Translate

Senin, 05 Juni 2017

Serat Baratayuda

Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157M oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan

Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di India).

Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.

Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.

Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.

Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.

Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.

Kitab Jitabsara

Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan.

Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.

Aturan Peperangan

Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata.

Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.

Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.

Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat.

Pembagian babak

Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.
Babak 1: Seta Gugur
Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7: Karna Tanding
Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9: Lahirnya Parikesit

Jalannya pertempuran

Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.

Babak pertama

Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.”

Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.

Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.

Babak Kedua

Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).

Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.

Tawur demi kemenangan

Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.

Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha

Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.

Kutipan Terjemahan

Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati

Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani

Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat

Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya

Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat

Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor

Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah

Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan

Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh

Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan

Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū

Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu

Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih

Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam

Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna

Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar