Translate

Jumat, 08 Mei 2015

Sejarah Kerajaan Luwu

Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini mengacu pada nama Kerajaan Luwu yang disebut dalam naskah Bugis I La Galigo. Sesuai dengan naskah I La Galigo, Kerajaan Luwu kemungkinan telah berdiri pada abad ke-VII atau sebelumnya.

Berbicara tentang kapan berdirinya kerajaan Luwu belum ada sumber yang akurat yang bisa menjelaskan secara pasti tahun di dirikannya kerajaan Luwu tersebut. kerajaan Luwu baru terunkap secara resmi setelah ditulis oleh Prapanca pada zaman Majapahit tahun 1364 M dalam bukunya Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada disulawesi sebagai fase periode kerajaan di Nusantara.tetapi jika bersumber dari data ini maka kerajaan Luwu itu berawal Dari Simpurusiang padahal dalam sumber I Lagaligo terangkan bahwa pemerintahan Luwu pernah dibawah raja yang Bernama Batara Guru dan Batara Lattu. 

Kerajaan Luwu  juga diperkirakan se-zaman dengan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di pulau jawa. Dari perkiraan itu sehingga ada yang menduga bahwa kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika menghitung mundur dari masa pemerintahan Simpurusiang ( raja Luwu III ) yang berkuasa pada Tahun 1268 dengan adanya jarak kekosongan pemerintahan selama 300 tahun maka besar kemungkinan masa pemerintahan Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana dalam buku Sarita Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa Batara Lattu memerintah selama 20 tahun. Dari sumber ini dapat disimpulkan bahwa Batara Guru memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung mundur lagi dimasa pemerintahan Batara Lattu.

Dalam Epos I Lagaligo yang merupakan sumber tertua sejarah Luwu yang berhasil dikumpulkan oleh sarjana Belanda B.F. Matthes tahun 1880. Disebutkan bahwa yang pertama mendirikan kerajaan ware’ sekitar Ussu bernama Batara Guru. Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari To Patotoe dengan Datu Palinge.

Batara Guru dikisahkan sebagai manusia jelmaan dari dewa yang diturunkan oleh Patotoe ke bumi dimana pada saat itu terjadi kekosongan. Dalam penafsiran kata “kosong” oleh para sejarawan bermakna kekosongan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia dari kekacauan ( Sianre Bale ) di tana Ware.

Adapun latar belakang diturunkannya Batara Guru ke Bumi dapat kita ketahui dalam kitab I Lagaligo sebagai berikut :
“Empat Manusia Dewa Sebagai Abdi Dikerajaan Langit, Sepulang dari taruhan permainan badai, petir, dan guntur melapor kepda baginda raja penguasa kerajaan langit yakni dewa sang penentu Patoto’E- Ampun Baginda kami baru saja pulang dari dunia tengah ( Ale Lino ) kami melihat bumi dalam keadaan kosong”.

Mendengar laporan para abdinya itu membuat raja PatotoE berpikir perlunya diutus salah seorang penghuni langit untuk diturungkan kebumi agar bisa memakmurkan bumi, selain itu agar bisa berketurunan dan kelak ada yang mengirimkan doa kepada dewata dikala senang mapun sulit.

Karena PatotoE merasa ini adalah hal yang penting untuk kelangsungan hidup di Bumi dan Langit maka Raja PatotoE mengundang seluruh kerajaan Dewa yang ada dikerajaan Langit ( Boting Langi ) Maupun kerajaan dasar Laut ( Paratiwi / Uri Liu ) untuk memutuskan siapa yang akan di utus  turun ke bumi. Dari kesepakatan antara pasangan raja PatotoE dengan Istrinya Datu Palinge maka di putuskanlah bahwa Putranyalah yang bernama La Toge Langi yang kemudian dikenal dengan nama Batara Guru.

Dalam cerita selanjutnya Batara Guru pun diturunkankan ke bumi ( Ale Lino ). Konon dalam cerita bahwa Batara Guru dimunculkan dari balik rumpun bambu kemudian disusul turunnya hak warisan berupa bekal kehidupan termasuk istana disekitar kampung “Ussu” yang kala itu masih hutan rimba dimana dari tempat ini menjadi awal mula pemerintahan “Ware” setelah Batara Guru bertemu dengan Istrinya yang bernama We NyiliQ Timo yang masih merupakan sepupunya yang berasal dari kerajaan Laut ( Para Tiwi ). We Nyiliq Timo muncul di “Busa Empong” di perkirakan muncul di teluk “Ussu” waktu dipertemukan dengan Batara Guru. Dalam sumber lain dikatakan bahwa disamping menikahi We Nyiliq Timo Batara Guru juga menikah We Saungriu. Dari perkawinannya itu lahir Sangian Sari . tetapi putri ini Mati muda dan dikisahkan bahwa dari perabuan Sangian sari tumbuh padi pertama di Luwu.

Dalam sejarah digambarkan bahwa sebelum Batara Guru diturunkan dibumi, situasi masyarakat Bugis Kuno hidup dalam ketidak teraturan, mereka saling menyerang tanpa aturan yang jelas, situasi tidak aman, yang kuat memangsa yang lemah ( Sianre Bale ). Akibat dari ketidak teraturan itu maka masyarakat sangat merindukan yang namanya kedamaian. Disaat Masyarakat mengalami keterasingan jiwa, Batara Guru hadir membawa ajaran kebenaran yang menyankut hal hal prinsif seperti “ Adele, Lempu,Tongeng, dan Getteng “ ajaran tersebut sangat didukung oleh situasi sehingga membuat ajaran dan segala kebijakan pada pemerintahan Batara Guru sangat efektif di masyarakat. 

Sosok seorang Batara Guru digambarkan oleh masyarakat itu amat dihormati karena disamping sebagai titisan Manusia Dewa, ia amat bijak dalam memerintah dan mempunyai tenaga yang kuat dan pemberani dalam melindungi penduduk dan hal ini diturunkan atau diwariskan secara tutun temurun kepada peminpin masyarakat Bugis yang dituangkan dalam simbol “ Pedang Emas, Payung Kerajaan dan Perisai ”.

Dari pernikahannya dengan We Nyiliq Timo, Batara Guru dikarunia seorang anak yang bernama Batara Lattu. Ia merupakan calon pemegang tahta kerajaan Luwu setelah Batara Guru. Ia dilahirkan diistana Ware dilokasi segita ( Bukit Finsemouni- Ussu- Cerekan ). Dalam sumber sejarah dikatakan bahwa ketika Batara Lattu cukup dewasa, dan pemerintahan tegak kembali, Batara Guru memutuskan untuk kembali ke kerajaan Langit. Kekuasaan Ware pun diserahkan kepada Batara Lattu dan tetap dianggap sebagai Dewa.


Sejarah awal Kerajaan Luwu

Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kerajaan ini, namun Kerajaan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan pada abad ke-XV Jika ditarik ke belakang, nama Kerajaan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis I La Galigo. Di sini dikenal nama tokoh Sawerigading yang berasal dari kerajaan di Sulawesi Selatan (besar kemungkinan adalah Kerajaan Luwu). Menurut beberapa ahli, kerajaan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV‎. Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kerajaan Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum abad ke-VII.

Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari tiga kerajaan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo. Pada bagian awal kisah dalam  I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis.  I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya sastra. Rafles menyebut I La Galigo  sebagai sebagai teks sejarah, khususnya pada bagian tokoh Sawerigading.

Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kerajaan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi kerajaan tertua di tanah Bugis.

Kerajaan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu’. Bersama dengan Kerajaan Gowa dan Bone, Kerajaan Luwu disebut sebagai Kerajaan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau utama). Kerajaan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota diPalopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kerajaan Luwu.

Pada abad ke-XIV sampai XV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kerajaan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kerajaan Luwu menjadikannya sebagai kerajaan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi.

Kekuatan Kerajaan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan. Pada abad ke-XV, Kerajaan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di Kerajaan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 – 1530 Masehi, kekuasaan Kerajaan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kerajaan Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya diserahkan kepada Kerajaan Wajo. Ketika itu Kerajaan Wajo diperintah oleh Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, sedangkan Kerajaan Luwu diperintah oleh Dewaraja.

Kekuasaan Kerajaan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu, Kerajaan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah. Akibat dari semakin kuatnya Kerajaan Bone, pada pertengahan abad ke-XVII, kemegahan Kerajaan Luwu mulai tertandingi seiring dengan meningkatnya kebesaran Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka.

Perlawanan terhadap Belanda

Pada awal abad ke-20, Kerajaan Bone telah takluk di tangan Pemerintah Hindia Belanda. Penaklukan atas Kerajaan Bone ternyata berimbas dengan penaklukan terhadap Kerajaan Luwu dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk di dalamnya Kerajaan Luwu. Secara tegas, Kerajaan Luwu menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini, perang antara Kerajaan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.

Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kerajaan Luwu pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte verklaring) kepada raja Kerajaan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat perjanjian pendek dengan Kerajaan Luwu ‎Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kerajaan Luwu diserang oleh Belanda.

Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kerajaan Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak Belanda dan Kerajaan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada tanggal 12 September 1905.

Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, “yang telah meninggal dunia di Ponjalae”) Pasca kematian Andi Tadda, Kerajaan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905.‎ Sejak saat itu, Kerajaan Luwu telah takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.  

Penaklukan Kerajaan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan sistem pemerintahan yang berada di Kerajaan Luwu. Belanda mengatur sistem pemerintahan dengan membagi Kerajaan Luwu menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Selain itu, wilayah Kerajaan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekonggae Sistem pemerintahan di Kerajaan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.

Pada era kemerdekaan, Kerajaan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma (putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu (periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kerajaan Luwu terakhir. Sejarah Kerajaan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. 


Nama-nama Pajung/Datu Luwu

Berikut ini adalah nama-nama Pajung atau Datu yang pernah memerintah Kerajaan Luwu yang diawali oleh kepemimpinan Batara Guru dan diakhiri oleh Andi Djemma sebagai raja terakhir.

- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.

- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.

- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.

- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.

- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.

- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.

- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.

- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.

- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.

- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.

- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.

- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.

- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.

- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.

- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada tahun 1587-1615 M.

- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.

- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17 memerintah pada tahun 1637-1663 M.

- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.

- Lamaddussila Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.

- La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.

- Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.

- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.

- We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.

- Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Petta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.

- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun 1778-1810 M.

- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun 1810-1825 M.

- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.

- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun 1854-1880 M.

- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.

- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar