Translate

Sabtu, 09 Mei 2015

Sejarah Kerajaan Banggai

Wilayah Kerajaan Bang­gai saat ini mencakup Kabupaten Banggai Kepulauan dan atau Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepin­tas Kilas, kerajaan ini di­perkirakan berdiri pada 1525. Jika merujuk kepada Nagarakretagamakarangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M), Prapanca menyebut sebuah tempat bernama Banggawi.

“Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara”.

Untuk saat ini, masih cukup sulit menulisan sejarah Kerajaan Banggai sebelum abad ke-14. Apakah Banggawi yang dibicarakan Prapanca itu Banggai, atau lebih jauh lagi apakah Prapanca itu menyebut Banggawi sebagai sebuah kerajaan atau hanya nama tempat?

Banggai dipercaya telah menjadi kerajaan sebelum abad ke-14, informasi tersebut oleh beberapa pihak —selain dihubungkan dengan pernyataan Prapanca dalamNagarakrtagama—  juga kerap dihubungkan dengan kronik Cina karya Chu Ku fei (1178 M)  yang dalam bukunya berjudul  Ling-wai, menulis bahwa kerajaan Banggai merupakan kerajaan kecil yang masuk dalam sebelas wilayah Kerajaan Kediri (Panjalu, 1041 M), dengan nama Ping ye = Banggai, meliputi kerajaan kecil pertama,  Pai Hua yuan = Pacitan, kedua Me tung = Medang, ketiga Ta pen = Tumapel, keempat Jung ya lu = Hujung Galu, kelima Ta kang = Sumba, keenam Huang ma chu = Irian Barat daya, ketujuh Ma li = Bali, kedelapan Khu lun = Gurun Lombok, kesembilan Ti wu = Timor, kesepuluh Ping ye = Banggai dan kesebelas Wa nu ku = Maluku.

Dalam khasanah masyarakat Banggai sendiri, sumber untuk mengungkap cerita ini bisa ditemukan dari tradisi lisan mereka atau dari balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai “kemasukan” roh halus.

Bagaimanapun hasil temuan kita sekarang, penulisan sejarah untuk kerajaan Banggai —dan umumnya untuk penulisan sejarah kuna Indonesia— seharusnya tidak  berada dalam posisi final, masih banyak data dan fakta yang bisa berkembang seiring bukti baru yang kelak ditemukan.

Sejarah Kerajaan Banggai

Konon, nama Banggai dahulu bernama “Tano Bolukan”. Tano Bolukan merupakan suatu kerajaan tertua di daerah Banggai Kepulauan yang merupakan hasil penggabungan kerajaan-kerajaan kecil. Syarif (2008) yang menulis tentang sejarah kerajaan Banggai dalam bukunya “Sekilas Tentang Kerajaan Banggai” memberi gambaran tentang empat kerajaan ini. Bahwa di wilayah kekuasaan kerajaan Banggai berdiri empat kerajaan yang memiliki wilayah yang berdaulat atas wilayahnya; Babulau + 5 km dari desa Tolise Tubuno, Kokini berkedudukan di desa Lambako, Katapean berkedudukan di desa Sasaba + 5 km. Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak+ 7 km dari desa Gonggong.

Keempat kerajaan tersebut dipimpin oleh sekumpulan pemimpin yang di sebut dengan “Basalo Sangkap” (Empat Besar) yang pada masa Kerajaan Banggai mereka selanjutnya berfungsi sebagai Dewan Kerajaan. Basalo Sangkap inilah orang-orang Tano Bolukan, atau orang-orang Banggai menamakan dan menganggap mereka itu “Tano Bukuno” atau “Tano Tumbuno” artinya yang mempunyai tanah atau orang Banggai asli.

Pada awalnya daerah yang sekarang dikenal sebagai kabupaten daerah tingkat II tingkat Banggai banyak berdiri kerajaan. Satu dari sekian kerajaan itu, yang tertua bernama kerajaan bersaudara Buko-Bulagi. Letak kerajaan itu di Pulau Peling (Peleng) belahan barat. Belakangan muncul pula kerajaan-kerajaan baru seperti, kerajaan Sisipan, kerajaan Liputomundo, Kadupang. Kesemuanya ada di pulau Peling tengah. Masa itupun telah berdiri kerajaan yang cukup besar yakni Bongganan di sebelah timur Peling. Upaya memekarkan kerajaan Bongganan dilakukan salah seorang pangeran dan beberapa bangsawan kerajaan Banggai. Kala itu kerajaan Banggai wilayahnya hanya meliputi pulau Banggai.

Di Banggai Darat pada masa itu berdiri pula kerajaan Bualemo di sebelah utara. Di bagian selatan, ada kerajaan tiga bersaudara Motiandok, Balalowa, di tambah satu kerajaan lagi bernama Gori-Gori di bagian paling selatan. Perkembangan kerajaan Banggai yang terpusat di pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus Inter Peres atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada. Ketika pemerintahan kerajaan Banggai masih berada di bawah pimpinan kesultanan Ternate akhir abad 16.

Di Banggai kepulauan terdapat beberapa kerajaan kecil yaitu kerajaan Buko (di kecamatan Buko sekarang), Bulagi, Peling, dan Saluap (di kecamatan Bulagi sekrang), Lipotomundo, Kadupang dan Sisipan (di kecamatan Liang sekarang), Bonggananan (di kecamtan Tinakung dan kecamatan Totikum sekarang) dan Banggai (kecamatan Banggai, kecamatan Bangkurung dan kecamatan Labobo sekarang).

Semua yang berada di kerajaan-kerajaan tersebut adalah penduduk asli yang mengunakan bahasa Aki (bahasa Banggai, artinya: Tidak). Kerajaan yang terkenal dari semua kerajaan itu, termasuk kerajaan Tompotikka di Banggai Darat dan kerajaan Bongganan di Banggai kepulauan, ialah kerajaan Banggai di Banggai kepulauan. Bahkan, sampai saat ini nama “Banggai“ masih tetap di pakai sebagai nama dan kabupaten yaitu kabupaten Banggai dan kabupaten kepulauan.

Sistem pemerintahan Kerajaan Banggai

Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi sangat terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir.

Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental mengatakan bahwa di zamannya itu sebagian besar raja-raja yang ada Nusantara sudah beragama Islam, akan tetapi masih tetap ada daerah-daerah atau negeri yang belum menganut agama Isalam di Nusantara. Penyebaran agama Islam di lakukan di daerah-daerah pesisir pantai para pedangang- pedangang muslim dari Gujarat (Persia) dan para pedangang tersebut menikah dengan masyarakat setempat dan terjadilah percampuran kepercayaan. Selanjutnya di Indonesia bagian timur agama Islam tiba dan berkembang di “kepulaun rempah-rempah” Maluku Indonesia Timur. Para pedangang muslim dari Jawa dan Melayu menetap di pesisir Banda, tetapi tidak ada seorang raja pun disana, dan daerah pedalaman masih di huni oleh penduduk nonmuslim. Ternate, Tidore, dan Bacan mempunyai raja-raja muslim. Penguasa-penguasa Tidore dan Bacan memekai gelar “Raja”, tetapi penguasa Ternate telah menggunakan gelar “Sultan”, dan raja Tidore bernama Arab, al-Mansur.

Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota.

Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalah dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing.  Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi  Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).

Untuk urusan pemerintahan di Kerajaan Banggai, di pegang langsung oleh seorang Raja atau Tomundo atau Tuutuu. Raja di pilih dan di angkat oleh Basalo Sangkap (Dewan Kerajaan) langsung dari keturunan atau sekurang-kurangnya ada ikatan hubungan keluarga dengan raja. Selain itu, Basalo Sangkap juga memperhatikan kecakapan dan kesanggupan untuk memimpin. Basalo Sangkap menjadi seperti lembaga legislatif yang kemudian bertugas memilih, melantik, dan memberhentikan raja Banggai. Basalo Sangkap dengan kedudukan sebagai lembaga tinggi sejajar dengan Tomundo (Raja). Basalo Sangkap membidangi urusan Legislatif dan penasihat Tomundo. Sedangkan Tomundomembidangi urusan Eksekutif / pemerintahan kerajaan.

Adapun Dewan Kerajaan (Basalo Sangkap) yaitu terdiri dari:

Raja Singgolok atau Basalo Gong-gong.
Raja Katapean atau Basalo Monsongan.
Raja Boobulau atau Raja Dodung.
Raja Kokini atau Basalo Tano Bonunungan.
Ketika empat raja yang men­jadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh keturunannya atau setidak-ti­daknya oleh orang yang memi­liki hubungan keluarga dengan mereka. Sampai saat ini ketu­runan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui.

Selain Basalo Sangkep, Raja juga dibantu oleh “komisi empat” yang diangkat secara langsung oleh raja yang sedang berkuasa dengan persetujuan Basalo Sangkap, yang terdiri dari:

Mayor Ngopa atau Raja Muda
Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang
Jogugu atau Mentri Dalam Negeri
Hukum Tua atau Pengadilan

Komisi empat juga mempunyai wilayah kekuasaan yang dipegang mereka dan masing-masing mempunyai staf inti yang dipilih dan diangkat langsung oleh raja de­ngan persetujuan Basalo Sang­kap seperti : Jogugu yang memegang kekuasaan di Banggai dan Labobo Bangkurung dan sekitarnya, mempunyai staf Kapitan, Kapitan Lonas, Kapitan Kota. Mayor Ngopa yang berwenang di Teluk Tomini memiliki staf seperti Letnan Ngofa, Kaputan Prang, dan Letnan Dua. Kapitan laut mempunyai wilayah kekuasaan Dari Batui sampai ke Balantak mempunyai Staf Syah Bandar, Bea Cukai. Hukum Tua yang memiliki cakupan kekuasaan di Seluruh Peling mempunyai Staf Mahkamah dan Pengadilan.

Selain dari komisi empat tersebut, raja juga mempunyai staf pribadi untuk urusan pemerintah­an dan rumah tangga istana, seperti untuk bagian pemerintahan raja dibantu oleh Gimlaha Sadeha-Saseba, Panebela Bayu, Mian Tu Liang, Mian Tu Baasaan, Panebela Tololak, Mian Tu Palabatu. Untuk urusan Rumah Tangga dibantu oleh Genti dan Jeufana.

Sehubungan dengan struktur pemerintahan tersebut di atas, di bidang agama Islam pun giat di pelajari dan disebarluaskan. Pada masa Maulana Prins Mandapar memerintah di kerajaan Banggai ia di dampingi oleh seorang ulama sekretarisnya yang bernama “Tengku Hasan Alam” yang biasanya orang-orang kerajaan Banggai menamakan beliau “Tanduwalang”.  Oleh sekretarisnya “Tengku Hasan Alam” sehingga agama tersebut dianut oleh masyarakat, teristimewa masyarakat pantai sehingga pemerintahan pun bersemboyan “Adat bersendi syara, Syara Bersendi Adat” yang menandakan budaya rakyat Banggai yang sopan santun, berbudi luhur, ramah tamah, dan bersahaja.

Adapun yang mengepalai urusan agama Islam disebut “kale” atau “gadhi”. kale atau Gandi ini dibantu oleh beberapa iman diantaranya: Iman Sohi, Iman Tano Bonunungan, Iman Dodung, Iman Gong-gong dan Imam Monsongan. Iman dibantu oleh beberapa Hatibi atau Khatib. Dan Khatib-khatib ini juga dibantu oleh bebrapa Mojim Muazzim.

 Silsilah raja raja Banggai

Pada awal abad ke-16 empat kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean) diku­asai Kesultanan Ternate. Adi Cokro (Mbumbu Doi Jawa), seorang Pangeran dari kerajaan Demak yang juga merupakan panglima Perang Kesultanan Ternate, pada tahun 1530 M kemu­dian menyatukan empat kerajaan itu menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pu­lau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai dan tokoh yang menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Masyarakat Banggai juga mengenal seorang tokoh bernama Adi Soko, apakah tokoh ini sama dengan Adi Cokro? Dari fonologi dan atau juga fonetik memang cukup mirip.

Tokoh Adi Cokro ini sebagai Raden Cokro yang merupakan keponakan Dipati Unus. Raden Cokro mendapat perintah ke Ternate untuk tujuan membantu Sultan ternate mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada Ternate dari serangan Portugis. Sedangkan Albert C. Kruyt dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai) secara terang-terangan mengatakan bahwa Adi Cokro adalah orang yang menaklukan Pulau Banggai, Peling dan Daratan Timur Sulawesi. Adi Cokro kemudian mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia (Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah ” Adi” merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM (Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan bugis.

Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebe­lum Kerajaan Banggai berdiri, empat kerajaan ini selalu ber­selisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling bersitegang. Namun, persaingan tersebut tidak sampai pa­da peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja masing-ma­sing. Mungkin karena selalu ber­selisih, maka empat kerajaan ter­sebut jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Temate, seki­tar abad ke-16. Setelah Adi Cokro menyatu­kan keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih Abu Ka­sim, putra Adi Cokro hasil per­kawinan dengan Nurussa­pa, putri Raja Singgolok, men­jadi Raja Banggai. Namun, se­belum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins Manda­par.

Maulana Prins Manda­par, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai ta­hun 1600 sampai 1625. Menurut Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.

Pelantikan Mandapar dan ra­ja-raja setelahnya konon dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai.

Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Bang­gai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate ini mengakibatkan sejumlah ra­ja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara.

Perlawan­an paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang Tobelo.

Raja- raja yang Memerintah di Kerajaan Banggai dapat diuraikan sebagai berikut :

Maulana Prins Mandapar/Mumbu doi Godong (1571-1601 M)
Mumbu doi Kintom (1602-1630 M)
Mumbu doi Benteng (1630-1650M)
Mumbu doi Balantak Mulang (1650-1689 M)
Mumbu doi Kota (1690-1705 M)
Mumbu doi Bacan / Abu Kasim (1705-    1749M)
Mumbu doi Mendono (1749-1753 M)
Mumbu doi Pedongko (1754-1763 M)
Mumbu doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808 M)
Mumbu doi Galela Raja Atondeng (1808-1815 M)
Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831 M)
Mumbu doi Pawu Raja Taja (1831-1847 M)
Mumbu doi Bugis Raja Agama (1847-1852 M)
Mumbu doi Jere Raja Tatu Tanga (1852-1858 M)
Raja Saok (1858-1870 M)
Raja Nurdin (1872-1880)
Raja H. Abdul Azis (1880-1900)
Raja H. Abdurracman (1901-1922 M)
Haji Awaludin (1925-1940 M)
Raja Nurdin Daud (1940-1949 M))
Raja H. Syukuran Aminuddin Amir (1941-1957 M)
Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 21 orang. Jika dinilai tidak mampu me­mimpin, raja-rajanya dapat diberhentikan oleh Basalo sangkap. Pada waktu raja Awaludin wafat pada akhir tahun 1940, sudah menjadi aturan atau adat, bahwa sebelum raja di makamkan, sudah harus ada penggantinya maka Basalo Sangkap mengangkat Nuridun Daud yang waktu itu masih anak-anak dan masih berumur 10 tahun. Pengangkatan dan pelantikan tersebut disaksikan oleh tuan Asisten Residen Posso yang kebetulan ada di Banggai untuk menghadiri rapat kerja kerajaan Banggai. Pada tanggal 1 Maret 1941 ditunjuklah  Syukuran Aminuddin Amir  yang saat itu menjadi Mayor Ngofa menjadi “Raja”.

Abdul Bary dalam artikelnya yang berjudul ”Meluruskan Sejarah Banggai”mengulas  mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai yang menurutnya bukanlahTomundo yang “terlegitimasi” secara sah oleh tata aturan hukum kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai pelaksana tugas harian dari Tomundo Banggai Nurdin Daud yang masih muda.  Syukuran Aminudin Amir ini tercatat sebagai Tomundo karena ia kemudian mengukuhkan diri sebagai Tomundo meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana “ketentuan adat” kerajaan Banggai.

Berakhirnya Kerajaan Banggai.

Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis setelah Ternate jatuh ke tangan Portugis. Bukti adanya pengaruh Portugis di kerajaan Banggai setidaknya dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa Portugis di daerah ini di antaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya.

Nuansa Portugis yang ditularkan oleh Kesultanan Ternate dan selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai pun mulai melemah seiring pengaruh Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian seorang pelaut berkebangsaan Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai, pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak masa pemerintahan raja pertama kerajaan Banggai Maulana Prins Mandapar.

Bangsa Belanda datang ke Banggai pada tahun 1630 pada saat itu di kerajaan Banggai raja yang berkuasa yaitu raja Doi Benteng, dan rakyat mengira kedatangan Belanda merupakan niat baik dan punya tujuan untuk membantu rakyat Banggai yang pada saat itu masih di kuasai oleh kesultanan Ternate. Nyatanya Belanda pula menjajah Banggai dan mengambil semua hak dagang yang di peroleh oleh masyarakat Banggai. Lama-lama kelamaan Belanda juga menjadi penguasa di kerajaan Banggai serta membagi-membagi daerah kekuasaan di tanah Banggai menjadi Banggai Darat dan Banggai Kepulauan.

Setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut oleh Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah tercatat Kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat di Indonesia Timur.

Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung sejak tahun 1625-1667. Pada tahun 1667 dilakukan perjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa melepaskan semua wilayah yang tadinya masuka dalam kekuasaan Kerajaan Ternate seperti Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi (Pulau Peling), Kaidipan, Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan kaili.

Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak ( 1681-1689 ) hingga Mbulang memberontak terhadap Belanda. Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda, sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC (Belanda).

Tahun 1741 tepatnya tangga l 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal disana.

Usaha Raja-raja Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan Ternate berulang kali dilakukan dan kejadian serupa dilakukan Raja Banggai ke-9 bernama Antondeng yang bergelar Mumbu Doi Galela (1808 – 1829). Serupa dengan Raja-raja Banggai sebelumnya, Antondeng juga melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate. Sebenarnya perlawanan Anondeng ditujukan kepada VOC (Belanda). Karena Antondeng menilai perjanjian yang disebut selama ini hanya menguntungkan Hindia Belanda dan menjepit rakyatnya. Karena itulah Antondeng berontak. Karena perlawanan kurang seimbang, Antondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke Galela (Pulau Halmahera).

Setelah Antondeng dibuang ke Halmahera, Kerajaan Banggai kemudian dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis. Memerintah tahun 1829 – 1847. Raja Agama sempat melakukan perlawanan yang sangat heroik dalam perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi Kerajaan ternate didukung armada laut yang modern, akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama dilakukan dari Kota Tua – Banggai (Lalongo). Dalam perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat yang sangat mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke wilayah Bone Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874.

Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, munculah dua bersaudara Lauta dan Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja Taja tidak berlangsung lama. Meski hanya sebentar memimpin tetapi keduanya sempat melakukan perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut.

Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata.

Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Secara De Jure kerajaan Banggai berakhir pada tahun 1952 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1952, tanggal 12 Agustus 1952 Tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai. Pada tanggal 4 Juli 1959, wilayah kekuasaan Ke­rajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat ka­bupaten) berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, wilayah onderafdeling Banggai yang meliputi seluruh bekas wilayah Swapraja Banggai sebagai bagian dari daerah afdeling Poso, dinyatakan berdiri sendiri sebagai daerah swatantra tingkat II, dengan nama “Daerah Tingkat II Banggai” dengan kedudukan pemerintahan berada di Luwuk. Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai masih dapat ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai dan beberapa peninggalan lainnya yang tersebar di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.‎

1 komentar: