Translate

Kamis, 01 Juni 2017

Antara Sabdo Palon Dan Satrio Piningit

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan akhirnyapun dapat dirunut secara logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.

…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.

nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.

menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.

Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Darmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

”Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”

”Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :

”…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”

”…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”.

Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai ”Manik Maya” atau hakekat ”Semar”.

”Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”

”Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: ”Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”

Sabdo Palon berkata sedih: ”Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2017, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.542 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam karya-karya leluhur sangat toleransif sifatnya.

Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa ”suara tanpa rupa”.Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah“mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Banyak kesalahpahaman dalam penagsiran

Salah satu buku berbahasa Jawa yang sering dengan tujuan memunculkan ruang berjarak antara Islam dan Jawa adalah kitab “Jangka Sabda Palon”. Umumnya, upaya-upaya yang mengarahkan untuk memicu gap ini lebih banyak disebabkan penafsiran yang kurang memperhatikan pemahaman komprehensif terhadap keseluruhan teks. Kitab jangka tersusun dari rangkaian tembang macapat ini sering disebut secara lengkap sebagai Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, selanjutnya diingkat sebagai Jangka Sabda Palon. Penamaan ini mungkin disebabkan konten buku ini selain memuat kisah tentang tokoh Sabda Palon, juga berisi tentang mitologi “Prabu Jayabaya”. Serat Jangka Sabdo Palon diyakini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita.

Anggapan yang berkembang saat ini, umumnya, menyatakan bahwa “Jangka Sabda Palon” merupakan sebuah kitab jangka yang berbicara tentang kehancuran Islam di tanah Jawa dan digantikan oleh ajaran “pengganti Islam” setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit. Opini ini rupanya telah diamini oleh sejumlah pihak tanpa mencoba bersikap kritis dan mempertanyakannya kembali. Kebanyakan orang yang turut mengiyakan pendapat ini, sering tidak memiliki akses membaca dari sumbernya secara langsung. Hanya ikut arus mengikuti wacana umum yang berkembang secara taken for granted. Hal yang paling dirasakan, akibat kurang totalitasnya pemahaman terhadap substansi Jangka Sabda Palon adalah muncul sejumlah klaim atas penafsirannya. Klaim ini sudah tentu mewakili kepentingan tertentu untuk menjustifikasi bahwa ajaran yang dimaksud sebagai “pengganti Islam” adalah ajaran dari pemilik klaim tersebut. Terkait klaim-klaim yang muncul dari penafsiran Jangka Sabda Palon akan dibahas selanjutnya.

Kesalahpahaman yang telah terjadi ini, tidak jarang masih coba dipertahankan eksistensinya. Beberapa penulis belakangan ini berusaha memancing kembali perdebatan tentang Jangka Sabda Palon. Ruang yang selama ini telah tersekat, sepertinya hendak ditambah sekatnya kembali sehingga kenyamanan dialog yang harusnya terus dibina justru semakin jauh panggang dari api. Bambang Noorsena, misalnya, tokoh Kristen Ortodoks Syiria ini dalam bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” merupakan salah satu penulis yang mencoba mengangkat kembali tema “marginalisasi Islam” dengan menggunakan “Jangka Sabda Palon”. Noorsena menggambarkan bahwa Serat Jangka Jayabaya Sabda Palonini merupakan salah satu gambaran bahwa Penolakan manusia Jawa yang direpresentasikan oleh tokoh Sabda Palon terhadap ajaran Islam karena agama ini dianggap memiliki corak keagamaan yang politis dan doktriner.

Selanjutnya, Noorsena membuat pernyataan bahwa Islam di Jawa pun pada akhirnya mengalami asimilasi dengan keyakinan agama terdahulu. Tentu saja, statemen Bambang Noorsena ini juga lahir dari membebek pendapat yang berkembang belaka, bukan didasarkan pada pengkajian secara langsung terhadap materi yang dibahasnya. Lebih jauh, sangat dimungkinkan Bambang Noorsena tidak membaca secara tuntas buku yang digunakan sebagai referensinya, termasuk Serat Jangka Sabda Palon. Perlu diketahui buku Bambang Noorsena ini seringkali menggunakan “Teori Pengaruh” yang tidak terstruktur dengan baik. Kelemahan paling umum yang sering dilakukan oleh penghasung teori pengaruh ialah kecenderungan membuat generalisasi secara terburu-buru, penarikan kesimpulan berdasarkan data yang belum lengkap, memaksakan data yang sebenarnya tidak relevan, dan pengamatannya hanya bersifat parsial.

Kenyataannya dalam tradisi lesan yang berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong bukan merupakan sosok yang anti Islam. Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam tradisi oral masyarakat adalah dua orang abdi Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis. Berdasarkan keterangan resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan), kedua tokoh tersebut merupakan dua di antara 7 (tujuh) dari nama orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo tersebut merupakan makam abdi dalem Majapahit yang telah memeluk agama Islam.

Dengan keterangan tersebut, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam cerita rakyat justru merupakan penganut ajaran Islam. Sehingga setelah wafatnya disemayamkan dalam pemakaman Islam pula. Meskipun demikian Cerita tentang keberadaan nama Sabda Palon dan Noyo Genggong di situs Troloyo ini hanya didasarkan kepada tradisi lesan yang berkembang pada masyarakat di sekitar situs itu saja. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi. Namun tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita babad yang saat ini beredar, umumnya banyak yang menggali ide ceritanya dari tradisi lesan yang berkembang di suatu masyarakat tertentu. Kemudian tradisi lesan yang ada, diberi muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan sehingga muncullah mitos tersebut.


Untuk Mengetahui Sabdo Palon sejenak Kita akan membahas Grojogan Sewu terlebih dahulu.

Grojogan Sewu yang selama ini terkenal sebagai salah satu air terjun yang indah di Kecamatan Tawang Mangu Solo-Jawa tengah ternyata juga menjadi nama salah tokoh namanya Grojogan Sewu (Nama gelar) karena memang tempat itu menjadi lokasi Tapa Bratanya dalam rangka mencapai Ilmu Kesempurnaan.Grojogan Sewu adalah seorang sais dokar, kisah awal nya di mulai ketika beliau berkenalan dengang seorang pengembara bernama Rangga Seta yang menumpangi dokarnya. Melihat pengembara itu menggunakan pakaian jubah & sorban dikepala yang berbeda dengan adat Jawa maka beliau bertanya kepada pengembara itu.

Dari mana anda berasal? Rangga Seta tidak menjawab dari mana ia berasal tetapi menjawab pertanyaan tersebut dengan “Saya Saudara Kamu, karena semua manusia bersaudara anak keturunan Adam”. Mendengar jawaban tersebut Grojogan Sewu tersentuh karena orang yang baru dikenalnya menganggap saudara sekaligus penasaran dan kembali bertanya Siapa Adam? Adam adalah Nenek Moyang Saya, Anda Dan semua Manusia. Mendengar jawaban seperti itu Grojogan Sewu semakin tertarik lebih Jauh dan meminta Rangga Seta untuk bersedia mengajarkan Ilmu Pengetahuan Kepadanya. Rangga Seta balik bertanya kepada Grojogan Sewu mengapa anda Ingin Belajar? karena saya ingin cerdas ingin pandai jawab Grojogan Sewu. Memang manusia harus pandai harus mau berpikir karena itu perintah Ilahi tegas Rangga Seta. Melihat niat belajar dan sikap yang theacible Dan memang Bakat kecerdasan Dari Grojogan Sewu maka Rangga Seta pun bersedia mengajarkan kepada Grojogan Sewu.

Proses belajar pun di mulai dengan materi Aji Kalimasada, karena memang bakat kecerdasan dan niat yang bersungguh-sungguh maka proses belajar Grojogan Sewu pun berjalan dengan cepat. Pada Saat pelajaran ujian terakhir Grojogan Sewu di perintahkan untuk semedi di suatu tempat oleh Rangga Seta. Grojogan Sewu bertanya di manakah tempat semedi itu? Kemudian Rangga Seta mengarahkan tangannya menunjuk kesuatu tempat maka terlihat lah air terjun dari kejauhan, bersemedilah kamu disana, di balik air terjun itu ada Goa Dan Goa itulah tempatnya. Mendengar perintah dari Rangga Seta lalu Grojogan Sewu pun menyanggupinya. Perintah semedi ini sekaligus perpisahan antara Grojogan Sewu dengan Rangga Seta. Pada Saat itu Rangga Seta mengatakan suatu saat kita akan bertemu lagi dan beliau berpesan Jadilah Insan yang bermanfaat Dan tegakkan lah keadilan.

Setelah perpisahan tersebut Grojogan Sewu kembali menoleh kearah dimana letak air terjun itu, Namun air terjun itu tidak terlihat Dan Grojogan Sewu akhirnya menelusuri kearah yang tadi di tunjukkan oleh Sang Guru.

SABDO PALON BUKAN SEMAR

Penjabaran dari kata kunci di atas.
Kisah Sabdo Palon & Uga Wangsit Siliwangi tentang Pemimpin Nusantara di Akhir Jaman adalah Ciri dari Waskita nya Raja Brawijaya dan Prabu Siliwangi. Ke waskitaan tersebut di Ajarkan oleh Syech Grojogan Sewu. Syech Grojogan Sewu di ajarkan oleh Rangga Seta.

Cerita Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu naskah skenario dengan sumber yang sama walaupun dari tempat yang berbeda yaitu Majapahit dan Pajajaran. Kedua kisah itu bak gayung bersambut, seperti Madu dengan Manisnya, seperti kata pepatah “asam di gunung daram di laut akhirnya bertemu juga” yang berujung kepada dua tokoh Rangga Seta dan Semar Badranaya.

Siapakah Rangga Seta yang memiliki Kuda Putih Dan Pedang Itu?

Inilah Serat Sabdo Palon Penguasa Ghaib Tanah Jawa

1. Pada sira ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat Babad Babad nagari Mojopahit Nalika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan samya pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Ingatlah kalian semua, Akan cerita masa lalu, Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah ) Babad Negara Majapahit, Ketika itu, Sang Prabhu Brawijaya, Tengah bertemu, Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga, Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

2. Sang-a Prabu Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakawan Sabda Palon paran karsi Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rasul Heh ta kakang manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya.

Sang Prabhu Brawijaya, Bersabda dengan lemah lembut, Mengharapkan kepada kedua punakawan( pengiring dekat )-nya, Tapi Sabdo Palon tetap menolak, Diriku ini sekarang, Sudah memeluk Agama Rasul (Islam), Wahai kalian kakang berdua, Ikutlah memeluk agama suci, Lebih baik karena ini agama yang mulia.

3. Sabda palon matur sugal Yen kawula boten arsi Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Kang jumeneng ing tanah Jawi Wus pinasthi sayekti kula pisahan.


Sabdo Palon menghaturkan kata-kata agak keras, Hamba tidak mau, Memeluk agama Islam, Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa, Memelihara kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ), (Serta) semua Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa, Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang Prabhu), kita harus berpisah.

4. Klawan Paduka sang Nata Wangsul maring sunya ruri Mung kula matur petungna Ing benjang sakpungkur mami Yen wus prapta kang wanci Jangkep gangsal atus taun Wit ing dinten punika Kula gantos agami Gama Budhi kula sebar ing tanah Jawa.

Dengan Paduka Wahai Sang Raja, Kembali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak ada tapi ada), Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung, Kelak sepeninggal hamba, Apabila sudah datang waktunya, Genap lima ratus tahun, Mulai hari ini, Akan saya ganti agama (di Jawa), Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.

5. Sinten tan purun nganggeya Yekti kula rusak sami Sun sajakken putu kula Berkasakan rupi-rupi Dereng lega kang ati Yen durung lebur atempur Kula damel pratandha Pratandha tembayan mami Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Siapa saja yang tidak mau memakai, Akan saya hancurkan, Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal, Makhluk halus berwarna-warni, Belum puas hati hamba, Apabila belum hancur lebur, Saya akan membuat pertanda, Pertanda sebagai janji serius saya, Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.

6. Ngidul ngilen purugira Nggada banger ingkang warih Nggih punika wedal kula Wus nyebar agama budi Merapi janji mamai Anggereng jagad satuhu Karsanireng Jawata Sadaya gilir gumanti Boten kenging kalamunta kaowahan.

Kearah selatan barat mengalirnya, Berbau busuk air laharnya, Itulah waktunya, Sudah mulai menyebarkan agama Budhi, Merapi janji saya, Menggelegar seluruh jagad, Kehendak Tuhan, (Karena) segalanya (pasti akan) berganti, Tidak mungkin untuk dirubah lagi.


Note [Suchamda] : Agama Budhi bukan berarti semata agama Buddha, tetapi adalah AGAMA KESADARAN / ELING / HAKIKAT yang bisa meredam kemurkaan alam..

7. Sanget-sangeting sangsara Kang tuwuh ing tanah Jawi Sinengkalan tahunira Lawon Sapta Ngesthi Aji Upami nyabarang kali Prapteng tengah-tengahipun Kaline banjir bandhang Jeronne ngelebna jalmi Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Sangat sangat sengsara, Yang hidup ditanah Jawa, Perlambang tahun kedatangannya, LAWON SAPTA NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978), Seandainya menyeberangi sebuah sungai, Ketika masih berada ditengah-tengah, Banjir bandhang akan datang tiba-tiba, Tingginya air mampu menenggelamkan manusia, Banyak manusia sirna karena mati.

8. Bebaya ingkang tumeka Warata sa Tanah Jawi Ginawe kang paring gesang Tan kenging dipun singgahi Wit ing donya puniki Wonten ing sakwasanipun Sedaya pra Jawata Kinarya amertandhani Jagad iki yekti ana kang akarya.

Bahaya yang datang, Merata diseluruh tanah Jawa, Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup, Tidak bisa untuk ditolak, Sebab didunia ini, Dibawah kekuasaan, Tuhan dan Para Dewa, Sebagai bukti, Jagad ini ada yang menciptakan.

9. Warna-warna kang bebaya Angrusaken Tanah Jawi Sagung tiyang nambut karya Pamedal boten nyekapi Priyayi keh beranti Sudagar tuna sadarum Wong glidhik ora mingsra Wong tani ora nyukupi Pametune akeh sirna aneng wana.

Bermacam-macam mara bahaya, Merusak tanah Jawa, Semua yang bekerja, Hasilnya tidak mencukupi, Pejabat banyak yang lupa daratan, Pedagang mengalami kerugian, Yang berkelakuan jahat semakin banyak, Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa, Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.

10. Bumi ilang berkatira Ama kathah kang ndhatengi Kayu katahah ingkang ilang Cinolong dening sujanmi Pan risaknya nglangkungi Karana rebut rinebut Risak tataning janma Yen dalu grimis keh maling Yen rina-wa kathah tetiyang ambengal.

Bumi hilang berkahnya, Banyak hama mendatangi, Pepohonan banyakyang hilang, Dicuri manusia, Kerusakannya sangat parah, Sebab saling berebut, Rusak tatanan moral, Apabila malam hujan banyak pencuri, pabila siang banyak perampok.

11. Heru hara sakeh janma Rebutan ngupaya anggering praja Tan tahan perihing ati Katungka praptaneki Pageblug ingkang linangkung Lelara ngambra-ambara Warading saktanah Jawi Enjing sakit sorenya sampun pralaya.

Huru hara seluruh manusia, Berebut kekuasan kerajaan, Tidak tahan perdihnya hati, Disusul datangnya, Wabah yang sangat mengerikan, Penyakit berjangkit kemana-mana, Merata seluruh tanah Jawa, Pagi sakit sorenya mati.

12. Kesandhung wohing pralaya Kaselak banjir ngemasi Udan barat salah mangsa Angin gung nggegirisi Kayu gung brasta sami Tinempuhing angin agung Kathah rebah amblasah Lepen-lepen samya banjir Lamun tinon pan kados samodra bena.

Belum selesai wabah kematian, Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi, Hujan besar salah waktu, Angin besar mengerikan, Pohon-poho besar bertumbangan, Disapu angin yang besar, Banyak yang roboh berserakan, Sungai-sungai banyak yang banjir, Apabila dilihat bagaikan lautan.

13. Alun minggah ing daratan Karya rusak tepis wiring Kang dumunung kering kanan Kajeng akeh ingkang keli Kang tumuwuh apinggir Samya kentir trusing laut Sela geng sami brasta Kabalebeg katut keli Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Ombak naik kedaratan, Membuat rusak pesisir pantai, Yang berada dikiri kanannya, Pohon banyak yang hanyut, Yang tumbuh dipesisir, Hanyut ketengah lautan, Bebatuan besar hancur berantakan, Tersapu ikut hanyut, Bergemuruh nyaring suaranya.

14. Hardi agung-agung samya Huru-hara nggegirisi Gumleger swaranira Lahar wutah kanan kering Ambleber angelebi Nrajang wana lan desagung Manungsanya keh brasta Kebo sapi samya gusis Sirna gempang tan wonten mangga puliha.

Gunung berapi semua, Huru hara mengerikan, Menggelegar suaranya, Lahar tumpah kekanan dan kekirinya, Menenggelamkan, Menerejang hutan dan perkotaan, Manusia banyak yang tewas, Kerbau dan Sapi habis, Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.

15. Lindhu ping pitu sedina Karya sisahing sujanmi Sitinipun samya nela Brekasakan kang ngelesi Anyeret sagung janmi Manungsa pating galuruh Kathah kang nandhang roga Warna-warna ingkang sakit Awis waras akeh klang prapteng pralaya.

Gempa bumi sehari tujuh kali, Membuat ketakutan manusia, Tanah banyak yang retak-retak, Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam, menyeret semua manusia, Manusia menjerit-jerit, Banyak yang terkena penyakit, Bermacam-macam sakitnya, Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.

16. Sabda Palon nulya mukswa Sakedhap boten kaeksi Wangsul ing jaman limunan Langkung ngungun Sri Bupati Njegreg tan bisa angling Ing manah langkung gegetun Kedhuwung lepatira Mupus karsaning Dewadi Kodrat iku sayekti tan kena owah.

Sabdo Palon kemudian menghilang, Sekejap mata tidak terlihat sudah, Kembali ke alam misteri, Sangat keheranan Sang Prabhu, Terpaku tidak bisa bergerak, Dalam hati merasa menyesal, Merasa telah berbuat salah, Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan, Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa dirubah lagi.

Sebagai sebuah jangka yang dinyatakan memiliki visi ramalan, Jangka Sabda Palon bukannya tanpa kritik. Perlu dimengerti bahwa memahami Jangka Sabda Palon sebagai sebuah “ramalan” sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh sebuah pola cara pandang. Bagi seseorang yang menyukai klenik, dengan menghubung-hubungkan Jangka Jayabaya dengan sebuah kepentingan tertentu maka bisa saja didapatkan kesimpulan bahwa jangka ini telah m”meramalkan sesuatu”.

Namun dengan cara demikian jelas banyak kelemahan yang akan ditemui. Sebut saja misalnya Jangka Jayabaya menyebutkan bahwa pada masa berlakunya “ramalan” maka akan terjai sebuah jaman yang paling menyengsarakan penduduk Tanah Jawa. Masa yang dimaksud ditandai dengansengkalan sebagai “Lawon Sapta Ngesthi Aji”. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk angka maka sengkalan tersebut akan menunjukkan tahun 1877 tahun Jawa. Hal ini ditunjukkan dalam Jangka Sabda Palon sebagai berikut:

Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira, Lawon sapta Ngesthi Aji, upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya

(Waktu paling sengsara yang terjadi di tanah Jawa terjadi pada sengkalan tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama menyeberang sungai setelah sampai di tengah-tengah, sungainya banjir besar, kedalamannya menenggelamkan manusia, banyak manusia yang tewas)

Pemaknaan atas isi Jangka Sabda Palon tersebut sudah tentu bisa bermacam-macam tergantung cara pandang yang dimiliki penafsirnya. Tradisi Jawa sendiri tidak memiliki metodologi yang jelas dalam berinteraksi dengan bentuk-bentuk teks semacam ini. Salah satu cara pandang yang bisa dikemukakan adalah dengan melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada tahun Jawa tersebut. Angka tahun 1877 tahun Jawa jika dikonversi ke dalam penanggalan masehi maka akan didapatkan angka tahun 1945 atau 1946 M. Jika angka tahun tersebut dihubungkan dengan “kesengsaraan yang terjadi di tanah Jawa” maka akan didapatkan hasil yang membingungkan. Sebab diketahui bersama bahwa pada tahun 1945-1946 ini bangsa Indonesia termasuk penduduk tanah Jawa sedang berada dalam suasana kegembiraan karena “ Atas berkat rahmat Allah yang maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur … maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Tentu saja hal ini bisa ditafsirkan dengan cara yang lain dimana bentuk-bentuk penafsiran tersebut tidak dapat dibatasi dengan satu cara pandang saja. Dengan demikian klaim-klaim terkait penafsirannya bisa saja tidak sepi dari motif dan kepentingan.

Motif dan kepentingan tertentu juga bisa berlaku dalam kasus penafsiran Jangka Sabda Palon sebagai “anti Islam” dan “menubuatkan” lenyapnya Islam di tanah Jawa. Jika diteliti secara mendalam, istilah-istilah seperti agama Buda atau Budi dalam jangka Sabda Palon ternyata tidak menunjukkan adanya eksistensi ajaran Agama Budha sama sekali. Jadi yang dimaksud dengan Agama Buda atau Budi ternyata memiliki makna istilahiy yang lain dari makna aslinya. Hal ini ditunjukkan dalam penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon sebagai berikut:

Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji, …

(Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung jaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu …)

Justru Jangka Sabda Palon dari segi isinya menunjukan bahwa ada keinginan mendalam dari tokoh “Sabda Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus tahun ramalannya. Dalam pandangan Sabda Palon ajaran Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran Islam yang sempurna. Sabda Palon berkehendak menganut ajaran agama ini jika telah diajarkan secara sempurna, bebas dari sinkretisme. Hal ini ditunjukkan sebagai berikut:

Thathit kliweran ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.

Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa, menafsirkan kalimat di atas bahwa pada masa kehidupan Prabu Brawijaya, raja Majapahit, tokoh Sabda Palon belum bersedia menganut Agama Islam dan lebih memilih menganut Agama Budha. Alasannya, Sabda Palon masih menganggap bahwa penganut Islam saat itu masih menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun pada saatnya kelak, jika Agama Islam telah diajarkan secara murni, maka Sabda Palon akan bersedia memeluk Agama Islam.

Dalam anggapan Sabda Palon, Islam belum dianggap mencapai kesejatian atau kemurnian jika hanya diamalkan menjadi ibadah ritual belaka tanpa memperhatikan kebersihan jiwa. Juga tidak menjadi murni jika hanya diucapkan dibibir namun tidak menjadi praktek nyata. Bahkan pada bagian akhir Jangka ini tokoh Sabda Palon mengancam “manusia Jawa” jika mereka tidak mengikuti dirinya memeluk agama rasul yaitu islam yang sejati. Maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Hal ini ditujukkan sebagai berikut:

Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati … Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, …

Dengan demikian anggapan bahwa Jangka Sabda Palon merupakan karya sastra yang memperkuat mitos bahwa Islam akan lenyap dari bumi Jawa terbukti tidak benar. Jangka Sabda Palon justru berbicara sebaliknya bahwa Islam akan sampai kepada pemurnian ajarannya dimana Sabda Palon sendiri berkehendak memeluk agama tersebut. Hal demikian memang sulit dipahami, sebab banyak bahasa simbol yang digunakan dalam kitab tersebut.

Kesalahan penafsiran terhadap jangka Sabda Palon, sebagai “nubuatan” Kristen, Budha, maupun kebatinan lebih banyak didasarkan kepada kepentingan tertentu. Juga disebabkan kurang teliti menganalisa Jangka tersebut.

Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: ”Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun 2006 lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : ”Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah ”Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama ”Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 0 + 0 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari ”bumi sap pitu” dan ”langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan ”Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

Satrio Piningit

”Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan“Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon.

Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada ”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.

Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing orang.

Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar. Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup) sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan ”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase tersebut.

Hakekat Satrio Piningit  adalah sosok seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang tidak menyebarkan ”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenal Allah).

Sehingga kembali dalam konteks ”Satrio Piningit” yang sejatinya adalah Sabdo Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu : ”Di balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa untuk mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0 dan 1 adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho. Amin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar