Translate

Minggu, 27 November 2016

Sholat Di Awal Waktu

Yang wajib bagi setiap muslim adalah mengerjakan shalat pada waktunya. Sedangkan mengerjakan shalat di awal waktu menunjukkan afdholiyah atau keutamaan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang beriman.” (QS. An Nisaa’: 103)

Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya berkata, dari Al Auza’i, dari Musa bin Sulaiman, dari Al Qosim bin Mukhoymiroh mengenai firman Allah Ta’ala,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ

“Dan datanglah orang-orang setelah mereka yang menyia-nyiakan shalat.” (QS. Maryam: 59), Al Qosim berkata bahwa yang dimaksud ayat ini, “Mereka yang menyia-nyiakan waktu shalat. Sedangkan jika sampai meninggalkan shalat, maka kafir.”

Abu Ya’la dan Al Baihaqi masing-masing dalam musnadnya (berkata), dari ‘Ashim, dari Mush’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada ayahku bagaimana pendapat beliau mengenai ayat ‘alladzinaa hum ‘an sholatihim saahuun’, siapa di antara kita yang tidak lalai dalam shalatnya? Siapa yang dalam hatinya tidak berpikir perkara di luar shalat?” Ayahnya, Sa’ad menjawab, “Bukan seperti itu maksud ayat tersebut. Maksud ayat itu adalah lalai dengan menyia-nyiakan waktu shalat.”

Para ulama sepakat bahwa yang paling afdhol adalah mengerjakan shalat di awal waktunya. Namun dikecualikan dua shalat:
1- Shalat Isya’ -menurut jumhur atau mayoritas ulama- disyariatkan diakhirkan. Ini ditujukan bagi orang yang shalat sendirian atau mereka yang berjamaah namun atas kesepakatan mereka, yaitu diakhirkan hingga akhir 1/3 malam pertama atau sebelum pertengahan malam.
2- Shalat Zhuhur ketika cuaca begitu panas, disunnahkan untuk diakhirkan hingga cuaca tudak terlalu panas, yang penting sebelum masuk waktu Ashar.

Dan ada hadits pula yang menyatakan bahwa shalat di awal waktu itulah yang paling afdhol,

عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا »

Dari Ummu Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdhol. Beliau pun menjawab, “Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426)

Hadis lain riwayat dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berikut :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: " سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 527 & 5970 & 7534 dan dalam ‎Al-Adabul-Mufrad hal. 3 no. 1, Muslim ‎no. 85 (139), An-Nasaa’iy dalam Al-Mujtabaa hal. 102-103 no. 610 dan dalam Al-Kubraa no. 1593, Ahmad ‎1/409-410 (7/5) no. 3890 & 1/439 (5/245) no. 4186, ‘Aliy bin Ja’d ‎no. 470, Ath-Thayaalisiy ‎no. 370, Ad-Daarimiy ‎no. 1261, Abu Ya’laa ‎no. 5286, Ath-Thahawiy ‎dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 5/368-369 no. 2125, Al-Marwaziy ‎dalam ‎Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah hal. 200 no. 162, Al-Bazzaar ‎dalam Al-Bahr 5/194 no. 1793, Al-Baghawiy ‎dalam Syarhus-Sunnah no. 344, Asy-Syaasyiy ‎dalam Al-Musnad no. 759 & 761, Ibnu Hibbaan‎ no. 1477, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/214 & dalam Al-I’tiqaad 1/202 & dalam Syu’abul-Iimaan no. 2544 & 7439, Al-Laalikaa’iy ‎dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1546, Ath-Thuusiy ‎dalam Al-Mukhtashar no. 155, Abu ‘Awaanah ‎no. 182-183, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 10/23-24 no. 9805, Abu Nu’aim ‎dalam Al-Mustakhraj no. 254-255, Ibnu Mandah ‎dalam Al-Iimaan 2/542, dan Ibnul-Jauziy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh no. 44 dan Al-Birr wash-Shilah no. 18; dari beberapa jalan, dari Syu’bah : Telah berkata Al-Waliid bin ‘Aizaar : Telah mengkhabarkan kepadaku, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Amru Asy-Syaibaaniy berkata : telah mengkhabarkan kepada kami pemilik rumah ini – dan ia berisyarat dengan tangannya ke rumah ‘Abdullah (bin Mas’uud) : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam…… dst. (al-hadits).
Derajat Shahih.

Al-Haakim An-Naisaabuuriy menyikapi tambahan lafadh ‘di awal waktu’ berkata :

فَقَدْ صَحَّتْ هَذِهِ اللَّفْظَةُ بِاتِّفَاقِ الثِّقَتَيْنِ بُنْدَارِ بْنِ بَشَّارٍ، وَالْحَسَنِ بْنِ مُكْرَمٍ عَلَى رِوَايَتِهِمَا عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُمَرَ، وَهُوَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ

“Lafadh ini shahih dengan kesepakatan dua orang tsiqah yaitu Bundaar bin Basysyaar dan Al-Hasan bin Mukram dalam periwayatan keduanya dari ‘Utsmaan bin ‘Umar. Dan ia shahih berdasarkan persyaratan Syaikhain,namun mereka berdua tidak meriwayatkannya” [Al-Mustadrak, 1/188].

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ مَحْفُوظٌ، رَوَاهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، وَكَذَلِكَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُمَرَ، فَلَمْ يَذْكُرْ أَوَّلَ الْوَقْتِ فِيهِ غَيْرُ بُنْدَارِ بْنِ بَشَّارٍ، وَالْحَسَنِ بْنِ مُكْرَمٍ، وَهُمَا ثِقَتَانِ فَقِيهَانِ

“Hadits ini shahih lagi mahfuudh. Diriwayatkan oleh sekelompok imam kaum muslimin dari Maalik bin Mighwal. Begitu juga dari ‘Utsmaan bin ‘Umar tanpa menyebutkan lafadh ‘di awal waktu’ padanya, selain riwayat Bundaar bin Basysyaar dan Al-Hasan bin Mukram, dan keduanya orang yang tsiqah lagi faqiih” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits, hal. 131].

Apa yang dikatakan Al-Haakim adalah benar, karena tambahan itu dibawakan oleh para perawi tsiqah termasuk ziyaadatuts-tsiqaat yang merupakan tambahan lafadh riwayat jumhur. Kasusnya hampir serupa dengan hadits tahriik dalam tasyahud.

Diantara imam mutaqaddimiin yang menshahihkan tambahan lafadh ‘awal waktu’ adalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan ‎rahimahumallah.

Faedah :

Menyegerakan pelaksanaan di awal waktu merupakan pengamalan dari firman Allah ta’ala :

حَافِظُواْ عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah shalat-shalat kalian” [QS. Al-Baqarah : 238].

Salah satu bentuk pemeliharaan shalat-shalat kita adalah dengan menyegerakannya, karena hal itu akan menjadikan seseorang aman dari kehilangan waktunya akibat lupa atau kesibukan [Syarhus-Sunnah, 2/14].

At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْوَقْتُ الْأَوَّلُ مِنَ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ، وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ أَوَّلِ الْوَقْتِ عَلَى آخِرِهِ اخْتِيَارُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، فَلَمْ يَكُونُوا يَخْتَارُونَ إِلَّا مَا هُوَ أَفْضَلُ وَلَمْ يَكُونُوا يَدَعُونَ الْفَضْلَ، وَكَانُوا يُصَلُّونَ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ. قَالَ: حَدَّثَنَا بِذَلِكَ أَبُو الْوَلِيدِ الْمَكِّيُّ، عَنْ الشَّافِعِيّ

“Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Shalat di awal waktu adalah afdlal (lebih utama). Dan yang menunjukkan keutamaan shalat di awal waktu dari yang akhir adalah bahwasannya Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar telah memilihnya (mengerjakan di awal waktu). Dan tidaklah mereka memilih sesuatu kecuali ia mesti lebih utama. Mereka tidak pernah meninggalkan yang utama, dan mereka selalu melaksanakan shalat di awal waktu’. At-Tirmidziy berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid Al-Makkiy hal tersebut dari Asy-Syaafi’iy" [Sunan At-Tirmidziy, 1/216].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قَوْله ( الصَّلَاة عَلَى وَقْتِهَا ) قَالَ اِبْن بَطَّال فِيهِ أَنَّ الْبِدَارَ إِلَى الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ أَوْقَاتِهَا أَفْضَل مِنْ التَّرَاخِي فِيهَا ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا شَرَطَ فِيهَا أَنْ تَكُونَ أَحَبّ الْأَعْمَالِ إِذَا أُقِيمَتْ لِوَقْتِهَا الْمُسْتَحَبِّ

“Sabda beliau ‘shalat pada waktunya’; Ibnu Baththaal berkata tentangnya bahwa mempercepat pelaksanaan shalat di awal waktunya lebih utama daripada mengulur-ulurnya. Hal itu dikarenakan bahwa dipersyaratkannya shalat menjadi amal yang paling dicintai apabila dikerjakan pada waktu yang mustahab” [Fathul-Baariy, 2/9].

Beberapa ulama telah meletakkan hadits-hadits di atas (baik yang dengan atau tanpa tambahan lafadh ‘di awal waktu’) atau hadits-hadits lain yang sejenis dalam bab anjuran shalat di awal waktu di kitab-kitab mereka. Misalnya :
a.     Ad-Daarimiy membuat bab berjudul : [اسْتِحْبَاب الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ] ‘Disukainya shalat di awal waktu’ [As-Sunan, hal. 781].
b.      Ibnu Hibbaan membuat bab berjudul : [الْبَيَانِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الصَّلاةُ لَمْيقَاتِهَا " أَرَادَ بِهِ: فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ] “Penjelasan bahwa sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘shalat pada waktunya’ yang dimaksudkan dengannya : ‘di awal waktunya’” [Shahiih Ibni Hibbaan, 4/339].
c.      At-Tirmidziy membuat bab berjudul : [مَا جَاءَ فِي الْوَقْتِ الْأَوَّلِ مِنَ الْفَضْلِ] ‘Beberapa riwayat tentang waktu awal termasuk keutamaan’ [As-Sunan, 1/212].
d.      Dan yang lainnya.

Ini hukum secara umum. Dikecualikan darinya pelaksanaan shalat ‘Isyaa’ dan shalat Dhuhur apabila siang terlalu panas – sehingga ditunda sampai dingin.

Al-Baghawiy rahimahullah berkata :

أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ، عَلَى أَنَّ تَعْجِيلَ الصَّلَوَاتِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ أَفْضَلُ، إِلا الْعِشَاءَ، وَالظُّهْرَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِنَّهُ يُبَرِّدُ بِهَا

“Kebanyakan ulama dari kalangan shahabat,taabi’in, dan setelah mereka berpendapat bahwa menyegerakan pelaksanaan shalat-shalat di awal waktu adalah afdlal (lebih utama), kecuali ‘Isyaa’ dan Dhuhur saat hari teramat panas, karena ia dilaksanakan setelah dingin (tidak panas)” [Syarhus-Sunnah, 2/14].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jika panasnya sangat menyengat, maka tundalah shalat sampai agak dingin. Karena sesungguhnya panas yang menyengat adalah dari uap neraka Jahannam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 537].

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ، وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى، فَقَالَ: إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي "

Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Suatu malam Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga (hampir) habis waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di masjid tertidur. Kemudian beliau keluar untuk shalat dan bersabda :‘Sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama) jika saja tidak memberatkan bagi umatku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 638].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‎menegakkan shalat ‘Isyaa’ (berjama’ah) melihat kondisi makmum (para shahabat). Jika memang sudah kumpul, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyegerakannya, dan apabila melihat mereka terlambat, beliau pun menundanya. Ini sunnah yang berlaku bagi imam, sebagaimana tercantum dalam riwayat :

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: قَدِمَ الْحَجَّاجُ فَسَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ، وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ، وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ، وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمُ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَوْا أَخَّرَ، وَالصُّبْحَ كَانُوا أَوْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ "

Dari Muhammad bin ‘Amru bin Al-Hasan bin ‘Aliy, ia berkata : Ketika Hajjaaj tiba (di Madiinah), kami bertanya kepada Jaabir bin ‘Abdillah, lalu ia berkata : Adalah Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuhur pada waktu tengah hari yang terik (haajirah). Dan (melakukan) shalat ‘Asar sewaktu matahari dalam keadaan bersih. Dan (melakukan) shalat Maghrib apabila matahari telah tenggelam. Dan (melakukan) shalat ‘Isya’ tidak tetap waktunya. Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka berkumpul, maka beliau menyegerakannya. Dan jika beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka terlambat, maka beliau mengakhirkannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (melakukan) shalat Shubuh ketika fajar telah menyingsing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 560].

Catatan :

a.          Batas mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isyaa’ sebagaimana tercantum dalam hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tidak boleh melebihi tengah malam berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ

Dari Anas, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 572].

b.          Hadits Jaabir menjadi dalil disunnahkannya menyegerakan pelaksanaan shalat di awal waktu – sebagaimana hadits yang dibahas sebelumnya - , karena itulah yang paling sering dilakukan oleh beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Bagi kita, tentu saja mesti memperhatikan shalat yang dilaksanakan oleh imam. Apabila adzan telah dikumandangkan dan imam biasa menegakkan shalat (iqamat) segera setelahnya, maka yang lebih utama bagi kita adalah shalat bersama imam di masjid (daripada mengakhirkannya di rumah), sesuai keumuman nash :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ "

Dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan namun ia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada ‘udzur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 793; shahih].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ، تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ، وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ، بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ، لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً، إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ، كَانَ فِي الصَّلَاةِ، مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ، مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ، يَقُولُونَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ "

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Shalat seseorang dengan berjama'ah melebihi dua puluh lima/dua puluh tujuh sembilan derajat daripada shalat seseorang yang dikerjakan di rumahnya dan di pasarnya, demikian itu karena bila salah seorang diantara mereka berwudlu' dengan menyempurnakan wudlu'nya, lalu mendatangi masjid, dan tidak ada yang mendorongnya kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah, kecuali akan ditinggikan derajatnya dan dihapus kesalahannya, hingga ia masuk masjid. Jika ia telah masuk masjid, maka ia dihitung dalam shalat selama ia tertahan oleh shalat, dan malaikat terus mendoakan salah seorang diantara kalian selama ia dalam majlisnya yang ia pergunakan untuk shalat, malaikat akan berdoa : ‘Ya Allah, rahmatilah dia, ya Allah, ampunilah dia, ya Allah maafkanlah dia, " selama ia tidak melakukan gangguan dan belum berhadats" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 649].

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar