang ia suka. Adapun mendatangi pada duburnya, maka haram. Barangsiapa yang melakukannya karena ketidaktahuan akan keharamannya, ia dilarang darinya. Namun jika ia mengulanginya, ia dihukum” [Syarhus-Sunnah, 9/196].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata :
فأباح موضع الحرث والمطلوب من الحرث نبات الزرع فكذلك النساء الغرض من إتيانهن هو طلب النسل لا قضاء الشهوة وهو لا يكون إلا في القبل فيحرم ما عدا موضع الحرث ولا يقاس عليه غيرة لعدم المشابهة في كونه محلا للزرع وأما حل الاستمتاع فيما عدا الفرج فمأخوذ من دليل آخر وهو جواز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج
“Allah hanya membolehkan tempat bercocok tanam, dan yang dicari dari tempat bercocok tanam adalah tumbuhnya tanaman. Begitu pula wanita, bahwa tujuan menjimai mereka adalah untuk mencari keturunan, bukan sekedar pemenuhan syahwat saja. Maka hal itu tidaklah terjadi kecuali dilakukan pada farji. Maka Allah mengharamkan melakukannya selain dari tempat bercocok tanam itu. Tidak ada qiyas padanya terhadap selainnya karena memang tidak ada persamaan dalam keadaannya sebagai tempat tanaman. Adapun mencari kesenangan (istimtaa’) pada selain farji, maka itu diambil dari dalil yang lain, yaitu diperbolehkannya mencumbui/mempergauli (mubaasyarah) wanita haidl selain pada farjinya‎” [Subulus-Salaam, 3/187].
Apa yang dilarang Allah ta’ala dan Rasul-Nya ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas pelarangan mendatangi/menjimai wanita pada duburnya pasti mengandung hikmah, baik ia kita ketahui ataupun tidak. Telah banyak penelitian para ahli, baik muslim maupun kafir, yang menjelaskan perilaku menyimpang ini.
Other risk factors associated with increasedanal-cancer risk included gay or bisexual orientation among men, a high number of lifetime sexual partners and a history of receptive anal sex. The study also suggested that the overall increase in anal cancer rates might be partially attributable to an increase in the average number of lifetime sexual partners and an increase in the number of people engaging in anal sex, particularly among women.
Among the female control group studied, 21.5 percent had reported practicing anal sex, a significant increase from a previous case-control study by Daling and colleagues, published in 1987, in which 11 percent of female controls had reported ever having anal sex. Similarly, 40 percent of the women in the control group of the current study reported having five or more lifetime sexual partners as compared to 9 percent of the female control group in the 1987 study.
"It could be that sexual practices have changed, but it also could be that people are just more likely to discuss their sexual behavior these days," Daling said. "However, I suspect that increased incidence of anal intercourse among both men and women is most likely to be the primary cause behind the rise in anal cancer." 
The anal sphincter muscle is not anatomically designed to comfortably admit external objects--it is designed to relax and stretch when stimulated internally by rectal fullness from stool.  The automatic reflex is for it to contract and tighten when pressure is applied externally.  So relaxation of the sphincter for external penetration is learned over time because otherwise it is very uncomfortable, and must only be done with gentle continual pressure, and lots and lots of lubricant. The risks, even with gentle insertion, are laceration of the anal tissue, and rectal mucosa, resulting in pain, bleeding, and difficulty passing stool comfortably. 
Any presence of blood can potentially expose the insertive partner to bloodborne STDs like Hep. B, Hep. C, and HIV.  In addition, exposure to stool can result in urethral infections in a male insertive partner.
The receptive partner is at more risk for contracting STDs if there is trauma (even microscopic) to the anus or rectum due to the potential presence of virus in semen, if ejaculation takes place in the rectum.  Human papilloma virus also is likely to be spread anally due to this trauma to the anal and rectal tissue, and some of the most difficult persistent HPV infections we see are chronic anal warts, both external and internal to the anal sphincter and they are exceptionally difficult to treat, often requiring surgery to remove.
Aside from the traumatic and infectious risks, there is the risk of sphincter tone (tightness) loss over time due to repeated dilation for insertive intercourse.  Many receptive partners experience stool incontinence (leaking of stool or poor control) when they have anal sphincter tone decrease.  This, needless to say, is very bothersome and uncomfortable and has to be surgically corrected if it becomes chronic.
Lastly, there is increased risk of spreading gastrointestinal pathogens through anal contact--whether it is bacterial infections like salmonella or E. Coli, or parasitic infections like Giardia

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar