Translate

Rabu, 09 November 2016

Kisah Para Ulama Salaf Bertabaruk Pada Makam Wali

Banyak sekali fakta adanya para ulama mutaqaddimin yang melakukan tabarruk di makam seorang ulama, baik melakukan dengan cara membaca al-Quran di samping makamnya, atau berdoa. Ini semua tercantum dalam kitab-kitab tarikh para ulama mu’tabar.‎

Namun entah kenapa fakta ini luput dari pandangan wahabi atau mereka enggan mengakui fakta ini meskipun mereka kadang membacanya dalam kitab-kitab tarikh. Dari sekian banyak puluhan bahkan ratusan yang menyebutkan jumhur ulama melakukan tabarruk dan berdoa di makam seorang shalih, salah satunya adalah kisah yang disebutkan Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah:

وقال أبو علي الغساني: أخبرنا أبو الفتح نصر بن الحسن السكتي السمرقندي: قدم علينا بلنسية عام أربعة وستين وأربع مئة.
قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الاعوام، فاستسقى الناس مرارا، فلم يسقوا.
فأتى رجل صالح معروف بالصلاح إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني رأيت رأيا أعرضه عليك.
قال: وما هو ؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الامام محمد بن إسماعيل البخاري، وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا.
قال: فقال القاضي: نعم ما رأيت.
فخرج القاضي والناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تعالى السماء بماء عظيم غزير، أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند نحو ثلاثة أميال.

Dan telah berkata Abu ‘Aliy Al-Ghassaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Fath Nashr bin Al-Hasan As-Sakatiy As-Samarqandiy : “Kami datang dari negeri Valencia (Spanyol) pada tahun 464 H. Selama beberapa tahun hujan tidak turun pada kami di negeri Samarqand. Orang-orang melakukan istisqaa’(shalat meminta hujan) beberapa kali, namun hujan tidak juga turun. Maka, seorang laki-laki shalih yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi qaadly negeri Samarqand. Ia berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai satu pendapat yang hendak aku sampaikan kepadamu”. Qaadliy berkata : “Apa itu ?”. Ia berkata : “Aku berpandangan agar engkau keluar bersama orang-orang menuju kubur Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy. Makam beliau ada di Kharantak. Lalu kita melakukan istisqaa’ di sisi kuburnya, semoga Allah menurunkan hujan kepada kita”. Qaadliy berkata : “Ya, aku setuju”.
Maka, sang Qaadliy pun keluar dan diikuti oleh orang-orang bersamanya. Qaadliy tersebut melakukan istisqaa’ bersama orang-orang. Orang-orang menangis di sisi kubur dan meminta syafa’at kepada penghuni kubur (Al-Imaam Al-Bukhaariy). Setelah itu, Allah ta’ala mengutus awan yang membawa hujan sangat lebat. Orang-orang tinggal di Kharantak selama kurang lebih tujuh hari. Tidak seorang pun yang dapat pulang ke Samarqand karena derasnya hujan yang turun. Jarak antara Kharantak dan Samarqand sekitar tiga mil” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/469].

As-Subkiy rahimahullah juga membawakan riwayat ini dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa 2/173, dari Abu ‘Aliy Al-Ghassaaniy.

Kisah yang dibawakan oleh adz-Dzahabi dan as-Subuki sanad periwayatannya sahih, riwayat ini telah disebutkan sendiri oleh al-Hafidz Abu Ali al-Ghassani dalam kitabnya Taqyid al-Muhmal wa Tamyiz al-Musykal, beliau mengatakan :

أخبرني أبو الحسن طاهر بن مفوز ابن عبد الله بن مفوز المعافري صاحبنا رحمه الله، قال: أخبرني أبو الفتح وأبو الليث نصر بن الحسن التنكتي المقيم بسمرقند –قدم عليهم بلنسية عام أربعة وستين وأربعمة- قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الأعوام، قال: فاستسقى الناس مرارا فلم يسقوا، قال: فأتى رجل من الصالحين معروف بالصلاح مشهور به إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني قد رأيت رأيا أعرضه عليك، قال: وما هو؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري رحمه الله- وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا، قال: فقال القاضي: نعما رأيت. فخرج القاضي وخرج الناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تبارك وتعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند ثلاثة أميال أو نحوها.

“ Telah mengabarkan padaku Abul Hasan Thahir bin Mafuz Ibnu Abdillah bin Mafuz al-Mu’aafiri, sahihb kami –semoga Allah merahmatinya- ia berkata, “ Telah mengabarkan padaku Abul Fath dan Abu al-Laits Nashr bin al-Hasan at-Tankati yang bermukim di Samarqand, ia datang pada mereka di Valencia (Spanyol) tahun 464 H. Selama beberapa tahun hujan tidak turun pada kami di negeri Samarqand. Orang-orang melakukan istisqaa’ (shalat meminta hujan) beberapa kali, namun hujan tidak juga turun. Maka, seorang laki-laki shalih yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi qaadly negeri Samarqand. Ia berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai satu pendapat yang hendak aku sampaikan kepadamu”. Qaadliy berkata : “Apa itu ?”. Ia berkata : “Aku berpandangan agar engkau keluar bersama orang-orang menuju kubur Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy. Makam beliau ada di Kharantak. Lalu kita melakukan istisqaa’ di sisi kuburnya, semoga Allah menurunkan hujan kepada kita”. Qaadliy berkata : “Ya, aku setuju”.

Maka, sang Qaadliy pun keluar dan diikuti oleh orang-orang bersamanya. Qaadliy tersebut melakukan istisqaa’ bersama orang-orang. Orang-orang menangis di sisi kubur dan meminta syafa’at kepada penghuni kubur (Al-Imaam Al-Bukhaariy). Setelah itu, Allah ta’ala mengutus awan yang membawa hujan sangat lebat. Orang-orang tinggal di Kharantak selama kurang lebih tujuh hari. Tidak seorang pun yang dapat pulang ke Samarqand karena derasnya hujan yang turun. Jarak antara Kharantak dan Samarqand sekitar tiga mil”‎

1. Abul Hasan Thahir bin Mafuz Ibnu Abdillah bin Mafuz al-Mu’aafiri. Beliau murid al-Hafidz Ibnu Abdil Barr, seorang imam yang terkenal dengan hafalan haditsnya dan kekuatan hafalannya yang kuat (mutqin). Lahir pada tahun 429 H dan wafat pada tahun 484 H.

2. Abul Fath Nashr as-Samarqand adalah seorang syaikh yang agung lagi alim, ahli hadits yang tsiqah, beliau lahir pada tahun 446 H dan wafat pada tahun 486 H.

Maka jelas sekali para perowi ini semuanya tsiqah dan saling bertemu, maka sanad ini tidak lah terputus bahkan bersambung dan saling mendengar dari gurunya.

Ada yang berargumen dan  mengatakan, isi riwayat diatas  bertentangan dengan nash dan atsar :

1.     Kubur Bukan Tempat untuk Shalat.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ “

Dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat) kecuali kuburan dan WC” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83, Abu Daawud no. 495, Ibnu Maajah no. 745, dan yang lainnya].

عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا “

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

اِسْتَنْبَطَ مِنْ قَوْله فِي الْحَدِيث ” وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا ” أَنَّ الْقُبُور لَيْسَتْ بِمَحَلٍّ لِلْعِبَادَةِ فَتَكُون الصَّلَاة فِيهَا مَكْرُوهَة

“Dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Dan jangan menjadikannya (rumah) sebagai kuburan’; dapat disimpulkan bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, sehingga shalat di sana menjadi dibanci” [Fathul-Baariy, 1/529].

Jawaban dari argumen diatas;

Hadits pertama yang dijadikan hujjah kalangan Wahabi, maka al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentarinya sebagai berikut :

اْلحَدِيْثُ سِيْقَ فيِ مَقَامِ اْلِامْتِنَانِ فَلاَ يَنْبَغِي تَخْصِيْصُهُ

“ Hadits tersebut (yaitu hadits “ Seluruh bumi dijadikan layak sebagai masjid dan suci bagiku “) adalah dalam maqam imtinan, maka tidak sebaiknya mentakhsis hadits tersebut “. 

Artinya hadits tersebut tidak bisa membatasi keumuman hadits berikut :
جُعِلَتْ لِي الْأَرْض مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“ Dijadikan bumi untukku layak sebagai tempat sujud dan bersuci “ (HR. Bukhari)

Lebih jelas imam an-Nawawi mengatakan :

فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّ اْلَمقْبَرَةَ مَنْبُوْشَةٌ لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ فِيْهَا بِلاَ خِلاَفٍ إِذَا لَمْ يُبْسَطْ تَحْتَهُ شَيْءٌ، وَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ نَبْشِهَا صَحَّتْ بِلاَ خِلاَفٍ، وَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ كَرَاهَةَ تَنْـزِيْهٍ

” Jika yakin pekuburan itu tergali, maka tidak sah sholatnya tanpa khilaf, jika dibawahnya tidak membentangkan sesuatu, namun jika yakin tidak tergali, maka sah solatnya tanpa khilaf, namun makruh tanzih hukumnya “. 

Syaikh Saqar, ketua badan Fatwa al-Azhar mengatakan :

والأئمة الثلاثة قالوا بصحة الصلاة وعدم كراهتها ، اللهم إلا إذا كان القبر أمام المصلى فتكون مكروهة مع الصحة .‏ أما أحمد بن حنبل فهو الذى حرم الصلاة وحكم ببطلانها -‏ ومحل هذا الخلاف إذا كان القبر فى المسجد ، أما إذا كان مفصولاً عنه والناس يصلون فى المسجد لا فى الضريح أو الجزء الموجود فيه القبر فلا خلاف أبدًا فى الجواز وعدم الحرمة أو الكراهة

“Ketiga Imam Madzhab berbedapat tentang keabsahan shalat (di masjid yang ada kuburannya) dan ketidakmakruhannya, kecuali jika kuburannya ada di depan orang yang shalat, maka makruh dan tetap sah.Sedangkan Ahmad bin Hanbal merupakan orang yang mengharamkan dan menghukumi batal shalat tersebut. Keberlakuan khilaf ini bila kuburan ada di dalam masjid, sedangkan bila terpisah darinya, sementara orang-orang shalat di dalam masjid, tidak di dalam area pemakaman atau bagian area yang ada kuburannya, maka tidak khilaf sama sekali dalam kebolehan dan ketidakharaman atau ketidakmakruhan shalat di tempat tersebut.”

Madzhab Hanafiyyah mengatakan : makruh sholat di pemakaman sebab dikhawatirkan ada najis yang keluar dari kuburan, kecuali jika di pemakaman tersebut disediakan tempat sholat, maka hilanglah hokum makruh.

Madzhab Malikiyyah mengatakan : Boleh sholat dipemakaman secara muthlaq, baik pekuburan itu bersih atau terbongkar (manbusyah), pekuburan muslim atau non muslim.

Madzhab Hanabilah mengatakan : Tidak sah sholat di pekuburan yang baru atau pun yang  lama, berulang-ulang pembongkarannya atau pun tidak. Namun tidak mengapa sholat di area yang ada satu atau dua kuburan, karna yang disebut pekuburan adalah terdapat tiga kuburan atau lebih.

‎Tidak mengetahui dalil terhadap sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak memiliki dalil.  Tidak adanya sesuatu bukan berarti wujud sesuatu itu tidak ada.

Sesuatu yang wujudnya tidak diketahui dengan dalil tertentu (khusus), terkadang diketahui dengan dalil lainnya. Misal, tidak adanya dalil secara akal tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada, karena bisa saja sesuatu itu ada dengan dalil secara nash.

Dalil itu bersifat Thard (الطرد) yakni wujudnya dalil melazimkan wujudnya madlul (sesuatu) dan tidak adanya dalil tidak melazimkan tidak adanya madlul (sesuatu). Misal tentang taqdir, malaikat, jin, alam barzakh dan semisalnya. Dalil ini secara akal tidak bisa ditemukan sebab tidak bisa disaksikan secara fisik. Tapi bukan berarti taqdir, malaikat, jin dan alam barzakh itu tidak ada, karena bisa saja dalil secara akal atas semua itu ada pada orang lainnya, atau dalil secara nash, atau dalil secara penyaksian pada yang lainnya.

Contoh lainnya, Peringatan Maulid. Bagi wahabi tidak menemukan dalillnya secara khusus (meskipun faktanya ada dalil khsusunya yaitu peringatan Nabi sendiri terhadap hari kelahirannya), bukan berarti peringatan Maulid ini terlarang, karena bisa saja ada dalilnya secara umum yaitu dalil bersholawat di waktu kapan pun, dalil membaca sejarah Nabi, dalil membaca al-Quran, dalil memberi nasehat kepada muslimin, dalil berdzikir, dalil silaturahmi, dalil bersedekah dan lainnya.

Demikian juga dalil sholat istisqa di pekuburan, tidak menemukannya si Abul Jauzat terhadap riwayatnya bukan berarti hal itu tidak ada dalilnya, bisa saja Abul Jauza tidak mengetahuinya atau bisa saja menggunakan dalil-dalil umumnya yaitu sholat di manapun tempat yang suci sebagaimana hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :

جُعِلَتْ لِي الْأَرْض مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“ Dijadikan bumi untukku layak sebagai tempat sujud dan bersuci “ (HR. Bukhari)

Ibnul Jauzi mengisahkan sebuah riwayat :
 
قال الواقدي : توفي أبو أيوب عام غزا يزيد بن معاوية القسطنطنية في خلافة أبيه معاوية سنة اثنتين وخمسين، وصلى عليه يزيد وقبره بأصل حصن القسطنطنية بأرض الروم، فلقد بلغنا أن الروم يتعاهدون قبره ويزورونه ويستسقون به إذا قحطوا

“ Al-Waqidi mengatakan, “ Abu Ayyub al-Anshari wafat di tahun saat berperangnya Yazid bin Mu’awiyyah di Konstatinopel pada masa khilafah Ayahnya Mu’awiyyah tahun 52 H, kemudian Yazid menyolatinya. Kuburnya berada di pusat benteng Konstantinopel di bumi Romawi. Sungguh telah sampai pada kami bahwa kaum Muslim Romawi memperhatikan kuburannya dan berziarah padanya dan juga melakukan sholat istisqa (dengan bertawassul dengannya) jika terjadi musim paceklik “.

Umar bin Khaththab tidak bertawassul kepada Nabi bukan berarti itu sebuah larangan bertawassul kepada Nabi.

Al-Imam an-Nawawi mengatakan :

ثُمَّ يَرْجِعُ اِلىَ مَوْقِفِهِ اْلاَوَّلِ قُبَالَةَ وَجْهِ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَوَسَّلُ بِهِ فيِ حَقِّ نَفْسِهِ وَيَتَشَفَّعُ بِهِ اِلىَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ

“ Dan kembali ke tempatnya semula menghadap wajah Rasullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul via Nabi untuk haq dirinya serta memohon syafa’at via Nabi kepada Allah Ta’aala “.

Imam Nawawi juga menyebutkan kisah al-Utbi yang datang curhat ke makam Nabi dan bertawassul kepadanya. Kisah ini sangatlah masyhur disebutkan dalam banyak oleh para ulama di antaranya oleh imam Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Ibnul Jauzi dalam Mustir al-Gharam, Ibnu Quddamah al-Hanbali dalamMughninya, al-Hafidz asy-Syakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ fish shalah ‘alal Habib asy-Syafi’, al-Hafidz Ibnu Kastir dalam Tafsirnya di surat an-Nisa, al-Bahuti al-Hanbali dalam kitabKisyaaful Qina’, dan banyak lagi yang lainnya.

Al-Imam Abul Husain al-Imrani (w 558 H) berkata :

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يَسْتَسْقِىَ بِاَهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ اَقْرِبَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رُوِيَ اَنَّ عُمَرَ اِسْتَسْقىَ بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ اْلمُطَّلِبِ

“ Dan dianjurkan melakukan istisqa dengan bertawassul dengan orang shaleh dari kerabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam, karena ada riwayat bahwa Umar bertawassul kepada Abbas bin Abdul Muththlib “.

Imam Sufyan bin Uyainah juga pernah mengatakan berkata :

رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقىَ بِهِمَا اِبنُ عُجْلاَن ، وَيَزِيدْ بنْ يَزِيْد بنْ جَابِرْ

“ Dua orang yang shalih yang akan turun hujan dengan sebab keduanya yaitu Ibnu Ujlaan dan Yazid bin Yazid bin Jabir “.

Ini adalah nyata-nyata tawassul dengan dzat kedua orang shalih tersebut.

Dan pada hakekatnya karomah al-Abbas, Ibnu ‘Ujlan, Yazid bin Yazid atau ulama shalih lainnya merupakan bagian dari mu’jizat Nabi shallhu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan al –Imam al-Hafidz Ibnu Sholah berikut ini :

وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ

“ Demikian itu bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat orang-orang yang bertawassul dengan mereka ketika dalam keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan sunnahnya “

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahihnya Bab al-Libaas pernah bahwa Asma’ binti Abu Bakr  pernah menunjukkan pada Abdulah ,bekas budaknya, jubah Rasulullah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat seraya berkata “Ini adalah jubah Rasulullah yang disimpan ‘Aisyah  hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi dulu biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.”

Imam Nawawi  mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim jilid 7 halaman 145:

وفي هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم

“Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang saleh dan pakaian mereka”

Dalam kitab yang sama, Imam Nawawi menulis setidaknya 11 kali anjuran untuk mencari berkah dari bekas orang-orang Saleh. Ini adalah dalil akurat bahwa tabarruk tidak terbatas pada masa hidup Rasulullah saw dan dianjurkannya bertabarruk dengan orang-orang saleh. Hal ini juga dilalakukan Imam Syafii  dengan bertabarruk pada gamis Imam Ahmad bin hanbal sebagaimana dalam kitab Tarikh Dimasyqi :

قال لي الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربيع خذ كتابي هذا ، فامض به وسلمه إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، وائتني بالجواب. قال الربيع: فدخلت بغداد ومعي الكتاب، فلقيت أحمد بن حنبل صلاة الصبح، فصلّيت معه الفجر، فلما انفتل من المحراب سلّمت إليه الكتاب، وقلت له: هذا كتاب أخيك الشافعي من مصر، فقال أحمد: نظرت فيه قلت: لا، فكسر أبو عبدالله الختم وقرأ الكتاب، وتغرغرت عيناه بالدموع، فقلت: إيش فيه يا أبا عبدالله قال: يذكر أنه رأى النبي (صلى الله عليه وسلم) في النوم، فقال له: اكتب إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، واقرأ عليه مني السلام، وقل: إنك ستُمتحن وتدعى إلى خلق القرآن فلا تجبهم، فسيرفع الله لك علماً إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت: البشارة، فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعهُ إليّ، فأخذته وخرجت إلى مصر، وأخذت جواب الكتاب فسلّمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي: يا ربيع إيش الذي دفع إليك قلت: القميص الذي يلي جلده، قال الشافعي: ليس نفجعك به، ولكن بُلّه وادفع إليّ الماء لأتبرك به.  شرح النووي على مسلم – (7 / 145

Artinya: Berkata  Rabi’: “Sesungguhnya Imam Syafi’i pergi ke Mesir bersamaku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Rabi’, ambil surat ini dan serahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa jawabannya!” Ketika memasuki kota Baghdad kutemui Imam Ahmad sedang shalat subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari mihrab, aku serahkan surat itu, “Ini surat dari saudaramu Imam Syafi’i di Mesir,” kataku. “Kau telah membukanya?” tanya Imam Ahmad. “Tidak, wahai Imam”. Abu Abdullah (imam Ahmad) membuka dan membaca isi surat itu, kemudian kulihat beliau berlinang air mata. “Apa isi surat itu wahai Aba Abdullah (Imam Ahmad) ?” tanyaku. Dia (imam Ahmad) berkata; “Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi’i bermimpi Rasulullah saw, beliau (saw) berkata: “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan mendapatkan cobaan, yaitu dipaksa mengakui bahwa al-Qur’an adalah mahluk, maka janganlah di-ikuti, Allah akan meninggikan ilmunya hingga hari kiamat,” ‘Ini  suatu kabar gembira’, kataku. Lalu beliau menuliskan surat balasan seraya memberikan padaku qamis yang melekat di kulitnya. Aku pun mengambil surat itu dan menyerahkannya kepada Imam Syafi’i. ‘Apa yang diberikan Imam Ahmad padamu?’ tanya Imam Syafi’i. “Gamis yang melekat dengan kulit beliau,” jawabku. “Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarrukdengannya,” kata beliau (Imam Syafii).

Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/ bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tanganKhath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh lainnya yang menyatakan bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.

Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan:

‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi: ‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi’ “.(Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).

LIhat riwayat ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid’ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal !”.

Tabarruk dengan petilasan/bekas orang-orang wali dan shalih itu juga di perkenankan oleh syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal memperbolehkan orang mencium makam Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk. Ketika Ibnu Taimiyah melihat orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan. Selanjutnya Imam Al’Iraqi berkata padanya : “Apa anehnya? Bukankah kami telah meriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum air bekas cucian baju Imam Syafi’i ? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.

Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia bertabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.

Oleh karena itu ketika Adz Dzahabi membawakan perkataan dari Ibrahim Al Harbi yang berbunyi:

قبر معروف الترياق المجرب

“Kuburan Ma’ruf Al Kharki adalah obat yang mujarab”

Adz Dzahabi rahimahullah mengomentari:

يريد إجابة دعاء المضطر عنده، لأن البقاع المباركة يستجاب عندها الدعاء، كما أن الدعاء في السحر مرجو، ودبر المكتوبات، وفي المساجد بل دعاء المضطر مجاب في أي مكان اتفق

“Yang dimaksud adalah terkabulnya doa di samping kuburnya. Karena sebidang tanah yang diberkahi membuat doa dikabulkan di sana. Sebagaimana doa di waktu sahur dikabulkan, juga doa di ujung shalat, doa di masjid bahkan doa dalam keadaan terdesak akan dikabulkan dimanapun tempat yang disepakati”

Imam Asy Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfatu Adz Dzakirin, ketika menjelaskan perkataan Ibnul Jauzi yang terdapat dalam kitab Hisnul Hushain, yaitu Ibnul Jauzi berkata:

وجرب استجابة الدعاء عند قبور الصالحين

“Terkabulnya doa di sisi kubur orang shalih”

Asy Syaukani menjelaskan:

وجه ذلك مزيد الشرف ونزول البركة، وقد قدمنا أنها تسري بركة المكان على الداعي، كما تسري بركة الصالحين الذاكرين الله سبحانه على من دخل فيهم ممن ليس هو منهم، كما يفيده قوله صلى الله عليه وسلم: هم القوم لا يشقى بهم جليسهم

“Hal tersebut dikarenakan adanya tambahan keutamaan dan turunnya berkah di sana. Telah kami jelaskan bahwa hal tersebut bisa mengalir pada orang-orang yang berdoa di sana. Sebagaimana berkah para ulama yang shalih juga mengalir pada orang-orang yang datang ke majelis mereka, meskipun yang datang bukan termasuk orang shalih. Sebagaimana salah satu makna dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Para ulama, merekalah orang-orang yang jika membuat majelis, maka orang-orang yang hadir di dalamnya tidak akan kehausan‘”

لكن ذلك بشرط أن لا تنشأ عن ذلك مفسدة، وهي أن يعتقد في ذلك الميت ما لا يجوز اعتقاده، كما يقع لكثير من المعتقدين في القبور، فإنهم قد يبلغون الغلو بأهلها إلى ما هو شرك بالله عز وجل، فينادونهم مع الله ويطلبون منهم ما لا يطلب إلا من الله عز وجل، وهذا معلوم من أحوال كثير من العاكفين على القبور، خصوصا العامة الذين لا يفطنون لدقائق الشرك، وقد جمعت في ذلك رسالة مطولة سميتها: الدر النضيد في إخلاص التوحيد

“Namun, hal tersebut disyaratkan tidak terjadi kerusakan di dalamnya. Kerusakan yang dimaksud adalah memiliki keyakinan yang tidak boleh diyakini berkaitan dengan si mayit, sebagaimana yang banyak terjadi pada orang-orang yang berdoa di sisi kubur. Mereka terkadang berlebihan terhadap si mayit yang ada di dalam kubur sampai tergolong sesuatu yang merupakan kesyirikan. Selain berdoa dengan memanggil nama Allah, mereka juga memanggil nama si mayit. Mereka juga meminta kepada si mayit, yang permintaan itu sejatinya hanya dapat dikabulkan oleh Allah semata. Ini fakta yang terjadi pada kebanyakan orang sering yang beri’tikaf di kuburan. Terutama orang-orang awam yang mereka tidak memahami tentang kesyirikan secara terperinci. Dan saya telah membahas fenomena ini dalam sebuah tulisan yang saya beri judul Ad Darr An Nadhid Fii Ikhlasi At Tauhid” [sampai di sini perkataan Asy Syaukani]

Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar