Translate

Sabtu, 23 Mei 2015

Sang Pangeran Yang Kecewa

Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.

Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.

BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.

Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.

KABUR DARI KRATON ‎

Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:

Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.

Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.

PULANG

Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.

Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.

BEBAS

Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.

Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.

Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.

Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.

Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.

PERJUANGAN MORAL

Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah.

Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu:

Ki Gede Suryomentaram,
Ki Hadjar Dewantara,
Ki Sutopo Wonoboyo,
Ki Pronowidigdo,
Ki Prawirowiworo,
BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram),
Ki Suryodirjo,
Ki Sutatmo, dan‎
Ki Suryoputro.
Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.

Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.

Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

PENCERAHAN

Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.

Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.”

Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing.

Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan.

Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”.

Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.

Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.

Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”

PEMBENTUKAN P-E-T-A

Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan.

Pada pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah:

Membela majikan lama yaitu Belanda.
Ganti majikan baru yaitu Jepang.
Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka.
Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain.

Pertemuan “Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa.

Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara).

Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama “Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.

Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.

Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala Sembilan”, masing-masing adalah:

Ki Suwarjono
Ki Sakirdanarli
Ki Atmosutidjo
Ki Pronowidigdo
Ki Prawirowiworo
Ki Darmosugito
Ki Asrar
Ki Atmokusumo
Ki Ageng Suryomentaram
Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.

Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.

PENUTUP

Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.

Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.

Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui rencana sendiri. ‎

Manaqib Mbah Kyai Burhan (R Ng Ronggo Warsito)

Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam "Serat Kalatido" bab.8, seperti di bawah ini :

Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Dillalah karsaning Allah
Sakbeja-bejane wong kang lali
luwih beja kang eling lan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :

Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya menjadi ketaparan.
Namun dari kehendak Allah,
seuntung untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma, berbunyi "bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya". Mengandung arti rasa berserah diri kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga, tempat yang memuat kehidupan langgeng sejati.

Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan kontroversi.

R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut :

- P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)

- P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)

- P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)

- P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)

- P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)

- R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)

R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burhan adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar.

Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito  merupakan seorang bangsawan  berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:

- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)

- R.A. Mangkurat

- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)

- K.A. Wongsotruno

- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)

- R. Ng. Surodirjo I

- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burhan

Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.

Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burhan pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.

Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Ternyata, Ronggowarsito enggan belajar ilmu agama. Ia lebih suka berkawan dengan para warok, dan mempelajari ilmu kesaktian.
Dihukum Makan Pisang
MELIHAT kecenderungan itu, Tanujoyo mengajari Ronggowarsito berbagai ngelmu. Santri lain jadi tertarik, dan Kasan Besari marah besar. Keduanya diusir dari pesantren. 

Mereka lalu berkelana di kawasan Jawa Timur. Kepergian Ronggowarsito dan Tanujoyo membikin bingung Kasan Besari. Ia lalu mengutus muridnya bernama Kromoleyo.

Kromoleyo punya akal untuk menemukan Ronggowarsito. Yaitu dengan main rodat, kesenian tradisional berupa sendratari. Benar juga: di sebuah pasar di Madiun, ia bertemu Ronggowarsito. Ketiganya lalu balik ke pesantren Kasan Besari. Sang kiai lalu mendidiknya dengan keras. Dalam Babad Ronggowarsito dinukilkan, Kiai Kasan Besari menghukum Ronggowarsito dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren selama 40 hari. Sehari-harinya hanya makan sebuah pisang.

Setelah hukumannya selesai, barulah Ronggowarsito diberi ilmu agama. Tanda- tanda ia akan jadi orang hebat mulai tampak. Ronggowarsito sampai diangkat sebagai badal, atau wakil Kasan Besari di pesantren. Pada 1815, Ronggowarsito pulang ke rumah, yang dua tahun ditinggalkannya. Ia langsung dikhitan.

Bekal ilmu dari Kasan Besari itu kemudian ditambahi kakeknya, Sastronegoro, dengan ilmu sastra, serta bahasa Jawa kuno dan Kawi. Dari Panembahan Buminoto, Ronggowarsito juga mereguk ilmu spiritual. Melihat kepandaian sang anak didik, Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V, agar Ronggowarsito, 19 tahun ketika itu, diberi pekerjaan layak di keraton.

Usul itu ditolak. Ronggowarsito sendiri pada saat itu sudah menikah dengan Raden Ayu Gombak. Karena tak punya pekerjaan, Ronggowarsito mengajak Tanujoyo mengembara lagi, dan meninggalkan istrinya. Sampai ke Bali, di setiap daerah yang punya"orang sakti'' Ronggowarsito tak lupa berguru. Setelah pemerintahan dipegang Paku Buwono VI, Ronggowarsito diminta kembali ke keraton sebagai juru tulis, pada 1822.

Tak lama kemudian berkecamuklah Perang Diponegoro, 1825-1830. Ronggowarsito berpihak pada Pangeran Diponegoro. Ketegangan politik muncul antara Belanda dan Paku Buwono VI, yang dianggap pro-Diponegoro. Sampai akhirnya Paku Buwono VI dibuang ke Ambon, dan wafat di sana pada 1849. Nasib yang kurang lebih sama dialami ayah Ronggowarsito, yaitu Ronggowarsito II.
‎‎
Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulisSerat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalamSerat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.

Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.

Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.

Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.

Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden Tumenggung Sastranegara memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya. Kedua utusan itu akhirnya berhasil menemukan Burham dan Ki Tanudjaja, lalu diajaknyalah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar, untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.

Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burhan tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham. Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari perbuatannya dan menyesalkan hal itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.

Sejak saat itu, Bagus Burhan belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burhan menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burhan mampu melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu kembali ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :

Pertama : Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.

Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.

Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.

Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.

Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judulParamasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.

Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*

Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang terjemahannya sebagai berikut:

menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.


Karya Sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,

Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
Sapta dharma
Serat Aji Pamasa
Serat Candrarini
Serat Cemporet
Serat Jaka Lodang
Serat Jayengbaya
Serat Kalatidha
Serat Panitisastra
Serat Pandji Jayeng Tilam
Serat Paramasastra
Serat Paramayoga
Serat Pawarsakan
Serat Pustaka Raja
Suluk Saloka Jiwa
Serat Wedaraga
Serat Witaradya
Sri Kresna Barata
Wirid Hidayat Jati
Wirid Ma'lumat Jati
Serat Sabda Jati
Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.

Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.


Misteri Kematian Sang Pujangga

Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias Bagus Burhan memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:

"Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon."

Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.

Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan. Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito  meninggal bukan secara alami, akan tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.

Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito akhirnya berjalan sempurna.

Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada  Serat Sabda Jati sebagaimana dinukuli di atas.

Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan.  Hal ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Sumur Tua Bernuansa Mistis

Beberapa waktu yang lalu kami berziarah ke makam pujangga agung Tanah Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut dibangun.

Mungkin karena ketuaannya, kami memang merasakan kalau sumur ini telah dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.

Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah tersebut.

Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya, jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku, maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal yang buku-bukunya laris.

Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.

"Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya Sekar Lara Gadung Melati," demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat ditinggalkan.

Ketika kami berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari para peziarah yang belum sempat dibersihkan.

"Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon," tambahnya pula.

Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang sekarang  sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik, di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters (1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.

Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.

Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito, mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat dimanfaatkan.

Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil, yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.

Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830), pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.

Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi, harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini. Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.

Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. "Bayang-bayang hanya setinggi badan." Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang mungkin harus bersabar. ‎

Jumat, 22 Mei 2015

Serat Wulangreh Sastra yang Penuh Makna

Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Beliau  bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820.

Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M.

Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori Kamandhungan.

Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat produktif dan kreatif dalam “dunia pena”, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya. Diantara perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah salat di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran. Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi oleh budaya Belanda.

Ilustrasi Mengajar Sastra Piwulang

Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja. Dalam bidang sastra dan budaya, diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni. Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik), adalah Serat Wulangreh. Karena banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta

Kata Wulang bersinonim dengan kata pitutur memiliki arti ajaran. Kata Reh berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya jalan, aturan dan laku cara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna. 
Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan tembang yang memuat pengertian kata tersebut :

Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara
artinya ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter) akan menjauhkan diri dari watak angkara.

Berdasarkan makna tembang tersebut, laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini. Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan ajaran moral dan budipekerti.

Salah satu keistimewaan karya ini adalah tidak banyak menggunakan bahasa jawa arkhaik (kuno) sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya. ‎Walaupun demikian, ada hal-hal yang perlu dicermati karena karya tersebut merupakan sinkretisme Islam-Kejawen, atau tidak sepenuhnya merupakan ajaran Islam, sehingga akan menimbulkan perbedaan sudut pandang bagi pembaca yang berbeda ideologinya.

Struktur

Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu :

Dandanggula, terdiri 8 pada/bait
Kinanthi terdiri 16 pada/bait
Gambuh terdiri 17 pada/bait
Pangkur terdiri 17 pada/bait
Maskumambang terdiri 34 pada/bait
Megatruh terdiri 17 pada/bait
Durma terdiri 12 pada/bait
Wirangrong terdiri 27 pada/bait
Pocung terdiri 23 pada/bait
Mijil terdiri 26 pada/bait
Asmaradana terdiri 28 pada/bait
Sinom terdiri 33 pada/bait
Girisa terdiri 25 pada/bait

Penelitian

Jika dilihat dari wujud tulisannya, Wulang Reh ditemukan dalam disertasi, thesis, skripsi, makalah, bahkan dapat dijumpai di dunia maya. Tulisan-tulisan tentang Wulang Reh pada umumnya mengupas isi atau maknanya yang kemudian bermuara pada interpretasi kandungan Wulang Reh, seperti nilai-nilai luhur, moral dan budi pekerti (ada yang menyebut dengan istilah etika), nilai-nilai religius, sampai pada ajaran tentang kepemimpinan. Ada pula yang melakukan secara khusus dari segi bahasa.

Penelitian Tema, Nilasi Estetika dan Pendidikan dalam Serat Wulang Reh. Hasil kesimpulannya adalah :

Pertama, tema yang terdapat pada serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yaitu: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian,tema tata krama, ajaran berbakti pada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran.

Kedua, Keindahan serat Wulangreh adanya ritma dan rima serta bunyi bahasa meliputi ‎purwakanthi swara, purwakanthi guru swara, dan purwakanthi lumaksita. Pemahaman tentang diksi (Pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, dan metrum terdapat dalam serat Wulangreh.

Ketiga, nilai pendidikan moral pada Serat Wulangreh adalah nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah diri kepada Tuhan, patuh kepada Tuhan, nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan sesama, nilai pendidikan moral kaitannya manusia dengan diri pribadi, dan nilai tentang agama.

Keempat, ajaran yang ada pada serat wulangreh merupakan ajaran tata kaprajan ‘ajaran tentang perintah memberikan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup, ajaran pada serat Wedhatama merupakan ajaran tentang ilmu keutamaan.

Penelitian dari aspek kepemimpinan dalam Serat Wulang Reh. Kesimpulannya:Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak memiliki sifat lonyo, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumiling, ambuntut arit, adigang, adigung, dan adiguna. Sebaliknya seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat jujur, tidak mengharapkan pemberian orang lain, rajin beribadah, serta tekun mengabdi kepada masyarakat.

Sistim Pemerintahan Majapahit Zaman Raden Wijaya

Raden Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember 1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya.

Raden Wijaya adalah anak Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda Galuh , dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa, yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka bergelar Narasinghamurti.

Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.

Ibukota kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang. Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi.

Versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan. Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan.

Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari.

Kakawin Nagarakretagama mencatat Raden Wijaya memperistri empat orang putri raja Kertanegara :

Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari.
Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.
Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā
Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari: 

Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya. Dalam Nagarakretagama Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana saja. Ia putri sulung Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan pada saat Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan Gayatri ditawan musuh.

Rombongan Raden Wijaya menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih, Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri menggendong Tribhuwana.

Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden Wijaya mendapatkan hutan Tarik untuk dibuka menjadi desa Majapahit , Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji Wijayakarama.

Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293, Kerajaan Majapahit didirikan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Tribhuwana menjadi permaisuri utama selaras gelar Tribhuwana-iswari. Namun Pararaton menyebut bahwa ada istri Raden Wijaya yang dituakan di istana bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara sang putra Mahkota.

Menurut prasasti Kertarajasa (1305), Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara, maka Jayanagara adalah anak kandung Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit tahun 1309-1328. Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.

Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā: 

Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita, adalah putri ketiga dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan.

Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita: 

Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau sering disingkat dengan nama Prajña Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Pradjnya Paramita adalah istri yang paling setia diantara kelima istri Raden Wijaya

Gayatri atau Rajapatni adalah istri ke empat dari Raden Wijaya

Dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanatunggadewi inilah menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya. Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.

Nagarakretagama pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni) wafat tahun 1350 pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12 tahun setelah meninggalnya Gayatri dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan candi di candi Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta Jnyanawidi.

Dara Pethak (Indreswari): 

Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara Petak sebagai persembahan untuk Kertanegara.

Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya, yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma , seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286.

Dara Petak pandai mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng pura, atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi Dara Petak.

Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.

Masa Pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana: 

Setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, beliau kemudian mengangkat pengikut-pengikutnya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan menurut Serat Kekancingan Kadadu 1294 antara lain :

Aria Wiraraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung diberi daerah status khusus (Madura) dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan
Nambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri)
Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati Tuban
Sora menjadi patih Daha (Kadiri).
Struktur brirokrasi pejabat KerajaanMajapahit pada masa Raja Kertarajasa ( Prasasti Pananggungan 1296 Saka).

1. Mahamantri Katrini

Rakyan Menteri Hino : Dyah Pamasi
Rakyan Menteri Halu : Dyah Singlar
Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir
2. Sang Panca Wilwatika

Rakyan Patih Majapahit : Empu Tambi
Rakyan Demung : Empu Renteng
Rakyan Kanuruhan : Empu Elam
Rakyan Rangga : Empu Sasi
Rakyan Tumenggung : Empu Wahan
3. Patih Negara Bawahan

Rakyan Patih Daha : Empu Sora
Rakyan Demung Daha : Empu Rakat
Rakyan Rangga Daha : Empu Dipa‎
Rakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor
4. Pejabat Hukum dan Keagamaan

Pranaraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung
Dang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan
Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa Kasogatan
Panji Paragata menjadi Pemegat Tirwan
Dang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan
Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahannya mirip Singhasari, karena Majapahit adalah ‘EMBRIO’ SINGASARI – namun ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Kabinet Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Dharmaputra adalah suatu jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit). Namun Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat oleh Raden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328.

Para Pejabat Majapahit masing masing diberi gelar sesuai jabatan yang diembannya –

Golongan RakyanMahamantri Katrini

Rakryan Mahamantri Hino,

Rakryan Mahamantri Sirikan

Rakryan Mahamantri halu

Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati.

Sang Panca Wilwatika lima pembesar yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintahan Majapahit:

Patih Amangkubumi,

Patih Demung,

Patih Kanuruhan

Patih Rangga dan

Patih Tumengggung.

Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara.

Narapati Negara Negara bawahan.

Golongan Arya: kedudukan lebih rendah dari Rakyan, namun jasa jasanya seorang dihormati dengan gelar Wreddhamantri atau Menteri Sepuh.

Dang Acarya diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha bergelar Dharmmaddyaksa atau hakim tinggi.

Pembagian wilayah: Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Prasasti Wingun Pitu (1447 M) menyebut bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre:

1. Daha

2. Jagaraga

3. Keling

4. Kabalan

5. Kahuripan

6. Matahun

7. Kembang jenar

8. Tumapel

9. Wirabumi

10. Kelinggapura

11. Tanjungpura

12. Singhapura

13. Pajang

14. Wengker

Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana:

Piagam Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima perang yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara. Dalam pengabdiannya ia menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang diberikan dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap teman teman seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang tinggi kepada para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa perjuangan. Namun rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan ketiadakpuasan diantara pengikut pengikutnya.

Peristiwa Ranggalawe ( 1295 ):
Ranggalawe / Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat. Pertemuan pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang pemberani dan ahli menggunakan senjata.

Namun dibalik sifatnya yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang, atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293, Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara Winotan, mati dipenggal Ranggalawe.

Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang yang berbeda.

Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.

Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun 1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.

Ranggalawe juga mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi.

Setelah menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja. Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.

Mahapati kemudian ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu.

Arya Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati.

Setelah Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit karena Nambilah orang yang paling mereka cari.

Para pengikut Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit.

Hari hari berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan dari majapahit.

Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya. Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe.

Ranggalawe kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya. Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan. Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di sungai Tambak Beras.

Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari.

Berita kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh.

Sementara keberangkatan 10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali, pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur, Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara

Perkelahian sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe.

Didalam kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas.

Melihat keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai. Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras.

Jenasah Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit, sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai pemberontak.

Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu Kertarajasa untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang prabu semasa perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua. Janji tersebut kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga kemudian memutuskan membagi wilayah kerajaan menjadi dua :

Bagian Timur terus keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi raja dengan ibukota Lumajang dan Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit.

KADATON WETAN

Majapahit timur merupakan Negara merdeka dan lepas dari kekuasaan Majapahit. Karena itu bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).

Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi

Peristiwa Ken Sora/ Andaka Sora:
Lembu Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau Lembu Sora.

Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.

Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang. Menurut Pararaton, setelah kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri. Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295.

Menurut Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora, namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi sebagai patih Majapahit.

Dalam peristiwe pemberontakan Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat ini berhasil pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan. Berdasarkan fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi kesayangan Raden Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa pemerintahan Raden Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada rintangan, ada yang iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang ia miliki kehadapan sang prabu.

Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Mahapati sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menduduki posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang menduduki posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari kesalahan yang mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil. Salah seorang tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan berpengaruh besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama penggantinya pastilah Lembu Sora.

Demikianlah menurut rencananya Lembu Sora harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia memperoleh tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang merupakan rekan sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Sebelum menjalankan siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para Menteri lainnya sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu Kertarajasa.

Pembunuhan terhadap rekan sepasukan tersebut baru diungkit tahun 1300. Mahapati menghadap Raden Wijaya dan menceritakan bahwa para Menteri tidak puas dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu Sora. Ketidakpuasan tersebut semakin meningkat karena seolah olah sang prabu membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman karena Sora adalah abdi kesayangan Raden Wijaya. Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga menghasut Raden Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora.

Raden Wijaya tersinggung dituduh tidak adil. Ia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan sang Prabu yang serta merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu mencari kesempatan yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati mengusulkan agar Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk menyingkirkan Lembu Sora.

Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah airnya. Mahapati kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah mengambil keputusan untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan menggantinya dengan Mahesa Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat oleh uraian yang disampaikan Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan orang orangnya untuk menghadap sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya bahwa Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara licik dan kejam harus mendapat hukuman yang setimpal, juga para menteri yang terkena hasutan Mahapati sepakat bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman akibat dari perbuatannya.

Mahapati yang pandai menjalankan peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman Lembu sora, dikatakannya bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah hukuman tersebut namun tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan pasukannya. Sementara itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu Sora tidak akan dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke Tulembang. Keputusan tersebut disampaikan langsung utusan Prabu kertarajasa dari Majapahit. Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih baik mati daripada harus dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup sabar menerima keputusan Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang telah terjadi antara dirinya dengan Lembu Sora yang merupakan abdi kesayangannya..

Mahapati pura pura membela Sora dan mengusulkan agar sang Prabu memberikan peringatan secara tertulis kepada Sora dan menunggu jawabannya. Segera Sang prabu mengutus Mahapati untuk menyampaikan surat tersebut langsung kepada Lembu Sora yang isinya bahwa menurut kitab Undang undang Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati, namun dibebaskan dari hukuman tersebut dan sebagai gantinya ia akan di pindahkan ke Tulembang. Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada jaman Majapahit yang isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang disimpan di Leiden Belanda.

Setelah membaca surat tersebut, Lembu Sora kemudian menyampaikan jawabannya bahwa ia masih menaruh cinta bakti kepada sang prabu dan akan menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan sang Prabu. Ia tidak akan membantah sekalipun akan diserahkan kepada Kebo Taruna. Lembu Sora merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan sang prabu. Mahapati yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas akan penyerahan jiwa raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan kepada sang Prabu bahwa Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman raja.

Setelah mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara Majapahit. Siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan singkat dalam Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.

Berbeda dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas, Pararaton menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak pada pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya.

Wafatnya Raden Wijaya
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. Raden Wijaya dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dalam kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudan nya Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. 

Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan.

Rd.(Nararyya) Wijaya ing Wilwatikta‎