Translate

Kamis, 10 November 2016

Hukum Mencium Tangan Ulama Dan Orang Yang Dihormati

Di Indonesia, mencium tangan merupakan kebiasaan (‘urf) yang ma’ruf beredar di tengah masyarakat, terutama ditujukan kepada orang tua atau sebagian guru yang mempunyai keutamaan. Ada sebagian ikhwan yang mengingkari perbuatan ini dan menganggapnya sebagai tindakan ghulluw (berlebih-lebihan) dan bid’ah, tidak ada contohnya dari kalangan salaf.
Jika kita dudukkan permasalahan secara lebih arif, segala macam ‘urf itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at. ‎

Inilah Tradisi Ketimuran sebagai simbol penghormatan kepada yg lebih tua, baik dalam kedudukan maupun dalam Nasabnya. Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.

Ada nash yang menunjukkan kebolehan mencium tangan orang lain sebagai satu tanda penghormatan. Di antaranya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: " بَايَعْتُ بِيَدِي هَذِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَاهَا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ "
Telah menceritakan Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy di baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr At-Tammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid Al-Makhzuumiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Raziin, dari Salamah bin Al-Akwaa’, ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku ini, lalu kami menciumnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Al-Muqri’ dalam Ar-Rukhshah fii Taqbiilil-Yadd no. 12; hasan].
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ رَزِينٍ، قَالَ: " مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ، فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Raziin, ia berkata : “Kami pernah melewati daerah Rabadzah. Lalu dikatakan kepada kami : “Itu dia Salamah bin Al-Akwa’”. Maka kami mendatanginya dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia mengeluarkan kedua tangannya dan berkata : “Aku berbaiat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini”. Ia mengeluarkan kedua telapak tangannya yang besar yang seperti tapak onta. Kami pun berdiri, lalu menciumnya (tangan Salamah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 973].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا الْحَسَنُ بْنُ عِيسَى، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ دَاوُدَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " رَكِبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَأَخَذَ ابْنَ عَبَّاسٍ بِرِكَابِهِ، فَقَالَ لَهُ: لا تَفْعَلْ يَا ابْنَ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ، فَأَخْرَجَ يَدَهُ، فَقَبَّلَهَا زَيْدٌ، وَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin ‘Iisaa, dari Ibnul-Mubaarak, dari Daawud, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Zaid bin Tsaabit pernah mengendarai hewan tunggangannya, lalu Ibnu ‘Abbaas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Zaid berkata : “Jangan engkau lakukan wahai anak paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ulama kami”. Zaid berkata : “Kemarikanlah tanganmu”. Lalu Ibnu ‘Abbaas mengeluarkan tangannya, kemudian Zaid menciumnya dan berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ahli bait Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilm 4/146-147 no. 1314; dihasankan oleh Masyhuur Hasan Salmaan dalam takhrij-nya atas kitab tersebut].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas dan Zaid : “beginilah kami diperintahkan…..”, menunjukkan hukum ‎marfu’ atas riwayat ini.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زِيَادِ بْنِ فَيَّاضٍ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَبَّلَ يَدَ عُمَرَ ، قَالَ تَمِيمٌ: وَالْقُبْلَةُ سُنَّةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ziyaad bin Fayyaadl, dari Tamiim bin Salamah : Bahwasannya Abu ‘Ubaidah (bin Al-Jarraah) pernah mencium tangan ‘Umar”. Tamiim berkata : “Ciuman (tangan) adalah sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 26611 dan dalam Al-Adab no. 4; dla’iif, namun perkataan Tamiim bahwa ciuman tangan adalah sunnah, shahih].‎
Tamiim adalah seorang tsiqah dari kalangan ulama tabi’iin pertengahan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّائِغُ، ثنا سَعِيدٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، " أَنَّهُ قَبَّلَ يَدَ خَيْثَمَةَ ".قَالَ مَالِكٌ: وَقَبَّلَ طَلْحَةُ يَدِي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah : Bahwasannya ia mencium tangan Khaitsamah. Maalik berkata : “Dan Thalhah mencium tanganku” [Diriwayatkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Qubal no. 6; shahih].
Maalik bin Mighwal adalah seorang tsiqah dari kalangan kibaaru atbaa’it-taabi’iin. Thalhah bin Musharrif adalah seorang yag tsiqah, qari’, lagi mempunyai keutamaan dari kalangan ulama ‎shighaarut-taabi’iin.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: " لا بَأْسَ بِهَا لِلْإِمَامِ الْعَادِلِ، وَأَكْرَهُهَا عَلَى دُنْيَا "
Dari ‘Aliy bin Tsaabit, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : “Tidak mengapa dengannya (yaitu mencium tangan) terhadap imam yang adil, namun aku membencinya jika dilandasi alasan dunia” [Al-Wara’, no. 479; shahih].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
سألت أبا عبد الله عن قبلة اليد فلم ير به بأسا على طريق التدين ،وكرهها على طريق الدنيا
“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang mencium tangan, maka ia memandang hal itu tidak mengapa jika dilakukan karena alasan agama, dan ia memakruhkan jika dilakukan karena alasan keduniaan” [Al-Wara’, no. 476].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
تَقْبِيل يَد الرَّجُل لِزُهْدِهِ وَصَلَاحه أَوْ عِلْمه أَوْ شَرَفه أَوْ صِيَانَته أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ الْأُمُور الدِّينِيَّة لَا يُكْرَه بَلْ يُسْتَحَبّ ، فَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ أَوْ شَوْكَته أَوْ جَاهه عِنْد أَهْل الدُّنْيَا فَمَكْرُوه شَدِيد الْكَرَاهَة وَقَالَ أَبُو سَعِيد الْمُتَوَلِّي : لَا يَجُوز
“Mencium tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan, keshalihan, ilmu yang dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya dari perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila hal itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya di mata orang-orang, maka hal itu sangat dibenci. Dan berkata Abu Sa’iid Al-Mutawalliy : ‘Tidak diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 11/57].

Asy-Syaikh Ibnul-Jibriin rahimahullah berkata :

نرى جواز ذلك إذا كان على وجه الاحترام والتوقير للوالدين والعلماء وذوي الفضل وكبار الأسنان من الأقارب ونحوهم، وقد ألف في ذلك ابن الأعرابي رسالة في أحكام تقبيل اليد ونحوها، فليرجع إليها، ومتى كان هذا التقبيل للأقارب المُسنين وذوي الفضل فإنه يكون احترامًا ولا يكون تذللا ولا يكون تعظيمًا، وقد رأينا بعض مشائخنا يُنكرون ذلك ويمنعونه، وذلك منهم من باب التواضع لا لتحريمه فيما يظهر. والله أعلم

“Kami berpendapat bolehnya hal itu, apabila tujuannya untuk menghormati dan menghargai kedua orang tua, ulama, orang terhormat dan yang berusia lanjut dari karib kerabat dan yang lain. Ibnul-‘Arabiy telah menulis tentang hal itu tentang hukum mencium tangan dan semisalnya. Maka dipersilakan merujuk kepadanya. Apabila mencium tangan ini ditujukan kepada karib kerabat yang berusia lanjut dan orang yang mempunyai keutamaan (ulama) maka hal itu untuk menghormati, bukan merupakan perendahan diri dan pengagungan kepadanya. Kami telah melihat sebagian guru kami mengingkari hal itu dan melarangnya. Hal itu karena sifat tawadlu' dari mereka, bukan karena mengharamkannya. ‎Wallahu a'lam 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya (juz II halaman 523, hadits nomor 524, cetakan ke I tahun 1410 H - 1990 M, Daar al Fikr Beirut Lebanon)dan Imam Thabrani dalam al Mu'jam al Ausathnya (juz I halaman 424, hadits nomor 425, maktabah syamilah), Sanad dan matannya sbb (al Mu'jam al Ausath) :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خُلَيْدٍ ، قَالَ : نا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى الطَّبَّاعُ ، قَالَ : نا مَطَرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَعْنَقُ ، عَنْ أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِبْنِ الزَّارِعِ ، عَنْ جَدِّهَا الزَّارِعِ ، وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ : لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ، جَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا ، فَنُقَبِّلُ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَيْهِ 

Telah menceritakan kami, Ahmad bin Khulaid, berkata, telah menceritakan kami, Muhammad bin Isa ath thabba', berkata, telah menceritakan kami Abdurrahman al A'naq, dari Ummu Aban bin al Wazi' bin al Zari', dari kakeknya, al Zari' dan beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam 

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan para habaib, para kiyai, para ustadz dan para guru serta orang-orang yang kita hormati. 

Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudhah juz X halaman 36, cetakan al Maktab al islami tahun 1412 H -1991 M) berkata:

وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ ، فَمُسْتَحَبٌّ ، وَإِنْ كَانَ لِدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ، فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ

Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya MUSTAHAB (disunnahkan) Dan apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dsb, maka hukumnya sangat MAKRUH. 

1. Yang dimaksud mencium tangan dalam ibarah di atas (ta’bir pertama) mencium tangan dengan bibir dan ini sunnah karena yang dimakruhkan adalah mencium kepala serta wajah saat bertemu meskipun orang yang mencium/yang dicium adalah orang shalih.

2. Kesunnahan mushofahah itu hanya berlaku bagi dua orang yang sama jenisnya, dan tidak berlaku bagi kedua orang yang berlainan jenis meskipun ia seorang yang shalih. Syaikh Ismail az-Azzain ditanya tentang seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan perempuan, bagaimanakah hukumnya?, dan jika haram, apakah dalam persoalan ini ada pengecualian?. Beliau menjawab:

 ان ذلك اذا كان بغير حائل حرام مطلقا من غير استثناء , فان كان بحائل جاز ما لم يثر شهوة اه__: 207

"Jika jabat tangan tersebut tidak menggunakan penghalang (hail) hukumnya haram secara mutlak, jika menggunakan penghalang maka boleh selama tidak membangkitkan syahwat”. [Qurratul ‘Ain, hal, 207].

Walhasil, mencium tangan seseorang sebagai satu tanda penghormatan kita terhadapnya (misal : orang tua, suami, guru, ulama, dan yang semisalnya) adalah diperbolehkan dengan rambu-rambu syar’iy yang telah dijelaskan para ulama di atas.

Membongkokkan atau menundukkan badan sebagai penghormatan

Hadis daripada Anas B. Malik radhiyallahu ‘anhu, Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِي بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ لَا قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لَا وَلَكِنْ تَصَافَحُوا

“Wahai Rasulullah, adakah sebahagian kami boleh membongkokkan (atau menundukkan) badan kepada sebahagian yang lain (yang ditemui)?” Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.” Kami bertanya lagi, “Adakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?” Beliau bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaklah kalian saling bersalaman.” (Sunan Ibnu Majah, no. 3692).

Anas B. Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ

“Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, adakah kami boleh saling menundukkan (atau membongkokkan) badan apabila salah seorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau sahabatnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Lelaki tersebut bertanya lagi, “Adakah boleh mendakapnya (memeluknya) dan menciumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Lelaki itu bertanya lagi, “Adakah boleh mengambil tangannya dan bersalaman dengannya?” Rasulullah menjawab, “Ya.”.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 2728).

Imam al-Qurthubi rahimahullah (Wafat: 671H) berkara:

وَرَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِي بَعْضُنَا إِلَى بَعْضٍ إِذَا الْتَقَيْنَا؟ قَالَ:" لَا"، قُلْنَا: أَفَيَعْتَنِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا؟ قَالَ" لَا". قُلْنَا: أَفَيُصَافِحُ بَعْضُنَا بَعْضًا؟ قَالَ" نَعَمْ"

Diriwayatkan daripada Anas B. Malik, beliau berkata, “Kami bertanya:

“Wahai Rasulullah bolehkah kami saling membongkokkan (menundukkan) badan apabila kami bertemu?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Anas bertanya, “Untuk saling berpelukan di antara satu dengan lain?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Anas bertanya lagi, “Dengan saling bersalaman di antara satu dengan yang lain?” Rasulullah menjawab, “Ya.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/265)

Imam al-Qurthubi mengatakan:

وَإِذَا سَلَّمَ فَإِنَّهُ لَا يَنْحَنِي، وَلَا أَنْ يُقَبِّلَ مَعَ السَّلَامِ يَدَهُ، وَلِأَنَّ الِانْحِنَاءَ عَلَى مَعْنَى التَّوَاضُعِ لَا يَنْبَغِي إِلَّا لِلَّهِ. وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْأَعَاجِمِ، وَلَا يُتَّبَعُونَ عَلَى أَفْعَالِهِمُ الَّتِي أَحْدَثُوهَا تَعْظِيمًا مِنْهُمْ لِكُبَرَائِهِمْ

“Tidak boleh bersalaman (atau menghulur tangan) diiringi dengan membongkokkan badan dan mencium tangan. Membongkokkan badan dalam maksud atau tujuan kerendahan hati hanya boleh ditujukan kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala). Adapun mencium tangan, itu adalah perbuatan orang-orang ajam (selain ‘Arab) yang dilakukan dengan maksud memuliakan orang-orang tuanya.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/266)

Dibolehkan mencium tangan dari kalangan ulama (orang-orang soleh dan berilmu) dengan beberapa syarat. (Ulama yang dimaksudkan adalah ulama Ahlu Sunnah wal-Jama’ah). 

[Pertama] Antaranya tidak dijadikan sebagai kebiasaan, kerana para sahabat Nabi sendiri tidak biasa mencium tangan Nabi. Dan orang yang dicium tangannya tersebut tidak menghulurkan tangannya supaya dicium.

[Kedua] Tidak menjadikan orang yang dicium tangannya tersebut riya’, sombong, dan merasa lebih baik dari yang lain.

[Ketiga] Tidak menghilangkan sunnah bersalaman tangan sebagaimana biasa yang dianjurkan oleh Sunnah Rasulullah. (Rujuk Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, 1/159)

Adapun perbuatan saling berpelukan (berdakapan) dibenarkan apabila pulang dari musafir atau setelah lama tidak bertemu. Tetapi jika menjadikan ianya sebagai kebiasaan (selain dari ketika balik safar), maka tidak dibolehkan (makruh). Ini sebagaimana diriwayatkan dari amalan para sahabat Nabi.

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا، و إذا قدموا من سفر تعانقوا

“Bahawasanya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila bertemu mereka saling bersalaman, dan apabila pulang dari safar (bermusafir), mereka saling berpelukan.” (Majma’ az-Zawa’id, 8/75. Kata al-Haitsami, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan para perawinya adalah perawi kitab ash-Shahih)".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu kemudian saling bersalaman melainkan dosa keduanya akan diampunkan (oleh Allah) sebelum ia berpisah.” (Musnad Ahmad, no. 18547. Sunan Abu Daud, no. 5212. Sunan at-Tirmidzi, no. 2727. Sunan Ibnu Majah, no. 3693).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar