Translate

Minggu, 10 Mei 2015

Sejarah Kerajaan Pasir

Kesultanan Pasir pada awalnya berada di Sadurungas, kemudian pindah ke Pasir Belengkong. Kesultanan yang didirikan oleh pelarian dari Kerajaan Kuripan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan Kesultanan Banjar dengan status sebagai daerah taklukan.

Sejarah Awal Kerajaan Pasir

Sejarah Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi sekitar abad ke-16.  Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu.

Aria Manau yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang istri dikenal dengan nama Itak Ukop.

Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang (suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu, Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas, kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo.

Versi legenda menyatakan bahwa Putri Betung lahir bukan dari hasil perkawinan manusia melainkan dari sebutir telur yang tersimpan di dalam sebilah bambu (betung atau petung). Ketika masih bayi, Putri Betung hanya mau meminum susu dari kerbau putih . Di sini, terdapat kesamaan antara versi legenda dan fakta sejarah yang menceritakan tentang adanya kerbau putih, seekor hewan yang dipelihara oleh Aria Manau.

Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua) tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.

Perkawinan antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M

Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.

Pengaruh Islam di Kerajaan Pasir

Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600M.

Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra (memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir. Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim digunakan pada waktu itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680).

Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I) terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.

Dinamika Daerah Taklukan: Dari Kesultanan Banjar hingga Belanda

Daerah Pasir – yang kemudian menjadi Kerajaan Pasir -- telah menjadi daerah taklukan Kesultanan Banjar yang berdiri pada tanggal 24 September 1526  Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi kesultanan diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kesultanan Banjar berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi.

Kebijakan pengiriman upeti tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat di Kesultanan Pasir. Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766) berangkat ke Kesultanan Banjar untuk meminta keringanan pengiriman upeti. Melalui langkah diplomasi, Sultan Sepuh I Alamsyah berhasil menawarkan solusi bahwa Kesultanan Pasir tidak lagi harus mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar, tetapi sebagai konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti 50 kati emas urai. Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan Sepuh dan rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan Banjar.

Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak sia-sia. Mereka berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan ini, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi daerah merdeka, dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar.

Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan Banjar bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh Ratu Agung (1786 – 1788). Pada masa pemerintahan Ratu Agung, Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC).

Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC) dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang melawan Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang terjadi di Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah II dibantu oleh Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang Bugis. Di akhir perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan gabungan Sultan Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan kekuatan gabungan Pangeran Amir dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilangka).

Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu ungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Permintaan ini dilakukan setelah peperangan berakhir. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787.

Salah satu poin penting dari perjanjian itu yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.

Kesultanan Pasir secara de facto telah menjadi daerah taklukan Belanda melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787 tersebut. Belanda sebenarnya tidak mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya (pada masa pemerintahan Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah menjadi daerah yang merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar. Meskipun demikian, Belanda tetap meminta pengakuan kedaulatan atas Kesultanan Pasir.

Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853). Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L. Weddik, Residen Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda menghadiri acara penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat secara de jureKesultanan Pasir melalui kontrak politik yang berisi:

Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang termasuk ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda dan taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan langsung ataupun membuat perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari Belanda juga menjadi musuh Kesultanan Pasir.

Perlawanan terhadap Belanda

Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh Sultan Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing tetap dilakukan oleh Sultan Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda.

Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama antara Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang yang bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa pistol dan senapan untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang dikukuhkan dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid Alsegaf dengan kemenakan sultan bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif Hamid Alsegaf kemudian diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan diberi gelar Pangeran.

Sultan Adam II juga menjalin hubungan dengan seorang pedagang lainnya bernama La Kumai dari Sulawesi Selatan. La Kumai kemudian dikawinkan dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian juga diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.

Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Adam II adalah membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan dengan cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang mengetahui langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin . Belanda beralasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II telah melanggar perjanjian politik yang telah disepakati sebelumnya.

“Pembangkangan” terhadap perjanjian politik terus menjalar sampai pewaris Kesultanan Pasir selanjutnya naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875). Di era pemerintahan Sultan Sepuh II, kebijakan Kesultanan Pasir sepaham dengan kebijakan Kesultanan Banjar yang melawab kepada Belanda. Perebutan tahta yang terjadi antara Sultan Tamjidillah II dengan Pangeran Hidayatullah ternyata menjalar pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas berada di belakang Pangeran Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai kedudukan yang sah sebagai pewaris tahta Kesultanan Banjar -- lain halnya dengan Sultan Tamjidillah II yang merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak untuk naik tahta. Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan Tamjidillah II yang merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II dianggap sebagai pemimpin boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk mengatur Kesultanan Banjar agar tunduk pada kekuasaan Belanda.

Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari. Dalam sengketa perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar (1859-1905) tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir.

Pemimpin perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.

Pada saat Perang Banjar meletus, banyak pengikut Pangeran Antasari yang disembunyikan oleh Sultan Sepuh II maupun sultan setelahnya di Kesultanan Pasir. Tindakan inilah yang membuat Belanda menjadi murka karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang ditandatangani pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi pengikut Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda – dalam perjanjian tertera bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan Pasir.

Belanda tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi “pembangkangan” dari beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan kepada para sultan yang memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan pelayanan sebaik-baiknya dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan perintah Residen Banjarmasin. Sikap “lunak” Belanda ini tetap tidak ditaati oleh para Sultan Pasir. Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika terjadi suatu peristiwa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898).

Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali yang memberikan kelonggaran kepada para pegawainya untuk melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa perintah dari Residen Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik. Residen Banjarmasin yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang mengadakan penyelidikan di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada Sultan Muhammad Ali untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan Muhammad Ali menolak untuk datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan Muhammad Ali menyatakan bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya yang menyangkut Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan kewenangan Belanda. Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan Muhammad Ali ke Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di tempat pembuangan.

Masa Akhir Kesultanan Pasir

Setelah Sultan Muhammad Ali dibuang ke Banjarmasin, terjadi kekosongan pimpinan pemerintahan di Kesultanan Pasir. Belanda kemudian mengangkat Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) yang dinobatkan sebagai sultan di Muara Pasir. Akan tetapi rakyat Kesultanan Pasir menolak sultan baru yang dinobatkan oleh Belanda ini. Rakyat kemudian mengangkat Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) yang dinobatkan di Benua.

Untuk mengatasi situasi yang semakin tidak kondusif di Kesultanan Banjar, maka Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengambil alih pemerintahan di Kesultanan Banjar dalam periode tahun 1898 – 1899. Situasi  di Kesultanan Banjar akhirnya dapat diredakan setelah rakyat dan Belanda setuju untuk mengangkat sultan baru bernama Pangeran Ratu Raja Besar pada tahun 1899.

Dalam menjalankan pemerintahnnya, Pangeran Ratu Raja Besar mempercayakan urusan antara Kesultanan Pasir dengan Residen Banjamasin, J. Broes, kepada beberapa orang menterinya, yaitu Pangeran Mangku Jaya Kesuma, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, Pangeran Panji Nata Kesuma, dan Pangeran Dipati. Di antara keempat menterinya tersebut, hanya Pangeran Mangku Jaya Kesuma yang mendapat kepercayaan yang lebih besar untuk berhubungan dengan J. Broes.

Pada perkembangan kemudian, ternyata J. Broes lebih mempercayakan urusan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma daripada Pangeran Ratu Raja Besar. Atas dasar kepercayaan inilah, J. Broes akhirnya membuat surat pelimpahan kepercayaan yang berkembang menjadi surat pengalihan kekuasaan dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma.

Pengukuhan pengalihan kekuasaan Kesultanan Pasir dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma diwakilkan kepada seorang overste dan asisten residen sebagai wakil dari Residen Banjarmasin. Kedua pegawai Pemerintah Hindia Belanda ini datang ke Kesultanan Pasir menggunakan tiga buah kapal yang lengkap dengan serdadu militer untuk mengantisipasi pergolakan yang mungkin terjadi sehubungan dengan pengalihan kekuasaan tersebut. Serah-terima kekuasaan akhirnya terjadi dan Pangeran Mangku Jaya Kesuma naik tahta dan bergelar Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908).

‎Sultan Ibrahim Chaliluddin ternyata tidak dikehendaki oleh rakyat Kesultanan Banjar. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan Ibrahim Chaliluddin tidak ditaati oleh rakyat, misalnya kebijakan untuk menarik belasting (pajak). Sebenarnya, Sultan Ibrahim Chaliluddin telah melakukan beberapa hal untuk menarik simpati rakyat, misalnya dengan mengangkat Aji Nyesei yang bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, putra dari Pangeran Nata Panembahan Sulaiman (seorang pewaris tahta yang memilih untuk tidak menggunakan haknya dan memberikan haknya kepada kemenakannya, yaitu Sultan Abdur Rahman Alamsyah) untuk diangkat menjadi raja muda. Akan tetapi semua upaya dari Sultan Ibrahim Chaliluddin tetap tidak bisa menarik simpati rakyat.

Melihat sikap rakyat yang kurang kooperatif terhadap kebijakan kesultanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mulai putus asa dalam memimpin Kesultanan Pasir. Apalagi Sultan Ibrahim Chaliluddin mendengar bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan kebijakan baru, yaitu mengadakan peraturan heerendients atau kerja rodi yang mewajibkan rakyat di Kesultanan Pasir untuk bekerja selama 20 hari tiap tahun, di samping kewajiban untuk membayar belasting.

Sultan Ibrahim Chaliluddin menilai bahwa rakyat di Kesultanan Pasir yang kurang dapat dikendalikan olehnya akan bersikap semakin melawan dengan adanya peraturan yang akan diterapkan oleh Belanda tersebut. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin juga tidak mampu melawan perintah dari Pemerintah Hindia Belanda karena statusnya sebagai daerah taklukan yang harus melaksanakan segala kebijakan yang datang dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Residen Banjarmasin. Sebagai jalan keluar, karena merasa sudah tidak mampu lagi untuk memimpin Kesultanan Pasir akibat dari berbagai tekanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mengajak para petinggi Kesultanan Pasir untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Sultan Ibrahim Chaliluddin menyarankan agar para petinggi dan kerabat Kesultanan Pasir menyerahkan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan meminta ganti rugi bagi para bangsawan yang berhak atas pewarisan tahta Kesultanan Pasir.

Sebagian peserta musyawarah setuju dengan usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin, tetapi sebagian lainnya tidak setuju. Pangeran Jaya Kesuma Ningrat tidak setuju apabila Kesultanan Pasir diserahkan kepada Belanda karena pada suatu saat dia akan menjadi sultan. Pangeran Panji Nata Kesuma bin Sultan Abdur Rahman juga tidak setuju dengan saran tersebut karena Kesultanan Pasir adalah pusaka turun-temurun yang harus diperintah oleh zuriat para Sultan Pasir. Di pihak lain, Aji Meja Pangeran Menteri, Pangeran Mas, dan Pangeran Dipati menyetujui usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda.

Musyawarah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda dengan kompensasi memberikan ganti rugi sejumlah uang kepada para bangsawan Kesultanan Pasir. Pada bulan Oktober 1907, melalui perantara Civil Gezaghebber (kepala pemerintahan sipil) Tanah Grogot, Kapten Droest, Residen J. Van Weerk memberitahukan kepada Sultan Pasir bahwa permohonan permintaan ganti rugi atas seluruh hak Kesultanan Pasir diterima baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Uang ganti rugi tersebut diputuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar N.F. 377.267.

Pada bulan April 1908, uang sebesar N.F. 377.267  yang dikirim oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia telah diterima oleh Gezaghebber Tanah Grogot. Selanjutnya, Gezaghebber Tanah Grogot memanggil Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk mengumpulkan para bangsawan untuk diberi ganti rugi. Dalam pertemuan yang digelar kemudian, Gezaghebber Tanah Grogot mengeluarkan suatu akte tentang penyerahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda. Sejak ditandatanganinya akte penyerahan tersebut, secara de jure Kesultanan Pasir resmi diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Beberapa bangsawan yang tidak setuju dengan penyerahan tersebut memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Pangeran Panji, Panglima Sentik, dan beberapa bangsawan lainnya bergabung bersama-sama dengan rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Para bangsawan ini mengangkat Pangeran Panji Nata Kesuma sebagai sultan kesultanan Pasir yang sah.

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Panji berlangsung antara tahun 1908-1912. Perlawanan ini berakhir karena Pangeran Panji tertangkap dan kemudian dibuang ke Banjarmasin. Tertangkapnya Pangeran Panji tidak menyurutkan timbulnya perlawanan serupa. Pada tahun 1913, seorang pengikut Pangeran Panji bernama Matjanang melancarkan perlawanan terhadap Belanda.

Sejalan dengan bergolaknya rakyat Pasir menentang Belanda, berdiri cabang Sarekat Islam (SI) pada tahun 1914 di wilayah Pasir. Para orator SI kemudian mendekati para bangsawan Pasir untuk menguatkan keberadaan organisasi ini di daerah Pasir. Karena merasa tertarik dengan propaganda dari para orator SI, para bangsawan Pasir akhirnya bergabung dengan SI. Bahkan, Sultan Ibrahim Chaliluddin menduduki posisi sebagai Presiden SI sedangkan adiknya yang bernama Pangeran Menteri menjadi wakil presiden. Keberadaan SI semakin kuat dan besar ketika Pangeran Ratu Raja Besar juga ikut serta masuk menjadi anggota SI.

Melalui SI, para bangsawan tersebut ternyata mendapatkan pencerahan dan sadar politik. Kesadaran berpolitik inilah yang akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk membangun kekuatan dalam menghadapi Belanda. Para bangsawan yang sebelumnya setuju dengan penyerahan Kesultanan pasir, kini berbalik sadar bahwa tindakan yang mereka ambil semata-mata hanya menguntungkan Belanda. Mereka kini mulai melancarkan berbagai perlawanan dari pedalaman Pasir.

Pangeran Ratu Raja Besar, Andin Ngoko, Andin Gedang, Andin Dek, Pangeran Singa, Wana, Sebaya, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, dan Pangeran Perwira melancarkan perlawanan fisik mulai dari Teluk Apar, Teluk Adang, Pasir Benua, sampai pedalaman sungai Kadilo. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin terus menggempur Belanda melalui aksi politik di bawah naungan SI. Perpaduan perlawanan fisik dan perlawanan politik ini mampu membuat Belanda kewalahan dan terpaksa meminta bantuan pasukan dari Banjarmasin pada tahun 1916.

Perlawanan para bangsawan Pasir berakhir dengan tertangkapnya para pemimpin pergerakan pada akhir tahun 1916. Bahkan, melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 19 November 1917 No. 43, Partai Sarekat Islam dibubarkan. Semua pengurusnya dinyatakan bersalah karena dituduh menghasut rakyat Pasir untuk mengadakan perlawanan. Melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 31 Juli 1918 No. 25, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dan memutuskan:

Sultan Ibrahim Chaliluddin dihukum buang seumur hidup ke Teluk Betung,
Pengeran Menteri dihukum seumur hidup dan diasingkan ke Padang,
Pangeran Perwira dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banyumas,
Aji Nyesei bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banjarmasin,
Pangeran Singa dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Garut,
Andin Dek dan Andin Ngoko masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Aceh dan Sawah Lunto,
Andin Gedang, Sebaya, dan Wana masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Cilacap, Semarang, dan Blitar.
Para pemimpin pergerakan perlawanan terhadap Belanda ini hampir semuanya meninggal dunia dalam pembuangan, kecuali Andin Dek dan Pangeran Jaya Kesuma Ningrat yang selamat menjalani hukuman dan kembali lagi ke Pasir.

Setelah meletusnya perlawanan rakyat dan bangsawan, Belanda meningkatkan penarikan pajak, pembatasan kesempatan memperoleh pendidikan (bahkan tidak pernah didirikan sekolah di Pasir), dan pengawasan secara ketat terhadap segala aktivitas rakyat. Berbagai tekanan yang dialami rakyat Pasir ini membuat kesempatan untuk bangkit melawan Belanda praktis tertutup sama sekali. Sesudah tahun 1917, rakyat Pasir tidak mampu mengadakan perlawanan.

Silsilah Raja Raja Pasir

Berikut ini adalah nama raja/ sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Pasir.

Ratu Putri Petung / Putri Di Dalam Petung (Sri Sukma Dewi Aria Manau Deng Giti) (1516 – 1567)
Raja Adjie Mas Patih Indra (1567 – 1607)
Raja Adjie Mas Anom Indra (1607 – 1644)
Raja Adjie Anom Singa Maulana (1644 – 1667)
Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680)
Sultan Panembahan Adam I (Adjie Duwo) (1680 – 1705)
Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726)
La Madukelleng (Arung Matoa dari Wajo, Bugis, Makasar) (1726 – 1736)
Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766)
Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786) *
Ratu Agung (1786 – 1788)
Sultan Dipati Anom Alamsyah (Adjie Dipati) (1788 – 1799)
Sultan Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji) (1799 – 1811)
Sultan Ibrahim Alamsyah (Adjie Sembilan) (1811 – 1815)*
Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843)
Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853)
Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875)
Pangeran Adjie Inggu (Putra Mahkota) putera Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1875 – 1876)
Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) putera Sultan  Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1876 – 1896) *
Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898) **
Kevakuman pemerintahan kesultanan (diambil-alih Pemerintah Belanda) (1898 – 1899)
Pangeran Ratu Raja Besar (1899)
Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908)

Sistem Pemerintahan

Sejak berdirinya Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi Kesultanan Pasir, wilayah Pasir telah menjadi taklukan Kesultanan Banjar. Konsekuensi dari sebuah daerah taklukan adalah menjalankan semua kebijakan yang telah diputuskan oleh daerah induk (Kesultanan Banjar). Dalam urusan dengan pemerintahan, segala hal yang berkenaan dengan pengambilan kebijakan di Kesultanan Pasir harus mendapatkan persetujuan (izin) dari Kesultanan Banjar, termasuk di dalamnya dalam urusan pengangkatan sultan.

Selain tunduk dan patuh kepada Kesultanan Banjar, untuk urusan dalam negeri, Sultan Pasir juga memiliki beberapa perangkat pemerintahan. Di bawah kedudukan sultan, terdapat menteri yang bertugas untuk menjalankan perintah sultan. Perintah ini kemudian diteruskan kepada para kepala daerah yang disebut dengan gelar pangeran. Selain menjadi pemimpin daerah, seorang pangeran juga bertugas untuk menginformasikan dan menjalankan perintah dari menteri. Selain menjalankan perintah sultan, menteri juga bisa bertugas sebagai duta negara yang menggantikan fungsi sultan jika ada urusan ke luar daerah, misalnya ke Kesultanan Banjar ataupun ke tempat Residen Banjarmasin pada masa pendudukan Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kalimantan secara umum dibagi ke dalam dua karesidenan yang terdiri dari beberapa swapraja atau daerah bekas kerajaan/kesultanan (gewest). Kedua karesidenan ini adalah Keresidenan Westerafdeling van Borneo dengan ibukota Pontianak dan Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin.

Ketika Belanda berkuasa atas Kesultanan Pasir sebagai kompensasi atas bantuan Belanda terhadap Kesultanan Banjar, secara struktur pemerintahan, wilayah Kesultanan Pasir dimasukan ke dalam de afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe Landen, yaitu sebuah afdeeling yang termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah “leenplichtige landschappen”, yaitu: Pasir, Pegatan, dan Koesan.

Atas dasar pengaturan tersebut, Sultan Pasir wajib memberikan laporan tentang kondisi pemerintahan dan segala kebijakan yang diambil, bahkan dalam urusan internal kesultanan kepada Residen Banjarmasin. Dalam hal ini, kedudukan Sultan Pasir dianggap sebagai kepala gewest saja. Akan tetapi jika berada di lingkungan kesultanan, kedudukan sultan merupakan kedudukan tertinggi.


Wilayah Kekuasaan


Wilayah Kesultanan Pasir sejak pemerintahan Putri Betung (1575 M) sampai dengan dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908, meliputi daerah yang sekarang ini disebut Kabupaten Pasir dan Penajam Paser Utara. Luas wilayah Kesultanan Pasir mencakup sekitar 14.937 Km2 atau 1.579.366 Ha, yang terdiri dari luas daratan 1.391.200 Ha dan luas perairan laut 188.166 Ha. Kesultanan Pasir berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu:

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan Timur yang pada saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura,
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan,
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah,
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar.

Luas wilayah Kerajaan Pasir diperkirakan juga meliputi sebagian kecil wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini, mengingat berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari daerah Kuripan (Amuntai) yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya wilayah Kesultanan Pasir sedikit berkurang karena wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah (berdiri sendiri), yaitu menjadi Kerajaan Tanah Bumbu.

Dari mulai berdirinya Kesultanan Pasir sampai masa berakhirnya kesultanan ini, telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, yaitu:
Kuripan (sekarang Amuntai, Kalsimantan Selatan) adalah tempat asal-muasal Kerajaan Pasir,
Desa Lempesu atau dikenal dengan nama Sadurangas (27 KM dari Tanah Grogot, Kalimantan Timur) merupakan pusat kerajaan untuk pertama kalinya,
Gunung Sahari (1 Km sebelah selatan Museum Istana Sadurangas terletak di  Kecamatan Pasir Balengkong, Kalimantan Timur),
Benuwo (Pasir Belengkong, Kalimantan Timur),
Tanah Grogot (Pasir, Kalimantan Timur).‎

1 komentar: