Translate

Selasa, 20 Juni 2017

Makna Filosofi Dalam Bentuk Keris

Dapur Keris adalah penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai dengan ricikan yang terdapat pada keris itu dilihat dari jumlah luknya. Penamaan dapur keris ada patokannya, ada pembakuannya. Dalam dunia perkerisan, patokan atau pembakuan ini biasanya disebut pakem dapur keris. Misalnya, keris yang bentuknya lurus, memakai gandik polos, tikel alis, danpejetan, disebut keris dapur Tilam Upih.

Jadi, semua keris yang bentuknya seperti itu, namanya tetap dapur Tilam Upih. Keris buatan mana pun atau buatan siapa pun, kalau bentuknya seperti itu, namanya tetap dapur Tilam Upih. Pembedaan selanjutnya adalah dengan melihat tangguh (era/zaman pembuatan, atau gaya pembuatan), melihat gambaran bentuk pamornya, dan memperkirakan empu pembuatnya.

Itulah sebabnya, keris berdapur Tilam Upih mungkin ada ratusan ribu jumlahnya, dan bahkan dapur Nagasasra yang terkenal itu ada puluhan ribuan pula jumlahnya. Bila dibandingkan dengan dunia otomotif, bentuk mobil juga dapat dibadakan antara jeep, truk, bis, sedan, pick-up, dsb. Jumlah jeep di dunia ini mungkin ada jutaan buah, tetapi masing-masing dapat dibedakan karena merknya berlainan, tahun pembuatannya ber-beda, warnanya berbeda, dan interior serta variasinya pun berlainan satu sama lain.

Demikian pula dengan keris. Walaupun ada ratusan keris yang dapurnya sama, antara satu dan lainnya selalu dapat dibedakan. Dunia perkerisan di masyarakat suku bangsa Jawa mengenal 145 macam dapur keris. Namun dari jumlah itu, yang dianggap sebagai dapur keris yang baku atau mengikuti pakem hanya sekitar 120 macam.

Serat Centini, salah satu sumber tertulis, yang dapat dianggap sebagai pedoman dapur keris yang pakem, memuat rincian jumlah dapur keris sebagai berikut: Keris lurus ada 40 macam dapur. Keris luk 3 (tiga) ada 11 macam. Keris luk 5 (lima) ada 12 macam. Keris luk 7 (tujuh) ada 8 macam. Keris luk 9 (sembilan) ada 13 macam. Keris luk 11 (sebelas) ada 10 macam. Keris luk 13 (tigabelas) ada 11 macam. Keris luk 15 (limabelas) ada 3 macam. Keris luk 17 (tujuhbelas) ada 2 macam. Keris luk 19 (sembilan belas) sampai luk 29 (dua puluh sembilan) masing-masing ada semacam.

Namun, menurut manuskrip Sejarah Empu, karya Pangeran Wijil, jumlah dapur yang dianggap pakem lebih banyak lagi. Catatan itu menunjukkan dapur keris lurus ada 44 macam, yang luk tiga ada 13 macam, luk sebelas ada 10 macam, luk tigabelas adal 1 macam, luk limabelas ada 6 macam, luk tujuhbelas ada 2 macam, luk sembilanbelas sampai luk duapuluh sembilan ada dua macam, dan luk tigapuluh lima ada semacam. Jumlah dapur yang dikenal sampai dengan dekade tahun 1990-an, lebih banyak lagi. Di Pulau Jawa pada umumnya, dan Jawa Tengah, Jawa Timur khususnya, serta Pulau Madura orang mengenal ragam bentuk dapur keris berbeda dengan orang Jawa.

Demikianlah pengertian dari istilah dapur keris semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan.

DHAPUR Keris dan Kekuatan Simboliknya

Orang Jawa menafsirkan bentuk dari bilah keris itu bukan sekedar untuk memberikan sajian tentang kekuatan (fisik) dan keindahan (artistik) belaka. Pada kehadiran simboliknya juga mengandung makna-makna yang mendalam, dengan pesan-pesan moral dan etika tertentu. Sebagian masyarakat memiliki keyakinan, justru dengan kandungan yang maknawiyah tersebut maka keris memiliki nilai-nilai pedagogis, dan secara terus menerus dianggap akan memiliki relevansi untuk diwariskan kepada generasi yang, lebih muda, meski keris tidak lagi menjadi senjata utama yang diperlukan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Makna yang mendalam dan pesan-pesan moral serta etika. tersebut, dianggap sebagai suatu bagian dari pemikiran orang Jawa terhadap kebudayaannya, yang dahulunya merupakan bagian dari wacana kebudayaan yang dikembangkan oleh para waliyullah di tanah Jawa, terutama Sunan Kalijaga di Kadilangu. Mengenai bentuk keris beserta tafsir kultural terhadap makna simboliknya, pada masa-masa yang lebih kemudian menjadi bagian dari pengajaran tentang dunia keris, yang sejak jaman Mataram selalu diajarkan kepada masyarakat oleh para pujangga atau lurahing empu.
Termasuk di antaranya tokoh semacam Ki Nom Mataram, Pangeran Wijil (II) di Kartasura, dan oleh tim keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Hamengkunagara (III) (Susuhunan Pakoe Boewana V) sebagaimana dituliskan sebagai salah satu bahan pembahasan di dalam Suluk Tambangraras atau Serat Centhini.

Di dalam pada itu, unsur-unsur yang melekat dan bagan-bahan yang digunakan untuk pembuatan keris, dicandra dan ditafsirkan melalui kandungan pesan-pesannya yang bernuansa Moral dan Etik yang kuat, terutama di dalam kaitan dengan kesinambungan wilayah kehidupan mikrokosmos (jagad kecil) dan makrokosmos (jagad besar).

Filosofi Keris Lurus

Filosofi tuah khasiat spiritual dari bentuk keris lurus adalah sebagai lambang kelurusan hati, keteguhan hati pada tujuan dan sarana pemujaan kepada Tuhan sang pencipta alam, kekuatan mental yang kuat dan kepercayaan tinggi diri yang kuat sesuain sifat dan karakter kerisnya tersebut, bagi pemilik keris diharapkan untuk senantiasa menjaga keteguhan dan kelurusan hati, tekun beribadah, menjaga budi pekerti moral dan sikap kesatria

Dalam berbagai ritual persembahan, selain untuk peribadahan kepada sang pencipta, keris itu biasanya diberi sarana sesaji doa sebagai sarana menyelaraskan batin menjadi satu kesatuan supaya doa dan pengharapan pemilik keris bersama dengan pusakanya dapat sampai kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena selain sebagai pusaka ageman dan senjata keris juga menjadi sarana dalam dunia kerohanian

Jenis keris lurus mengandung sisi spiritual dalam pembuatannya sebagai lambang kelurusan hati, kepercayaan diri dan mental yang kuat, keteguhan hati pada tujuan dan sarana pemujaan kepada Sang Pencipta. Sesuai sifat kerisnya itu, si pemilik keris diharapkan selalu menjaga kelurusan dan keteguhan hati, tekun beribadah, menjaga moral dan budi pekerti dan sikap ksatria.

Keris lurus juga diidentikkan sebagai lambang ksatria, ketulusan hati dan sikap setia pada tanggung jawab, dan menjadi sarana doa untuk menundukkan keilmuan orang-orang jahat, untuk membela kebenaran dan orang-orang yang tertindas. Banyak ksatria jaman dulu yang lebih memilih keris lurus daripada keris ber-luk.

Dalam ritual-ritual pemujaan, selain si pemilik beribadah kepada Yang Maha Kuasa, keris itupun diberi sesaji dan doa sebagai sarana menyatukan kebatinan, menjadi satu kesatuan kebatinan supaya doa-doa dan permohonan sang pemilik keris, bersama kerisnya, dapat sampai kepada Yang Dipuja. Bagi pemiliknya, keris lurus berguna, selain sebagai senjata dan pusaka, juga menjadi sarana untuk membantu dalam kerohanian.

Pada masanya, keris bukan hanya menjadi senjata ataupun pusaka, tetapi juga dianggap sebagai 'berkah' (wahyu) dari dewa kepada sang pemilik keris, sesuai agama manusia pada masa itu. Karena itulah sang pemilik keris akan benar-benar menjaga dan memelihara kerisnya, bahkan juga akan meng-"keramat"-kannya, lebih daripada sekedar senjata atau pun jimat.

Dalam ritual kerohanian, ada juga suatu jenis keris lurus yang dijadikan sarana pembersihan gaib dari mahluk halus yang mengganggu (keris sajen), seperti dalam ritual ruwatan sengkolo, ritual bersih desa, pemberkatan pembukaan lahan baru, dsb, yang biasanya kemudian keris itu akan dilarung.

Pada jaman sekarang ini, dibandingkan jenis keris ber-luk, biasanya jenis keris lurus masih memberikan satu rangkaian tuah yang lengkap. Rangkaian kesatuan tuah yang lengkap ini jarang sekali didapatkan dari keris-keris ber-luk pada jaman sekarang ini. Dalam pemeliharaannya, dibandingkan keris ber-luk, biasanya keris lurus lebih banyak menuntut untuk sering diberi sesaji.

Biasanya ketajaman energi gaib keris lurus dapat dirasakan ketika ujung kerisnya diarahkan kepada seseorang. Secara umum, walaupun bentuknya lebih sederhana, namun keris lurus memiliki kegaiban dan wibawa yang lebih kuat dan lebih wingit  dibandingkan keris ber-luk. Selain itu, karena wibawa kegaibannya yang kuat,

Filosofi Keris Luk 1

Dalam pembuatannya, keris ber-luk 1 memiliki makna sebagai sarana untuk membantu pemiliknya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan membantu supaya keinginan-keinginan si pemilik dapat lebih cepat tercapai, misalnya keinginan dalam hal kekuasaan, kepangkatan dan derajat.

Angka 1 merupakan lambang harapan dan karunia kesejahteraan, kemakmuran dan kemuliaan. Dibandingkan keris lurus, keris ber-luk 1 lebih menandakan kekuatan hasrat duniawi manusia yang ingin dicapai.

Biasanya keris ber-luk 1 mengeluarkan hawa aura yang agak panas dan sifat energi yang tajam. Kebanyakan dibuat untuk tujuan kesaktian, kekuasaan dan wibawa.

Filosofi Keris Luk 3

Salah satu filosofi dari dapur keris luk 3 jangkung adalah dijadikan pepeling atau pengingat atas tugas utama manusia sebagai khalifah atau pemimpin didunia Sehingga, tugas dan kewajiban guna memberikan perlindungan dan pengayoman bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan berada pada pundak manusia sebagai khalifah didunia

Akan tetapi yang kerap terjadi ialah manusia menjadi terlalu mendominasi atas segala kerusakan kehidupan di alam semesta seolah olah manusia adalah makhluk tunggal yang berdiri sendiri. Perhatian dan fokus utama mereka hanya pada kebutuhan dan ego manusia itu sendiri tanpa memikirkan bahwa alam semesta dan dunia ini sebenarnya adalah sebuah rangkaian kehidupan antar makhluk ciptaan Tuhan yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya pergeseran fungsi manusia sebagai pelindung dan pengayom makhluk menjadi penguasa sehingga cenderung sewenang wenang tanpa memandang keseimbangan kehidupan

Adapun Filosofi Makna spiritual dalam pembuatan keris luk 3, yaitu sebagai lambang kedekatan manusia dengan Tuhan  dan juga sebagai sarana membantu mempercepat tercapainya harapan  sang pemilik pusaka. keris ber-luk 3 lebih menonjolkan keseimbangan antara kehidupan kerohanian / batin dan duniawi/raga manusia, keseimbangan antara sisi spiritual dan jasmani, kemapanan duniawi dan batin dalam menjalani kehidupan di dunia. kegaiban di dalam keris ber-luk 3 lebih dapat menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis si manusia pemilik keris. Hawa aura energinya juga biasanya lebih halus dan lebih lembut.

Filosofi Keris Luk 5

Dapur keris Luk 5 (lima) adalah keris yang memiliki bentuk dengan jumlah luk (lekuk) sebanyak lima lekukan (luk) Biasanya jenis keris luk 5 dibuat dengan harapan memberikan yoni (khasiat) yang berkaitan denagn kekuasaan dan wibawa sehingga pemilik dari pusaka tersebut dihormati dan disegani oleh banyak orang. Jenis keris ini diciptakan oleh empu untuk menjaga karisma dan wibawa keagungan, kebangsawanan , keningratan dihormati dan dicintai rakyat atau bawahan.

Pada jaman kerajaan dulu di jawa, keris luk 5 hanya boleh dimiliki oleh golongan bangsawan seperti raja, pangeran dan keluarga raja, para bangsawan yang memiliki kekerabatan atau memiliki garis keturunan raja, dan adipati / bupati saja. Orang-orang ningrat. Selain mereka, tidak ada orang lain yang boleh memiliki atau menyimpan keris ber-luk 5.

Demikianlah aturan yang berlaku di masyarakat perkerisan jaman dulu. Keris ber-luk 5 hanya boleh dimiliki oleh orang-orang keturunan raja dan bangsawan kerabat kerajaan, memiliki kemapanan sosial dan menjadi pemimpin di masyarakat.  Dengan kata lain, keris ber-luk 5 disebut juga Keris Keningratan.

Biasanya keris ber-luk 5 dibuat untuk tujuan memberikan tuah yang menunjang wibawa kekuasaan dan supaya dicintai / dihormati banyak orang. Keris-keris jenis ini diciptakan untuk menjaga wibawa dan karisma keagungan kebangsawanan / keningratan, dihormati dan dicintai rakyat dan bawahan, dan menyediakan kesaktian yang diperlukan untuk menjaga wibawa kebangsawanan itu.

Biasanya keris-keris ber-luk 5 lebih banyak menuntut untuk diberi sesaji dibandingkan keris lurus dan keris ber-luk lainnya.

Selain keris-keris ber luk 5, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah pusaka-pusaka yang dahulu menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten, yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja, adipati, dan bupati jaman dulu atau keturunan mereka yang masih membawa sifat-sifat dan derajat leluhurnya itu.Selain itu, yang tergolong dalam jenis keris ini adalah juga keris-keris yang dahulu diperuntukkan untuk keningratan dan kebangsawanan, seperti keris-keris berdapur nagasasra dan singa barong.

Pada jaman sekarang jenis keris keningratan ini masih memberikan satu rangkaian tuah yang lengkap, yaitu tuah kesaktian dan wibawa kekuasaan, jika, dan hanya jika, keris-keris itu dimiliki oleh orang-orang yang sesuai dengan tuntutan kerisnya.

Keris-keris yang bertuah keningratan dan kebangsawanan, misalnyakeris-keris ber-luk 5 atau keris-keris singa barong, menginginkan seorang pemilik yang juga memiliki garis keturunan ningrat / bangsawan.

Filosofi Keris Luk 7

Angka 7 merupakan lambang kesempurnaan illahi.

Keris ber-luk 7 terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap hidup keduniawiannya sudah sempurna, sudah cukup, sudah tidak lagi mengejar keduniawian untuk lebih menekuni hidup kerohanian.

Keris ber-luk 7 dibuat untuk raja dan keluarga raja yang sudah mandito  dan untuk tujuan kemapanan kerohanian / kesepuhan, dimaksudkan untuk dimiliki oleh raja atau keluarga raja yang sudah matang dalam usia dan psikologis atau yang sudah mandito.

Dalam filosofi jawa luk tujuh disebut “pitu” yang dalam jarwo dosok bisa berarti pitutur, piwulang, dan pitulungan, yaitu ajaran yang baik, petunjuk atau pertolongan. Angka tujuh bagi penduduk Nusantara, terutama masyarakat Jawa, merupakan angka keramat yang memiliki makna ketentraman, kebahagiaan, kewibawaan dan kesuksesan. Angka tujuh dapat dipersamakan dengan jumlah lapisan langit (sap) hingga seluruhnya ada tujuh, demikian pula dengan hari dalam seminggu yang terdiri dari 7 hari. Atau kesempurnaan dan selamatan anak dalam kandungan dilakukan hitungan bulan ke-7 (pitonan), dalam upacara kematianpun dilakukan peringatan pada hari ke-7 (pitung dinanan).

Filosofi Keris Luk 9

Keris ber-luk 9 juga dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian dan kesepuhan. Dikhususkan untuk dimiliki oleh para pandita atau panembahan dan para sesepuh masyarakat.

Selain memberikan tuah keselamatan, kerohanian, keilmuan dan perbawa kesepuhan, jenis keris ini biasanya mengeluarkan hawa aura yang sejuk.

Angka 9 dalam masyarakat Jawa Kuno

Borobudur, candi terbesar yang didirikan oleh dinasti Syailendra yang menganut ajaran Budha Gautama, sesungguhnya memiliki 9 tingkatan pada tataran “Manusia dan Bumi”, sedangkan tingkatan terakhir yang ke 10 adalah merupakan tingkatan puncak seseorang untuk menjadi Budha dan juga melambangkan Nirwana dimana Budha bersemayam.

Pendapat lain menyatakan bahwa dalam pandangan masyarakat Jawa Kuno, angka 9 (sembilan) yang dijabarkan kembali dalam olah kebathinan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IX dinyatakan bahwa babakan howo songo adalah kunci pengaturan dan pengendalian menuju kesempurnaan hidup. Jika lubang 9 (seperti mata, hidung, telinga, mulut, dsb) dapat dikendalikan, maka manusia akan menemukan keselamatan hidup di dunia dan akherat.

Dalam primbon, angka 9 (sembilan) melambangkan Mars, dipandangan sebagai angka puncak, dengan makna khusus bahkan dianggap paling suci. Bila dikalikan angka berapapun, penjumlahan angka tersebut kembali sebagai angka sembilan. (contoh 3×9=27;2+7=9, dst)

Jika menilik pada jumlah angka dasar yang ada 0-9, maka angka 9 (sembilan) memiliki nilai yang paling tinggi. Tak heran bila angka tersebut sering disebut sebagai simbol kesempurnaan sekaligus dimaknai dengan kerahasiaan. 9 (sembilan) adalah batas kemampuan dan penalaran pikiran manusia, sebab setelah sembilan akan kembali 0 (kosong), lalu mulai lagi dengan hitungan awal pertama atau satu (1). Dengan semikian keris yang memiliki luk berjumlah 9 (sembilan) adalah merupakan pengejawantahan dari sebuah kesempurnaan hidup (kasampurnaning urip) bagi masyarakat Jawa jaman dahulu.

Filosofi Keris Luk 11

Dapur Keris Luk 11 (sebelas) adalah jenis keris dengan jumlah luk sejumlah 11, filosofi Keris dengan luk 11, pada awalnya dibuat untuk meningkatkan kemapanan / pakem pembuatan keris pada jamannya, mengingat angka 11 tidak memiliki  makna khusus dalam tradisi budaya jawa.

Keris dengan luk 11 biasanya mempunyai pembawaan yang sejuk/teduh, tidak angker, tetapi dibalik keteduhan itu terkandung suatu energi gaib yang tajam yang siap merobek pertahanan perisai energi gaib lawan.

Salah satu Contoh keris dengan luk 11 adalah Keris Sabuk Inten yang terkenal sakti dan banyak dibuat tiruannya. Keris tersebut memiliki pembawaan yang teduh, tidak angker. Tetapi dibalik keteduhan itu terkandung suatu energi gaib yang tajam yang siap menembus pertahanan perisai gaib lawan, apalagi bila ujung kerisnya diarahkan kepada seseorang.

Pada awalnya Keris Sabuk inten luk 11 memang membingungkan banyak orang karena tidak sesuai dengan kebiasaan / pakem keris yang umum. Selain karena jumlah luk-nya yang 11, keris itu juga berwarna hitam gelap, tidak mengkilat dan tidak berpamor (keleng). Namun karena kesaktiannya yang sangat tinggi, keris itu kemudian banyak dibuat turunannya / tiruannya (tetiron), yaitu yang disebut keris-keris berdapur sabuk inten.

Filosofi Keris Luk 13

Angka 13 dalam budaya jawa mempunyai makna yang jelek, yaitu kesialan, musibah atau malapetaka. Pembuatan keris ber-luk 13 dimaksudkan dengan kesaktian dan wibawa kekuasaannya, keris ini menjadi penangkal kesialan atau musibah. Keris ber-luk 13 biasanya dibuat untuk tujuan kesaktian dan wibawa kekuasaan.

Contoh keris ber-luk 13 yang terkenal adalah keris Nagasasra yang bersifat penguasa, pengayom dan pelindung. Aura wibawa keris ini sangat kuat. Aura wibawanya menunjang kewibawaan pemiliknya supaya disujuti banyak orang dan wataknya sebagai pengayom dan pelindung akan selalu melindungi orang-orang yang berlindung kepadanya.

Demikianlah diantara makna simbolik dalam bentuk bilahan keris sebagai ajaran filsafat dari para sesepuh tanah Jawa yang Adiluhung.  Semoga kita semua bisa pertahankan keagungan budaya dan ajaran filsafat para pendahulu kita.  Amiin

Rabu, 14 Juni 2017

Filsafat Tahapan Manusia Dalam Tembang Mocopat

Sebagai mana banyak kebiasaan dan adat jawa yang mengandung filosofi,.. maka macapat juga banyak mengandung filosofi kehidupan,… yang kalau kita renungi mengandung nilai yang amat dalam serta sarat akan  khasanah-khasanah kearifan. Di tengah gempuran budaya barat dan timur yang menggempur kita tak henti-henti, barat yang menawarkan liberalis dan hidup tanpa aturan serta unggah ungguh, dan budaya timur yang tak menerima perbedaan, yang selalu mengajak kekerasan untuk menentang perbedaan, ada baiknya kita kembali ke filosofi budaya sendiri yang amat luhur dan jelas sesuai dengan kehidupan kita yang beragam, yang mengajarkan kearifan dan kehalusan budi, tatakrama yang agung, serta keharmonisan di tengah perbedaan.

Tanah Jawa kaya akan budaya adiluhung, budaya yang mengajarkan budi pekerti tinggi, yang luhur. Budaya Jawa seperti pertunjukan wayang kulit, ular-ular, cerita-cerita kuno, lagu-lagu atau tembang Jawa sebenarnya sarat dengan filsafat hidup, misalnya mengenai filsafat ilmu politik, filsafat kepemimpinan, dan juga filsafat perjalanan hidup manusia. Tulisan ini akan membahas mengenai tembang Macapat sebagai filsafat perjalanan hidup manusia.

Tembang Macapat memiliki arti yang luas dan beragam. Semuanya merupakan hasil penafsiran yang berbeda-beda, yang kemungkinan besar tergantung dari kemampuan daya tafsir dari masing-masing penafsirnya. Wallahu a’lam.

Berdasarkan sumber-sumber referensi yang penulis baca, berbagai penafsiran mengenai tembang Macapat dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Macapat konon berasal dari kata “mocone papat-papat”(membacanya empat-empat)

2. Buku Baoesastra (Bausastra: ejaan sekarang)

a. Macapat berarti kiblat papat (empat kiblat)

b. Macapat rekaan dari kata “moco–mat” (membaca nikmat), enak didengar saat dilantunkan/ ditembangkan

c. Macapat berarti membaca dengan irama, netrum.

d. Macapat berdasarkan etimologinya “ma+capat”, ada kaitannya dengan lupa-lupa ingat, karena kadang hafal kadang tidak, sehingga “capat” berarti “cepat”

3. Buku Poezie in Indonesia (Slamet Mulyana)

Macapat berasal dari kata “macakepan” (membaca lontar), berdasarkan buku Kalangwan (Zoct Mulder), lontar disebut cakepan (Bali). Macapat identik dengan kata “ma–capak”, “capak” menjadi “cakep”, sehingga “macakepan” berarti “membaca rontal”.

Menurut Wikipedia (2008), tembang Macapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: tembang alit (kecil), tembangtengahan (sedang), dan tembang ageng/ gedhe (besar). Tembang alit terdiri dari Mijil, Sinom, Dhandhanggula, Kinanthi, Asmarandhana, Durma, Pangkur, Maskumambang, dan Pucung. Tembang tengahan terdiri dari Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, dan Megatruh. Tembang yang termasuk tembang ageng/ gedhe adalah Girisa.

Ada pula yang berpendapat bahwa tembang Macapat terdiri dari 11 tembang, yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana, Durma, Gambuh, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Tembang-tembang selain yang termasuk tembang Macapat (yaitu Wirangrong, Jurudemung, Balabak, dan Girisa), termasuk ke dalam kelompok tembang tengahan dan tembang ageng/ gedhe. Pendapat lainnya adalah bahwa tembang tengahan dan tembang ageng/ gedhedi masukkan ke dalam kelompok tembang Macapat. Mengenai adanya perbedaan ini, penulis cenderung lebih setuju pada pendapat kedua, tanpa mengabaikan pendapat lainnya tentu saja.

Dengan demikian, tembang-tembang yang termasuk kategori tembang Macapat ada 11, yang jika diurutkan akan menggambarkan perjalanan hidup seorang manusia, yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana, Durma, Gambuh, Pangkur, Megatruh, dan Pucung.

Salah satunya Macapat,.. yang kandungan filosofi amat dalam, bisa dijelaskan sbb:

1. Maskumambang

Gambarke jabang bayi kang isih ana ning rahim ibu. Durung bisa dimangerteni lanang utawa wadon. “Mas” ateges urung weruh lanang utawa wadon. “kumambang” ateges uripe jabang bayi mau ngambang sakjroning wetenge ibu.

[mendiskripsikan atau menggambarkan keadaan bayi yang masih ada di dalam rahim ibu. Belum bisa ditebak pria atau wanita (jenis kelaminnya). “Mas” maknanya belum diketahui pria atau wanita (jenis kelaminnya). “kumambang” maknanya hidupnya bayi itu mengambang dalam perut ibunya.]

Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.

Maskumambang mempunyai beberapa penafsiran baik secara etimologi maupun maknanya.

a. Maskumambang berasal dari kata mas dankumambang. Mas dari kata premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari katakambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata ka- dan ambang. Kambang selain berarti “terapung”, juga berarti “kamwang” atau “kembang”. Ambang berkaitan dengan ambangse yang berarti “menembang”. Dengan demikian, Maskumambang berarti “punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga”. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diartikan sebagai Ulam Toya yang berarti “ikan air tawar”, sehingga kadang-kadang diisyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.

b. Maskumambang artinya “emas yang mengapung diatas air”, ditafsirkan sebagai “air mata”. Air mata dapat keluar karena suka ataupun duka sehingga dapat dikatakan bahwa irama tembang Maskumambang itu mengharukan.

2. Mijil

Ateges wis lair lan jelas priya utawa wanita

[bermakna sudah lahir dan jelas jenis kelaminnya pria atau wanita. “mijil” berarti sudah lahir atau keluar.]

Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka Sambikala. Dan bukan terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi buruk lainnya.

3. Kinanthi

Asalae saka tembung “kanthi” utawa tuntun kang mengku ateges dituntun supaya bisa mlaku. Dadi pralambang uripe bocah cilik utawa bayi kang perlu tuntunan lair lan bathine supaya bisa lumaku ana ing samudra urip ngalam donya.

[Berasal dari kata “kanthi” atau tuntun yang maksudnya dituntun supaya bisa berjalan. Menjadi lamban hidupnya anak kecil atau bayi yang perlu tuntunan lahir dan batin supaya bisa berjalan di dalam samudra alam dunia.]

Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini”.

4.Sinom

Duweni ateges kanoman. Sinom bisa dijabarke dadi tembung “sinoman” kang mengku teges wong kang isih enom. Manungsa kang isih anom iku penting ana ing babakan uripe, amarga perlu akeh ngangsu kawruh kanggo nyiapake lelumbayan bebrayan, yaiku duweni sisihan.

[memiliki makna pemuda. “sinom” bisa dijabarkan menjadi “sinoman” yang berarti orang yang berusia muda. Manusia yang masih muda itu memiliki arti penting dalam babak kehidupannya. Karena itu perlu banyak belajar untuk mempersiapkan diri hidup berumah tangga.]

Sinom mempunyai beberapa penafsiran:

a. Sinom berasal dari kata asal kata si dan enom sehingga Sinom berarti “muda/ remaja”.

b. Sinom berasal dari kata kanoman yang berarti “kemudaan/ usia muda” sehingga Sinom menggambarkan bahwa waktu luang pada masa muda adalah untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

c. Sinom berhubungan dengan kata sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat.

d. Sinom berkaitan dengan upacara-upacara bagi anak-anak muda zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom berarti “seskaring rambut” yang berarti “anak rambut”. Sinom juga dapat diartikan “daun muda” sehingga kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.

5. Asmarandana

Tegese rasa tresna. Kang dimaksud tresna ana ing kene duweni rasa tresna marang liyan. Kabeh wus dadi kodrating Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Rasa tresna kiwi njalari kanggo mbangun balewisma.

[Bermakna rasa saling mencintai. Maksud mencintai di sini memiliki rasa suka pada lain jenis. Semua itu sudah menjadi kehendak Sang Khalik. Tumbuhnya rasa mencintai itu menjadi awal untuk membangun kehidupan rumah tangga.]

Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya.

Asmarandhana mempunyai beberapa penafsiran:

a. Asmarandhana berasal dari kata asmara dan dahana.Asmara berarti “cinta” dan dahana berarti “api”. Dengan demikian, Asmarandhana berarti “api cinta” sehingga dapat juga berarti perasaan asmara/ cinta, perasaan saling menyukai (perasaan lelaki dan perempuan) yang sudah menjadi kodrat Illahi.

b. Asmarandhana berasal dari kata asmara dan dhana.Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata dahana yang berarti “api”. Nama Asmarandhana berkaitan dengan peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandhana berarti “remen ing paweweh” (suka memberi).

6. Gambuh

Saka tembung “jumbuh” kang ateges cocok. Yen wis jumbuh utawa pada cocoke antara pria kalawan wanita sing didasari tresna sak dhurunge, diteruske mbangun keluwarga.

[berasal dari kata “jumbuh” yang bermakna cocok. Jika sudah cocok antara pria dan wanita yang didasari cinta sebelumnya, dilanjutkan membangun kehidupan keluarga.]

Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu adalah saling melengkapi dan bersinergi secara harmonis.

Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-Nya.

Gambuh mempunyai beberapa penafsiran:

a. Gambuh berarti “ronggeng, tahu, terbiasa”. Oleh karena itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu.

b. Gambuh berasal dari kata jumbuh/ sarujuk yang berarti“cocok” sehingga Gambuh menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sudah cocok kemudian dipertemukanlah keduanya yang sudah memiliki perasaan asmara agar menuju ke sebuah pernikahan.

c. Gambuh berasal dari kata gampang nambuh yang berarti “cuek atau acuh tak acuh”.

7. Dhandhanggula

Nggambarake uripe wong kang lagi seneng amarga apa kang dadi panggayuh katurutan. Kelakon duwe sisihan, duwe anak, duwe papan panggonan, ora kurang sandang lan pangan. Iku mau ndadekke rasa bungah.

[menggambarkan hidupnya orang yang sedang senang karena apa yang menjadi keinggunannya terkabul. Terlaksana punya istri, punya anak, punya rumah, tidak kurang sandang dan pangan. Itu semua menjadikan rasa bahagia.]

Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang). Kurangi Keinginan Agar Terjauh dari hutang. Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.

Dhandhanggula mempunyai beberapa penafsiran:

a. Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan gula .Dhandhang berarti “angan-angan” dan gula berarti “manis”. Dengan demikian, Dhandhanggula berarti “angan-angan yang manis”.

b. Dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah Prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula berarti “ngajeng-ajeng kasaean” (menanti-nanti kebaikan) sehingga Dhandhanggula menggambarkan hidup orang tersebut sedang merasa senang-senangnya, apa yang dicita-citakan bisa tercapai, bisa memiliki keluarga, mempunyai keturunan, hidup berkecukupan untuk sekeluarga.

8. Durma

Asale saka tembung “darma” utawa berbakti. Manungsa kang wis kacukupan uripe kudu mulat sak kiwa tengene utawa nonton kahanan sedelure lan tanggane kang ora duweni urip kepenak. Banjur sih pitulungan marang sapadha-padha.

[berasal dari kata “darma” atau berbakti. Manusia jika sudah hidup kecukupan harus melihat kanan kirinya, melihat keadaan saudaranya dan tetangga yang masih dalam kesengsaraan. Lalu member pertolongan pada sesamanya.]

Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma berasal dari kata darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita.
“Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak”.

Durma mempunyai beberapa penafsiran:

a. Durma berasal dari kata nundur tata krama yang berarti “tidak beretika, kurang mengenal sopan santun”.

b. Durma berasal dari kata Jawa Klasik yang berarti “harimau” sehingga sesuai artinya, tembang Durma berwatak atau biasa digunakan dalam suasana seram.

c. Durma berasal dari kata darma/ weweh yang berarti “berdarma/ memberikan sumbangan”. Bila seseorang sudah merasa berkecukupan maka akan timbul rasa kasih sayang kepada sesama yang sedang tertimpa masalah/ musibah, karena pada dasarnya manusia ingin selalu berderma yang mencerminkan rasa kasih sayang di hatinya.

9. Pangkur

Saka tembung “mungkur” kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepengin weweh  marang sapadha-padha.

Dari kata “mungkur” yang artinya menghindari sifat angkara murka. Selalu memikirkan dan melaksanakan niat berbuat baik untuk sesama.]

Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah / upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori dinding-dinding kalbu kita.

Pangkur mempunyai beberapa penafsiran:

a. Pangkur berasal dari kata mungkur atau mundur yang berarti sudah memundurkan semua hawa nafsunya, yang dipikirkan hanya berdarma kepada sesama makhluk.

b. Pangkur berasal dari pengertian ngepange pikir arep mangkur yang berarti “pikiran yang bercabang karena usia tua”.

c. Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa Jawa Kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur berarti “buntut atau ekor”. Oleh karena itu, Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur yang berarti “mengekor” dan tut wuntat yang berarti “mengikuti”.


10. Megatruh

Saka tembung “megat ruh” utawa pisah ruhe saka raga. Yen wis titi wancine manungsa ora bisa ngelak saka takdire Pangeran ya kuwi mati.

[dari kata “megat-ruh” atau berpisahnya ruh dengan jasad. Jika sudah waktunya manusia tidak bisa mengelak dari takdir Tuhan, yaitu kematian.

Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang Celaka yaitu di Neraka).
“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “ Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “.
“ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia Pasti Binasa “.
Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Qootimah) ataukah sebaliknya ?

Megatruh mempunyai beberapa penafsiran:

a. Megatruh berasal dari kata megat dan ruh. Megat berarti “memisahkan” dan ruh berarti “sukma, roh” sehingga Megatruh berarti berpisahnya sukma dan raga (yaitu meninggal). Dengan demikian, nyawa sudah lepas dari jasadnya sebab sudah waktunya kembali ke tempat yang telah digariskan oleh Tuhan.

b. Megatruh berasal dari awalan am-, kata pegat dan ruh.Pegat berarti “putus, tamat, pisah, cerai” dan ruh berarti “roh”. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh berarti mbucal kan sarwa ala yang berarti “membuang yang serba jelek”. Pegat ada hubungannya dengan pegetyang berarti “istana, tempat tinggal”. Pameget atau pamegat yang berarti “jabatan”.  Samgat atau samgetberarti “jabatan ahli, guru agama”. Dengan demikian, Megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.

11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)

Manungsa iku yen wis mati dibungkus mori putih utawa diistilahake dipocung.

[manusia jika sudah mati dibungkus kain mori putih atau istilahnya dipocung –tentu saja cara ini berdasarkan syariat Islam.]

Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita didunia.
“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati”.

Pucung mempunyai beberapa penafsiran:

a. Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan (kuncup dedaunan) yang biasanya tampak segar. Ucapan cungdalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

b. Pucung diartikan pocong yaitu orang meninggal dibungkus kain putih, mengandung pengertian jikasudah menjadi lelayon/ mayat maka jasad dipocong kemudian dikubur.

Jika kita lihat falsafah hidup yang secara tersirat dalam tembang-tembang macapat, maka kita sendiri dapat mengira-ngira kita ini sampai pada tahap yang mana. Namun demikian bukan berarti mutlak bahwa jalan hidup manusia mesti seperti itu karena tentunya setiap pribadi memiliki kesadaran hidup sendiri-sendiri. Kita bisa melihat bahwa tarikan bumi lebih dominan sampai manusia berkeluarga dan kecukupan (dandanggula). Lantas setelah itu tahap kesadaran mengenai hal kelangitan baru menjadi inti selepasnya. Ya, normalnya memang demikian.

Akan tetapi ironisnya dewasa ini tidaklah demikian yang terjadi. Walau umur sudah tua, banyak dari kita masih didominasi oleh tarikan bumi (nafsu harta, tahta, wanita, kekuasaan dll.) Alhasil apa yang dialami bangsa kita sekarang ini adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Selepas dandanggula kesadarannya tak meningkat malah makin sekarat. Hm….. hm…. Hm….

Demikian luhurnya filososfi yang terkandung dalam setiap tembang Macapat,.. dimulai dari kita berbentuk roh sampai kita berpisah dengan roh kita, itulah tingkat kehidupan dan pencapaian2 yang ingin digambarkan dalam setiap tembang macapat. Bahwa kehidupan ini tak ada yang instan, untuk sampai pada tujuan tertentu selalu ada tahapan atau tingkatan yang dilalui untuk jadi pribadi yang sempurna. Dan setiap tahapan pasti mengajarkan nilai kehidupan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Ajaran Moral Dalam Serat Wulangreh

Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Beliau  bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820.

Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M.

Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori Kamandhungan.

Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat produktif dan kreatif dalam “dunia pena”, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya. Diantara perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah salat di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran. Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi oleh budaya Belanda.

Ilustrasi Mengajar Sastra Piwulang

Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja. Dalam bidang sastra dan budaya, diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni. Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik), adalah Serat Wulangreh. Karena banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta

Kata Wulang bersinonim dengan kata pitutur memiliki arti ajaran. Kata Reh berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya jalan, aturan dan laku cara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna.

Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan tembang yang memuat pengertian kata tersebut :

Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara

artinya ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter) akan menjauhkan diri dari watak angkara.

Berdasarkan makna tembang tersebut, laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini. Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan ajaran moral dan budipekerti.

Salah satu keistimewaan karya ini adalah tidak banyak menggunakan bahasa jawa arkhaik (kuno) sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya. ‎Walaupun demikian, ada hal-hal yang perlu dicermati karena karya tersebut merupakan sinkretisme Islam-Kejawen, atau tidak sepenuhnya merupakan ajaran Islam, sehingga akan menimbulkan perbedaan sudut pandang bagi pembaca yang berbeda ideologinya.

Struktur

Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu :

Dandanggula, terdiri 8 pada/bait
Kinanthi terdiri 16 pada/bait
Gambuh terdiri 17 pada/bait
Pangkur terdiri 17 pada/bait
Maskumambang terdiri 34 pada/bait
Megatruh terdiri 17 pada/bait
Durma terdiri 12 pada/bait
Wirangrong terdiri 27 pada/bait
Pocung terdiri 23 pada/bait
Mijil terdiri 26 pada/bait
Asmaradana terdiri 28 pada/bait
Sinom terdiri 33 pada/bait
Girisa terdiri 25 pada/bait

Penelitian

Jika dilihat dari wujud tulisannya, Wulang Reh ditemukan dalam disertasi, thesis, skripsi, makalah, bahkan dapat dijumpai di dunia maya. Tulisan-tulisan tentang Wulang Reh pada umumnya mengupas isi atau maknanya yang kemudian bermuara pada interpretasi kandungan Wulang Reh, seperti nilai-nilai luhur, moral dan budi pekerti (ada yang menyebut dengan istilah etika), nilai-nilai religius, sampai pada ajaran tentang kepemimpinan. Ada pula yang melakukan secara khusus dari segi bahasa.

Penelitian Tema, Nilasi Estetika dan Pendidikan dalam Serat Wulang Reh. Hasil kesimpulannya adalah :

Pertama, tema yang terdapat pada serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yaitu: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian,tema tata krama, ajaran berbakti pada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran.

Kedua, Keindahan serat Wulangreh adanya ritma dan rima serta bunyi bahasa meliputi ‎purwakanthi swara, purwakanthi guru swara, dan purwakanthi lumaksita. Pemahaman tentang diksi (Pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, dan metrum terdapat dalam serat Wulangreh.

Ketiga, nilai pendidikan moral pada Serat Wulangreh adalah nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah diri kepada Tuhan, patuh kepada Tuhan, nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan sesama, nilai pendidikan moral kaitannya manusia dengan diri pribadi, dan nilai tentang agama.

Keempat, ajaran yang ada pada serat wulangreh merupakan ajaran tata kaprajan ‘ajaran tentang perintah memberikan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup, ajaran pada serat Wedhatama merupakan ajaran tentang ilmu keutamaan.

Penelitian dari aspek kepemimpinan dalam Serat Wulang Reh. Kesimpulannya:Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak memiliki sifat lonyo, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumiling, ambuntut arit, adigang, adigung, dan adiguna. Sebaliknya seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat jujur, tidak mengharapkan pemberian orang lain, rajin beribadah, serta tekun mengabdi kepada masyarakat.

PUPUH I
DHANDHANGGULA

Pamedare wasitaning ati, cumanthaka aniru Pujangga, dhahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen keh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita.

Uraian nasihat ini bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga, padahal (aku) sangatlah bodoh. Tetapi karena ingin disanjung, tidak tahu jika kelak banyak yang mencibir. Memaksakan diri untuk menciptakan, (meski) dengan bahasa yang kacau balau bahkan tersia-sia, namun (hal ini) kususun dengan teliti dan sabar, semoga isyarat ini menjadi jelas.

Sasmitaning ngaurip puniki, apan ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.

Isyarat dalam kehidupan ini, tidak mungkin kau pahami jika kau tak mengetahuinya, tidak akan memiliki ketenangan dalam hidupnya. Banyak yang mengaku dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup), padahal belum mengolah rasa, inti dari rasa yang sesunguhnya. Oleh karena itu, berusahalah (memahami makna rasa itu), agar sempurna hidupmu.

Jroning Kur’an nggonira sayekti, nanging ta pilih ingkang uninga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, sampurnane ing badanira, punika sira anggegurua.

Di dalam Al-Quran tempatmu mencari kebenaran sejati, hanya yang terpilih yang akan memahaminya ,kecuali atas petunjuk-Nya. Tiadk boleh dicampur-adukan, tak mungkin kau temukan (kebenaran isyarat), bahakan kau semakin tersesat. Jika kau menghendaki kesempurnaan dalam dirimu, maka bergurulah.

Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sukur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.

Meskipun begitu, jika engkau berguru, Nak. Pilihlah guru yang sebenarnya, tinggi martabatnya, memahami hukum, dan rajin beribadah. Syukur-syukurjika kau temukan seorang pertapa yang tekun dan tidak mengharapkan imbalan orang lain, dia pantas kau gurui. Serta ketahuilah

Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang, prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, myang kiyase papat iku salah siji, anaa kang mupakat.

Jika seseorang berbicara tentang ilmu, tetapi tidak sesuai dengan empat hal, janganlah engkau terlalu cepat menganggap benar adanya. Saringlah agar bening dan ukurlah dengan empat hal, yaitu dalil, hadis, ijmak, dan kiyas. Salah satu dari keempat hal itu harus ada yang sesuai.

Nora kena lamun den antepi, yen ucula sing patang prakara, nora enak legetane, tan wurung ningal wektu, panganggepe wus angengkoki, nora kudu sembahyang, wus salat katengsun, banjure mbuwang sarengat, batal karam nora nganggo den singgahi, bubrah sakehing tata.

Tidak boleh kau terima (isyarat) jika lepas dari empat hal tadi, karena biasanya tidak baik. (kau akan) merasa sudah menjalankan ‘laku’ sehingga yidak harus sembahyang, akhirnya meninggalkan syariat, tidak perlu tahu mana yang haram dan batal. Hal itu akan merusak aturan.

Angel temen ing jaman mangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong njaja ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawene sarak, den arani luput, nanging iya sasenengan, nora kena den uwor kareping janmi, papancene priyangga.

Memang sulit mencari seseorang yang patut kau gurui di zaman ini. Banyak yang menjajakan ilmu tetapi jarang yang mengikutinya. Jika seseorang berilmu dan menjalankan lakunya dengan benar, malah  dianggap salah. Namun itu hak masing-masing, tidak boleh kau samakan keinginan orang, masing-masing memiliki perbedaan.

Ingkang lumrah ing mangsa puniki, apan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik tingale, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang padha ngupaya, kudu anggeguru, samengko iki tan nora, Kyai Guru naruthuk ngupaya murid, dadiya kanthinira.

Yang biasa terjadi pada masa kini adalah guru yang mencari murid, itu tampak sangat ironis dengan kebiasaan yang terjadi di masa lalu. Zaman dulu murid yang berusaha mencari dan harus berguru, sekarang tidak begitu, malah guru yang ke sana ke mari mencari murid. Jadikan sebagai pengangan (kanthinira merupakan isyarat pola tembang berikutnya, yaitu Kinanthi).

PUPUH II
K I N A N T H I

Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.

Kalian biasakanlah mengasah kalbu, agar (pikiranmu) tajam menangkap isyarat, jangan hanaya selalu makan dan tidur, jangkaulah sikap kepahlawanan, latihlah dirimu dengan mengurangi makan dan minum.

Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lawan aja asukan-sukan, anganggoa sawatawis, ala watake wong suka, suda prayitnaning batin.

Jadikan sebagai lelakon, kurangi makan dan tidur, jangan gemar berpesta pora, gunakan seperlunya (karena) tabiat orang yang gemar berpesta pora adalah berkurangnya kepekaan batin.

Yen wus tinitah wong agung, aja sira gumunggung dhiri, aja raket lan wong ala, kang ala lakunireku, nora wurung ngajak-ajak, satemah anenulari.

Jika kau sudah ditakdirkan menjadi pembesar, janganlah menyombongkan diri, jangan kau dekati orang yang memiliki tabiat buruk dan bertingkah laku tidak baik, sebab suka atau tidak suka (hal itu) akan menular padamu.

Nadyan asor wijilipun, yen kelakuane becik, utawa sugih carita, carita kang dadi misil, iku pantes raketana, darapon mundhak kang budi.

‎Sekalipun berasal dari keturunan kelas bawah, namun memiliki kelakuan yang baik atau memiliki banyak cerita yang berisi (berguna), dia patut kau gauli, (hal itu) akan menambah kebijaksanaanmu.

Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh bangsat, nora wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep keh durjana, nora wurung bisa maling.

Jika masih muda, biasanya mengikuti lingkungan, jika di lingkungan itu banyak penjahat, maka jahatnla ia. Jika di lingkungannya banyak pencuri, maka ia pun pandai mencuri.

Sanadyan ta nora melu, pasthi wruh solahing maling, kaya mangkono sabarang, panggawe ala puniki, sok weruha nuli bisa, iku panuntuning eblis.

Meskipun tidak ikut (mencuri) pasti mengetahui bagaimana cara mencuri. Demikanlah (karakter) semua perbuatan jelek, awalnya hanya tahu, kemudian bisa melakukan, itulah bujukan iblis.

Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung kalakyan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mupangati badaneki.

Perbuatan yang benar itu akan mudah jika sudah dilaksanakan, terasa sulit jika belum dilakukan, enggan melaksanakan, namun jika dilakukan (hal itu) akan bermanfaat bagi jiwa raga kita.

Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor kang den simpar, umbag gumunggunging dhiri, obral umuk kang den gulang, kumenthus lawan kumaki.

Para pemuda di masa sekarang meninggalkan sopan santun dan rendah hati, sebaliknya mengumbar kesombongan dan tinggi hati.

Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku wewatone uga, nom-noman adoh wong becik, emoh angrungu carita, carita ala miwah becik.

Tidak mengenal teman satu sama lain, kurang ajar, dan congkak, itu juga kebiasaannya, para pemuda menjauhi orang yang berperilaku baik, tidak mau mendengar cerita yang baik maupun cerita yang jelek.

Cerita pan wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener ala lan ora, kalebu jro cariteki, mulane aran carita, kabeh-kabeh den kawruhi.

Adapun erita yang sudah terjadi, adalah perbuatan baik dan buruk, tingkah laku benar dan tidak benar termasuk ke dalam jenis cerita, oleh karena itu disebu cerita, selurihnya harus kau ketahui.

Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.

Oleh karena itu, sebagai pemuda seharusnya rajin berkomunikasi dan berembug dengan orang tua yang banyak bicara. Ingat, bicara itu banyak macamnya, ada yang baik, ada pula yang buruk.

Ingkang becik kojahipun, sira anggoa kang pasthi, ingkang ala singgahana, aja sira anglakoni, lan den awas wong akojah, iya ing masa puniki.

Pastikan kau ikuti pembicaraan yang baik, yang kurang baik singkirkan, jangan kau lakukan, meskipun begitu, di masa sekarang waspadalah setiap orang bicara.

Akeh wong kang sugih wuwus, nanging den sampar pakolih, amung badane priyangga, kang den pakolehaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.

Banayak orang yang pandai bicara namun pembicaraannya itu dibungkus dengan maksud untuk mementingkan diri sendiri, hanya dirinya yang diuntungka, mengumbar kedengkian tanpa batas.

Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana ingkang memadha, angrasa pinter pribadhi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes den pareki.

Jangan ada orang yang dapat berbicara kecuali dirinya sendiri dan jangan ada yang meyamai, merasa paling pandai, itu adalah perilaku setan, tidak pantas kau dekati.

Sikakna di kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen apan nora layak, yen sira sandhinga linggih, nora wurung katularan, becik singkirana ugi.

Jika kau temui orang seperti itu, usirlah seperi kau menghalau anjing, dia tak patut kau dekati apalagi menemaninya duduk, niscaya kau akan ketularan, lebih baik hindarilah.

Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lair batin den estokna, saunine layang iki, lan den bekti mring wong tuwa, ing lair praptaning batin.

Bagi ayang membaca surat ini, perhatikan dengan sungguh-sungguh nasihatku ini, patuhilah secara lahir dan batin, laksnakan apa yang tertulis dalam surat ini, dan berbaktilah terhadap orang tua, lahir dan batin.

PUPUH III
G A M B U H

Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa kapatuh, katuruh pan dadi awon.

Sekar gambuh pola yang keempat,  yang menjadi bahan perbincangan adalah perlaku yang tidak teratur, tidak mau mendengar nasihat, semakin lama semakin tak terkendali, hal ini akan berakibat buruk.

Aja nganti kabanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos.

Jangan sampai kau terlanjur dengan tingkah polah yang tidak jujur, jika sudah telanjur akan mecelakakan, dan hal itu tidak baik. Oleh karena itu, berusahalah ajaran yang sejati.

Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.

Ajaran yang benar itu patut kau ikuti, meskipun berasal dari orang yang rendah derajatnya, namun jika baik dalam mengajarkan, maka ia pantas kau terima.

Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh.

Ada kiasa yang berbunyi adiguna, adigang, adigung, adigang kiasan kijang, adigung kiasan gajah, dan adiguna kiasan ular. Ketiganya mati bersamaan.

Si kidang ambegipun, angandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angandelken gung ainggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot.

Tabiat si kijang adalah menyombongkan kecepatannya berlari, si gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar, sedangkan si ular menyombongkan bisaya yang ganas bila menggigit.

Iku upamanipun, aja ngandelaken sira iku, suteng nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digang, ing wasana dadi asor.

Itu semua hanya perumpamaan, janganlah kau menyombongkan diri karena putra raja sehingga merasa tidak mungkin ada yang berani, itu tabiat yang adiganng, ujung-ujungnya merendahkanmu.

Adiguna puniku, ngandelaken kapinteranipun, samubarang kabisan dipundheweki, sapa bisa kaya ingsun, togging prana nora enjoh.

Watak adiguna adalah menyombongakan kepandaiannya, seluruh kepandaian adalah miliknya. Siapa yang bisa seperti aku, padahal akhirnya tidak sanggup.

Ambek adigung iku, angungasaken ing kasuranipun, para tantang candhala anyenyampahi, tinemenan nora pecus, satemah dadi geguyon.

Tabiat orang adigung adalah menyombongkan keperkasaan dan keberaniannya, semuanya ditantang berkelahi, bengis, dan suka mencela. Tetapi jika benar-benar dihadapi, ia tak akan melawan, bahkan jadi bahan tertawaan.

Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, kang waskitha solahing wong.

Dalam kehidupan, jangan kau kedepankan tiga tabiat tersebut, berlakulah sabar, cermat, dan hati-hati. Perhatikan segala tingkah laku, waspadai segala perilaku orang lain.

Dene tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngandelaken upase mandos.

Dari ketiganya itu, si kijang mati karena kegembiraannya, gajah mati karena keteledorannya, sedangkan ular mati karena keganasan bisanya.

Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang nggunggung, wekasane kajalomprong.

Ketiganya tidak patut kau tiru, kalau kau tiru akibatnya akan buruk. Ciri-ciri pemuda adalah tidak dapat menyimpan rahasia , senang bia banyak yang menyanjung yang akhirnya menjerumuskan.

Yen wong anom iku, kakehan panggunggung, dadi kumprung, pengung bingung wekasane pan angoling, yen ginunggung muncu-muncu, kaya wudun meh mencothot.

Jika pemuda terlalu banyak sanjungan, maka ia menjadi tolol, tuli, dan bingung, akhirnya mudah diombang-ambingkan, jika sedang dimuji, maka monyong seperti bisul yang hampir meletus.

Dene kang padha nggunggung, pan sepele iku pamrihipun, mung warege wadhuk kalimising lathi, lan telese gondhangipun, reruba alaning uwong.

Adapun yang senang menyanjung sangat sederhana keinginannya, yaitu kenyang perut, basah lidah dan tenggorokan dengan menjual keburukan orang lain.

Amrih pareke iku, yen wus kanggep nuli gawe umuk, pan wong akeh sayektine padha wedi, tan wurung tanpa pisungsung, adol sanggup sakehing wong.

Supaya dekat (dengan atasan). Jika sudah terpakai kemudian membuat ulah dengan membuat orag menjadi takut sehingga ia menerima upeti dari hasil menjual kemampuan orang lain.

Yen wong mangkono iku, nora pantes cedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedheplok.

Orang seperti itu tidak pantas untuk berdekata dengan pembesar karena dapat mendorong untuk berbuat jahat. Meskipun begitu tetap ada kepantasannya, yaitu ditumbuk.

Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh kang nggunggung, kang wus weruh amalengos.

Jangan terlalu merasa tahu banyak. Belum melihat dengan mata kepala sendiri tetapi banyak berbicara, bahkan hanya dengan mendengar seolah-olah mengetahui sendiri. Dikiranya banyak yang menyanjung, padahal yang mengetahuinya akan memalingkan muka.

Aja nganggo sireku, kalakuwan kang mangkono iku, nora wurung cinirenen den titeni, mring pawong sanak sadulur, nora nana kang pitados.

Oleh karena itu, Nak. Jangan kau bersikap seperti itu karena pasti akan mencadi catatan dalam hati sanak saudara. Mereka tidak akan percaya lagi kepadamu.

PUPUH IV
P A N G K U R

Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo wong ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipunkadulu, miwah ingkang tata krama, den kaesthi siyang ratri.

Nasihat ini dibalut dengan tembang Pangkur. Seyogyanya kau memahami hakikat pengabdian bagi kehidupan, tentang baik dan buruk perlu kau ketahui. Pahami pula ada dan aturan, serta siang malam jangan kau lupakan tata krama

Deduga lawan prayoga, myang watara reringa aywa lali, iku parabot satuhu, tan kena tininggala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku, angucap meneng anendra, duga-duga nora kari.

Jangan kau lupakan pertimbangan, boleh sedikit curiga karena hal itu merupakan (keharusan) yang tidak boleh kau lupakan, baik ketka sedang terjaga, duduk, bangun, maupun berjalan, diam, berbicara, maupun tidur (jangan lupakan nalar).

Miwah ta sabarang karya, ing prakara kang gedhe lan kang cilik, papat iku aja kantun, kanggo sadina-dina, rina wengi nagara miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambegan, papat iku aja lali.

Demikian pula pertimbangan empat perkara dalam segala hal baik yang besar maupun yang kecil jangan kau lupakan, terapkan sehari-hari, siang atau malam, di kota maupun di desa. (Hal ini berlaku) untuk semua makhluk yang bernapas.

Kalamun ana manusa, anyinggahi dugi lawan prayogi, iku watake tan patut, awor lawan wong kathah, wong degsura ndaludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak, nora wurung neniwasi.

Jika ada manusia yang melupakan pertimbangan nalar, itu tak patut berbaur dengan orang banyak. Janganlah kau dekati orang yang tak tahu adat dan hanya menuruti kemauannya sendiri, (orang seperto itu) akan membawa kehancuran.

Mapan watake manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-muninipun, pan dadi panengeran ingkang, kang apinter kang bodho miwah kang luhur, kang sugih lan kang melarat, tanapi manusa singgih.

Ciri perilaku manusia itu tampak dari bagaimana caranya berjalan dan duduk, tindak-tanduk dalam berbicara. Meskipun orang itu pandai atau bodoh, berderajat tinggi atau hina, kaya atau miskin.

Ulama miwah maksiyat, wong kang kendel tanapi wong kang jirih, durjana bebotoh kaum, lanang wadon pan padha, panitike manusa wateke wewatekipun, apa dene wong kang nyata, ing pangawruh kang wus pasthi.

Ulama atau penjahat, pemberani maupun penakut, pencuri maupun bebotoh, atau lelaki maupun perempuan semua memiliki ciri-ciri yang sama.

Tinitik ing solah muna, lawan muni ing laku lawan linggih, iku panengeran agung, winawas ginrahita, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujanma, datan kongsi mindho gaweni.

Terlihat dari tindak-tanduk, berbicara, berjalan, dan duduk, itu cirri utama yang mudah diketahui dan dirasakan. Oleh karena itu, orang jaman duu tidak pernah salah dalam menilai orang.

Masa mengko mapan arang, kang katemu ing basa kang basuki, ingkang lumrah wong puniku, dhengki srei lan dora, iren meren dahwen pinasten kumingsun, opene nora prasaja, jail mutakil bakiwit.

Masa sekarang, sangat sulit menemukan perilaku yang baik. Umumnya (manusia sekarang) itu dengki, serakah, dan pembohong, malas, iri, senang encela, sombong, tidak jujur, jahil, banyak curiga, dan curang.

Alaning liyan den andhar, ing becike liyan dipun simpeni, becike dhewe ginunggung, kinarya pasamuan, nora ngrasa alane dhewe ngendhukur, wong mangkono wateknya, nora kena denpedhaki.

Kejelekan orang lain disebarluaskan, sementara kebaikan (orang lain) disembunyikan, kebaikannya sendiri disanjung-sanjung dan dibicarakan dalam pertemuan, tidak merasa kejelekannya sendiri bertumpuk. Orang yang bertabiat seperti itu tidak layak kau dekati.

Iku wong durjana murka, nora nana mareme jroning ati, sabarang karepanipun, nadyan wusa katekan, karepane nora mari saya banjur, luwamah lawan amarah, iku kang den tut wuri.

Orang seperti itu disebutpenjahat  serakah, tidak pernah merasa puas meskipun semua keinginannya telah terpenuhi, kemauannya tidak ernah berhenti, malah semakinmenjadi-jadi, menurutkan hawa nafsu lawamah dan amarah.

Ing sabarang tingkah polah, ing pangucap tanapi lamun linggih, sungkan asor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujanma pangrasane dhewekipun, nora nana kang memadha, angrasa luhur pribadi.

Segala tingkah laku, dalam berbicara maupun duduk, tabiatnya tidak mau dikalahkan oleh orang lain, tidak mau ada yang menyamai, ia merasa dirinya paling tinggi.

Aja nedya katempelan, ing wewatek kang tan panates ing budhi, watek rusuh nora urus, tunggal lawan manusa, dipun sami karya labuhan kang patut, darapon dadi tuladha, tinuta ing wuri.

Jangan sampai kau dihinggapi tabiat yang tidak pantas karena perilaku jahat seperti itu tidak patut disandang manusia. Seyognya berbuatlah kebajikan sehingga menjadi suri teladan dan panutan di kemudian hari.

Aja lunyu lemer genjah, angrong pasanakan nyumur gumuling, ambubut arit puniku, watek datan raharja, pan wong lunyu nora pantes dipunenut, monyar-manyir tan anteban, dela lemeran puniku.

Janganlah bersikap lunyu lemer genjah, angrong pasanakan nyumur gumuling, dan ambubut arit karena sifat itu tidak akan menyelamatkanmu, tidak patut kau anut. Watak lunyu itu artinyakata-katanya tidak bisa dipegang, sedangkan sifat lemer.

Para penginan tegesnya, genjah iku cak-cekan barang kardi, angrong pasanak liripun, remen ulah miruda, mring rabine sadulur miwah ing batur, mring sanak myang prasanakan, sok senenga den ramuhi.

Adalah mudah tergiur sesuatu. Genjah artinya senang berkata jorok, angrong pasanakan artinya senang berselingkuh dengan istri orang, dan jika sudah mencintai istri sahabat atau kerabat harus terlaksana.

Nyumur guling linira, ambeladhah nora duwe wewadi, nora kene rubung-rubung, wewadine den umbar, mbuntut arit punika pracekanipun, ambener ing pangarepan, nanging nggarethel ing wuri.

Nyumur gumuling artinya tidak dapat menyimpan rahasia, jika mendengar kabar (meskipun sebagian) langsung disebarluaskan. Mbuntut arit artinya di awal terdengar baik tapi menggerutu di belakang.

Sabarang kang dipun ucap, nora wurung amrih oleh pribadi, iku labuhan patut, aja na nedya nulad, ing wateking nenem prakara punika, sayogyane ngupayaa, lir mas tumimbul ing warih.

Semua yang diucapkannya hanya untuk keuntungan diri sendiri. Hal itu bukan kebajikan yang baik, dan jangan ada yang meniru keenam sifat di atas. Seyogyanya berlakulan seperti emas yang tersembul di permukaan. (mas tumimbul merupakan isyarat pola tembang berikutnya yaitu maskumambang).

PUPUH V
MASKUMAMBANG

Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen den nuta.

Meskipun ayah, ibu, kakek, maupun nenek jika nasihatnya tidak baik, maka jangan kau dengar, tidak patut kau turuti.

Apan kaya mangkono karepaneki, sanadyan wong liya, kalamun watake becik, miwah tindake prayoga.

Demikian seharusnya. Meskipun orang lain, namun memiliki tabiat dan tingkah lakunya yang baik.

Iku pantes yen sira tiruwa ta kaki, miwah bapa biyung, amuruk watek kang becik, iku kaki estokena.

Itu pantas kau tiru, Nak, begitu pula jika ayah dan ibu memiliki nasihat yang baik, maka turutilah, Nak.

Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing dunya praptaning akhir, tan wurung kasurang-surang.

Orang yang tidak mentaati orang tua itu durhaka, dia akan kena kutuk sejak hidup di dunia sampai di alam akhir

Maratani mring anak putu ing wuri, den padha prayitna, aja sira kumawani, ing bapa tanapi biyang.

Hingga kelak ke anak cucu. Oleh karena itu, perhatikan sungguh-sungguh, jangan engkau kurang ajar kepada ayah atau ibu.

Ana uga etung-etungane kaki, lelima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lelima punika.

Ada juga yang disebut dengan lima sujud (bakti), Nak. Adapun kelima jenis sujud (bakti) itu adalah :

Kang dhingin rama ibu kaping kalih, marang maratuwa, lanang wadon kaping katri, ya marang sadulur tuwa.

Yang pertama ayah dan ibu, kedua kepada mertua baik laki-laki maupun perempuan, ketiga kepada saudara tua.

Kaping pate marang guru sayekti, sembah kaping lima marang Gustinira yekti, parincine kawruhana.

Keempat kepada guru, sedangkan kelima kepada raja (atasan). Adapun penjelasannya adalah

Pramila rama ibu den bekteni, kinarya jalaran, anane badan puniki, kinawruhan padhang hawa.

Mengapa ayah dan ibu harus dibaktikan, sebab keduanya adalah perantara yang menyebabkan kita hadir di dunia.

Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widdhi, milane wajib sinembah.

Semua kepandaianmu bermula dari ayah dan ibu yang secara mata batin berasal dari Yang Mahakuasa. Oleh karena itu (mereka) patut kau sembah.

Ya mulane maratuwa jalu estri, pan wajib sinembah, angsung kabungahan tuwin, aweh rasa ingkang nyata.

Mengapa kedua mertuamu patut kau sembah, sebab mereka memberimu kebahagiaan dan kenikmatan sejati.

Katanipun sadulur tuwa puniki, pan wajib sinembah, gegentening bapa benjing, mulane guru sinembah.

Sementara saudara tua harus kau sembah karena ia adalah ganti ayah kelak. Adapun guru wajib disembah karena.

Kang atuduh sampurnanning urip, tumekeng antaka, madhangken pethenging ati, anuduhaken marga mulya.

Yang menunjukkan kesempurnaan hidup sampai datangnya kematian, menerangkan gelapnya hati, menunjukkan jalan kemulyaan.

Wong duraka ing guru abot sayekti, milae den padha, mintaa sih ywa nganti, suda kang dadi sihira.

Orang yang dikutuk guru sangat berat, oleh karena itu mengharaplah kasih sayang guru kepadamu jangan sampai berkurang.

Kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti Kang Murba, ing pati kalawan urip, aweh sandhang lawan pangan.

Adapun sembah yang kelima adalah kepada raja yang berkuasa atas hidup dan matimu, memberimu sndang dan pangan

Wong neng dunya kudu manut marang Gusti, lawan dipunawas, sapratingkahe den esthi, aja dumeh wus awirya.

Orang yang hidup seyogyanya berbakti kepada raja serta menjaga segala tindakan agar selalu benar, jangan sombong meskipun sudah berkuasa

Nora beda putra santana wong cilik, yen padha ngawula, pan kabeh namaning abdi, yen dosa kukume padha.

Tidak berbeda antara putra raja dan kerabat raja dengan rakyat jelata dalam hal mengabdi. Bukankah kedudukan abdi semuanya sama di mata hukum?

Yen rumasa putra santana sireki, dadine tyasira, angendiraken sayekti, nora wurung anemu papa.

Jika kau merasa sebagai putra raja atau kerabat raja, itu artinya kau menyombongkan diri, hal ini akan menyebabkan kesulitan bagimu

Angungasken putra sentananeng Aji, iku kaki aja, wong suwita nora keni, kudu wruh ing karyanira.

Janganlah kau mengagungkan diri sebagai putra raja, Anakku orang yang mengabdi (kepada raja) tidak boleh demikian, kau harus tahu kewajiban

Yen tinuduh marang Sang Maha Narpati, sabarang tuduhnya, iku estokna ugi, karyanira sungkemana.

Jika diperintah oleh Sri Baginda, apapun bentuk printahnya, maka hormati dan taati perintahnya

Aja mengeng ing parentah sang siniwi, den pethel aseba, aja malincur ing kardi, lan aja ngepluk sungkanan.

Janganlah menghindar pada perintah raja. Rajinlah menghadap dan jangan malas menjalankan tugas. Jangan sering terlambat dan menolak tugas.

Luwih ala-alane ing wong ngaurip, wong ngepluk sungkanan, tan patut ngawuleng aji, angengera sapa-sapa.

Seburuk-buruknya orang hidup adalah bangun terlambat dan menolak kewajiban. Jika mengabdi kepada raja bahkan mengabdi kepada siapapun, hal itu tidak layak

Angengera ing bapa biyung pribadi, yen ngepluk sungkanan, nora wurung den srengeni, binalang miwah pinala.

Ikut pada ayah maupun ibu sekalipun, jika bangun terlambat dan menolak kewajiban pasti dimarahi, disambit, atau dipukul.

Apa kaya mangkono ngawuleng aji, yen ngepluk sungkanan, tan wurung manggih bilahi, ing wuri aja ngresula.

Demikan pula mengabdi kepada raja, jika bangun terlambat dan malas akan celaka, (jika terjadi hal demikian) jangan kau menyesal di belakang hari

Pan kinarya dhewe bilahine ugi, lamun tinemenan, sabarang karyaning Gusti, lahir batin tan suminggah.

Bukankah celakanya itu hasil kerjanaya juga? Jika kau bersungguh-sungguh secara lahir batin, jangan kau menghindar

Mapan Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa kekasih, amung bener agemira.

Karena memang raja tidak memiliki putra, saudara, dan kerabat, demikian puia (raja) tidak memiliki istri atau kekasih, yang dipegang hanya aturan.

Kukum adil adat waton kang denesthi, mulane ta padha, den rumeksa marang Gusti, endi lire wong rumeksa.

Hukum yang adil dan adat istiadat, itu yang dijalankan raja. Oleh karena itu, jagalah. Adapun cara menjaga raja adalah.

Dipun gemi nastiti ngati-ati, gemi mring kagungan, ing Gusti ywa sira wani, anggegampang lawan aja

Hidup hemat, teliti, damn hati-hati. Janganlah kau menggampangkan milik raja, juga jangan

Wani-wani nuturken wadining Gusti, den bisa rerawat, ing wewadi sang siniwi, nastiti barang parentah.

Sekalipun berani membocorkan rahasia raja. Simpanlah rapat-rapat rahasia raja dan cermati selurruh perintahnya.

Ngati-ati ing rina kalawan wengi, ing rumeksanira, lan nyadhong karsaning Gusti, Dudukwuluhe kang tampa.

Cermatilah segala milik raja dan berhati-hatilah siang dan malam sambil menerima perintah raja (dudukwuluhe adalah isyarat pola tembang berikutnya, yaitu dudukwuluh)

PUPUH VI
DUDUK WULUH

Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang Gusti, dipun miturut sapakon.

Mengabdi kepada raja memang amat repot, tidak boleh ragu-ragu dan harus mantap, serta setia dan percaya kepada raja.

Mapan Ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahaken hukum adil, pramila wajib den enut, sing sapa tan manut ugi, ing parentahe Sang Katong.

Bukankah raja adalah wakil Yang Mahaagung, yang menjalankan hukum dan keadilan sehingga harus ditaati. Barang siapa yang tidak menuruti perintah sang raja.

Aprasasat mbadali karseng Hyang Agung, mulane babo wong urip, saparsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.

Ibarat ingkar dari Yang Mahaagung. Oleh karena itu, setiap yang mengabdi kepada raja harus ikhlas lahir batrin agar tidak mendapat kesulitan

Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur sira ngabdi, becik ngidunga karuhun, aja age nuli ngabdi, yen durung eklas ing batos.

di belakang hari. Jika hati belum bulat, jangan kau mengabdi, lebih baik jika menumpang tinggal dulu jangan kemudian mengabdi jika batin belum pasrah

Anggur ngindung bae pan nora pakewuh, lan nora nana kang ngiri, amungkul pakaryanipun, nora susah tungguk kemit, seba apan nora nganggo

Lebih baik menumpang tinggal agar tidak susah dan tidak ada ayang memerintah, tekun bekerja, tidak perlu bertugas jaga, bahkan tidak perlu menghadap.

Mung yen ana tongtonan metu ing lurung, kemul bebede sasisih, sarwi mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris, andhodhok pinggiring bango.

Cuma jika ada keramaian tontonan di jalan, keluar dengan kain bebed sebelah sambil bersilang tangan, hilir mudik tanpa keris, duduk di pinggir warung.

Suprandene jroning tyas, anglir tumenggung, mengku bawat Senen Kemis, mankono iku liripun, nora kaya wong ngabdi, wruh plataraning Sang Katong.

Meskipun demikian, di dalam hatinya merasa sebagai seorang tumenggung yang berpatyung kebesaran. Sikap seperti itu bukanlah sikap pengabdi yang setiap hari hanya melikat halaman istana.

Lan keringan sarta ana aranipun, lan ana lungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipunpakeling, mulane pinardi kang wong.

Yang terhormat, memiliki gelar dan kedudukan. Tetapi ingat, orang yang mengabdi itu harus memperhatikan.

Samubarang karyanira Sang Aprabu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, wong kang padha-padha ngabdi, panggaweyane pan saos.

Seluruh perintah raja harus dilaksanakan, karena kewajiban mengabdi adalah menghadap dan menantikan perintah raja.

Kang nyantana bupati mantri panewu, kliwon peneket miji, panalaweyan pananjung, tanapi para prajurit, lan kang nambut karyeng katong.

Baik yang mengadi sebagai bupati, mantra, penewu, kliwon, peneket, miji, panalawe, pananjung, maupun prajurit dan yang bekerja pada raja

Kabeh iku kawajiban sebanipun, ing dina kang amarengi, wiyosanira Sang Aprabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.

Semua memiliki kewajiban untuk menghadap pada hari yang bersamaan pada saat raja bersidang. Sekalipun tidak ikut bersidang, jangan (dijadikan alasan untuk) tidak menghadap.

Ingkang lumrah yen karep seba wong iku, nuli ganjaran den icih, yen tan oleh nuli mutung, iku sewu sisip, yen wus mangerti ingkang wong.

Biasanya, orang yang rajin menghadap itu mengharapkan mendapat hadiah, jika tidak mendapat hadiah, ia ngambek. (sikap seperti itu) keliru bagi orang yang bijak

Tan mangkono etunge kang uwis weruh, ganjaran datan pinikir, ganjaran pan wus rumuhun, amung naur sihing Gusti, winales ing lair batos.

Bagi yang sudah mengetahui, perhitungannya tidak begitu, masalah hadiah tidak dipikirkan, karena hadiah sebenarnya sudah diterima terlebih dahulu, sehingga tinggal membalas kebaikan raja dengan lahir batin

Setya tuhu marang saprentahe pan manut, ywa lenggana karseng Gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah mungging jaladri, darma lumampah sapakon.

Melaksanakan segala perintah raja. Jangan membantah kehendak raja. Orang mengabdi ibarat sampah di samudra, hanya sekedar menjalankan

Dene begja cilaka utawa luhur, asor iku pan wus pasthi, ana ing bebadanira, aja sok amuring muring, marang Gusti Sang Akatong.

Adapun kebahagiaan dan kesengsaraan, ataupun tinggi rendah tergantung pada takdir masing-masing, jangan suka marak kepada raja

Mundhak ngakehaken ing luputireku, ing Gusti tuwin Hyang Widdhi, dene ta sabeneripun, mupusa kalamun pasthi, ing badan tan kena megoh.

Hal itu akan menambah kesalahan kepada raja serta Yang Mahakuasa. Yang benar adalah menerima takdir diri, jangan berdiam diri

Tulisane ing lohkil makful kang rumuhun, pepancen sawiji-wiji, tan kena owah sarambut, tulisan badan puniki, aja na mundur ing kewoh.

Yang sudah tersurat dalam laukhil makfudz tidak dapat diubah barang serambutpun, oleh karena itu jangan mundur meghadapinya (mundur adalah isyarat pola tembang berikutnya, yaitu durma)

PUPUH VII
D U R M A

Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.

Biasakanlah melatih dirimu untuk prihatin dengan mengurangi makan dan tidur agar berkurang nafsu yang menggelora, heningkan hatimu hingga tercapai yang kau inginkan

Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.

Janganlah ragu terhadap pengetahuan lahir batin. Jika kau memahami bahwa dalam kehidupan ini ada yang berkuasa, mudah-mudahan keinginanmu terkabul.

Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.

Benar salah, baik buruk, serta untung rugi, bukankah berasal dari dirimu sendiri? Bukan dari orang lain. oleh karena itu, hati-hatilah terhadap segala ancaman, hindari dan ingat

Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.

Bukankah ada tiga perkara utama yang akan membesarkanmu? Ketiga perkara tersebut adalah jangan menyombongkan diri, jangan mecela.

Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.

Dan jangan mengritik hasil orang lain, sedikit-sedikit mengritik, segala tingkah orang lain dikritik. Memang zaman sekarang sudah lumrah orang mengritik.

Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.

Hanya hasil karya sendiri yang tidak dikritik karena merasa paling benar. Meskipun benar, jika perbuatan orang lain pasti dikatakan salah. Hal itu salah karena kebenarannya menggunakan (ukuran) diri sendiri

Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih waonan, den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.

Tidak ada perbuatan yang lebih mudah daripada mengritik. Kau ingatlah, jangan terlalu sering mengritik, selalulah berpikir baik. Barang siapa yang lupa

Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono tindakira, yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.

Dari yang ingat, maka ingatkan. Kepada sanak dan kerabat semoga bahagia. Begitu seharusnya tidakanmu, namun jika tidak diturut, maka diamlah, namun jangan membicarakan

Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen becikira, aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.

Kau akan berdosa pada sesame. Begitupun jika kau memuji yang belum kaubuktikan kebenarannya, jangan terburu-buru memuji, Anakku. Karena  jika tidak terbukti malah akan menjadi celaan

Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi pandirangan, matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.

Adapun yang sering terjadi pada zaman sekarang adalah jika ada orang yang disenanginya maka dipuji setinggi langit sampai matanya melotot, meskipun jelek tetapi tetap dikatakan baik

Aja ngalem aja mada lamun bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan, den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.

Kalau bisa, jangan memuji atau mencela. Namun kini, jika tidak disenangi maka akan dicela habis-habisan, yang dipikirkan pun bermacam-macam

Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.

Pada awalnya berpura-pura baik, tetapi di belakang diomongkan yang bukan-bukan, pembicaraan pun berganti (wirangrong merupakan isyarat pergantian pola tembang beirkutnya, yaitu wirangrong)

PUPUH VIII
WIRANGRONG

Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira.

Hendaklah kau berusaha mengendalikan diri dan berhati-hati, jangan mentang-mentang pandai berbicara jika tak layak (didengar), meskipun hanya sepatah kata jika bukan pada tempatnya

Kudu golek masa ugi, panggonan lamun miraos, lawan aja age sira muwus, durunge den kaesthi, aja age kawedal, yen durung pantes lan rowang.

Carilah waktu dan tempat jika ingin bicara, jangan terburu-buru berbicara sebelum kau piker, jangan cepat-cepat kau keluarkan (isi hati) jika belum layak siapa yang kau ajak bicara

Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara.

Perhatikan dengan siapa kau berbicara sehingga tidak asal bicara. (pembicaraan itu) ada yang layak didebgarkan orang banyak ada pula yang tidak

Tan pantes kanggo ngawruhi, milane lamon miraos, dipun ngarag-ngarah  ywa kabanjur, yen sampun kawijil, tan kena tinurutan, milane dipun prayitna

Diketahui orang banyak. Oleh karena itu, jika berbicara jangan melantur karena jika telanjur terucap tidak dapat ditarik kembali

Lan maninge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan.

Di samping itu, orang hidup jangan terlalu banyak bersumpah, itu akan mengotori dirimu, namun zaman sekarang tidak ada pertimbangan, bersumpah adalah perbuatan sehari-hari

Den gemi marang ing lathi, aja ngakehke pepisoh, cacah cucah erengan ngabul-abul, lamun andukani, den dumeling dosanya, mring abdi kang manggih duka.

Berhematlah dengan lidahmu, jangan memperbanyak umpatan, menggerutu, dan marah-marah. Jika kau marah, sebutkan kesalahan bawahanmu itu

Lawan padha den pakeling, teguhna lahir batos, aja ngalap randhaning sedulur, sanak miwah abdi, rowang ing sapangandhap, miwah maring pasanakan.

Dan juga ingatlah, kuatkan lahir batin, jangan mengharapkan janda saudaramu, kerabat, maupun bawahanmu, dan seterusnya

Gawe salah graitaning, ing liyan kang sami anom, nadyan lilaa lanangipun kang angrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.

Hal itu akan membuat curiga orang yang mengetahuinya, sekalipun suaminya rela, tetapi yang mendengarnya tidak yakin, tidak mungkin kurang wanita

Tan wurung dipun cireni, ing batin ingaran rusoh, akeh jaga-jaga jroning kalbu, arang ngandel batin, ing tyase padhasuda, pangandele mring bendara.

Hal itu pasti dijadikan tanda dan dicap jorok. Di dalam hatinya, mereka tidak percaya, hal itu menyebabkan kepercayaan kepada tuannya akan berkurang

Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakawan iku akeh pun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.

Ada lagi cacat yang lebih besar dari kesalahan, yaitu empat perilaku, pertama madat, kedua bertaruh, dan ketiga pencuri

Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga.

Yang keempat adalah berwatak pedagang. Adapun watak pedagang dianggap jelek karena siang malam hanya memikirkan keuntungan, tidak mau jika berkurang.

Iya upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadawa, gegetun patang warsa, padha lan ilang sanambang.

Meskipun memliki uang empat karung pun, belum tenang hatinya, sekalipun hanya hilang satu sen, menyesalnya sampai empat bulan, sama dengan hilang seribu

Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggegawe ugi, gegadhen pan tumanggal, ulate teka sumringah.

Orang berwatak pedagang, dalam banyak hal pura-puta tidak tahu, namun jika ada orang yang dating sambil  membawa barang jaminan, ia bersikap ramah dan wajanya pun cerah.

Dene wong durjana ugi, nora ana den raos, rina wengi mung kang den etung, duweke liyan nenggih, dahat datan prayoga, kalamun wateke durjana.

Sedangkan watak pencuri, tidak ada lagi yang dirasakan, siang malam yang diperhitungkan adalah milik orang lain. oleh kaera into sangat tidak baik berwatak pencuri

Dene bebotoh puniki, sabarang pakaryan lumoh, lawan kathah linyok para padha, yen pawitan enting tan wurung anggegampang, ya marang darbeking sanak.

Adapun watak penjudi itu malas bekerja, sering berbohong, dan suka beradu mulut, jika modalnya habis, maka menggampangkan segala milik saudara

Nadyan wasiyating kaki, nora wurung dipun edol, lamun menang lali gawe angkuh, pan kaya bopati, wewah tan ngarah-arah, punika awoning bangsat.

Bahkan warisan kakeknya pun berani dijual. Jika menang lupa daratan, lagaknya seperti bupati, member dengan tanpa perhitungan. Begitulah kejelekan penjudi.

Kabutuhe nuli memaling, tinitenan saya awon, apan boten wonten panedinipun, pramilane sami, sadaya nyinggahana, anggegulang ngabotohan.

Jika sudah terpaksa terus mencuri, lama-kelamaan kejelekannya ketahuan karena memang tidak ada penghasilan. Oleh karena itu, hindarilah dan jangan lakukan perjudian

Dene ta wong akng madati, kesade kaworan lumuh, amung ingkang dados senengipun, ngadep diyan sarwi, linggih ngamben jejegang, sarwi leleyang bedudan.

Adapun pemadat wataknya malas tidak kepalang, kesukaannya hanya menghadapi lampu sambil duduk di amben bertumpang kaki sambil menimang culim.

Yen leren nyeret, netrane pan merem karo, yen wus ndadi awake akuru, cahya biru putih, njalebut wedi toya, lambe biru untu pethak.

Jika berhenti menhisap madat, matanya terkatup. Jika sudah parah, maka tubuhnya kurus kering, wajahnya kuyu, takut air,bibir biru sedangkan gigi putih kotor

Beteke satron lan gambir, jambe suruh arang wanuh, ambekane sarwi melar mingkus, atuke anggigil, jalagra aneng dhadha, tan wurung metu bolira.

Karena tidak kenal gambir, pinang, dan sirih. Napasnya kembang kempis tersengal—sengal, batuk tiada henti, dan dahak menyumbat dada, dan akhirnya mengeluarkan bul.

Yen gering nganggo ndalinding, suprandene nora kapok, iku padha singgahana patut, ja ana nglakoni, wong mangan apyun ala, uripe dadi tontonan.

Jika sakit disertai mencret. Meskipun negitu (ia) tidak kapok. Itu patut kalian hindari, jangan ada yang melakukan (perbuatan itu). Orang madat itu hidupnya menjadi tontonan.

Iku kabeh nora becik, aja na wani anganggo, panggawe patang prakara iku, den padha pakeling, aja na wani nerak, kang wani nerak tan manggih arja.

Itu semua tidak baik, jangan ada yang berani melakukan empat perkara tersebut. Dan ingatlah, jangan ada yang berani nekat, yang berani nekad tidak akan menemui kesejahteraan.

Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum, sayeng tanpa masa iku, endi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala.

Ada lagi pantangan, jangan suka mabuk, minum tanpa batas waktu, (padahal) minum-minuman setiap hari itu tabiatnya buruk.

Kalamun wong wuru ugi, ilang prayitnaning batos, nora ajeg barang pikiripun, elinge ning ati, pan baliyar-baliyur, endi ta ing becikira.

Pemabuk akan kehilangan keseimbangan batin, pikirannya tidak jelas, ingatannya goyang. Lalu, di mana kebaikannya.

Lan aja karem sireki, ing wanodya ingkang awon, lan aja mbuka wadi siraku, ngarsaning pawestri tan wurung nuli corah, pan wus lumrahing wanita.

Jangan pula kau menyukai wanita yang kotor, jangan pula kau membuka rahasia di depan wanita sebab akan menjadi buah bibir. Bukakankah begitu umumnya wanita

Tan bisa simpen wewadi, saking rupake ing batos, pan wus pinanci dening Hyang agung, nitahken pawestri, apan iku kinarya, ganjaran marang wong priya.

Tidak bisa menyimpan rahasia karena sempitnya hati. Sudah menjadi kodrat dari Yang Mahaagung, menciptakan wanita sebagai hadiah kepada para lelaki

Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dapur, yen bakale becik, den anggo weh manfaat, ywa kaya Pucung lan kaluwak.

Semuanya mesti waspada, jangan hanya karena nasihat sederhana. Jika itu memang baik , maka dengarkanlah karena jika dilaksanakan memberi manfaat., jangan seperti pucung dan kluwak. (Pucung lan kluwak merupakan isyarat pola tembang berikutnya)

PUPUH IX
P U C U N G

Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah-pisah.

Pada waktu muda, buah kluwak meyatu dan namanya pucung, jika sudah tua, kluwak tersebut terpisah

Den budiya kapriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga.

Bagaimanapun juga, usahakan jangan sampai berpisah, bersatunya seperti masa muda, muda menyatu ketika tua pun sebaiknya menyatu

Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar siji-siji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang.

Jangan seperti kluwak, ketika masih muda menyatu, namun ketika tua masing-masing menyebar, akhirnya hanya sebagai bumbu pindang

Wong sadulur nadyan sanak dipun runtut, aja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu teka prayoga.

Persaudaraan itu,meskipun dengan sudara jauh harus rukun, jangan sampai terpisah dalam segala hal. Jika hidup rukun akan baik dilihat orang

Abot enteng wong sugih sanak sadulur, enthenge yen pisah, pikire tan dadi siji, abotipun yen sabiyantu ing karsa

Banyak sudara memang ada berat dan ada juga ringannya. Ringan bila masing-masing pikirannya terpisah, adapun beratnya jika (kita) membantu segala hal.

Luwih bakuh wong sugih sanak sadulur, ji – tus tadhingira, yen golong sabarang pikir, becik uga lan wong kang tan duwe sanak.

Lebih kokoh jika banyak saudara, satu berbanding seratus jika bersatu hati, lebih baik dibadingkan tidak memiliki saudara.

Lamun bener lan pinter pamomonganipun, kang ginawa tuwa, aja nganggo abot sisih, dipun sabar pamengku mring santana.

Jika benar dan pandai memperlakukannya. Yang merasa dituakan jangan berat sebelah, harus berlaku seimbang terhadap kerabat dan bawahan.

Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa nenom aja beda traping karya.

Memang repot jika dituakan, tidak boleh menganggap gampang kepada saudara. Jangan membedakan perintah, baik kepada yang muda maupun kepada yang tua

Kang saregep kalawan ingkang malincur, iku kawruh ana, sira alema kang becik, ingkang malincur den age bendanana.

Yang rajin dan yang malas harus kau ketahui. Pujilah ia yang rajin, sedangkan yang malas, segera marahilah.

Yen tan mantun binendonan nggone malincur, nuli patrapana, sapantese lan dosaning, kang santosa dimene dadi tuladha.

Jika tidak sadar kemalasannya dengan dimarai, jatuhilah hukumanyang seimbang dengan kesalahannya agar menjadi contoh

Kang wong liya darapon wedia iku, kang padha ngawula, ing batine wedi asih, pan mangkono lelabuhane dadi wong tuwa.

Bagi orang lain. orang yang mengabdi akan menjadi segan dan setia. Bukankah begitu seharusnya perilaku orang yang dituakan.

Nggone mengku jembar amot tur rahayu, den kaya sagara, tyase ngemot ala becik, mapan ana pepancene sowang-sowang.

Seyogyanya berhati bersih dan lapang dada bagai samudra, memahi baik dan buruk, bukankah masing-masing memiliki takdir?

Jer sadulur tuwa kang wajib pitutur, marang kadang taruna, wong anom wajibe wedi, sarta manut wulange sadulur tuwa.

Saudara tua memiliki kewajibanuntuk memberikan nasihat, adapun kewajiban orang muda adalah segan dan menuruti nasaihat saudara tua.

Kang tinitah dadi anom aja masgul, ing batin ngrasaa, saking karsaning Hyang Widdhi, yen masgula ngowai kodrating Suksma.

Yang ditakdirkan menjadi saudara muda jangan ragu. Bersyukurlah karena sudah dikehendaki Yang Mahaesa, jika ragu akanmegubah kodrat Allah

Nadyan bener yen wong anom dadi luput, yen ta anganggoa, ing pikirira pribadi, pramilane wong anom aja ugungan.

Orang muda, sekalipun benar tetap dipersalahkan, hal itu jika kau turuti pikiran sediri. Oleh karena itu, orang muda jangan manja

Yen dadi nom weruha ing enomipun, kang ginawe tuwa, dikaya banyu neng beji, den awening paningale aja samar

Jika ditakdirkan muda, sadarlah dengan kedudukan mudanya, adapun yang tua jadilah seperti air di kolam, jernihkan penglihatanmu.

Lan maning ana ing pituturingsun, yen sira amaca, laying sabarang layanging, aja pijer ketungkul ngelingi sastra.

Di samping itu, nasihatku, jika kau membaca segala macam serat (kitab), jangan hanya terpaku pada (keindahan) sastranya

Caritane ala becik dipun enut, nuli rasa kena, carita kang muni tulis, den karasa kang becik sira anggowa.

Pahami baik dan buruk ceritanya, kemudian renungkan (makna) cerita yang tertulis, yang kau rasa baik, ambillah!

Ingkang ala kawruhana alanipun, dadine tyasira, weruh ing ala lan becik, ingkang becik wiwitane kawruhana.

Yang jelek pahamilah kejelekannya sehingga kau memahami mana yang buruk dan mana yang baik. Adapun yang baik, pahamilah asal mulanya

Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono witing ing satemah puniku pan dadi ala.

Orang yang bertindak begitu di awal, akan baik pada akhirnya, sedangkan orang yang bertindak sebaliknya akan berakibat buruk

Dipun weruh iya ing kawulanipun, kalawan wekasanira, puniku dipun kalingling, ana ala dadi becik wekasanya.

Pahamilah, baik awal maupun akhir. Perhatikan, ada yang tampak awalnya jelek namun pada akhirnya menjadi baik

Ewuh temen babo wong urip puniku, apan nora kena, kinira-kira ing budi, arang temen wijile basa raharja.

Kehidupan memang repot karena tidak dapat diperkirakan, jarang sekali tindakan yang baik (wijil adalah isyarat pola tembang berikutnya)

PUPUH X
M I J I L

Poma kaki padha dipun eling, ing pituturingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, luruh sarta wasis, samubarang tanduk.

Harap kau ingat nasihatku ini, Nak. Engkau juga disebut sebagai kesatria, harus halus dan hening hatimu, lembut, dan cerdas dalam segala hal

Dipun nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasona yen durung masane, kekendelan aja wani manikis, wiweka ing batin, den samar ing semu.

Serta berusahalah utuk berani, namun jangan sampai terihat, bahkan jika belum waktunya jangan sampai keberanian itu kau perlihatkan, hati-hati, sabar, dan rahasiakan

Lawan den semu lawan den lungit, maneh wekasingong, aja kurang iya panrimane, yen wis tinitah dera Hyang Widhi, ing badan punika, pan wus pepancenipun.

Melalui isyarat dengan cermat. Di samping itu, pesanku, jangan lupa bersyukur atas karunia Yang Mahakuasa dengan kodrat yang menyertaimu

Kang narima satitah Hyang Widhi, temah dadi awon, lan ana wong tan narima titahe, wekasane iku dadi becik, kawruhana ugi, aja selang surup.

(meskipun demikian) ada orang yang tidak bersyukur malah bernasib baik, sedangkan orang yang bersyukur bernasib jelek. Pahamilah, jangan sampai kau keliru.

Yen wong bodho datan nedya ugi, atakon tetiron, anarima titah ing bodhone, iku wong narima norabecik dene ingkang becik, wong narima iku.

Jika ada orang bodoh tetapi tidak mau bertanya dan tidak manu menerima kodrat kebodohannya, itu tidak baik. Adapun yang baik adalah yang menerima dengan syukur.

Kaya upamane wong angabdi, marang sing Sang Katong, lawas-lawas ketekan sedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaneng, ing tyas kang panuju.

Seperi orang yang mengabdi kepada raja, lama-kelamaan akan terlihat kemampuannya, (akhirnya) diangkat sebagai menteri atau bupati atau tercapai seluruh keinginannya.

Nuli narima tyasing batin, tan mengeng ing Katong, rumasa ing kani matane, sihing gusti tumeking nak rabi, wong narima becik kang mangkono iku.

Kemudian bersyukur secara lahir dan batin dengan tidak menolak perintah rajakarena merasa bahwa semua yang diterimanya sampai ke anak istri adalah atas kasih sayang raja. Orang yang bersyukur seperti itu baik.

Nanging arang iya wong saiki, kang kaya mangkono, Kang wus kaprah iyo salawase, yen wis ana lungguhe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.

Namun sangat jarang orang jaman sekarang orang seperti itu. Yang sering terjadi adalah sal sudah memiliki kedukukan meskipun kecil akan melupakan asal-usulnya.

Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan eling ing mula mulane, witing sugih sangkane amukti, panrimaning ati, kaya anggone nemu.

Perasaanya miliknya itu hasil pribadi, semua benda yang dipergunakan tidak diingat asal-usul bagaimana ia menjadi kaya, bahkan dikiranya diperoleh begitu saja seperti hasil dapat begitu saja.

Tan ngrasa kamurahaning Widdhi, jalaran Sang Katong, jaman mengko ya iku mulane, arane turun wong lumakyeng kardi, tyase tan saririh, kasusu ing angkuh.

Tidak merasa atas kemurahan Yang Mahakuasa itu berkat kasih sayang raja. Itulah sebabnya jaman sekarang jarang orang yang mewariskan kedudukan (kepada keluarganya) karena ia tidak sabar, tergesa-gesa, dan sombong.

Arang nedya males sihing Gusti, Gustine Sang Katong, lan iya ing kabehing batine, nora nedya narimeng Hyang Widdhi, iku wong tan wruh ing, kanikmatanipun.

Jarang orang yang berkeinginan untuk membalas kasih sayang  raja, raja dari segala raja. Dalam batinnya tidak bersyukur atas anugrah Yang Mahakuasa, (orang seperti itu) tidak merasakan kenikmatan.

Yeku wong kurang narima ugi, luwih saka awon, barang gawe aja age-age, anganggoa sabar rereh ririh, dadi barang kardi, resik tur rahayu.

Atau orang yang tidak tahu bereterima kasih (menyebabkan segalanya) menjadi buruk. Jangan tergesa-gesa dan selalu bertindak sabar, tenang, dan cermat sehingga pekerjaan menjadi baik dan mendatangkan kenikmatan.

Uwis pinter nanging iku maksih, nggonira ngupados, undhaking ing kapinterane, lan undhake kawruh ingkang yekti, durung marem batin lamun durung tutug.

Ada pula orang yang sudah pandai namun masih mencari kepandaian yang melebihi kepandaian dan pengetahuannya, ia belum merasa puas jika belum sempurna.

Ing pangawruh kang densenengi, kang wus sem ing batos, miwah ing kapinteran wus dene, samubarang pakaryan wus enting, nora nana lali, kabeh wus kawengku

Pengetahuan yang dia senangi dan sudah tertanam di dalam batin, segala pekerjaan sudah mampu ia lakukan, tidak ada yang terlupakan, semuanya sudah ia kerjakan

Lan maninge babo dipun eling, ing pituturingong, sira uga padha ngempek-empek, iya marang kang jumeneng Aji, ing lair myang batin, den ngarsa kawengku.

Dan lagi, ingatlah nasihatku. Kalian semua bernaung pada raja. Oleh karenanya, merasalah secara lahir dan batin

Kang jumeneng nata ambawani, wus karseng Hyang Manon, wajib padha wedi lan batine, aja mamang parintahing Aji, nadyan enom ugi, lamun dadi Ratu.

Bahwa yang menjadi raja memerintah Negara,itu merupakan kehendak Yang Mahatahu, oleh karenanya,jangan ragukan perintahnya. Meskipun masih muda namun menjadi raja

Nora kena iya den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya priye nggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu.

Tidak boleh dicela. Perintah raja adalah benar adanya, maka bagaimanapun mau menghindar dan tidak menjalankan perintahnya pasti tidak akan membawa kebajikan.

Krana ingkang kaprah mansa iki, anggone angrengkoh, tan rumangsa lamun ngempek empek, ing batine datan nedya eling, kamuktene ugi, ngendi sangkanipun.

Yang lumrah di masa kini adah mendaku, tidak merasa dirinya bernaung, bahkan dalam hatinya tidak mau mengingat asa-usul (kemuliaan itu)

Lamun eling jalarane mukti, pasthine tan ngrengkoh, saka durung bisa ngrasakake, ing pitutur engkang dingin-dingin, sarta tan praduli, wuruking wong sepuh.

Jika ingat asal-usul kemuliaan itu, pasti ia tidak akan sombong. (hal itu terjadi) karena ia belum dapat memahani nasihat orang terdahulu dan tidak perduli  nasihat orang tua

Ing dadine barang tindak iki, arang ingkang tanggon, saking durung ana landhesane, pan nganggo karsane pribadi, ngawag barang kardi, dadi tanpa dhapur.

Sehingga segala tindakannya jarang yang kokoh karena belum memiliki dasar dan menurutkan kehendak pribadi, ngawur, dan tanpa aturan

Mulanipun wekasingsun kaki, den kerep tetakon, aja isin ngatokken bodhone, saking bodho witing pinter kaki, mung Nabi kakasih, pinter tanpa wuruk.

Oleh karena itu nasihatku, Nak, rajinlah bertanya, jangan malu menampakkan kebodohan, kepandaian itu berawal dari kebodohan, Nak. Hanya Nabi terkasih yang pandai tanpa berguru

Sabakdane datan ana maning, pinter tanpa tetakon, pan wus lumrahing wong urip kiye, mulane wong anom den taberi, angupaya ngelmi, dadya pikukuh.

Sesudah itu tidak ada lagi (orang) yang pandai tanpa bertanya. Bukankan sudah lazim kehidupan jaman sekarang bahwa kepandaian diperoleh karena bertanya. Oleh karena itu, orang muda rajinlah mencari ilmu sebagai pegangan

Driyanira dadya tetali, ing tyas dimen adoh, akeh ati ingkang ala kiye, nadyan lali pan tumuli eling, yen wong kang wus ngelmi, kang banget tuwajuh

Inderamu jadikan sebagai ikatan jiwa yang kuat agar kehidupanmu dijauhkan dari kejahatan. Bagi orang yang berilmu dengan sempurna, meskipun lupa, ia akan segera ingat.

Kacek uga ingkang tanpa ngelmi, sabarange kaot, ngelmi iku dene kangge, saben dina gurokena dhingin, pan sarengat ugi,parabot kang parlu.

Berbeda halnya dengan orang yang tidak berilmu, segalanya berbeda. Gunakan ilmu dan asahlah setiap hari. Bukankah syariat juga merupakan kewajiban?

Ngelmu sarengat puniku dadi, wewadhah kang sayektos, kawruhana kawengkune kabeh, kang sarengat, kang lair myang batin, mulane den sami, brangtaa ing ngelmu.

Inderamu jadikan sebagai ikatan jiwa yang kuat agar kehidupanmu dijauhkan dari kejahatan. Bagi orang yang berilmu dengan sempurna, meskipun lupa, ia akan segera ingat (brangtaa merupakan isyarat pola tembang berikut, yaitu asmarandana)

PUPUH XI
ASMARANDANA

Padha netepana ugi, kabeh parentahing syara, terusna lair batine, salat limang wektu uga, tan kena tininggala, sapa tinggal dadi kupur, yen misih remen neng praja.

Tetapkan juga seluruh perintah agama secara lahir batin. Sholat lima waktu tidak boleh kau tinggalkan. Barang siapa yang meninggalkan sholat akan menjadi kufur. Itupun jika kau masih mencintai kehidupan.

Wiwitane badan iki, iya saking ing sarengat, anane Manusa kiya, rukune Islam lelima, tan kerja tininggala, pan iku parabot agung, mungguh uripe neng donya.

Badan ini pun bermula dari syariat, begitupun adanya manusia. Kelima rukun Islam tidak boleh kau tinggalkan, bukankah itu semua perangkat yang mulia bagi kehidupan manusia di dunia

Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apantosa kuwasane, ning aja tan linakwan, sapa tan ngalakanana, datan wurung nemu bebendu, mula padha estokena.

Kelima rukun Islam itu harus kau laksanakan semampumu, namun jangan sampai tidak kau laksanakan. Barang siapa yang tidak melaksanakan akan mendapatkan hukuman, karenanya laksanakan.

Parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh marang Nabiu’ullah, ing Dalil Khadis enggone, aja padha sembrana, rasakna den karasa, Dalil Khadis rasanipun, dimene padhang tyasira.

Segala perintah Yang Mahakuasa, sebagaimana yang disabdakan Nabiyullah, dalam dalil dan hadits, jangan sembarangan, rasakan sampai kau merasakan. Camkan betul-betul makna dalil dan hadits agar menerangi hatimu

Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam.

Tidak mudah dalam menjalani kehidupan jika kau tidak mengetahui hidupmu. Orang demikian seperti kerbau, bahkan kerbau masih lebih baik karena dagingnya halal dimakan, tetapi daging manusia itu pasti haram untuk dimakan.

Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman, banget paes neng dunya, siang dalu dipun emut, wong urip manggih antaka.

Perhatikan sungguh-sungguh nasihatku, anak cucu jangan terlena, jangan terlalu ingin memiliki perhiasan dunia. Siang malam ingatlah, bahwa orang yang hidup akan menemui kematian

Lawan aja angkuh bengis, lengus lanas calak lancang, langar ladak sumalonong, aja ngidak aja ngepak, lan aja siya-siya, aja jahil dhemen padu, lan aja para wadulan.

Dan juga jangan kau bengis, angkuh, mudah tersinggung, pemarah, bermulut lancing, tidak tahu tata karma galak, dan merendahkan orang lain, gemar bertengkar, dan suka mengadu.

Kang kanggo ing masa iku, priyayi nom kang den gulang, kaya kang wus muni kowe, kudu lumaku kajinan, pan nora nganggo murwat, lunga mlaku kudhung sarung, lumaku den dhodhokana.

Untuk masa sekarang, para priyayi muda biasa melakukan perbuatan seperti itu, berjalan pun tidak dihormati karena tidak menggunakan pertimbangan, berjalan pun dengan berkerudung sarung agar tidak dikenali

Ngandelaken satriyane, lamun ngatrah dinodokan, anganggoa jejeran, yen niyat lumaku namur, aja ndodokaken manusa.

Perbuatan semacam itu tidak baik. Dapat dikatakan sebagai kesatria yang tidak tahu adat dan hanya mengandalkan kesatriaannya. Kalaupun ingin menyamar, jangan menyamar sebagai orang lain

Iku poma dipuneling, kaki marang ptituturingwang, kang wus muni buri kuwe, yen ana ingkang nganggoa, cawangan wong mblasar, saking nora ngrungu tutur, lebur tan dadi dandanan

Sesunguh-sungguhnya, anakku, ingatlah pesanku ini. Jika ada yang melakukannya, maka ia menjadi orang yang tidak tahu aturan karena tidak mendengarkan nasihat sehingga hancur tidak membawa manfaat

Barang gawe dipuneling, nganggoa tepa sarira, aparentah sabenere, aja ambak kumawa, amrih den wedenana. Dene ta kang wus linuhung , nggone mengku marang bala.

Segala perbuatan hendaknya diukur dengan diri sendiri. Berikan perintah berdasarkan kemampuannya, jangan mentang mentang berkuasa agar ditakuti. Bagi orang yang sempurna dalam memerintahkan bawahan.

Prih wedi sarta asih, ggone mengku marang bala, den weruhana gawene, den bias aminta-minta, karyane wadyanira, ing salungguh-lungguhipun, ana karyane priyangga

Berupaya agar segan dan hormat, dalam memerintah bawahan, tunjukan apa yang harus dikerjakan, jelaskan pekerjaan menurut tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Sarta weruhana ing becik, gantungana ing patrapan, darapon pethel karyane, dimene aja sembrana, denya nglakoni karya, ywa dumeh asih sireku, yen leleda patrapana.

Serta tunjukan pada hal-hal yang baik, berikan sanksi agar rajin dan tidak sembarangan dalam melakukan pekerjaan. Sekalipun engkau sayangi, jika ia teledor, jatuhkan hukuman

Iku uga dipun eling, kalamun mulyaning praja, mufa’ati mring wong akeh, ing rina wengi tan pegat, nenedha mring Pangeran, luluse kraton Sang Prabu, miwah arjaning negara.

Itu juga harus kau ingat, jika Negara sejahtera akan memberikan manfaat terhadap orang banyak. Siang dan malam jangan sampai putus memohon kepada Gusti Allah agar merestui raja dan ketentraman negara.

Iku wewalesing batin, mungguh wong suwiteng Nata, ing lair setya tuhu, kalawan nyandhang ing karsa, badan datan nglenggana, ing siyang dalu pan katur, atur pati uripira.

Demikian itu balas budi secara batin bagi orang yang mengabdi kepada raja, secara lahir setia dan menanti perintah raja, dirinya dan hidup matinya ia pasrahkan, siang maupun malam

Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya setiya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna bathinipun, ing tyas datan pangrasa.

Bergantung pada kehendak raja itulah sikap bawahan yang setia, tidak seperti jaman sekarang, jika sudah mendapatkan kedudukan, tingkahnya sperti pedagang, yang diperhitungkan hanyalah untung dan rugi, di hatinya tidak merasa

Awite dadi priyayi, sapa kang gawe ing sira, tan weling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba, mulane ing batinipun, pangetunge lir wong dagang.

Bagaimana awalnya sehingga menjadi pembesar, siapa yang menjadikanmu demikian,sekalipun  tak mengingat pada asal usulnya, pasti dalam hatinya ia tahu mulainya. Ia mejadi pejabat karena suap, maka perhitungannya seperti berdagang.

Mung mikir gelise mulih, rerubanira duk dadya, ing rina wengi ciptane, kepriye lamun bisaa, males sihing bandara, lungguhe lawan tinuku, tan wurung angrusak desa.

Yang dipikirkan hanya sesegera mungkin kembali modal. Jika demikian, bagaimana ia dapat membalas kebaikan majikannya karena kedudukannya diperoleh dari hasil membeli sehingga ia berani merusak desa.

Pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota, picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa, polahe salang tunjang, padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga.

Dengan harapan segera mendapatkan untun, g sekalipun besok dipecat uangku sudah kembali. Bagaimana mungkin dapat tertib karena perbuatannya tidak pantas, seperti orang jahat yang tidak memperhitungakn kebaikan dan nalar

Poma padha dipun eling, nganggo syukur lawan lila, nrimaa ing pepancene, lan aja amrih sarama, mring sedya nandhang karya, lan padha amriha iku, harjane kang desa-desa.

Oleh karena itu ngatlah. Bersyukurlah jangan kau lupakan. Terimalah keharusan dan jangan mengharapkan suap dari bawahan yang melaksanakan tugas, sebaliknya berusahalah untuk menyejahterakan desa-desa.

Wong desa pan aja ngesthi, anggone anambut karya, sesawah miwah tegale, nggaru maluku tetapa, aja den owah dimene, tulus nenandur jagung, pari kapas lawan jarak.

Orang-orang desa jangan sampai kesulitan dalam mengarap lading, bekerja, bersawah, bertani, dan membajak, jangan kau ganggu agar mereka dapat terus menanamjagung,  padi, kapas, dan jarak.

Yen desa akeh wongneki, ingkang bathi pasthisira, wetune pajeg undhake, dipun reh pamrihira, aja kongsi rekasa, kang wani kalah rumuhun, beya kurang paringana.

Jika desa banyak penduduknya, yang neruntung tentu engkau, karena mendapatkan pajak yang lebih. Oleh karena itu hati-hatilah dalam mengatur jangan sampai menyusahkan, biarlah mengalah dulu, jika kurang biaya, berilah.

Kapriye gemahing bumi, sakehe kang desa-desa, salih bekel pendhak epon, pametuhe jung sacacah, bektine karobelah, temahan desane suwung, priyayi jaga pocotan

Namun bagaimana bumi dapat tentram jika pemimpinnya berganti setiap hari Pon. Tanah satu jung diambil upeti seratus lima puluh sehingga desa kosong karena berganti-ganti pemimpin.

Poma aja anglakoni, kaya pikir kang mangkono, satemah lingsem dadine, den sami angestakena, mring pitutur kang arja, nora cacad alanipun, wong nglakoni kebecikan.

Sesungguh-sungguhnya jangan ada yang melakukan perbuatan itu sebab pada akhirnya akan mempermalukan dirimu. Patuhilah nasihat yang member kesejahteraan karena tidak ada jeleknya menjalankan kebaikan.

Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembrana, ewuh yen nuruta, malah mudhar pitutur, pangrasane pan wus wignya.

Para pemuda zaman sekarang ini jika dinasihati baik-baik jarang ada yang mendengarkan seraya bercanda dan tidak ada yang meniru bahkan ganti menasihati karena merasa sudah tahu.

Aja na mangkono ugi, yen ana wong kang carita, rungokena saunine, ingkang becik sireng gawa,bawungen ingkang ala, anggiten sajroning kalbu, ywa nganggo budi nonoman.

Jangan ada yang bersikap seperti itu. Jika ada yang sedang bercerita dengarkan sesuai dengan apa yang dikatakan, yang baik kau ambil, yang tidak baik kau buang,  Semua itu camkan dalam hatimu, jangan biasakan bertindak sebagai pemuda (nonoman merupakan isyarat pola tembang berikut, yaitu sinom).

PUPUH XII
S I N O M

Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning jalmi, amiguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere den alingi, bodhone didokok ngayun, pamrihe den inaa, mring padha padhaning jalmi, suka bungah den ina sapadha-padha.

Perilaku orang yang telah mencapai tataran sempurna tidak akan membatasi atau mencela kepandaian orang lain, kepandaiannya disembunyikan sedangkan kebodohannya ditampilkan agar dihina, jangan sampai ada yang menyebutnya pandai, ia merasa bahagia jika ada yang menghinanya

Ingsun uga tan mangkana, balilu kang sun alingi, kabisan sun dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune angluwihi, nanging tenanipun cubluk, suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tanpa ngrasa prandene sugih carita.

Aku pun tidak begitu, kebodohankulah yang aku tutupi dan kepandaianku yang aku kedepankan karena malu jika disebut bodoh oleh orang lain, padahal aku bodoh namun ingin disebut pandai sehingga tanpa sadar (aku) banyak bercerita bohong

Tur ta duk masihe bocah, akeh temen kang nuruti, lakune wong kuna-kuna, lelabetan kang abecik, miwah carita ugi, kang kajaba saking embuk, iku kang aran kojah, suprandene ingsun iki, teka nora nana undaking kabisan.

Padahal ketika aku masih kecil banyak yang bercerita tentang perilaku orang jaman dulu mengenai pengabdian yang baik serta cerita, termasuk cerita yang tidak benar adanya yang disebut dongeng, meskipun demikian, kepandaianku tidaklah bertambah

Carita nggonsun nenular, wong tuwa kang momong dingin, akeh kang padha cerita, sun rungokna rina wengi, samengko isih eling, sawise diwasa ingsun, bapa kang paring wulang, miwah ibu mituturi, tatakrama ing pratingkah karaharjan.

Adapu cerita yang kuberikan ini kuturunkandari orang tua yang mengasuhku dulu, banyak cerita yang kudengarkan baik siang maupun malam sampai sekarang masih aku ingat. Setelah aku dewasa, ayah yang memberiku nasihat, sedangkan ibu yang mengingatkan tentang tata karma dan tingkah laku kebaikan

Nanging padha estokana, pitutur kang muni tulis, yen sira nedya raharja, anggone pitutur iki, nggoningsun ngeling-eling, pitutur wong sepuh-sepuh, mugi padha bisa, anganggo pitutur iki, ambrekati wuruke wong tuwa-tuwa.

Namun turitilah nasihat yang tertulis ini, jika kau menghendaki keselamatan, laksanakan nasihat yang kuingat dari  tetua, mudah-mudahan kalian dapat melaksanakan nasihat ini, sebab ajaran orang tua akan membawa berkah

Lan aja nalimpang madha, mring leluhur dhingin dhingin, satindake den kawruhan, ngurangi dhahar lan guling, nggone ambanting dhiri, amasuh sariranipun, temene kang sinedya, mungguh wong nedheng Hyang Widdhi, lamun temen lawas enggale tinekan.

Dan jangan ada yang berani mencela leluhur. Pahami laku berupa mengurangi makan dan tidur dengan cara ‘menyakiti’ diri untuk membersihkan diri sehingga akhirnya tercapai segala yang diinginkan. Adapun orang yang memohon kepada Yang Mahakuasa, cepat atau lambat akan dikabulkan jika sungguh-sungguh.

Hyang sukma pan sipat murah, njurungi kajating dasih, ingkang temen tinemenan, pan iku ujare Dalil, nyatane ana ugi, nenggih Ki Ageng Tarub, wiwitira nenedha, tan pedhot tumekeng siwi, wayah buyut canggah warenge kang tampa.

Bukankah Yang Mahamulia itu memiliki sifat Mama Pemurah yang mengabulkan segala keinginan yang sungguh-sunguh. Bukankah demikian yang dikatakan hadits. Buktinya juga ada. Ki Ageng Tarub tak henti-hentinya memohon sehingga anak, cucu, buyut, canggah, wareng ikut mewarisinya

Panembahan senopatya, kang jumeneng ing Matawis, iku barang masa dhawuh, inggih ingkang Hyang Widdhi, saturune lestari, saking berkahing leluhur, mrih tulusing nugraha, ingkang keri keri iki, wajib uga niruwa lelakonira.

Panembahan Senopati yang memerintah di Mataram pun berkesesuaian dengan dengan anugrah Yang Mahaesa keturunasnnya berkuasa turun temurun dari berkah leluhur . agar berkahmu lestari, seyogyanya kau ikuti laku

Mring leluhur kina-kina, nggonira amati dhiri, iyasa kuwatanira, sakuwatira nglakoni, cegah turu sathithik, lan nyudaa dhaharipun, paribara bisaa, kaya ingkang dingin dingin, aniruwa sapretelon saprapatan.

Para leluhur jaman dulu. ‘Menyiksa diri sudah barang tentu semampumu, semampu kau melaksanakannya. Kurangi sedikit tidur dan makanmu. Tidak perlu meniru seluruhnya perilaku leluhur, sepertiganya atau seperempat saja sudah cukup

Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.

Bukankah ada peribahasa ‘belajarlah dalam nikmat, sakit dalam sehat, senang dalam penderitaan, prihatin dalam kesukaan, dan matilah dalam hidup. Begitulah laku orang jaman dulu

Pamore gusti kawula, punika ingkang sayekti, dadine socaludira, iku den waspada ugi, gampange ta kaki, tembaga lan emas iku, linebur ing dahana, luluh awor dadi siji, mari nama tembaga tuwin kencana.

Perhatikan pula manunggaling kawula gusti yang sesungguh-sungguhnya bagai sotyaludira (roh suci). Secara sederhana, Anakku, emas dan tembaga itu lebur dalam api, bercampur menjadi satu, hilanglah nama tembaga dan emasnya

Yen aranana kencana, dene wus awor tembagi, yen aranana tembaga, wus kaworan kancanedi, milanya den westani, aran suwasa punika, pamore mas tembaga, mulane namane salin, lan rupane sayekti yen warna beda.

Jika dinamakan emas sudah bercampur tembaga, jika disebut tembaga sudah bercampur dengan emas, oleh karenanya disebutlak suasa yang merupakan campuran mas dan tembaga. Adapun namanya berubah karena warna dan wujudya berubah

Cahya abang tuntung jenar, puniku suwasa murni, kalamun gawe suwasa, tembaga kang nora becik, pambesate tan resik, utawa nom emasipun, iku dipunpandhinga, sorote pasthi tan sami, pan suwasa bubul arane punika.

Suasa murni berwarna merah kekuning-kuningan . jika membuat suasa dengan tembaga yang tidak baik, pegolahannya tidak bersih, atau masnya muda,  maka tidak akan bercahaya, namanya pun suasa bubul

Yen sira karya suwasana, darapon dadine becik, amilihana tembaga, oliha tembaga prusi, biresora kang resik, sarta masira kang sepuh, resik tan kawoworan, dhasar sari pasti dadi, iku kena ingaranan suwasa mulya.

Jika kau ingin membuat suasa yang baik, pilihlah tembaga yang baik, syukur-syukur jika mendapatkan tembaga prusi, diolah dengan bersih, emas tua dengan dasar sari yang tidak tercampuri, hasilnya adalah suasa mulia

Puniku mapan upama, tepane badan puniki, lamun karsa ngawruhana, pamore kawula Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan napsu, luwamah lan amarah, sarta suci lahir batin, pedimene apan sarira tunggal.

Itu hanyalah sebuah perumpamaan sebagai ukuran badan ini. Jika kau ingin memahami manunggaling kawula gusti, sesungguhnya harus bersih, jangan terhinggapi nafsu lawamah dan nafsu amarah, serta suci lahir batin agar jiwamu hening

Lamun mangkonoa, sayektine nora dadi, mungguh ilmu kang sanyata, nora kena den sasabi, ewoh gampang sayekti, punika wong darbe kawruh, gampang yen winicara, angel yen durung marengi, ing wetune binuka jroning wardaya.

Jika tidak demikian, yakinlah tidak akan terjadi. Mempelajari ilmu yang sejati didak boleh diduakan. Bagi yang belum memperoleh pengetahuan memang repot jika tidak sungguh-sunguh. Mudah berbicara namun sulit jika belum terbuka

Nanging ta sabarang karya, kang kinira dadi becik, pantes yen tinalatenan, lawas-lawas bok pinanggih, den mantep ing jro ngati, ngimanken tuduhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa udani, apan ana dalile kang wus kalawan.

Namun demikian, segala hal yang diperkirakan baik, itu layak jika kau tekuni, lama-kelamaan juga akan kau temukan dan menetap dalam hatimu. Yakini petunjuk guru, jangan cepat bosan jika hendak mencapai kemuliaan karena memang demikianlah hukum yang sudah tertuang dalam dalil

Marang leluhur sedaya, nggone nenedha mring Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira, lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur lampah.

Seluruh leluhur jaman dulu dalam memohon kepada Yang Mahakuasa agar dapat menguasai Negara dan menjadi pusat tanah Jawa diperolehnya melalui wahyu karena mereka rendah hati  dalam melaksanakan laku

Tampane nganggo alingan, pan padha alaku tani, iku kang kinaryo sasap, pamriha aja katawis, jub rina lawan kabir, sumungah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton Jawi, tinampelan anggape pan kumawula.

Laku dilaksanakan secara diam-diam sambil bertani. Sikap seperti itu dilakukan agar tidak kentara serta bersikap tidak menyombongkan kemampuan diri bahkan mau mengabdi kepada siapapun yang memperoleh wahyu keraton jawa.

Punika laku utama, tumindak sarto kekaler, nora ngatingalke lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, pan jero pangarahipun, asore ngemurasa, prayoga tiniru ugi, anak putu aja ana ninggal lanjaran.

(penyamaran) Itulah laku yang utama, tidak menampakkan bahwa ia sedang menjalankan laku, sehingga yang disamarkan itu merupakan cita-cita tersembunyi dalam hati, jauh dikejar karena di situlah manungaling kawula gusti mencapai kedalaman. Hal demikian baik jika ditiru, Anak cucuku agar tidak kehilangan keturunan

Lan maning ana wasiyat, prasapa kang dingin dingin, wajib padha kawruhana, anak putu ingkang kari, lan aja na kang wani, nerak wewaleripun, marang leluhur padha, kang minulyakaken ing Widdhi, muga-muga mufaatana ing darah.

Dan ada lagi wasiat berupa tabu yang terucap pada jaman dulu. Wajib kau ketahui sebagai anak cucu yang terakhir, dan jangan ada yang berani melanggar tabu leluhur yang dimuliakan oleh Yang Mahaesa. Mudah-mudahan bermanfaat bagi keluarga besar

Wiwitan ingkang prasapa, Ki Ageng Tarup memaling, ing satedhak turunira, tan linilan nganggo keris, miwah waos tan keni, kang awak waja puniku, lembu tan kena dhahar, daginge pan nora keni, anginguwa marang wong wadon tan kena.

Yang pertama kali mengucapkan tabu adalah Ki Ageng Tarub. Ia berpesan agar keturunannya tidak mengenakan keris dan tumbak yang terbuat dari baja, tidak boleh makan daging sapi, dan tidak boleh memelihara abdi perempuan wandan

Dene Ki ageng Sela, prasape ingkang tan keni, ing satedhak turunira, nyamping cindhe den waleri, kapindhone tan keni, ing ngarepan nandur waluh, wohe tan kena dhahar, Panembahan Senopati, ingalaga punika ingkang prasapa.

Adapun Ki Ageng Sela mengucapkan tabu, bahwa keturunannya tidak diperbolehkan berkain cindai, tidak diperbolehkan menanam labu di depan rumah dan tidak boleh memakan buahnya. Panembahan Senapati Ingalaga mengucapkan tabu

Ingkang tedhak turunira, mapan nora den lilani, anitiha kuda napas, lan malih dipun waleri, yen nungganga turangga, kang kakoncen surinipun, dhahar ngungkurken lawang, wuri tan ana nunggoni, dipun emut punika mesthitan kena.

Bahwa keturunannya tidak diperkenankan mengendarai kda berwarna abu-abu kekuning-kuningan dan dilarang menunggang kuda yang surainya dikepang, makan membelakangi pintu kecuali di belakangnya ada yang menjaga. Ingatlah dan jangan ada yang melanggar itu

Jeng Sultan Agung Mataram, apan nora anglilani, mring tedhake yen nitiha, kapal bendana yen jurit, nganggo waos tan keni, lamun linandheyan wregu, datan ingaken darah, yen tan bisa nembang kawi, pan prayoga satedake sinauwa.

Kanjeng Sultan Agung Mataram mengucapkan tabu bahwa keturunannya tidak diperkenankan menunggang kuda yang rewel jika diajak bertempur, tidak memperkenankan tumbak ang bergagang kayu wregu vserta tidak akan diakui sebagai keturunan (Mataram) jika tidak dapat membaca tembang kawi dan mengharuskan belajar tembang kawi

Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madek ing Kartasura, prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun, Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki, tan rinilan ujung astana ing Betah.

Kanjeng Sunan Pakubuwana yang dilantik di Semarang kemudian berkuasa di Kartasura mengucapkan tabu bahwa keturunannya tidak diperbolehkan menunggang gajah. Sunan Prabu Amangkurat mengucapkan tabu bahwa keturunannya dilarang berziarah ke makam Butuh

Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda, kabeh aja na kang lali, lawan aja nggogampil, puniku prasapanipun, nenggih Kang jeng Susunan, Pakubuwana ping kalih, mring satedhak turunira linarangan.

Jika sedang menungang kuda tidak boleh menyandangkeris tanpa pendhok. Janganlah kau meremehkan tabu-tabu di atas. Adapun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana II mengucapkan tabu bahwa keturunannya dilarang

Dhahar apyun nora kena, sinerat tan den lilani, nadyan nguntal linarangan, sapa kang padha nglakoni, narajang waler iki, pan kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa, linabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.

Madat, baik dihisap maupun dimakan. Barang siapa melanggar tabu dengan madat akan dikeluarkan dari daftar keturunan Kanjeng Sunan yang dimakamkan di Laweyan

Prasapa Kangjeng Susunan, Pakubuwana kaping tri, mring satedhak turunira, apan nora den lilani, agawe andel ugi, wong sejen ing jinisipun, apan iku linarangan, anak putu wuri-wuri, poma aja wani anrajang prasapa.

Adapun Kanjeng Susuhunan III mengucapkan tabu bahwa keturunannya tidak diperbolehkan mengangkat orang kepercayaan yang bukan berasal dari bangsa sejenis, serta anak cucu tidak diperkenankan melanggar larangan

Wonten waler kaliwatan, saking luhur dingin dingin, linarangan angumbaha, wana Krendhawahaneki, dene kang amaleri, Sang Danan Jaya rumuhun, lan malih winaleran, kabeh tedhak ing Matawis, yen dolana mring wana tan kena.

Masih ada tabu leluhur ang terlewat, yaitu dilarang merambah Hutan Krendhawana. Adapun yang mengucapkan tabu tersebut adalah Dananjaya. Ada lagi tabu bagi keturunan Mataram, yaitu tidak diperkenankan bermain-main di hutan atau rawa-rawa

Dene sesirikanira, yen tedhak ing Demak nenggih, mangangge wulung tan kena, ana kang nyenyirik malih, bebet lonthang tan keni, yeku yen tedhak Madiyun, lan payung dadaan abang, tedhak Madura tan keni, yen nganggowa bebathikan parang rusak.

Adapun tabu bagi keturunan Demak adalah mengenakan pakaian berwarna ungu, tabu keturunan Madiun adalah kain panjang luntang dan paying berhias merah, tabu keturunan Madura adalah mengenakan batik bermotif parang rusak

Yen tedhak Kudus tak kena, yen dhahara daging sapi, yen tedhak Sumenep iku, nora kena ajang piring, watu tan den lilani, lawan kidang ulamipun, tan kena yen dhahara, miwah lamun dhahar ugi, nora kena ajang godhong pelasa.

Keturunan Kudus tidak boleh makan daging sapi, keturunan Sumenep tidak diperkenankan makan dengan piring batu, makan daging kijang, dan dilarang menggunakan daun plasa sebagai alas makan

Kabeh anak putu padha, eling-elingan ywa lali, prasapa kang kuna-kuna, wewaler leluhur nguni, estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani nerak, pasti tan manggih basuki, Sinom salin Girisa ingkang atampa.

Semua abak cucu, camkan dan jangan lupa tabu zaman kuno warisan leluhur, patuhilah jangan sampai ada yang melanggar. Barang siapa berani melanggar pasti tidak akan selamat dan yang mendengar ini supaya giris (girisa merupakan isyarat pola tembang berikutnya, yaitu girisa)

PUPUH XIII
G I R I S A

Anak putu den estokna, warah wuruke pun bapa, aja na ingkang sembrana, marang wuruke wong tuwa, ing lair batin den bisa, anganggo wuruking bapa, ing tyas den padha santosa, teguhana jroning nala.

Anak cucuku, turutilah nasihat ayahandamu, dan jangan ada yang meremehkan nasihat orang tua. Biasakan mendengar nasihat orang tua secara lahir batin, yakinlah dan teguhkan hatimu

Aja na kurang panrima, ing pepasthening sarira, yen saking Hyang Moha Mulya, kang nitahken badanira, lawan dipunawas padha, asor unggul waras lara, utawa beja cilaka, urip utawa antaka

Jangan ada yang kurang bersyukur atas takdirmu, sebab takdir merupakan anugrah Yang Mahamulia yang menciptakan dirimu. Di samping itu, ketahuilah bahwa hina dan mulia, sehat dan sakit, bahagia dan celaka, serta hidup dan mati

Pan iku saking Hyang Suksma, miwah ta ing umurira ingkang cedhak, lan kang dawa, wus pinasthi ing Hyang Suksma, duraka yen maidowa, miwah yen kurang panrima, ing lokhilmahfut punika tulisane pan wus ana.

Itu berasal dari Yang Mahasuci, demikian pula umurmu yang panjang atau pendek sudah ditakdirkan oleh Yang Mahasuci. Meskipun kau tidak percaya atau tidak menerimakannya, semua itu sudah tersurat dalam laukhil mahfudz

Iku padha kawruhana, sesikune badanira, aywa marang kang amurba, Kang Misesa, marang sira, yen sira durung uninga, prayoga atatakona, mring kang padha wruh ing ma’na, iku kang para ulama.

Sebaiknya ketahuilah hukuman bagimu dari Yang Mahakuasa. Jika kau belum memahaminya, maka bertanyalah kepada yang sudah mengetahui maknanya, yaitu para alim ulama

Kang wus wruh rahsaning kitab, darapon sira weruha, wajib moka ing Hyang Suksma, wiwah wajibing kawula, lan mokale kawruhana, miwah ta ing tatakrama, sarengat dipunwaspada, batal kharam takokeno.

Yang telah menyelami makna kitab agar engkau mengetahu apa yang dimaksud dengan sifat wajib dan mokal Yang Mahaesa serta wajib dan mokal makhluk. Demikian pula kau ketahu dank au tanyakan pula tata karma, syariat, batal, haram,

Sunat lan parlu punika, prabot kanggo saben dina, iku uga dipunpadhang, patakonira den terang, lan aja bosen jagongan, lawan kang para ulama, miwah wong kang sampun sampurna, kawruhe marang Hyang Suksma

Sunah, dan wajib yang menjadikan kelengkapan sehari-hari. Itupun pahami hakikatnya secara jelas. Pertanyaanmu hendaknya rinci dan jangan bosan untuk berbincang dengan para ulama serta orang yang telah sempurna pengetahuannya mengenai Yang Mahasuci

Tanapi ing tata karma, ing tindhak-tandhuking basa, kang tumiba marang nistha, tuwin kang tumibeng madya, lan kang tumba utama, iku sira takokena, marang kang para sujanma, miwah mring wong tuwa-tuwa

Demikian pula perilaku tata karma dan pengguaan bahasa yang berkedudukan rendah, yang berkedudukan sedang, dan yang berkedudukan tinggi tanyakan pada para sarjana dan orang tua

Kang padha bisa micara, miwah wong kang ulah sastra, iku pantes takonana, bias padhang ing tyasira, ana kinarya gindhelan, pamuruke mring wong mudha, anuladha basaning sastra, utawa saking crita

Yang bisa bicara dan olah sastra. Mereka itu pantas kau tanyai agar jiwamu terang serta ada yang dapat dijadikan pegangan karena caranya dalam menasihati orang muda menggunakandasar dengan memetik sastra atau cerita

Lawan den sregep amaca, sabrang caritanira, aja anampik wawacan, carita kang kuna-kuna, layang babad kawruhana, caritane luhirira, darapon sira weruha, lelakone wong prawira

Serta rajinlah membaca segala macam cerita. Jangan memilih bacaan. Ketahui dan camkan cerita-cerita lama, babad, kisah leluhur, dan kisah para pahlawan

Miwah lakone padha, kang para wali sadaya, kang padha oleh nugraha, asale saking punapa, sara kang para satria, kang digedaya, lakune sira tirua, lelebetan kag utama

Demikian pula kisah para wali yang memberoleh kanugrahan, bagaimana asal-muasalnya. Tirulak kesetiaan dan pengabdian utama para kesatria yang digdaya dalam perang

Nora susah amirungga, mungguh tindhaking satriya, carita kabeh pan ana, kang nistha lan kang utama, kang asor kang luhur padha, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira weruha

Tidak perlu mengkhususkan pada perilaku kesatria, sebab segala cerita memiliki bagian yang hina danutama, ada yang hina dan ada yang agung. Demikian pula kehidupan suatu Negara, ada yang baik dan ada kisah yang jelek yang seyogyanya kau ketahui

Yen during mangerti sira, caritane takokena, ya marang wong tuwa-tuwa, kang padha weruh ing carita, iku ingkang dadhi uga, undhaing pinteranira, nanging ta dipunelinga, sabarang kang kapiyarsa

Jika kau belum mengetahui ceritanya, maka tanyakan pada orang-orang tua yang mengetahui cerita itu dengan harapan dapat menambah pengetahuanmu. Meskipun demikian, ingatlah semua cerita yang pernah kau dengar

Aja na tiru ing bapa, kalakuwane kang ala, banget tuna bodho mudha, ketul tan duwe graita, nanging anak putu padha, mugi Allah ambukaa, marang ing pitutur yogya, kabeh padha angestokena

Jangan meniru perilaku buruh ayahandamu yang sedemikian bodoh, bebal, dan tidak punya perasaan, tetapi mudah-mudahan anak cucuku, Allah membukakan hatimu pada nasihat yang baik dan kalian semua mematuhinya

Marang pituturing bapa, muga padha kalakona, kabehpadha mituruta, panedhaningsun mring Suksma, lanang wadon selameta, manggiha suka raharja, ing dunya prapteng akirat, den dohna sangsara papa

Mudah-mudahan kalian melaksanakan dan mengikuti nasihat ayahandamu. Permohonanmu pada Yang Mahasuci, semoga kalian, baik laki-laki maupun perempuan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta dijauhkan dari kesulitan dan kesengsaraan

Olehe padha kekadhang, pada atut aruntuta, marang sadulure padha, suguha dunya barana, lan padha sugiha putra, pepeka jalu wanodya, kalawan maninge aja, nganti kapegatan tresna

Rukunlah persaudaraan kalian, kaya harta dan banyak anak baik laki-laki maupun perempua, dan jangan sampai putus tali cinta kasih

Padha uga den pracaya, aja sumelang ing nala, kabeh pitutur punika, poma wahyuning Hyang Suksma kang dhawuh marang ing sira, jalarane saking bapa, Hyang Suksma paring nugraha, maring anakingsun padha

Di samping itu percayalah danjangan ragu-ragu dalam hatimu terhadap semua nasihat ini. Anggaplah sebagai wahyu yang disabdakanYang Mahasuci kepadamu melalui ayahandamu. Semoga Yang Mahasuci member berkah kepada semua anakku

Den bias nampahi padha, mungguh sasmitaning Suksma ingkang padha marang sira, wineruhken becik ala, anyegah karepanira, kang marang panggawe ala, kang tumiba siya-siya, ya iku paring Hyang Suksma

Semoga kalian dapat memahami  tanda-tanda yang diberikan Yang Mahakuasa kepada kalian mengenai hal yang baik dan burukmencegah niatmu dari perbuatan buruk, mencegahmu untuk melakukan hal jahat yang membawamu ke kehinaan. Itulah berkat Yang Mahasuci

Paring peling marang sira, tinuduhken ing marga, kang bener kanggo kang uga, neng dunya ingkang sampurna, muga anak putu pada, bisa dadi tuladha, kabecikaning manusa, tinirua ing sujanma

Memberikan peringatan padamu, juga menunjukkan jalan yang benar, dalam dunia yang sempurna, semoga seluruh anak cucu dapat menjadi surei teladan bagi kebaikan dan ditiru manusia

Sakehing wong kapengina, aniru ing solah bawa, marang anak putu padha, anggepe wedi asiha, kinalulutan ing bala, kedhepa saparentahnya, tulusa mukti wibawa, ing satedhak turunira

Dan banyak yang ingin meniru perilaku ank cucuku mengenai sikap segan dan kasih, disayangi dan dituruti seluruh perintahnya oleh bawahan, abdikanlah seluruh kemuliaanmu hingga keturunanmu

Den dohna saking doraka, winantua ing nugraha, sakeh anak putu padha, ingkang ngimanaken uga, marang pituturing bapa, Allah anyembadanana, ing pandhonganingsun iya, ing tyasingsun wus rumasa

Semoga dijauhkan dari segala dosa dan senantiasa diberkati dengan anugrah. Se,oga Allah mengabulkan permohonanku karena jiwak sudah merasa

Wakingsun umpama surya, lingsir kulon wayahira, pareking surupe uga, adoh marang timbulira, pira lawase neng dunya, kauripaning manusa, masa nganti saatus warsa, uripe ana ing dunya

Diriku ibarat matahari sudah condong ke barat, dekat waktu tenggelam, jauh dari waktu terbitnya. Seberapa lama hidupmu sebagai mausia, tidak akan sampai seratus tahun kehidypan manusia di dunia

Mulane sun muruk marang, kabeh paraputraningwang, suntulis sunwehi tembang, darapon padha rahaba, enggone padha amaca, ngrasakna carita, aja bosen den apalna, ing rina wengi elinga

Oleh karenanya, aku mengajarkan kepada seluruh anakku, kutuliskan dalam bentuk  tembang agar semua senang membaca, merasakan (manfaat) cerita, jangan sampai bosan dan hafalkan, ingatlah baik siang maupun malam

Lah muga padha tirua, kaya leluhure padha, sudira betah atapa, sarta waskitha ing nala, ing sampurnaning ngagesang, kang patitis tan amamang, iku ta panedhaningwang, muga ta kalampahana

Mudah-mudahan kalian meniru para leluhur, prihatin, bijak dalam jiwa atas kesempurnaan hidup, cermat dan tidak ragu, itulah permohonanu, semoga dapat terlaksana

Titi tamating carita, serat wawaler ing putra, kang yasa Shri Maharaja, Pakubuwana Kaping Pat, karsane Shri Maharaja, ing galih panedhanira, kang amaca kang miyarsa, yen lali muga elinga

Tamatlah cerita berupa nasihat bagi putraku. Yang menggubah adalah Shri Maharaja Pakubuwana ke IV. Harapan Shri Maharaja kepada yang membaca dan mendengar jika sedang lupa, ingatkanlah

Telase panuratira, Besar tunggal ping wolulas, Akad Pon, Dal sinengkalan, tata guna sabdeng raja, masasta windu Sancaya, pamujinireng kawula, ya Allah kang luwih wikan, obah osiking kawula

Tamatnya yang tertulis ini pada Ahad Pon, delapan belas Besar, Dal Tahun 1735, mangsa kawolu, windu sancaya. Aku memuji Allah yang mengetahui segala gerak hidupku.