Translate

Minggu, 06 November 2016

Dianjurkan Untuk Mengganti Nama Yang Buruk Dengan Nama Yang Baik

Mendapapatkan nama yang baik merupakan hak anakdan kewajipan kedua orang tua (ibu dan bapak) memberikan nama yang baik kepada bayi yang baru dilahirkan. Memberikan nama anak yang baik dan elok merupakan tuntutan Islam dan telah menjadi budaya masyarakat Melayu. Sebagaimana pribahasa menyatakan: “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Karena itu setiap pemilihan nama, sebaiknya nama tersebut dapat menjadi atau mengandung doa, yang diyakini dapat berpengaruh terhadap pembentukan sahsiah anak tersebut. Apabila ada perselisihan antara ayah dan ibu dalam hal ini, maka ayah lebih diutamakan. Tetapi sebaiknya ada musyawarah antara kedua orangtua untuk mendapat kesepakatan, guna menjaga keutuhan dan mempererat ikatan antara suami istri, sehingga dapat melegakan hati kedua belah pihak. 
Pemberian nama kepada anak dengan nama yang baik sangat penting, sehingga kelak anak merasa senang dan tidak merasa malu dengan nama yang disandangnya. Hal ini juga sesuai dengan Firman Allah Q.S. 49:11 sebagai berikut:‎
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

... “dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim”. (Q.S. 49:11). 

Perhatikan juga hadits berikut:

قال النبي صلى الله عليه وسلّم ٳنّ من حقّ الوالد على ولده ٲن يعلّمه الكتابة وٲن يحسن ٳسمه وٲن يزۆجه ٳذا بلغ . رواه ٳبن النجار

Artinya: Sabda Nabi SAW:“Sssungguhnya di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya mengajarinya menulis, membaguskan namanya, dan menikahkannya bila telah dewasa”. (H.R. Ibnu Najar)‎

Hadis Pemberian Nama Bayi

حدثنا أبو داود قال حدثنا قيس عن أبي إسحاق قال سمعت هاني بن هاني يحدث عن علي قال : لما ولد الحسن بن علي قلت سموه حربا وقد كنت أحب أن اكتني بأبي حرب فأتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فدعا به قلنا سميناه حربا قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بل هو الحسن فلما ولد الحسين سميناه حربا فجاء النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما سميتموه قلنا حربا قال رسول الله صلى الله عليه و سلم هو حسين (مسند الطيالسي)

Telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Qais dari Abi Ishaq berkata saya mendengar Hani b. Hani menceritakan dari Ali berkata: tatkala Hasan b. Ali dilahirkan saya berkata namanya harban sungguh saya ingin menuliskannya menjadi Abi Harb, maka Rasulullah Saw datang: tetapi ia al-Hasan. (tahun berkutnya) ketika al-Husain dilahirkan saya memberikannya nama harba maka datang Rasulullah Saw, dan berkata siapa namanya ?, kami mengatakan: Harban, maka Rasulullah Saw bersabda: tetapi ia Husain. (Musnad al-Thayalisi)‎‎

Hadis ini secara teks (matan) bervariasi dalam berbagai kitab Hadis. Dalam pembahasan ini pembahas hanya mengutip Hadis dalam kitab Musnad Thayalisi. Hadis ini diberitakan dari Ali b. Abi Thalib pada Rasulullah Sawm  jadi Hadisi ini tergolong Hadis marfu’‎

Para ulama telah menegaskan kewajibannya tentang memberikan nama, bahkan mereka telah sepakat (ijma’) tentang hal tersebut. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
واتفقوا أن التسمية للرجال والنساء فرض

“Para ulama sepakat bahwasannya memberi nama kepada laki-laki dan perempuan adalah wajib” [Maraatibul-Ijma’, hal. 153].

Nama adalah lafadh dimana seseorang dipanggil dengannya. Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap masalah ini, hingga Allah pun menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an :

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” [QS. Maryam : 7].

Hingga kelak di hari kiamat, manusia akan dipanggil dengan nama yang mereka dipanggil dengannya semasa di dunia. 

عن أبي الدرداء قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "إنكم تُدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم".

Dari Abu Dardaa’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian” [HR. Abu Dawud no. 4948, Ad-Daarimiy no. 2736, Al-Baihaqi 9/306, dan yang lainnya. Sanad hadits ini dla’if karena adanya inqitha’,namun maknanya benar].

Keterkaitan Nama dengan Pemiliknya

Nash-nash syari’at telah menjelaskan keterkaitan nama dengan pemiliknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسلم سالمها الله وغفار غفر الله لها وعصية عصت الله ورسوله

“Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aslam (- nama orang -), semoga Allah mendamaikan hidupnya; Ghifaar(- nama orang -), semoga Allah mengampuninya; dan ‘Ushayyah (- nama orang -) telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”[HR. Al-Bukhari no. 3513, Muslim no. 2518, Ahmad no. 4702, dan yang lainnya].

Demikian pula nama yang ada pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ahmad dan Muhammad; dimana dua-duanya mengandung makna ‘terpuji’. Dan beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang mempunyai sifat-sifat terpuji dalam ‘aqidah, akhlaq, dan segala hal yang ternisbat kepada beliau.

Namun sebaliknya, kita dapat melihat beberapa musuh Allah seperti Abu Lahab yang nama aslinya adalah ‘Abdul-‘Izza. Kunyah Abu Lahab ‎ini sangat pas dengan dirinya, yang akhirnya ia ditempatkan ke dasar neraka, terbakar oleh lidah api yang menyala-nyala akibat kedurhakaannya. Begitu pula dengan Abu Jahal.

Al-Imam Ibnu-Qayyim rahimahullah berkata :

ومن تأمل السنة وجد معاني في الأسماء مرتبطة بها حتى كأن معانيها مأخوذة منها وكأن الأسماء مشتقة من معانيها........ وإذا أردت أن تعرف تأثير الأسماء في مسمياتها. فتأمل حديث سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده قال أتيت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما اسمك قلت حزن فقال أنت سهل قال لا أغير اسما سمانيه أبي قال ابن المسيب فما زالت تلك الحزونة فينا بعد رواه البخاري في صحيحه والحزونة الغلظة

“Barangsiapa yang mengamati sunnah, niscaya ia akan menemukan bahwa nama-nama yang ada berhubungan dengan pemiliknya yang seakan-akan ia memang diambil darinya sesuai dengan karakternya…… Apabila engkau ingin mengetahui bagaimana nama-nama itu bisa mempengaruhi pemiliknya, maka perhatikanlah hadits Sa’id bin Al-Musayyib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu ?”. Aku menjawab : “Namaku Huzn”. Beliau bersabda :“(Gantilah), namamu menjadi Sahl (=mudah)”. Aku berkata : “Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan oleh bapakku”. Ibnul-Musayyib berkata : “Sejak saat itu, sifat kasar senantiasa ada dalam keluarga kami”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Makna al-huzuunah/huzn adalah al-ghildhah(=kasar)” [Tuhfatul-Mauduud bi-Ahkaamil-Mauluud oleh Ibnul-Qayyim, hal. 84-85, tahqiq : ‘Abdul-Mun’im ‘Aaniy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1403].

Waktu Pemberian Nama

Ada dua pendapat ternukil dalam permasalahan ini yang mempunyai landasan dalil :

1.    Dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits :

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

”Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnyayang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama” [HR. Abu Dawud no. 2837-2838; At-Tirmidzi no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165; Ahmad 5/7,12,17,22; dan yang lainnya; shahih].

Berkata Al-Imam Al-Baghawiy rahimahullah :

واستحب غير واحد من أهل العلم أن لا يسمى الصبي قبل السابعة، روي ذلك عن الحسن، وبه قال مالك

“Banyak ulama berpendapat disunnahkannya untuk tidak menamai anak sebelum hari ketujuh kelahirannya. Diriwayatkan hal itu dari Al-Hasan, dan dengannya Malik berpendapat” [Syarhus-Sunnah, 11/269, tahqiq & takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1403 H].

2.    Dilakukan pada hari pertama atau sebelum hari ketujuh dari waktu kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits :

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِيْ غُلامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِاْلبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ

Dari Abi Musa radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : ”Telah lahir seorang anakku. Maka aku membawanya ke hadapan Nabishallallaahu ’alaihi wa sallam dan beliau menamainya Ibrahiim. Maka kemudian beliau men-tahnik-nya dengan kurma dan mendoakan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkannya padaku” [HR. Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; dan yang lainnya].

عن أنس بن مالك. قال: ......فولدت غلاما. فقال لي أبو طلحة: احمله حتى تأتي به النبي صلى الله عليه وسلم. فأتى به النبي صلى الله عليه وسلم. وبعثت معه بتمرات. فأخذه النبي صلى الله عليه وسلم فقال (أمعه شيء؟) قالوا: نعم. تمرات. فأخذها النبي صلى الله عليه وسلم فمضغها. ثم أخذها من فيه. فجعلها في في الصبي. ثم حنكه، وسماه عبدالله.

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ….”Maka Ummu Sulaim melahirkan seorang bayi laki-laki. Lalu Abu Thalhah mengatakan kepada Anas : “Bawalah bayi ini kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Anas) bawa bayi tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan berbekal dua butir kurma. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil bayi itu sambil bertanya : “Apakah ada makanan yang dibawa ?”. Orang-orang menjawab : “Ya, dua butir kurma”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma tersebut dan mengunyahnya. Lalu beliau ambil dari mulut beliau, kemudian beliau suapkan ke dalam mulut bayi itu dan beliau memberinya nama ‘Abdullah” [HR. Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; Abu Dawud no. 4951; dan yang lainnya].

Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :

وَأَنَّ الَّذِي كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ابْنِهِ إبْرَاهِيمَ وَفِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ مِنْ تَسْمِيَتِهِ إيَّاهُمَا قَبْلَ يَوْمِ سَابِعِهِمَا وَقَبْلَ ذَبْحِ عَقِيقَةٍ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْهُ بِأَنَّهَا لَمْ يُنْسَخْ أَنْ يَكُونَ يَوْمَ سَابِعِهِ كَانَ طَارِئًا عَلَى ذَلِكَ وَنَاسِخًا لَهُ فَكَانَ أَوْلَى مِمَّا كَانَ قَبْلَهُ مِمَّا يُخَالِفُهُ

“Pemberian nama yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamkepada putranya Ibrahim dan ‘Abdullah bin Thalhah sebelum hari ketujuh dan sebelum disembelihnya nasikah (‘aqiqah) bagi masing-masingnya, karena kedua riwayat ini sebagai penghapus hukum (bagi riwayat yang menyebutkan penetapan waktutasmiyyah/pemberian nama pada hari ketujuh), maka hal ini lebih utama dari apa-apa yang menyelisihinya” [Musykilul-Aatsaaroleh Ath-Thahawiy, 1/456].

Yang benar, waktu pemberian nama adalah fleksibel. Perkataan Ath-Thahawi rahimahullah tidaklah dapat diterima karena dua-duanya merupakan sunnah yang tsabit dari beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Klaim mansukh tentu saja harus diletakkan apabila masih memungkinkan untuk dijamak. Apalagi dua pendapat tersebut tidaklah bertentangan, namun hanya menunjukkan keragaman saja. Seseorang boleh memberikan nama pada waktu kelahirannya ataupun menundanya hingga hari ketujuh dari kelahirannya. Al-Imam Al-Bukhari ‎rahimahullah memberikan satu bab dalam ‎Shahih-nya – yang sekaligus menunjukkan pendapatnya dalam hal ini :

باب تسمية المولود غَداةَ يولَدُ لمن لم يَعقَّ عنه، وتحنيكهِ

“Bab : Pemberian nama bagi bayi segera setelah kelahirannya bagi anak yang tidak diaqiqahi, dan men-tahnik-nya”.

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar atas perkataan Al-Bukhari di atas :

وهو جمع لطيف لم أره لغير البخاري

“Ini adalah cara penggabungan makna yang sangat teliti, dan belum ada yang berpendapat seperti ini selain Al-Bukhari” [Fathul-Baariy, 9/588].

Namun, perkataan Al-Bukhari di atas juga perlu untuk dicermati kembali karena pemberian nama setelah kelahirannya tidaklah mesti dipersyaratkan bagi anak yang tidak diaqiqahi. Hal itu dikarenakan hadits Anas bin Malik ataupun hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhuma di atas tidaklah menunjukkan hal itu. Barangkali setelah dinamai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Abu Musa dan Abu Thalhah menyembelih kambing bagi anaknya di hari ketujuh.

Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

إن التسمية لما كانت حقيقتها تعريف الشيء المسمى لأنه إذا وجد وهو مجهول الاسم لم يكن له ما يقع تعريفه به فجاز تعريفه يوم وجوده وجاز تأخير التعريف إلى ثلاثة أيام وجاز إلى يوم العقيقة عنه ويجوز قبل ذلك وبعده والأمر فيه واسع

“Sesungguhnya tasmiyyah (pemberian nama) iu pada hakekatnya berfungsi untuk menunjukkan identitas penyandang nama, karena jika ia didapati tanpa nama berarti tidak memiliki identitas yang dengannya ia bisa dikenali. Oleh karena itu, identitasnya boleh diberikan pada hari kelahirannya, boleh juga ditunda pada hari ketiga, atau pada hari aqiqahnya. Boleh juga sebelum atau sesudah hari ‘aqiqahnya. Oleh karena itu, perkara ini adalah luas/lapang” [Tuhfatul-Mauduud, hal. 79].

Al-Imam Al-Ajurriy rahimahullah menuliskan dalam kitabnya :

من صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم : الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة الشك ، نعوذ بالله من الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من الاستكمال للإيمان ، لا يدري أهو ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا : أمؤمن أنت ؟ قال : آمنت بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار ، وأشباه هذا ، والناطق بهذا ، والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في الإيمان لايدرى أهو ممن يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم لا؟ هذا طريق الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في الأعمال ، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في الأعمال الموجبة لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به يتوارثون ، وبه يتناكحون ، وبه تجري أحكام ملة الإسلام

“Di antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah bahwa dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-istitsna’ (pengecualian) dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan sampai mengaku dirinya sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia sampai kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya : ‘Mukminkah engkau ?’; mereka akan menjawab : ‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang yang meyakini ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin. Pengecualian dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui apakah ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah sebagai mukmin yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini adalah jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’ bukan dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan si hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya beriman, dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah, serta dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurry hal. 102].
Sangat Dianjurkan untuk Merubah/Mengganti Nama-Nama yang kurang baik/buruk

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyenangi nama-nama yang bagus/baik dan membenci nama-nama yang buruk. Termasuk sunnah dalam hal ini adalah merubah nama-nama yang buruk dan diganti dengan nama-nama yang bagus/baik.
عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama ‘Aashiyyah (=pelaku maksiat), dan bersabda : “Namamu Jamiilah (indah)” [HR. Muslim no. 2139].

عن أسامة بن أخدريٍّ : أن رجلاً يقال له أصرم كان في النفر الذين أتوا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "ما اسمك؟" قال: أنا أصرم، قال: "بل أنت زرعة".

Dari Usamah bin Akhdariy : Bahwasannya seorang laki-laki bernama Ashram (=tandus) dan ia termasuk salah seorang yang datang menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah namamu ?”. Ia menjawab : “Ashram”. Maka beliau bersabda :“Gantilah namamu dengan Zur’ah (=subur)”[HR. Abu Dawud 4954 dan Al-Haakim no. 7729, ; shahih].

عن هانئ بن هانئ عن على رضي الله عنه قال : لما ولد الحسن سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسن فلما ولد الحسين سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسين فلما ولد الثالث سميته حربا فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قلت حربا قال بل هو محسن قال سميتهم بأسماء ولد هارون شبر وشبير ومشبر

Dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika Al-Hasan lahir, aku member nama Harb. Kemudian Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Hasan”. Ketika Al-Husain lahir, aku pun kembali menamainya Harb. Kemudian Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Husain”. Ketika anakku yang ketiga lahir, kembali aku namakan Harb. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda :“Gantilah namanya Muhsin”. Beliau meneruskan : “Sesungguhnya aku memberi nama mereka dengan nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabiir, dan Musyabbir” [HR. Ahmad 1/98 no. 769, Haakim no. 4773, Al-Baihaqi 6/166, dan yang lainnya; hasan].

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata :

وغيَّر النبي صلى اللّه عليه وسلم اسم العاص وعزيز وعتلة وشيطان والحكم وغراب وحباب وشهاب فسماه هشاماً، وسمى حرباً سلماً، وسمى المضطجع المنبعث، وأرضاً تسمى عَفِرَةَ سماها خضرة، وشعب الضلالة سماه شعب الهدى، وبنو الزِّنية سماهم بني الرشدة، وسمى بني مغوية بني رشدة.
قال أبو داود: تركت أسانيدها للاختصار.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengubah nama Al-‘Aash, ‘Aziiz, ‘Atlah, Syaithaan, Al-Hakam, Ghuraab, Hubaab, dan Syihaab dan menggantinya dengan nama Hisyaam. Beliau mengganti nama Harb menjadi Silm dan Al-Mudlthaji’ menjadi Al-Munba’its. Begitu pula beliau mengganti nama tempat di muka bumi yang bernama ‘Afirah menjadi Khadlirah, Syi’abudl-Dlalaalah menjadi Syi’abul-Hudaa, Banu Az-Zinyah menjadi Banu Ar-Risydah, dan Banu Mughwiyyah menjadi Banu Rusydah”. Abu Dawud berkata : Aku buang sanad-sanadnya untuk memperingkas” [Shahih Sunan Abi Daawud 3/217; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].
Larangan Memberikan Laqab (Gelar) yang Jelek

Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].

عن أبي جبيرة بن الضحاك قال : فينا نَزلتْ - في بنى سلمة - ( وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ )  قال : قَدِمَ عَلينَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليسَ مِنَّا رَجُلٌ إلا لَه اسمَانِ ، فَجَعَل النَّبيُ صلى الله عليه وسلم يَقولُ : ( يَا فُلان ) فَيقولُونَ يا رسول الله إِنَّهُ يَغضَبُ مِنهُ

Dari Abu Jubairah bin Adl-Dlahhaak ia berkata : “Firman Allah ta’ala : walaa tanaabazuu bil-alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah”. Ia kembali berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi kami, tidaklah seorang pun di antara kami melainkan mempunyai dua nama. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Fulan”. Maka mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah (dipanggil dengan nama itu" ‎[HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufradno. 330, Abu Dawud no. 4962, Ibnu Majah no. 3741, dan yang lainnya; shahih].

Haram hukumnya memberikan laqab (gelar) yang buruk dan saling memanggil dengannya. Jika laqab tersebut mengandung pujian (yang tidak berlebihan) dan orang tersebut menyukainya, maka diperbolehkan. Ini dapat dibuktikan dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan laqab (gelar) kepada beberapa orang shahabat, seperti ‎Amiinul-Ummah kepada Abu ‘Ubaidah, Dzul-Janaahain kepada Ja’far bin Abi Thaalib, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.

Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata :

واتفق العلماء على تحريم تلقيب الإِنسان بما يكره، سواء كان له صفة؛ كالأعمش، والأجلح، والأعمى، والأعرج، والأحول، والأبرص، والأشج، والأصفر، والأحدب، والأصمّ، والأزرق، والأفطس، والأشتر، والأثرم، والأقطع، والزمن، والمقعد، والأشلّ، أو كان صفة لأبيه أو لأمه أو غير ذلك مما يَكره‏.‏ واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك‏.‏‏
“Para ulama sepakat diharamkannya memberikan laqab (gelar) pada seseorang dengan gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya seperti : Al-A’masy (si rabun), Al-Ajlah (si botak), Al-A’maa (si buta),Al-A’raj (si pincang), Al-Ahwal (si juling), Al-Abrash (yang mengidap penyakit kusta), Al-Asyaj (yang kepalanya luka), Al-Ashfar (si kuning), Al-Ahdab (si bungkuk), Al-Asham (si bisu), Al-Azraq (si biru), Al-Afthasy (si pesek),Al-Asytar (si cacat), Al-Asyram (si sumbing), Al-Aqtha’ (si buntung), Az-Zaman (si pengidap penyakit yang tidak akan sembuh), Al-Maq’ad(yang selalu duduk), dan Al-Asyal (si lumpuh); atau menjulukinya dengan sifat ibu atau bapaknya atau julukan lainnya yang tidak ia senangi. Namun para ulama sepakat tentang kebolehan memberikan laqab (julukan) seperti itu jika seseorang tidak dikenal melainkan dengan laqab tersebut” [Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy, 2/342; Maktabah Nizaari Mushthafa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].

Memberi Kunyah kepada Anak Kecil

Diperbolehkan memberikan kunyah kepada anak keci, sebagaimana tertera dalam hadits :
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا وكان لي أخ يقال له أبو عمير قال أحسبه قال كان فطيما قال فكان إذا جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فرآه قال أبا عمير ما فعل النغير قال فكان يلعب به
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengannughair” [HR. Al-Bukhari no. 6129,6203; Muslim no. 2150; Abu Dawud no. 4969; At-Tirmidzi no. 333,1989; Ibnu Majah no. 3720; Ibnu Hibbaan no. 2308, 2506; dan yang lainnya].

Boleh Ber-Kunyah Walaupun Belum/Tidak Mempunyai Anak

Mari kita simak hadits Shuhaib berikut ini :
قال عمر لصهيب : أي رجل أنت , لولا خصال ثلاث فيك ! قال : و ما هن ? قال :  اكتنيت و ليس لك ولد , و انتميت إلى العرب و أنت من الروم , و فيك سرف في الطعام . قال : أما قولك : اكتنيت و لم يولد لك , فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم كناني أبا يحيى , و أما قولك : انتميت إلى العرب و لست منهم , و أنت رجل من الروم . فإني رجل من النمر بن قاسط فسبتني الروم من الموصل بعد إذ أنا غلام عرفت نسبي , و أما قولك : فيك سرف في الطعام , فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : خياركم من أطعم الطعام
‘Umar pernah berkata kepada Shuhaib : “Engkau adalah laki-laki yang sempurna, jika saja tidak ada tiga hal pada dirimu”. Shuhaib berkata : “Apakah itu ?”. ‘Umar menjawab : “(1) Engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak, (2) engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi, dan (3) padamu ada kelebihan makanan”. Shuhaib berkata : “Adapun ucapanmu - engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak - , sesungguhnya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberiku ‎kunyah Abu Yahyaa. Adapun ucapanmu – engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi - , maka sebenarnya aku laki-laki dari An-Namr bin Qaasith. Lalu orang Rowawi dari Al-Mushil menawanku, ketika itu aku adalah anak kecil yang telah tahu nasabku. Adapun ucapanmu – padamu ada kelebihan makanan - , maka aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang memberi makanan” [HR. Ibnu Majah no. 3738, Ahmad 6/16 no. 23971, Al-Haakim no. 5701, dan yang lainnya].

Ber-kunyah dengan Abul-Qaasim

Tentang pemakaian kunyah Abul-Qasim, terjadi khilaf di antara ulama’.

1.      Asy-Syafi’iyyah dan Adh-Dhahiriyyah berpendapat tidak bolehnya berkunyah Abul-Qaasim secara mutlak, baik nama orang yang bersangkutan Muhammad, Ahmad, atau yang lainnya. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

تسموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي

“Pakailah nama dengan namaku dan jangan kalian berkunyah dengan kunyahku” [HR. Al-Bukhari no. 2120,2121,3537; Muslim no. 2131; Abu Dawud no. 4965; At-Tirmidzi no. 2841; Ibnu Majah no. 3736; Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir9/388; dan yang lainnya].

2.      Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa larangan menggunakan kunyah Abul-Qaasim hanyalah khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kunyah Abul-Qaasim. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

من تسمى باسمي فلا يتكنى بكنيتي، ومن تكنى بكنيتي فلا يتسمى باسمي

“Barangsiapa memiliki nama seperti namaku, maka jangan berkunyah dengan kunyahku. Dan barangsiapa yang berkunyah dengan kunyahku, maka jangan ia memakai namaku” [HR. Abu Dawud no. 4966; Ahmad 2/455 no. 9863, 3/313 no. 14396; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309].

Hadits ini munkar. Hadits ini diriwayatkan oleh Jaabir dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma. Dari jalan Jaabir, maka status riwayatnya adalah munkar. Cacatnya ada pada Abuz-Zubair, ia seorang mudallis yang meriwayatkan secara ‘an’anah. Selain itu, ia telah menyalahi tiga perawi tsiqah lainnya. Adapun dari Abu Hurairah, maka ia lemah karena kelemahan Syariik. Ia seorang yang jelek hafalannya (sayyi’ul-hifdhiy).

Kesimpulannya, hadits ini adalah dla’ifsehingga tidak bisa dipakai untuk berdalil.Wallaahu ‘alam.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا تجمعوا بين اسمي وكنيتي فإني أنا أبو القاسم الله عز وجل يعطي وأنا أقسم

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah yang membagi” [HR. Ahmad 2/433 no. 9596; Ibnu Hibban no. 5814, 5817; dan yang lainnya – shahih].

Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama dankunyah adalah diperbolehkan.

3.      Malikiyyah dan jumhur ulama mengatakan kebolehannya secara mutlak. Adapun larangan dalam hadits telah mansukhdengan dalil sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

ما الذي أحل اسمي وحرم كنيتي أو ما الذي حرم كنيتي وأحل اسمي

“Apakah gerangan yang membolehkan memakai namaku, namun mengharamkan kunyahku ?” [HR. Abu Dawud no. 4968; Ahmad 6/135 no. 25084, 6/209 no. 25788; Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/310,

Namun hadits ini adalah dla’if munkar. Cacatnya terletak pada perawi Muhammad bin ‘Imraan Al-Hajabiy. Tidaklah ia diketahui melainkan dari hadits ini saja. Nakarah(pengingkaran) akan riwayat ini juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 3/673.  Di sini ia menyelisihi riwayat Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Hajabiy. Lihat takhrij Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalamMusnad Al-Imam Ahmad 41/490-491.

Mereka juga berpendapat bahwa kunyahAbul-Qaasim ini telah masyhur dan ada semenjak dahulu tanpa adanya pengingkaran.

4.      Ibnu Jarir yang berpendapat bahwa hadits tersebut tidak mansukh, namun pelarangan yang terkandung dalam hadits hanyalah berderajat makruh saja.  (bukan haram).

5.      Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya berlaku di jaman Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Adapun setelah beliau wafat, maka boleh berkunyah dengan Abul-Qaasim. Mereka berdalil dengan riwayat :

عن أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم في السوق فقال رجل يا أبا القاسم فالتفت إليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال إنما دعوت هذا فقال النبي صلى الله عليه وسلم سموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي

Dari Anas ia berkata : Pernah Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di pasar. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memanggil : ‘Hai, Abul-Qaasim !’. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya. Ia pun berkata kepada beliau : ‘Sesungguhnya aku hanya bermaksud memanggil orang ini’. Maka Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Pakailah namaku, namun jangan berkunyah dengan kunyahku” [HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121; Muslim no. 2131; Ibnu Majah no. 3737, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/308-309; dan yang lainnya].

Tarjih :

Yang terkuat di sini – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang mengatakan haramnya berkunyah Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad atau Ahmad. Hal ini didukung oleh hadits :

عن جابر بن عبد الله أن رجلا من الأنصار ولد له غلام فأراد أن يسميه محمدا فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله فقال أحسنت الأنصار سموا باسمي ولا تكتنوا بكنيتي

Jabir berkata : Lahir anak laki-laki dari seorang Anshar lalu ia beri nama Muhammad. Maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Alangkah bagusnya orang-orang Anshar.Mereka menamakan dengan namaku dan tidak berkunyah dengan kunyahku. Hanya saja aku adalah Qaasim (pembagi), aku membagi diantara kalian. Maka berilah nama dengan namaku dan janganlah berkunyah dengan kunyahku” [HR. Muslim no. 2133].

Diperkuat lagi oleh hadits ‘Ali radliyallaahu ‘anhu:

عن علي بن أبي طالب أنه قال : يا رسول الله أرأيت إن ولد لي بعدك أسميه محمدا وأكنيه بكنيتك قال نعم قال فكانت رخصة لي

Dari ‘Ali bin Abi Thaalib ia berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika lahir seorang anak laki-laki bagiku setelah engkau wafat yang aku namai ia dengan Muhammad dan aku beri ia kunyah dengan kunyah-mu ?. Beliau menjawab : “Ya, boleh”. ‘Ali berkata : “Hal itu merupakan rukhshah bagiku”. [HR. Abu Dawud no. 4967, At-Tirmidzi no. 2843, Al-Baihaqi dalamAl-Kabiir 3/309, Abu Ya’la no. 303, dan yang lainnya; shahih].

Perkataan ‘Ali : “Hal itu merupakan rukhshah bagiku” mengandung faedah bahwa asal keharaman bagi apa yang ‘Ali minta ijin dengannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; yaitu memberi nama Muhammad dan memberikan kunyah Abul-Qaasim (kunyahbeliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam) kepada anaknya. Hal ini selaras dengan hadits :“Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku”.

Ini merupakan pendapat pertengahan di antara pendapat-pendapat yang disebutkan di atas.

Adapun perkataan ‘Ali : { بعدك} “setelah engkau wafat” ; mengandung faedah bahwa larangan ber-kunyah dengan Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad/Ahmad hingga saat ini (tidak terbatas pada waktu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja).
Hukum Memberi Nama Sayyid

عن مطرِّف قال: قال أبي: انطلقت في وفد بني عامر إلى رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فقلنا: أنت سيدنا، فقال: "السَّييِّد اللّه [تبارك وتعالى]" قلنا: وأفضلنا فضلاً وأعظمنا طَوْلاً، فقال: "قولوا بقولكم أو بعض قولكم ، ولا يستجرينكم الشيطان".

Dari Mutharrif, ia berkata : Telah berkata bapakku : Aku dan Bani ‘Aamir pergi menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata kepada beliau : “Engkau adalah Sayyidkami”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “As-Sayyid itu hanyalah Allah tabaaraka wa ta’aalaa”. Kami berkata : “Kami hanyalah ingin mengutamakan dan mengagungkan orang yang memang punya keutamaan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Katakanlah dengan ucapanmu atau sebagian ucapanmu itu. Namun janganlah sampai kalian jadikan syaithan sebagai penolongnya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 211; Abu Dawud no. 4806; Ahmad no. 4/24 16350, 4/25 no. 16359; An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 10076; Ibnu ‘Asaakir 4/71; dan Adl-Dliyaa’ no. 444 – shahih].

Sebagian ulama menggunakan hadits di atas sebagai dalil tidak diperbolehkannya penggunaan kata Sayyid secara mutlak. Namun pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena ada beberapa riwayat yang menunjukkan diperbolehkannya menyebut Sayyid kepada seseorang. Diantaranya :

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: لما نزلت بنو قريظة على حكم سعد، هو ابن معاذ، بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان قريبا منه، فجاء على حمار، فلما دنا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (قوموا إلى سيدكم)

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Ketika Banu Quraidhah menyerahkan penetapan hukum kepada Sa’d bin Mu’adz, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya agar menghadap kepada beliau, dimana posisinya tidak jauh dari beliau. Sa’d pun datang dengan mengendarai keledai. Lalu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Berdirilah menuju Sayyid kalian…” [HR. Al-Bukhari no. 3043; Muslim no. 1768; Abu Dawud no. 5215; dan Ahmad 3/22 no. 11184 3/71 no. 11698].

عن أبي بكرة قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر، والحسن بن علي إلى جنبه، وهو يقبل على الناس مرة وعليه أخرى، ويقول: (إن ابني هذا سيد، ولعل الله أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين).

Dari Abu Bakrah ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya. Beliau menghadap kepada orang-orang sekali, dan di kali lain beliau menghadap kepada Al-Hasan. Hingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin” [HR. Al-Bukhari no. 2704 dan Ahmad 5/44 no. 20466, 5/51 20535]

Cara mengkompromikan hadits-hadits di atas adalah membawa dalil pelarangan memberikan/menggunakan nama Sayyid apabila menggunakan alif dan laam (yaitu As-Sayyid), namun diperbolehkan jika tidak menggunakanalif-laam (yaitu Sayyid) jika disandarkan kepada kaum tertentu atau negara tertentu. Seperti :Sayyidul-Qaum, Sayyid Ahli Balad, dan yang lainnya. Panggilan As-Sayyid (dengan alif laam) hanya khusus diperuntukkan kepada Allah.Wallaahu a’lam.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata ketika menjelaskan QS. Aali ‘Imraan ayat 39 :

ففيه دلالة على جواز تسمية الإنسان سيدا كما يجوز أن يسمى عزيزا أو كريما…

“Ayat di atas menunjukkan diperbolehkannya menamakan seseorang dengan Sayyid sebagaimana diperbolehkan untuk memberikan nama ‘Aziiz, Kariim,….” [Tafsir Al-Qurthubiy, 4/77, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423 H].

Kebolehan ini ditambahkan syarat, jika memang orang tersebut layak dan pantas menerima nama/julukan tersebut. Dilarang memberikan gelar atau memanggil orang fasiq, penggemar maksiat, atau ahli bid’ah.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( لا تقولوا للمنافق سيد ن فإنه إن يك سيدكم فقد أسخطتم ربكم عز وجل )

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Janganlah kalian memanggil orang munafiq dengan panggilan Sayyid (tuan). Karena sekalipun ia seorang tuan kalian (dalam hal-hal urusan dunia), tapi kalian telah membuat marah Rabb kalian ‘azza wa jalla” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 760, Abu Dawud no. 4977, dan Ahmad 5/346-347; shahih].

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar