Translate

Rabu, 09 November 2016

Penjelasan Pentingnya Menutupi 'Aib

Akhir akhir ini banyak isu yang berkembang di masyarakat tentang berbagai isu dan fitnah. Serta banyaknya orang-orang islam yang sengaja mencari kesalahan orang lain dan menyebarkan isu aib dan kesalahan orang lain. 
Apalagi dalam nuansa politik yang berkembang saat ini. Banyak tokoh Agama yang terbuai dan melupakan ajaran Al-Qur'an dan As-Sunah demi kepentingan pribadi dan golongan.
Ikwaniyal kirom!!!‎
Sebagai Masyarakat Islam hendaknya kita lebih mengedepankan ajaran Agama dalam menyikapi berbagai isu politik yang ada di sekitar kita, agar jangan sampai tindakan dan ucapan kita membawa kita terjerumus dalam lingkaran dosa dan kesalahan yang akan membuat kita malu Di hadapan Alloh pada Yaumil Qiyamah kelak.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Hujuraat : 12].

Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
قال المفسرون : التجسس : البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم؛ فالمعنى : لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه ليطلع عليه إذ ستره الله.
“Para ahli tafsir berkata : Kata ‘tajassus’ maknanya mencari-cari aib dan kekurangan/kelemahan dari kaum muslimin. Sehingga maknanya ayat itu adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari aib saudaranya dan berupaya menampakkannya, padahal Allah menutupinya” [Zaadul-Maasir, 7/471; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 3/1404 H].
Larangan yang ada dalam ayat di atas juga dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا "
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah: Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6064].

Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhir”[QS. An-Nuur : 19].

Pada ayat di atas Allah ta’ala menjelaskan bahwa menyebarkan satu kemunkaran (baik dari jenis perkataan atau perbuatan) agar beredar di kalangan mukminiin, merupakan sifat orang-orang yang mendapatkan ancaman Allah ta’ala akan ‘adzab.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا تأديب ثالث لمن سمع شيئا من الكلام السيئ، فقام بذهنه منه شيء،وتكلم به، فلا يكثر منه ويشيعه ويذيعه، فقد قال تعالى: { إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا } أي: يختارون ظهور الكلام عنهم بالقبيح، { لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا } أي: بالحد، وفي الآخرة بالعذاب ، { وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ } أي: فردوا الأمور إليه تَرْشُدُوا.
“Ini merupakan pelajaran ketiga, bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan menyiarkannya. Allah ta’ala telah berfirman :‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman’ ; yaitu : mereka menginginkan agar perkataan itu nampak dengan buruk. ‘bagi mereka azab yang pedih di dunia’ ; yaitu dengan hukuman hadd.‘dan di akhirat’; yaitu dengan adzab” [Tafsir Ibni Katsiir, 6/29].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
والمراد : إشاعةُ الفَاحِشَةِ على المؤمن المستتر فيما وقع منه ، أو اتُّهِمَ به وهو بريء منه
“Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hadits no. 36].
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : القَائلُ الفَاحِشَةَ ، والذِي يُشيعُ بِها فِي الإثمِ سَواءٌ.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang menyebarkannya; dalam dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 234].
Dalam riwayat lain, ia berkata :
القائل الفاحشة والذي يسمع في الإثم سواء
“Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang setia mendengarkannya, dalam hal dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 553; Husain Salim Asad berkata : ‘Para perawinya tsiqaat’].
Kekejian adalah satu hal yang diingkari jiwa. Fithrah manusia tidak menginginkan satu kekejian tersebar, apalagi yang bersumber dari dirinya. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13, Muslim no. 45, Ahmad 3/176, dan yang lainnya].
Lantas, bagaimana bisa seorang mukmin senang merelakan telinganya setia mendengarkan kefasikan dan menjadikan mulutnya fasih menyebarkannya ?
Maka, sangat dipahami jika seseorang pun akan mendapatkan kesetaraan dosa jika turut ambil saham menyebarkan kekejian ke telinga-telinga manusia – sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Karena, menyebarkan berita kekejian merupakan faktor tersebarnya kekejian itu sendiri.
Janganlah kita mencari-cari aib/kesalahan orang lain yang berusaha menutupi aib/kesalahannya itu. Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [QS. Al-Hujuraat : 12].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
قال المفسرون: التجسس البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم فالمعنى: لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه ليطلع عليه إذ ستره الله
“Para pakar tafsir berkata : at-tajassus adalah mencari-cari aib dan aurat/kelemahan kaum muslimin. Maka, makna ayat tersebut adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari kesalahan saudaranya yang telah Allah tutupi, untuk ia tampakkan” [Zaadul-Masiir, 7/471].
Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita melalui sabdanya :
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإِيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين، ولا تتبعوا عوراتهم، فإِنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع اللّه عورته يفضحه في بيته.
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya ! Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin. Jangan pula kalian mencari-cari aib/kesalahan mereka. Karena, sesungguhnya orang yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan cari-cari aib yang ada pada dirinya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, maka Allah akan ungkap aibnya tersebut meskipun ada di dalam rumahnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4880‎].
Mencari-cari aib seorang muslim tanpa maslahat syar’iy adalah ciri-ciri orang munafik, sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya’.
Mari kita perhatikan kisah menarik Maa’iz dan Hazzaal berikut ini :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أتى رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد، فناداه فقال: يا رسول الله، إني زنيت، فأعرض عنه حتى ردد عليه أربع مرات، فلما شهد على نفسه أربع شهادات، دعاه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (أبك جنون). قال: لا، قال: (فهل أحصنت). قال: نعم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (اذهبوا به فارجموه).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Ia memanggil beliau dan berkata : “Wahai Rasulillah, sesungguhnya aku telah berbuat zina”. Mendengar itu beliau berpaling darinya, hingga orang tersebut mengulangi sampai empat kali. Ketika ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammemanggilnya dan bersabda : “Apakah engkau gila ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau telah menikah ?”. Ia menjawab : “Ya, pernah”. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Bawalah pergi orang ini”. Lalu para shahabat merajamnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6820].
عن نعيم بن هزال : أن هزالا كان استأجر ماعز بن مالك وكانت له جارية يقال لها فاطمة قد أملكت وكانت ترعى غنما لهم وان ماعزا وقع عليها فأخبر هزالا فخدعه فقال انطلق إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره عسى ان ينزل فيك قرآن فأمر به النبي صلى الله عليه وسلم فرجم فلما عضته مس الحجارة انطلق يسعى فاستقبله رجل بلحى جزور أو ساق بعير فضربه به فصرعه فقال النبي صلى الله عليه وسلم ويلك يا هزال لو كنت سترته بثوبك كان خيرا لك
Dari Nu’aim bin Hazzaal ia berkata : Hazzaal pernah menyewa Maa'iz bin Maalik dan ia memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah yang ia miliki. Budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan Maa'iz pun menyetubuhinya. Maa'iz memberitahukan hal itu kepada Hazzaal, kemudian Hazzal mengelabuhinya dan berkata : “Pergilah ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beritahukan pada beliau (tentang hal yang kau alami). Mudah-mudahan turun Al-Qur’an berkenaan denganmu”. (Setelah ia menghadap dan menceritakan apa yang telah ia lakukan, sebagaimana hadits sebelum ini‎), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dirajam. Saat dirajam dan terkena hantaman batu, Maa'iz berusaha lari kemudian seseorang mengejarnya dengan membawa tulang dagu onta atau tulang betis onta, kemudian dipukulkan ke Maa'iz hingga mati. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Celaka kau hai Hazzal, seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu"[Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/217; Al-Arna’uth berkata : “Shahih li-ghairihi”].
Ibnu Hajar berkata :
قال الباجي المعنى خيرا لك مما أمرته به من إظهار أمره وكان ستره بأن يأمره بالتوبة والكتمان كما أمره أبو بكر وعمر وذكر الثوب مبالغة أي لو لم تجد السبيل إلى ستره الا بردائك ممن علم أمره كان أفضل مما أشرت به عليه من الإظهار
“Telah berkata Al-Baajiy : Makna (perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu’) adalah lebih baik bagimu daripada engkau suruh ia untuk menjelaskan perkaranya (kepadaku). Adapun anjuran untuk menutupinya adalah dengan menyuruhnya bertaubat dan menyembunyikan aib yang telah dilakukannya sebagaimana yang telah diperintahkan Abu Bakr dan ‘Umar (sebelum Maa’iz menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Penyebutan ‘baju’ adalah ‎mubaalaghah, yaitu seandainya engkau tidak mendapatkan jalan untuk menutupinya kecuali (menutupinya) dengan pakaianmu dari orang yang mengetahui perkaranya, maka itu lebih utama/baik daripada yang telah engkau sarankan kepadanya untuk menampakkannya” [Fathul-Baariy, 12/125].
فقال (الشافعي) أحب لمن أصاب ذنبا فستره الله عليه أن يستره على نفسه ويتوب واحتج بقصة ماعز مع أبي بكر وعمر وقال بن العربي هذا كله في غير المجاهر فاما إذا كان متظاهرا بالفاحشة مجاهرا فاني أحب مكاشفته والتبريح به لينزجر هو وغيره
“Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Aku senang seandainya orang yang berbuat dosa yang kemudian Allah menutupi dosanya tersebut (sehingga tidak diketahui orang lain); agar juga menutupinya dan bertaubat (kepada Allahta’ala)’. Beliau (Asy-Syaafi’iy) berhujjah dengan kisah Maa’iz bersama Abu Bakr dan ‘Umar. Ibnul-‘Arabiy berkata : ‘Semuanya ini berlaku untuk selain orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Adapun bagi orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan/kekejian, maka lebih senang untuk mengungkapkannya dan menghukumnya agar ia merasa jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain” [idem].
Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabiy rahimahullah  di atas didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل أمتي معافى إلا المجاهرين، وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملاً، ثم يصبح وقد ستره الله، فيقول: يا فلان، عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربه، ويصبح يكشف ستر الله عنه
“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang terang-terangan melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’, padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Jika dosa seberat zina saja (asal tidak dilakukan secara terang-terangan) kita dianjurkan untuk menutupinya, bagaimana pula hal yang lebih rendah daripada itu ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442, Muslim no. 2580, dan yang lainnya.
Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga kita dari kemaksiatan dan membuka hati kita untuk bertaubat kepada-Nya….

Allah ta’ala telah memberikan janji akan menutupi aib-aib kita kelak di hari kiamat jika kita menutupi aib-aib saudara kita di dunia.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: " لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan‎: Telah menceritakan kepada kami Wuhaib‎: Telah menceritakan kepada kami Suhail‎, dari ayahnya‎, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2590].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair: Telah menceritakan kepada kami Al-Laits‎, dari ‘Uqail‎, dari Ibnu Syihaab: Bahwasannya Saalim‎ telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh mendhaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442].
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِيِّ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِابْنِ عُمَرَ: كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي النَّجْوَى؟، قَالَ: سَمِعْتُهُ، يَقُولُ: " يُدْنَى الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَضَعَ عَلَيْهِ كَنَفَهُ، فَيُقَرِّرُهُ بِذُنُوبِهِ، فَيَقُولُ: هَلْ تَعْرِفُ؟، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ أَعْرِفُ، قَالَ: فَإِنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَإِنِّي أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ، فَيُعْطَى صَحِيفَةَ حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الْكُفَّارُ وَالْمُنَافِقُونَ، فَيُنَادَى بِهِمْ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim‎, dari Hisyaam Ad-Dastawaa’iy‎, dari Qataadah‎, dari Shafwaan bin Muhriz‎, ia berkata : Ada seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Bagaimana engkau mendengar keterangan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang bisikan ?”. Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar beliau bersabda : “Pada hari kiamat seorang mukmin akan didekatkan di sisi Rabbnya ‘azza wa jalla sampai diletakkan tutup atas dirinya kemudian Allah pun meminta pengakuannya atas dosa yang telah dilakukannya. Allah berfirman : ‘Apakah kamu mengetahuinya?’. Maka dia menjawab : ‘Benar wahai Rabbku, aku telah mengetahuinya.’ Maka Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi dosamu ketika di dunia danpada hari ini Aku berikan ampunan atasnya kepadamu’. Maka diberikan kepadanya lembaran catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka mereka akan dipanggil di hadapan orang banyak dengan seruan : ‘Mereka itulah orang-orang berdusta atas nama Allah’.” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2768].
Tidakkah kita ingin masuk dalam golongan orang yang beruntung tersebut ya ikhwan ?.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa mencari-cari aib orang lain itu sama dengan usaha untuk merusaknya/membinasakannya.
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّمْلِيُّ، وَابْنُ عَوْفٍ، وَهَذَا لَفْظُهُ، قَالَا: حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ "،
Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Muhammad Ar-Ramliy dan Ibnu ‘Auf– ini lafadhnya (Ibnu ‘Auf) - , mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Firyaabiy, dari Sufyaan, dari Tsaur, dari Raasyid bin Sa'id, dari Mu’aawiyyah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika kalian berusaha mencari-cari kesalahan manusia, maka sesungguhnya kalian telah merusak/membinasakan mereka atau hampir-hampir saja kalian merusak/membinasakan mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4888].

Dalam Fathul-Waduud disebutkan (penjelasan hadits di atas) :
أَيْ إِذَا بَحَثْت عَنْ مَعَائِبِهِمْ وَجَاهَرْتهمْ بِذَلِكَ ، فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى قِلَّة حَيَائِهِمْ عَنْك فَيَجْتَرِئُونَ عَلَى اِرْتِكَاب أَمْثَالهَا مُجَاهَرَة
“Yaitu : Bila engkau mencari-cari aib-aib mereka dan engkau menyebarkannya, niscaya hal itu akan mengurangi rasa malu mereka kepadamu yang menyebabkan mereka akan semakin berani melakukan kejahatan serupa secara terang-terangan”
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا ضَمْضَمُ بْنُ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، وَكَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، وَعَمْرِو بْنِ الْأَسْوَدِ، وَالْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، وأبي أمامة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Amru Al-Hadlramiy: Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy‎: Telah menceritakan kepada kami Dlamdlam bin Zur’ah‎, dari Syuraih bin ‘Ubaid‎, dari Jubair bin Jufair‎, Katsiir bin Murrah‎, ‘Amru bin Al-Aswad‎, Al-Miqdaam bin Ma’dikarib, dan Abu Umaamah, dari Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Sesungguhnya seorang amir jika ia mencari-cari hal-hal yang mencurigakan (kekeliruan) rakyatnya, maka ia telah merusak mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4889‎].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :‎
معنى ذلك عندنا أن الله قد أمر عباده بالستر وأن لا يكشفوا عنهم ستره الذي سترهم به فيما يصيبونه مما قد نهاهم عنه لم سواهم من الناس............ وكان الأمير إذا تتبع ما قد أمر الله بترك تتبعه، امتثل الناس ذلك منه، وكان في ذلك فسادهم.
“Makna hadits tersebut menurut kami adalah bahwa Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk menutupi dan tidak menyingkap apa-apa yang telah Allah tutupi yang menimpa mereka dari apa yang telah dilarang bagi mereka, kepada orang lain…. Seorang pemimpin apabila mencari-cari sesuatu yang Allah larang untuk mencari-carinya, maka orang-orang akan meniru perbuatannya itu sehingga dengan hal itu akan merusak (keadaan) mereka” [Syarh Musykiilil-Aatsaar, 1/86 & 88].

Bahkan, perintah menutupi kesalahan ini bukan hanya untuk menutupi kesalahan orang lain, tapi juga menutupi kesalahan diri sendiri. Perhatikan beberapa riwayat berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَالَجْتُ امْرَأَةً فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ، وَإِنِّي أَصَبْتُ مِنْهَا مَا دُونَ أَنْ أَمَسَّهَا، فَأَنَا هَذَا فَاقْضِ فِيَّ مَا شِئْتَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: لَقَدْ سَتَرَكَ اللَّهُ لَوْ سَتَرْتَ نَفْسَكَ، قَالَ: فَلَمْ يَرُدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا، فَقَامَ الرَّجُلُ، فَانْطَلَقَ فَأَتْبَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا دَعَاهُ، وَتَلَا عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَف وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَق، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، هَذَا لَهُ خَاصَّةً؟، قَالَ: بَلْ لِلنَّاسِ كَافَّةً "
Telah menceritakan kepada Yahyaa bin Yahyaa, Qutaibah bin Sa’iid‎, dan Abu Bakr bin Abi Syaibah - lafadhnya adalah milik Yahyaa – , Yahyaa berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami; sedangkan yang lain berkata : Telah menceritakan kepada kami : Abul-Ahwash‎, dari Simaak‎, dari Ibraahiim‎, dari ‘Alqamah‎ dan Al-Aswad‎, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menggauli seorang wanita di pelosok Madiinah dan aku telah melakukan segala sesuatu kecuali jima’. Maka, aku datang menyerahkan diriku untuk dihukum sesukamu”. Ketika mendengar hal itu, ‘Umar berkata : “Sungguh Allah telah menutupinya seandainya engkau menutupi kesalahanmu itu”. (Ibnu Mas’uud berkata :) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menjawab sedikitpun. Lalu laki-laki itu pun berdiri hendak pergi. Setelah ia pergi, Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Lalu Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya ayat : ‘Dan dirikanlah shalat pada pagi dan petang dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat’ (QS. Huud : 114). Kemudian ada seorang laki-laki yang bangkit dan berkata : “Wahai Nabiyullah, apakah ayat ini hanya diperuntukkan padanya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, bahkan untuk seluruh manusia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2763].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang dikatakan ‘Umar bin Al-Khaththaab agar orang tersebut menutupi kesalahannya sehingga tidak meneruskan perkaranya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d‎, dari anak saudara laki-laki Ibnu Syihaab‎, dari Ibnu Syihaab, dari Saalim bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seluruh umatku akan diampuni kecuali Al-Mujaahiruun (orang-orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan). Dan termasuk di antara Al-Mujaahiruun itu adalah orang yang telah melakukan perbuatan jahat di malam hari, lalu Allah menutupi aibnya itu keesokan harinya. Namun ia kemudian berkata : ‘Wahai Fulaan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’. Allah telah menutupi aibnya, namun ia sendiri yang telah menyingkapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6069].
Mari kita perhatikan riwayat-riwayat yang ternukil dari sebagian shahabat tentang sikap mereka yang tidak mau mencari-cari dan menyelidiki aib-aib orang lain dan berupaya untuk menutupinya (jika menemukannya) :
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُتْبَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: " إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ، وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Naafi’: Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib‎, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf‎: Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Utbah ‎berkata : Aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththaab ‎radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dahulu orang-orang melakukan dosa, akan disingkap kesalahannya itu dengan perantaraan wahyu. Akan tetapi saat ini, wahyu telah terputus. Maka, kami hanya menghukum kalian terhadap apa-apa yang nampak dari amal-amal kalian. Barangsiapa yang menampakkan kebaikan, kami akan mempercayainya, dan kami tidak akan mengusik segala yang tersembunyi darinya. Allah lah yang akan menghisab apa-apa yang tersembunyi darinya. Namun barangsiapa yang menampakkan kejahatan, maka kami tidak akan mempercayainya meskipun ia berkata : ‘Sesungguhnya apa yang ia inginkan dalam hatinya adalah kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2641].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ زُرَارَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ حَرَسَ لَيْلَةً مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَبَيْنَا هُمْ يَمْشُونَ شَبَّ لَهُمْ سِرَاجٌ فِي بَيْتٍ، فَانْطَلَقُوا يَؤُمُّونَهُ، حَتَّى إِذَا دَنَوْا مِنْهُ، إِذَا بَابٌ مُجَافٍ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ فِيهِ أَصْوَاتٌ مُرْتَفِعَةٌ وَلَغَطٌ، فَقَالَ عُمَرُ وَأَخَذَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: " أَتَدْرِي بَيْتُ مَنْ هَذَا؟، قَالَ: قُلْتُ: لا، قَالَ: هُوَ رَبِيعَةَ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ، وَهُمُ الآنَ شُرَّبٌ، فَمَا تَرَى؟ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَرَى قَدْ أَتَيْنَا مَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْهُ، نَهَانَا اللَّهُ فَقَالَ: وَلا تَجَسَّسُوا فَقَدْ تَجَسَّسْنَا " فَانْصَرَفَ عَنْهُمْ عُمَرُ وَتَرَكَهُمْ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Mush’ab bin Zuraarah bin ‘Abdirrahmaan, dari Al-Miswar bin Makhramah‎, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf : Bahwasannya ia pernah berjaga malam bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ketika mereka berdua keliling, mereka melihat sebuah lampu sedang menyala dari dalam rumah. Lalu mereka mendekati rumah tersebut. Ketika mereka mendekat, mereka pun mendapati pintu rumah tersebut terbuka tanpa ada seorang pun di sana, sedangkan dari dalam rumah terdengar suara yang sangat gaduh. Berkata ‘Umar – sambil memegang tangan ‘Abdurrahmaan - : “Tahukah engkau rumah siapakah ini ?”. ‘Abdurrahmaan menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Ini adalah rumah Rabii’ah bin Umayyah bin Khalaf. Mereka sekarang  sedang minum khamr. Apa pendapatmu ?”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Aku pikir kita sedang mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Allah telah melarang kita dengan firman-Nya : ‘Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain” (QS. Al-Hujuraat : 12). Dan sekarang ini kita telah mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain”. Setelah mendengar perkataan itu, ‘Umar pergi dan meninggalkan mereka [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/231-232 no. 18943; shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أُتِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَقِيلَ: هَذَا فُلَانٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " إِنَّا قَدْ نُهِينَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَلَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَنَا شَيْءٌ نَأْخُذْ بِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb‎, ia berkata : (Pada suatu hari) didatangkan seseorang kepada Ibnu Mas’uud. Dikatakan kepadanya : “Fulan ini jenggotnya telah dibasahi oleh khamr. ‘Abdullah (bin Mas’uud) berkata : “Sesungguhnya kita dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). Akan tetapi jika telah nampak/jelas buktinya, maka kami akan menghukumnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4890].
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَرْبِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ زُيَيْدِ بْنِ الصَّلْتِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، يَقُولُ: " لَوْ أَخَذْتُ شَارِبًا لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ، وَلَوْ أَخَذْتُ سَارِقًا، لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Harb bin Syaddaad‎, dari Yahyaa bin Abi Katsiir‎, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan‎, dari Zubaid bin Ash-Shalt‎, ia berkata : Aku mendengar Abu bakr Ash-Shiddiiq berkata : “Seandainya aku dapati seorang peminum khamr, sungguh aku ingin agar Allah menutupinya. Dan seandainya aku dapati seorang pencuri, sungguh aku pun ingin agar Allah menutupinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/467; hasan].
عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، أَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ أَخَذَ سَارِقًا، ثُمَّ قَالَ: أَسْتُرُهُ لَعَلَّ اللَّهَ يَسْتُرُنِي "
Dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah‎: Bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir pernah menangkap seorang pencuri, kemudian berkata : “Aku menutupi kesalahannya, semoga Allah menutupi kesalahanku” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 10/226 no. 18929; hasan].
Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kepada kita bahwa para shahabat adalah orang yang sangat sayang kepada manusia sehingga berupaya menutupi segala aib dan kesalahan; padahal diketahui mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat tegas dalam membasmi kemunkaran.
Dan inilah yang dilakukan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ الْعَاقُولِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، سُئِلَ عَنِ " الرَّجُلِ يَسْمَعُ حِسَّ الطَّبْلِ وَالْمِزْمَارِ، وَلا يَعْرِفُ مَكَانَهُ؟ فَقَالَ: وَمَا عَلَيْكَ؟ وَقَالَ: مَا غَابَ فَلا تُفَتِّشْ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Kariim bin Al-Haitsam Al-‘Aaquuliy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) ditanya tentang seseorang yang mendengar tabuhan kendang dan tiupan seruling, namun tidak diketahui dari mana asal suaranya. Abu ‘Abdillah berkata : “Lantas, ada urusan apa denganmu ?”. Lalu beliau melanjutkan : “Sesuatu yang tidak kamu lihat, maka jangan kamu cari-cari/selidiki sebabnya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 49; shahih].
Adakah kita melakukan seperti yang di atas ?
Seringkali di antara kita masih ada yang sok pingin tahu urusan orang dengan membuka-buka arsip orang. Ada pula orang yang bersusah payah pingin menemukan kesalahan orang lain melalui berbagai media. Kita senang aib kita tersimpan, sementara mulut kita lancar mengumbar aib orang….. Tidak terasa nikmat pembicaraan jika belum memakan bangkai saudara….
Sebagai ulasan terakhir saya nukilkan penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah tentang sebagian hikmah menutup aib dan kesalahan :
قال ابن بطال: في الجهر بالمعصية استخفاف بحق الله ورسوله وصالحي المؤمنين، وفيه ضرب من العناد لهم، وفي الستر بها السلامة من الاستخفاف، لأن المعاصي تذل أهلها، ومن إقامة الحد عليه إن كان فيه حد ومن التعزير إن لم يوجب حدا، وإذا تمحض حق الله فهو أكرم الأكرمين ورحمته سبقت غضبه، فلذلك إذا ستره في الدنيا لم يفضحه في الآخرة، والذي يجاهر يفوته جميع ذلك،
“Ibnu Baththaal berkata : ‘Salah satu dampak negatif akibat tersiarnya kemaksiatan adalah diremehkannya hak-hak Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang beriman. Penyebarluasan hal ini juga merupakan satu bentuk pembangkangan terhadap mereka. Adapun jika seseorang menutupi satu kemaksiatan, maka hal itu akan lebih menjaga dari dilecehkannya hak-hak Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang shaalih, karena pada hakekatnya segala bentuk kejahatan akan menyebabkan kehinaan bagi pelakunya. Kemaksiatan itu mungkin menyebabkannya terkena hukuman had atau ‎ta’zir jika kejahatannya tidak sampai mewajibkan hukum had, dimana pelanggaran yang dilakukan semata-mata pelanggaran terhadap hak Allah, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah dan kasih sayang-Nya melebihi amarah-Nya. Untuk itu, barangsiapa yang menutupi kesalahan/aib di dunia, niscaya Allah tidak akan menampakkan kesalahannya/aibnya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menampakkannya, niscaya ia akan kehilangan janji Allah itu (dan Allah akan menampakkan semua kesalahannya/aibnya di akhirat)…..” [Fathul-Baariy, 10/487].
Yang sepatutnya dilakukan oleh seorang mukmin/mukminah yang berakal adalah berbicara yang mengandung kemanfaatan. 
Seandainya itu tidak sanggup ia lakukan, hendaklah ia diam.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ "
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau diam”.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar