Translate

Rabu, 09 November 2016

Penjelasan Tentang Sifat Maha Melihat Alloh Bukanlah Mata Seperti Pendapat Mujasimah

Ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan kalau Alloh Punya Mata. Padahal ayat ini bercerita tentang Bahtera Nabi Nuh As
Allah ta’ala berfirman :
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) mata-mata dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan” [QS. Huud : 37].
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Nuh agar menanam pohon-pohonan; setelah besar ditebang, lalu dike­ringkan; hal ini memakan waktu seratus tahun. Kemudian Nabi Nuh meng­gergaji, menyerutnya, dan menghaluskannya selama seratus tahun lagi; sedangkan menurut pendapat lain adalah empat puluh tahun.

Muhammad ibnu Ishaq telah menceritakan dari kitab Taurat, bahwa Allah Swt. memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera itu dari kayu saj (jati) dengan panjang delapan puluh hasta dan lebar lima puluh hasta, dan hendaknya bahtera itu dicat dengan gar (ter) bagian luar dan dalamnya, hendaknya pula dibuatkan anjungan buat membelah air.

Qatadah mengatakan bahwa bahtera Nabi Nuh mempunyai panjang tiga ratus hasta dan lebarnya lima puluh hasta.

Dari Al-Hasan, disebutkan bahwa panjangnya enam ratus hasta dan lebarnya tiga ratus hasta. Juga dari Al-Hasan dan Ibnu Abbas, disebut­kan bahwa panjangnya seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta. Sedangkan menurut pendapat lain, panjangnya dua ribu hasta, dan lebarnya seratus hasta.

Semuanya mengatakan bahwa tinggi bahtera Nabi Nuh adalah tiga puluh hasta, terdiri atas tiga tingkat, setiap tingkat mempunyai tinggi sepuluh hasta. Tingkatan yang paling bawah untuk hewan dan binatang liar, yang tengah untuk manusia, sedangkan yang atas untuk burung-burung. Disebutkan pula bahwa pintunya berada di bagian tengahnya, bagian atas bahtera itu beratap.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir telah menyebutkan sebuah asar yang garib melalui hadis Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Abdullah ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan bahwa kaum Hawariyyin berkata kepada Isa ibnu Maryam, "Sebaiknya engkau mengirimkan seorang lelaki sebagai wakil dari kita semua untuk melihat bahtera itu, lalu dia akan menceritakannya kepada kita." Maka Isa ibnu Maryam membawa serta mereka pergi hingga sampai di sebuah bukit pasir, lalu Isa mengambil segenggam pasir dengan telapak tangannya dan berkata, "Tahukah kalian, apakah ini?" Mereka menjawab, "Allah dan utusan-Nya lebih mengetahui." Isa . menjawab, "Ini adalah mata kaki Ham ibnu Nuh."

Kemudian Nabi Isa memukul bukit pasir itu dengan tongkatnya seraya bersabda, "Berdirilah dengan seizin Allah." Tiba-tiba berdirilah Ham seraya menepiskan pasir yang ada di kepalanya yang telah beruban. Isa bertanya kepadanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini ketika kamu mati?" Ham ibnu Nuh menjawab, "Tidak, aku meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Tetapi aku menduga bahwa kematian itu merupakan hari kiamat, karena itulah maka aku beruban."

Isa bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang bahtera Nabi Nuh." Ham ibnu Nuh menjawab, "Panjangnya adalah seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta. Bahtera itu terdiri atas tiga tingkat, salah satunya untuk hewan dan binatang liar, yang lainnya untuk manusia, dan yang terakhir untuk burung-burung."

Ham melanjutkan kisahnya, "Setelah kotoran hewan terlalu banyak, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkan kepadanya agar menggelitiki ekor gajah. Maka Nuh a.s. menggelitikinya, lalu dari ekor gajah itu keluarlah seekor babi betina yang langsung melahap kotoran tersebut. Dan ketika tikus-tikus muncul di dalam bahtera itu, mereka menggerogoti kayu-kayu dan tali temalinya. Maka Allah menu­runkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkannya agar memukul wajah singa di antara kedua matanya. Maka Nuh a.s. memukulnya, dan keluarlah burung elang jantan dan betina dari hidung singa itu, lalu keduanya me­nyambar tikus-tikus tersebut.

Isa berkata kepada Ham, "Bagaimanakah Nuh mengetahui bahwa daratan telah tenggelam?" Ham menjawab, "Nuh a.s. mengutus burung gagak yang menyampaikan berita kepadanya. Tetapi burung gagak itu menjumpai bangkai, lalu burung gagak itu hinggap padanya dan mema­kannya, maka Nuh a.s. berdoa kepada Allah, semoga burung gagak selalu dicekam rasa takut. Karena itulah burung gagak tidak biasa tinggal di rumah-rumah.

Kemudian Nuh a.s. mengirimkan burung merpati, lalu burung merpati itu datang dengan membawa daun pohon zaitun pada paruhnya dan daun pohon tin pada kakinya. Karena itulah Nuh a.s. mengetahui bahwa seluruh negeri telah tenggelam. Lalu Nabi Nuh a.s. mengalung­kan ikat pinggangnya pada leher burung merpati dan mendoakannya agar hidupnya selalu dalam aman dan jinak. Karena itulah maka burung-burung merpati biasa tinggal di rumah-rumah."

Kaum Hawariyyin berkata, "Wahai utusan Allah, bolehkah kami membawa Ham ini kepada keluarga kami dan duduk bersama kami seraya bercerita kepada kami?" Isa menjawab, "Mana mungkin orang yang tidak mempunyai rezeki dapat mengikuti kalian?" Maka Nabi Isa berkata kepada Ham, "Kembalilah kamu seperti semula dengan seizin Allah!" Maka kembalilah Ham dalam bentuk semulanya, yaitu berupa pasir.
 Dari penafsiran ayat Tersebut jelas Mata di situ adalah pengawasan Alloh.
حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال ، حدثنا محمد بن ثور، عن معمر، عن قتادة في قوله:(بأعيننا ووحينا) ، قال: بعين الله ووحيه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur, dari Ma’mar, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘dengan (pengawasan) dan petunjuk wahyu Kami’, ia berkata : “Dengan mata Allah dan wahyu-Nya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya, 15/309 no. 18131; shahih].
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan (pengawasan) Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya – lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].

Hadits di atas sama sekali tidak menunjukkan dalil Allah memiliki mata secara makna zahir nash tersebut. Akan tetapi justru menunjukkan beberapa perkara berikut :

1. Bahwa Allah maha suci dari sifat kekurangan / aib, seperti buta sebelah (a’war). 

2. A’war (picek atau buta sebelah) adalah sifat kemanusiaan dajjal. Maka jika dajjal mengaku Tuhan, dapat diketaui kedustaannya dengan sifat ke-a’waran dajjal tersebut. Maka hadits ini menggambarkan tentang mata dajjal bukan mata Allah.

3. Hadits tersebut sama sekali bukan sedang menjelaskan sifat Allah akan tetapi sedang menjelaskan sifat dajjal. Isyarah kepada mata adalah bukan menjelaskan kepada sifat mata Allah, akan tetapi menjelaskan sifat mata dajjal yang mata sebelah kanannya cacat. Hadits ini membicarakan ciri mata dajjal, kenapa dijadikan hujjah bagi mata Allah ??

Yang menjadikan dalil hadits di atas sebagai dalil penetapan mata Allah yang berbentuk jarihah (organ) adalah hanyalah kaum Mujassimah. Perhatikan ucapan para imam besar ini :

وقال بن بطال احتجت المجسمة بهذا الحديث وقالوا في قوله [وأشار بيده إلى عينه] دلالة على ان عينه كسائر 
الأعين وتعقب باستحالة الجسمية عليه لأن الجسم حادث وهو قديم فدل على ان المراد نفي النقص عنه انتهى

“ Ibnu Bththal berkata : “ Kaum Mujassimah berhujjah dengan hadits tersebut dan mereka mengatakan tentang ucapan ini, “ Dan beliau mengisyaratkan tangan ke matanya “, adalah dalil seperti mata lainnya. Lalu (Ibnu Baththal) mengomentarinya dengan kemustahilan jisim bagi Allah, keraan jisim itu menunjukkan baharu sedangkan Allah Maha Dahulu, maka menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menafikan sifat kekurangan dari Allah “. (selesai) “. 

Ibnu Baththal mengaskan bahwa yang menjadikan hujjah dengan hadits di atas untuk menetapakan makna zahir dari ‘ain hanyalah kaum mujassimah seperti kaum wahabi ini.

حدثنا علي بن نصر ومحمد بن يونس النسائي المعنى قالا ثنا عبد الله بن يزيد المقرئ ثنا حرملة يعني بن عمران حدثني أبو يونس سليم بن جبير مولى أبي هريرة قال سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها إلى قوله تعالى سميعا بصيرا قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يضع إبهامه على أذنه والتي تليها على عينه قال أبو هريرة رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع إصبعيه قال بن يونس قال المقرئ يعني إن الله سميع بصير يعني أن لله سمعا وبصرا
قال أبو داود وهذا رد على الجهمية

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Nashr dan Muhammad bin Yuunus An-Nasaa’iy secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Harmalah, yaitu Ibnu ‘Imraan : Telah menceritakan kepadaku Abu Yuunus Sulaim bin Jubair maulaa Abu Hurairah, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini : ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’ hingga firman-Nya ta’ala : ‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58). Ia (Abu Hurairah) berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya pada telinganya, dan jari telunjuknya ke matanya”. Abu Hurairah berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat itu seraya meletakkan kedua jarinya tersebut”. Ibnu Yuunus berkata : Berkata Al-Muqri’ : “Yaitu,sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, yaitu Allah mempunyai pendengaran dan penglihatan”.
Abu Daawud berkata : “Hadits ini merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4728].
Hadits di atas merupakan penunjukkan yang jelas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam(dan juga para perawi hadits dari kalangan shahabat dan ulama setelahnya) bahwasannya Allah ta’ala benar-benar mempunyai mata secara hakiki, bukan dalam arti majaz seperti persangkaan sebagian orang. Adapun perkataan Abu Daawud bahwa hadits tersebut merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah, hal itu dikarenakan mereka menafikkan sifat dzaatiyyah ini dari Allah ‎ta’ala.
Di antara perkataan para imam Ahlus-Sunnah tentang penetapan sifat pengawasan bagi Allah ta’ala :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla, hal. 97].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه: (تجري بأعيننا).
“Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala mempunyai dua mata tanpa perlu ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14)” [Al-Ibaanah, hal. 9].‎

Walaupun begitu, sifat bashiroh yang dimiliki Allah ta’ala berbeda dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Al-Hafidz imam Ibnu Hajar al-Atsqalani juga pernah ditanya tentang penyikapan hadits tersebut, kita tengok jawaban seoang imam besar hadits ini :‎

وقد سئلت هل يجوز لقارئ هذا الحديث ان يصنع كما صنع رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟فأجبت وبالله التوفيق انه ان حضر عنده من يوافقه على معتقده وكان يعتقد تنزيه الله تعالى عن صفات الحدوث وأراد التأسي محضا جاز والأولى به الترك خشية ان يدخل على من يراه شبهة التشبيه تعالى الله عن ذلك ولم أر في كلام أحد من الشراح في حمل هذا الحديث على معنى خطر لي فيه اثبات التنزيه وحسم مادة التشبيه عنهوهو ان الإشارة إلى عينه صلى الله عليه و سلم انما هي بالنسبة الي عين الدجال فانها كانت صحيحة مثل هذه ثم طرأ عليها العور لزيادة كذبه في دعوى الإلهية وهو انه كان صحيح العين مثل هذه فطرأ عليها النقص ولم يستطع دفع ذلك عن نفسه
“ Aku (Ibnu Hajar) pernah ditanya : “ Apakah boleh bagi orang yang membaca hadits ini untuk berbuat / bertindak sebagaimana tindakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (dalam menyampaikan hadits itu dengan isyarah) ?? Maka aku jawab dengan mengharap taufiq Allah : “ Sesungguhnya jika di hadapannya adalah orang yang sesuai dengan akidahnya dan berkyakinan Allah Maha Suci dari sifat baharu, dan semata-mata hanya mengikuti Nabi saja, maka boleh melakukan hal itu akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya (tidak melakukan isyarah tersebut) karena khawatir orang yang melihatnya akan mengasumsi syubhat tasybih (penyerupaan kepada Allah), Maha Suci Allah dari hal itu. Aku tidak pernah melihat seorang pun dari ulama pensyarah hadits tersebut yang membawakan hadits tersebut atas makna yang terlintas atasku penetapan penyucian Allah dan memotong unsure penyerupaan yaitu bahwa isyarat kepada mata Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanyalah dinisbatkan kepada mata dajjal, karena mata dajjal konon itu sehat / normal kemudian ditimpa cacat sebelah supaya menambah kedustaannya dalam mengaku Tuhan. Dajjal dahulu itu normal matanya seperti ini, lalu ditimpa kecacatan dan ia tidak mampu menolak hal itu dari dirinya “. 

Renungkan sikap dan kesimpulan Ibnu Hajar tersebut, beliau mengatakan tidak boleh membawkan hadits tersebut dengan isyarah sebagaimana isyarah Nabi di hadapan kaum awam yang tidak memiliki dasar tauhid tanzih.Dan beliau menyimpulkan bahwa hadits tersbut dalam konteks menjelaskan atau menggambarkan cirri-ciri dajjal bukan cirri-ciri Allah. 

Bahkan imam Malik lebih tegas lagi dari imam Ibnu Hajar. Imam Malik mengatakan bahwa jika ada orang yang membawakan hadits semacam ini dengan menggunakan isyarat anggota tubuhnya, maka anggota tubuhnya itu harus di potong. Perhatikan komentar imam Malik berikut ini :
روى حرملة بن يحيى قال سمعت عبدالله بن وهب يقول سمعت مالك بن أنس يقول: من وصف شيئا من ذات الله مثل قوله وقالت اليهود يد الله مغلولة وأشار بيده إلى عنقه ومثل قوله وهو السميع البصير فأشار إلى عينيه أو أذنه أو شيئا من بدنه قطع ذلك منه لأنه شبه الله بنفسه ثم قال مالك أما سمعت قول البراء حين حدث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يضحى بأربع من الضحايا وأشر البراء بيده كما أشار النبي صلى الله عليه و سلم بيده قال البراء: ويدي أقصر من يد رسول الله صلى الله عليه وسلم فكره البراء أن يصف رسول الله صلى الله عليه 
وسلم إجلالا له وهو مخلوق فكيف الخالق الذي ليس كمثله شيء
“ Harmalah bin Yahya meriayatkan, ia berkata, “ Aku mendengar Abdullah bin Wahb berkata, “ Aku mendengar Malik bin Anas berkata : “ BBarangsiapa yang mensifati Dzat Allah seperti firman-Nya : “ Berkata Yahudi, “ Tangan Allah dibelenggu “ dan ia mengisyaratkan tangannya ke pundaknya, dan semisal firman-Nya, “ Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “, lalu ia mengisyaratkan ke kedua mata atau telinganya atau sesuatu dari bagian tubuhnya, maka bagian tubuhnya itu kena dipotong, keran dia telah menyerupakan Allah dengan dirinya “. Kemudian imam Malik berkata : “ Tidakkah kamu mendengar ucapan al-Barra ketika membawakan hadits bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidak melakukan qurban dengan empat binatang qurban “, lalu al-Barra mengisyaratkan tangannya sebagaimana Rasul mengisyaratkan tangannya. Lalu al-Barra berkata : “ Dan tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Barra tidak suka mensifati Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kerana sikap pengaggungannya pada Nabi padahal nabi adalah makhluk, lantas bagaimana dengan Allah sang Maha Pnecipta yang tidak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya ? “.

Bagaimana dengan imam Ahmad bin Hanbal? Sikap imam Ahmad bin Hanbal pun sama sengan sikap imam Malik dalm hal ini. Maka kaum Mujassimah adalah yang memahami hadits-hadits semacam itu dengan makna zahirnya dan menjadikan hadits-hadits tersebut dalil penetapan sifat Allah secara zahirnya. 

Imam Sufyan bin Uyainah mengatakan :

ماوصفه الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه قراءته تفسيره وليس لاحد ان يفسره لا بالعربية ولا بالفارسية

“ Apa yang Allah sifatkan diri-Nya di dalam al-Quran, maka pembacaannya adalah tafsirnya, tidak seorang pun boleh menafsirkannya, tidak dengan bahasa Arab ataupun bahasa persi “.
Imam ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berkata :

“ Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. 

Sikap imam Ahmad bin Hanbal :
“ Berkata Abu Bakar al-Khallal, telah mengabarkan padaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal meceritakan pada mereka, ia berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillaj (imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, dan Allah Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya dan semisalnya ?”, maka imam Ahmad menjawab : “ Kami mengimaninya dan kami membenarkannya, tanpa kaif dan tanpa makna, kami tidak menolaknya sedikit pun dari itu, dan kami mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq jika sanadnya sahih, dan kami tidak menolak ucapan Nabi. Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. 
Dua ulama salaf di atas cukup mewakili madzhab ulama salaf lainnya yakni mengimani dan membenarkan teks mutasyabihat tanpa memberikan penafsiran maknanya dan menjahuhkan kaifiyyah darinya. Hal ini sangat jelas berbeda dengan anggapan dan keyakinan kaum wahabi selama ini yang mengatakan teks-teks sifat memiliki makna hakikatnya secara dhahir sesuai bahasa Arabnya.

Imam Badruddin bin Jama’ah juga mengatakan :

واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لا يليق من ذلك بجلال الرب تعالى غير مراد… واختلفوا في تعيين ما يليق بجلاله من المعاني المحتملة… فسكت السلف عنه، وأوله المتأولون

“ Ulama salaf dan ulama takwil sepakat  atas apa yang tidak layak bagi keagungan Allah, bukanlah yang dimaksud. Mereka berbeda pendapat di dalam menentukan kemungkinan makna-maknanya yang layak bagi keagungan Allah… Ulama salaf diam dari ini sedangkan ulama takwil mentakwilnya “.

Imam an-Nawawi mengatakan :‎

اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين: أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون: يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء، وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات 
المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم

“ Ketahuilah ulama dalam hadits-hadits sifat atau ayat-ayat shifat memiliki dua pendapat : Yang pertama adalah madzhab mayoritas ulama salaf atau keseluruhannya, yaitu tidak membicarakan maknanya bahkan mengatakan, “ Wajib atas kita mengimaninya dan meyakini hal itu punya makna yang layak bagi keagungan Allah disertai keyakinan kita yang kuat bahwa Allah Ta’ala tidak seperti sesuatu dan Allah disucikan dari jisim, berpindah, berbatas di suatu arah dan dari semua sifat makhluk. Ucapan ini adalah madzhab sekelompok dar- mutakallimin dan dipilih oleh sekelompok para pentahqiq mereka, dan ia lebih selamat “. ‎

Dari penjelasan ulama di atas, dipahami bahwasanya ulama salaf mayoritas atau bahkan keseleuhannya bermadzhab Tafwidh makna, yakni tiga hal berikut ini :
1. Tidak membicarakan maknanya bahkan mengimaninya. 
Dalam hal ini sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana telah saya sebutkan di atas :
“ Tidak ada kaif dan tidak ada maknanya “

Dan juga sebagaimana ucapan imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani di atas :

“ Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah “.

2. Meyakini bahwa ayat atau hadits shifat memiliki makna yang layak bagi keagungan Allah. 
Yakni para ulama salaf menyerahkan kepada Allah makna yang mengarah pada tasybih (penyerupaan), adapun sifat yang sempurna dari segala sisi dan tidak mengarah pada penyerupaan, maka mereka menetapkannya makna kulli yang musytarak[11]itu. Sedangkan makna kulli yang musytarak yang mengarah pada tajsim dan tasybih atau kekurangan, maka para ulama salaf mentafwidh (menyerahkan) maknanya, contoh sifat ‘Tangan’, karena ketika kita menyandarkan tangan seperti tangan Zaid, tangan Umar, tangan semut atau tangan gajah, maka makna kullinya (keseluruhannya) yang musytarak (digunakan bersama) kepada semua itu adalah sesuatu yang sama dan serupa yakni anggota tubuh atau alat yang digunakan untuk mengambil dan memberi. Maka ketika kita sandarkan sifat Tangan pada Allah secara makna hakikatnya dari bahasa Arab, maka dia telah benar-benar menyerupakan dan menjisimkan Allah.  Maka setelah itu tidak akan bermanfaat ucapan : “ Sebagaimana yang layak bagi keagungan Allah “, sebab makna itu sudah tidak pantas dan tidak layak bagi Allah, bagaimana mungkin membawakan lafaz itu pada Allah. Insi seperti orang yang mengatakan “ Aku menisbatkan kepada Allah apa yang tidak pantas bagi-Nya sesuai apa yang pantas bagi-Nya “. Ucapan yang penuh kerancuan dan kesesatan.‎‎

3. Menafikan makna dhahir yang mengarah pada tasybih dan tajsim.
Seperti tangan, kaki atau mata. Semua ini mewahamkan pada tasybih, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal di atas : “ Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. 

Inilah makna Tafwidh yang benar yang sesuai dengan statmen dan hujjah para ulama baik salaf maupun kholaf, bukan sebagaimana dituduhkan kaum wahabi makna tafwidh yang salah kepada kaum Ahlus sunnah wal jama’ah khsusunya kaum Asy’ariyyah dan Maturudiyyah.
Ibnu Khuzaimah yang kalamnya dinukil oleh kaum wahabi di atas, menyatakan sebagai berikut :‎
“ Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan mereka atas al-Quran dan Sunnah “.

Dari penjelasan beliau dapat kita pahami bahwasanya para ulama salaf di atas, sama sekali tidak mau membicarakan makna dari ayat-ayat mutaysabihat khsusunya ayat atau hadits shifat. Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Dan mereka hanya cukup pemahaman secara globalnya saja, Contoh :
بل يداه مبسوطتان
“ Akan tetapi kedua tangan-Nya terbentang luas “.

Secara global, ulama salaf memahami bahwa Allah sangat luas kedermawanan-Nya. Adapun secara terperinci baik makna hakikat atau majaz, maka para ulama salaf tidak ada satu pun yang menentukan makna-maknanya tersebut, mereka menyerahkan makna kepada Allah Ta’ala dengan terlebih dahulu mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan sifat makhluk-Nya. Maka apa yang diklaim wahabi dan menuduh Asy’ariyyah meneyelisihi sunnah dan ulama salaf, sangatlah tidak benar, itu semata-mata hanya pemahaman rekaan (dhann) kaum wahabi saja, justru faktanya pemahaman kaum wahabi sangat menyelisihi pemahaman ulama salaf dan kholaf, menyimpang dari pemahaman mayoritas umat Muslim, Naudzu billah min sus-il fahm wal i’tiqad.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar