Berqurban merupakan hal yang sangat dianjurkan pada hari raya idul adha. Karena berqurban merupakan sebuah ibadah yang mengandung faedah yang sangat besar. Diantaranya adalah bisa menjadi penghalang dari api neraka.
Berbicara tentang Berqurban tentunya tidak terlepas dari tiga hal; orang yang berqurban, hewan yang diqurbankan dan penerima qurban. Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang status penerima qurban, siapa sajakah orang yang berhak menerimanya.
Jika seorang Muslim berkurban dan membagikan dagingnya kepada orang miskin dan para tetangga yang sama-sama Muslim, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tidak menjadi persoalan.
Yang menjadi “gegeran” para ulama adalah ketika daging kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim.
Pendapat pertama “ngotot” untuk tidak memperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim secara mutlak.
Baik, dalam kitab Hasyiah i’anatut thalibin, juz. 2, hal. 379 (darul fikri), imam Abu bakar utsman bin muhammad syata al-dimyathi menjelaskan bahwa penerima qurban haruslah orang islam;
ويشترط فيهم أن يكونوا من المسلمين. أما غيرهم فلا يجوز إعطاؤهم منها شيئا
Artinya: “Dan disyaratkan pada mereka (penerima qurban) bahwa adalah mereka dari orang-orang Islam. Adapun selain mereka maka tidak boleh memberikan kepada mereka dari kurban sedikitpun”
Begitupula dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, juz. 8, hal. 141 (darul fikri), Imam Ahmad bin Hamzah Syihabuddin Ramli menjelaskan hal serupa, bahkan beliau menambahkan sedikit penjelasan bahwa sunnah hukumnya memakan sedikit (kadar tiga suap) daging qurban miliknya sendiri. Sebaliknya jika qurbannya untuk orang lain atau orang yang berqurban itu murtad maka ia tidak boleh memakan hewan qurbannya sendiri:
وَخَرَجَ بِمَا مَرَّ مَا لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا ،
Artinya: dan keluar daripada penjelasan yang telah lalu (boleh memakan sedikit daging qurban untuk pemilik qurban) yaitu jikalau seseorang menyembelih qurban untuk orang lain atau orang yang menyembelih qurban tersebut murtad, maka tidak boleh baginya memakan daging qurban itu sebagaimana tidak boleh memberi makan orang kafir dengan daging qurban tersebut secara mutlak.
وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ ، إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ
Artinya: “dan difahamkan dari hal tersebut yaitu tidak boleh bagi orang yang fakir dan orang yang mendapat hadiah qurban memberikan qurbannya kepada orang kafir. Karena tujuan dari qurban adalah membantu kaum muslimin dengan memberi makan. Karena qurban itu adalah jamuan Allah bagi mereka, maka tidak boleh bagi mereka memberikannya kepada orang lain”
Syarbini mengatakan dalam Al-Iqna’ 2/593.
وَخرج بِقَيْد الْمُسلمين غَيرهم فَلَا يجوز إطعامهم مِنْهَا كَمَا نَص عَلَيْهِ فِي الْبُوَيْطِيّ
“Kata “kaum muslimin” merupakan syarat yang berarti selain muslim tidak boleh diberikan daging hewan kurban, sebagaimana yang dinashkan (oleh Asy-Syafi’I) dalam Al-Buwaithi.”
Sedang pendapat kedua menyatakan boleh, bahkan menurut keterangan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, dan pendapat ini dianggap selaras dengan ketentuan dalam Madzhab Syafi’i itu sendiri.
An-Nawawi membatasi bahwa yang dilarang adalah dalam kurban wajib (seperti nadzar dan lain-lain) sedangkan kurban yang disunnahkan diperbolehkan. Dia mengatakan dalam kitab Al-Majmu’
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ إطْعَامِ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْأُضْحِيَّةِ وَاخْتَلَفُوا فِي إطْعَامِ فُقَرَاءِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَرَخَّصَ فِيهِ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو ثَوْرٍ
وَقَالَ مَالِكٌ غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا وَكَرِهَ مَالِكٌ أَيْضًا إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ أَوْ شَيْئًا مِنْ لَحْمِهَا وَكَرِهَهُ اللَّيْثُ قَالَ فَإِنْ طُبِخَ لَحْمُهَا فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ الذِّمِّيِّ مَعَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهُ هَذَا كَلَامُ ابْنِ الْمُنْذِرِ وَلَمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا كَلَامًا فِيهِ وَمُقْتَضَى الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَجُوزُ إطْعَامُهُمْ مِنْ ضحية التطوع دون الواجبة والله أَعْلَمُ
“Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ummat telah sepakat bolehnya memberikan daging kurban kepada orang fakir miskin kaum muslimin. Tapi mereka berbeda pendapat tentang fakir miskin ahli dzimmah. Hasan Al-Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur membolehkannya. Sedangkan Malik mengatakan, “Yang selain mereka lebih kami sukai.” Malik juga tidak suka memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nashrani atau sedekitpun dagingnya. Begitupun al-Laits (juga memakruhkan), tapi dia mengatakan kalau dagingnya sudah dimasak maka tak ada masalah mengajak orang kafir makan bersama kaum muslimin.”
Ini adalah pernyataan Ibnu Al-Mundzir. Tapi saya (An-Nawawi) belum melihat pernyataan dari para ash-hab (pemuka madzhab) kami dalam hal ini, tapi yang diperoleh dari rumusan madzhab adalah boleh memberikan kepada mereka (orang kafir) daging hewan kurban sunnah, tapi tidak boleh untuk kurban wajib. Wallahu a’lam.”
Selesai dari Al-Majmu’ jilid 8 hal. 425
Bahkan mengenai hubungan bertetangga ini dalam hadits Nabi SAW. disebutkan:
عَنْ مُجَاهِدٍ ، أَنَّ عَبْدَ الله بنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِي أَهْلِهِ ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ : أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Mujahid meriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Amru disembelihkan kambing untuk keluarganya, dan ketika ia kembali ia bertanya kepada keluarganya sampai dua kali, “Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang Yahudi? Saya mendengar dari Rasulullah SAW. bersabda: “Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris.” (HR. Tirmizi)
Hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ibnu Umar.
Maka tidak apa-apa memberikan sebagian dari daging kurban kita kepada tetangga kita yang non muslim sebagai hadiah, atau sebagai sedekah jika ia kurang mampu.
Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Artinya, “Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141).
Logika yang dibangun untuk mendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka.
Sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim.
Adapun argumentasi yang dibangun untuk meneguhkan pandangan yang memperbolehkan untuk memberikan daging kurban kepada orang non-Muslim adalah bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim.
Namun kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Tetapi harus dibaca dalam konteks non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak memusuhi orang Islam). Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunah.
Dengan kata lain, diperbolehkan memberikan sedekah—termasuk di dalamnya memberikan daging kurban—selain kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi atau memusuhi umat Islam).
فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
Artinya, “Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).
Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.
Hukumnya boleh, asalkan orang kafir tersebut bukan kafir harbi (kafir yang perang dengan kaum muslimin). Ada beberapa alasan yang menguatkan pernyataan ini :
Pertama, Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah : 8).
Diantara bentuk berbuat baik kepada mereka adalah, dengan membagikan kepada mereka daging qurban. Inialasan yang pertama.
Kedua, kisah Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu’anha, ketika berkonsultasi kepada Rasulullah perihal kedatangan Ibundanya yang masih musyrik, meminta pesangon kepada Asma’ sebagai bakti putrinya kepadanya. Nabi mengatakan
نَعم، صلِي أمَّك
“Iya.. Sambunglah silaturahimmu dengan Ibumu.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Saat itu, masa perdamaian dengan kaum musyrikin. Ini artinya, hukumnya boleh membagikan harta kepada non muslim, yang tidak memerangi kaum muslimin.
Ketiga, tindakan seperti ini, bisa menjadi sebab lunaknya hati mereka, sehingga mau memerima menerima Islam.
Keempat, sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu pernah menyembelih kambing sebagai qurban untuk keluarganya. Kemudian beliau bertanya kepada mereka,
“Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu? Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu?”
Beliau melanjutkan,
“Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka dia akan mewarisinya.” (HR. TIrmizi, no.1943. Dinilai shohih oleh Al-Albani. Diriwayatkan dari Mujahid).
Riwayat ini juga menjadi dalil, anjuran memprioritaskan pemberian kepada non muslim yang masih ada hubungan kerabat atau tetangga dengan kita. Karena mereka memiliki hak kekerabatan dan hak tetangga.
Dalam kitab Almawahibul Jalil, Syaikh Hathab Arru’aini Almaliki mengatakan bahwa Imam Malik membolehkan daging hewan kurban diberikan kepada non-Muslim, sebagaimana juga dengan daging hewan akikah.
ونقل عن الامام مالك جواز ذلك في الاضحية وتقاس العقيقة عليها
“Dikutip dari Imam Malik tentang kebolehan memberikan daging hewan kurban kepada non-Muslim. Begitu juga dengan daging hewan akikah, karena disamakan kepada daging hewan kurban.
Imam Nawawi dalam kitab Almajmu mengatakan bahwa dibolehkan memberikan daging hewan kurban kepada non-Muslim dengan syarat bukan hewan kurban yang wajib dilakukan karena nazar. Jika hewan kurban wajib, maka tidak boleh memberikan kepada non-Muslim.
Bahkan Ibnu Qudamah dalam kitab Almughni dengan tegas membolehkan daging hewan kurban diberikan kepada non-Muslim. Hal ini dikarenakan daging hewan kurban seperti sedekah biasa yang boleh diberikan kepada non-Muslim.
Dengan demikian, daging hewan kurban tidak harus diberikan kepada sesama saudara Muslim. Non-Muslim juga boleh menerima pemberian dan makan daging hewan kurban, terutama jika mereka bertetangga, fakir miskin, atau masih kerabat.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.
Salah satu bentuk berbuat baik adalah memberikan makanan yang bersumber dari sedekah sunnah seperti kurban dan akikah kepada mereka, sehingga mereka merasakan keramahan Islam.
Maka pendapat yang lebih kuat adalah boleh membagikan daging hewan kurban kepada non muslim, apalagi kalau mereka termasuk orang miskin.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Berbicara tentang Berqurban tentunya tidak terlepas dari tiga hal; orang yang berqurban, hewan yang diqurbankan dan penerima qurban. Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang status penerima qurban, siapa sajakah orang yang berhak menerimanya.
Jika seorang Muslim berkurban dan membagikan dagingnya kepada orang miskin dan para tetangga yang sama-sama Muslim, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tidak menjadi persoalan.
Yang menjadi “gegeran” para ulama adalah ketika daging kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim.
Pendapat pertama “ngotot” untuk tidak memperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim secara mutlak.
Baik, dalam kitab Hasyiah i’anatut thalibin, juz. 2, hal. 379 (darul fikri), imam Abu bakar utsman bin muhammad syata al-dimyathi menjelaskan bahwa penerima qurban haruslah orang islam;
ويشترط فيهم أن يكونوا من المسلمين. أما غيرهم فلا يجوز إعطاؤهم منها شيئا
Artinya: “Dan disyaratkan pada mereka (penerima qurban) bahwa adalah mereka dari orang-orang Islam. Adapun selain mereka maka tidak boleh memberikan kepada mereka dari kurban sedikitpun”
Begitupula dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, juz. 8, hal. 141 (darul fikri), Imam Ahmad bin Hamzah Syihabuddin Ramli menjelaskan hal serupa, bahkan beliau menambahkan sedikit penjelasan bahwa sunnah hukumnya memakan sedikit (kadar tiga suap) daging qurban miliknya sendiri. Sebaliknya jika qurbannya untuk orang lain atau orang yang berqurban itu murtad maka ia tidak boleh memakan hewan qurbannya sendiri:
وَخَرَجَ بِمَا مَرَّ مَا لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا ،
Artinya: dan keluar daripada penjelasan yang telah lalu (boleh memakan sedikit daging qurban untuk pemilik qurban) yaitu jikalau seseorang menyembelih qurban untuk orang lain atau orang yang menyembelih qurban tersebut murtad, maka tidak boleh baginya memakan daging qurban itu sebagaimana tidak boleh memberi makan orang kafir dengan daging qurban tersebut secara mutlak.
وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ ، إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ
Artinya: “dan difahamkan dari hal tersebut yaitu tidak boleh bagi orang yang fakir dan orang yang mendapat hadiah qurban memberikan qurbannya kepada orang kafir. Karena tujuan dari qurban adalah membantu kaum muslimin dengan memberi makan. Karena qurban itu adalah jamuan Allah bagi mereka, maka tidak boleh bagi mereka memberikannya kepada orang lain”
Syarbini mengatakan dalam Al-Iqna’ 2/593.
وَخرج بِقَيْد الْمُسلمين غَيرهم فَلَا يجوز إطعامهم مِنْهَا كَمَا نَص عَلَيْهِ فِي الْبُوَيْطِيّ
“Kata “kaum muslimin” merupakan syarat yang berarti selain muslim tidak boleh diberikan daging hewan kurban, sebagaimana yang dinashkan (oleh Asy-Syafi’I) dalam Al-Buwaithi.”
Sedang pendapat kedua menyatakan boleh, bahkan menurut keterangan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, dan pendapat ini dianggap selaras dengan ketentuan dalam Madzhab Syafi’i itu sendiri.
An-Nawawi membatasi bahwa yang dilarang adalah dalam kurban wajib (seperti nadzar dan lain-lain) sedangkan kurban yang disunnahkan diperbolehkan. Dia mengatakan dalam kitab Al-Majmu’
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ إطْعَامِ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْأُضْحِيَّةِ وَاخْتَلَفُوا فِي إطْعَامِ فُقَرَاءِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَرَخَّصَ فِيهِ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو ثَوْرٍ
وَقَالَ مَالِكٌ غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا وَكَرِهَ مَالِكٌ أَيْضًا إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ أَوْ شَيْئًا مِنْ لَحْمِهَا وَكَرِهَهُ اللَّيْثُ قَالَ فَإِنْ طُبِخَ لَحْمُهَا فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ الذِّمِّيِّ مَعَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهُ هَذَا كَلَامُ ابْنِ الْمُنْذِرِ وَلَمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا كَلَامًا فِيهِ وَمُقْتَضَى الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَجُوزُ إطْعَامُهُمْ مِنْ ضحية التطوع دون الواجبة والله أَعْلَمُ
“Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ummat telah sepakat bolehnya memberikan daging kurban kepada orang fakir miskin kaum muslimin. Tapi mereka berbeda pendapat tentang fakir miskin ahli dzimmah. Hasan Al-Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur membolehkannya. Sedangkan Malik mengatakan, “Yang selain mereka lebih kami sukai.” Malik juga tidak suka memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nashrani atau sedekitpun dagingnya. Begitupun al-Laits (juga memakruhkan), tapi dia mengatakan kalau dagingnya sudah dimasak maka tak ada masalah mengajak orang kafir makan bersama kaum muslimin.”
Ini adalah pernyataan Ibnu Al-Mundzir. Tapi saya (An-Nawawi) belum melihat pernyataan dari para ash-hab (pemuka madzhab) kami dalam hal ini, tapi yang diperoleh dari rumusan madzhab adalah boleh memberikan kepada mereka (orang kafir) daging hewan kurban sunnah, tapi tidak boleh untuk kurban wajib. Wallahu a’lam.”
Selesai dari Al-Majmu’ jilid 8 hal. 425
Bahkan mengenai hubungan bertetangga ini dalam hadits Nabi SAW. disebutkan:
عَنْ مُجَاهِدٍ ، أَنَّ عَبْدَ الله بنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِي أَهْلِهِ ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ : أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Mujahid meriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Amru disembelihkan kambing untuk keluarganya, dan ketika ia kembali ia bertanya kepada keluarganya sampai dua kali, “Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang Yahudi? Saya mendengar dari Rasulullah SAW. bersabda: “Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris.” (HR. Tirmizi)
Hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah dan Ibnu Umar.
Maka tidak apa-apa memberikan sebagian dari daging kurban kita kepada tetangga kita yang non muslim sebagai hadiah, atau sebagai sedekah jika ia kurang mampu.
Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj.
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Artinya, “Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141).
Logika yang dibangun untuk mendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka.
Sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim.
Adapun argumentasi yang dibangun untuk meneguhkan pandangan yang memperbolehkan untuk memberikan daging kurban kepada orang non-Muslim adalah bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim.
Namun kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Tetapi harus dibaca dalam konteks non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak memusuhi orang Islam). Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunah.
Dengan kata lain, diperbolehkan memberikan sedekah—termasuk di dalamnya memberikan daging kurban—selain kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi atau memusuhi umat Islam).
فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
Artinya, “Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).
Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.
Hukumnya boleh, asalkan orang kafir tersebut bukan kafir harbi (kafir yang perang dengan kaum muslimin). Ada beberapa alasan yang menguatkan pernyataan ini :
Pertama, Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah : 8).
Diantara bentuk berbuat baik kepada mereka adalah, dengan membagikan kepada mereka daging qurban. Inialasan yang pertama.
Kedua, kisah Asma’ binti Abu Bakar radhiallahu’anha, ketika berkonsultasi kepada Rasulullah perihal kedatangan Ibundanya yang masih musyrik, meminta pesangon kepada Asma’ sebagai bakti putrinya kepadanya. Nabi mengatakan
نَعم، صلِي أمَّك
“Iya.. Sambunglah silaturahimmu dengan Ibumu.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Saat itu, masa perdamaian dengan kaum musyrikin. Ini artinya, hukumnya boleh membagikan harta kepada non muslim, yang tidak memerangi kaum muslimin.
Ketiga, tindakan seperti ini, bisa menjadi sebab lunaknya hati mereka, sehingga mau memerima menerima Islam.
Keempat, sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu pernah menyembelih kambing sebagai qurban untuk keluarganya. Kemudian beliau bertanya kepada mereka,
“Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu? Apa sudah kalian beri tetangga kita yang Yahudi itu?”
Beliau melanjutkan,
“Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka dia akan mewarisinya.” (HR. TIrmizi, no.1943. Dinilai shohih oleh Al-Albani. Diriwayatkan dari Mujahid).
Riwayat ini juga menjadi dalil, anjuran memprioritaskan pemberian kepada non muslim yang masih ada hubungan kerabat atau tetangga dengan kita. Karena mereka memiliki hak kekerabatan dan hak tetangga.
Dalam kitab Almawahibul Jalil, Syaikh Hathab Arru’aini Almaliki mengatakan bahwa Imam Malik membolehkan daging hewan kurban diberikan kepada non-Muslim, sebagaimana juga dengan daging hewan akikah.
ونقل عن الامام مالك جواز ذلك في الاضحية وتقاس العقيقة عليها
“Dikutip dari Imam Malik tentang kebolehan memberikan daging hewan kurban kepada non-Muslim. Begitu juga dengan daging hewan akikah, karena disamakan kepada daging hewan kurban.
Imam Nawawi dalam kitab Almajmu mengatakan bahwa dibolehkan memberikan daging hewan kurban kepada non-Muslim dengan syarat bukan hewan kurban yang wajib dilakukan karena nazar. Jika hewan kurban wajib, maka tidak boleh memberikan kepada non-Muslim.
Bahkan Ibnu Qudamah dalam kitab Almughni dengan tegas membolehkan daging hewan kurban diberikan kepada non-Muslim. Hal ini dikarenakan daging hewan kurban seperti sedekah biasa yang boleh diberikan kepada non-Muslim.
Dengan demikian, daging hewan kurban tidak harus diberikan kepada sesama saudara Muslim. Non-Muslim juga boleh menerima pemberian dan makan daging hewan kurban, terutama jika mereka bertetangga, fakir miskin, atau masih kerabat.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.
Salah satu bentuk berbuat baik adalah memberikan makanan yang bersumber dari sedekah sunnah seperti kurban dan akikah kepada mereka, sehingga mereka merasakan keramahan Islam.
Maka pendapat yang lebih kuat adalah boleh membagikan daging hewan kurban kepada non muslim, apalagi kalau mereka termasuk orang miskin.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar