Tidak bisa bisa dipungkiri, memakai kopiah ketika shalat adalah kebiasaan yang telah umum dikalangan muslimin disemua penjuru. Bahkan, seseorang bisa merasa ada yang kurang bila dia shalat sedangkan kepalanya dalam kondisi terbuka. Maka tak heran bila kemudian sebagian kalangan menmpertanyakan tentang status hukumnya, sunahkah atau hanya semacam budaya saja ? Mari kita simak penjelasannya.
Kopiah atau juga yang disebut songkok / peci adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala. Jadi, peci masuk kepembahasan hukum berpakaian, sedangkan secara umum berpakaian itu dihukumi :
Wajib, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat. Yaitu dari pusat hingga lutut bagi kaum laki-laki, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi kaum wanita.
Sunnah, yaitu berpakaian dengan model pakaian Rasulullah Saw dan yang dicintai olehnya, diantaranya adalah gamis. Dan masuk kedalam kesunnahan juga adalah berpakaian lengkap (bukan hanya memakai sarung atau celana yang menutup pusat dan mata kaki), mengenakan pakaian bersih dan rapi, berhias dll.
Mubah, yakni pakaian yang umumnya dikenakan mengikuti sesuai peradaban dan kedayaan manusia.
Haram, yakni pakaian yang menyerupai pakaian orang-orang kafir dan menjadi simbol agama mereka, semisal pakaian biksu atau para pastor.
Yang jelas, kopiah tidaklah wajib, karena kepala yang ditutupi oleh kopiah bukanlah aurat bagi laki-laki, dan kita sama ma’fum, dalam shalat, yang wajib ditutupi hanya aurat. Sebaliknya, kopiah juga tidak mungkin dihukumi haram untuk dipakai, karena ia bukanlah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas orang-orang kafir. Terkecuali, model peci yang lazim dikenakan para pastor dan pendeta yahudi, maka ini haram.
Diriwayatkan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiyl, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih. 'Utsmaan bin Abi Zur'ah dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrahdengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Oleh karena itu, syari’at menganjurkan kita berpakaian dengan pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri tempat kita tinggal, selama tidak ada hal-hal yang menjadi larangan syari’at.
Termasuk hal yang mengherankan, ada sebagian saudara kita yang melarang – atau bahkan mencela – pemakaian peci hitam sebagaimana lazim dipakai penduduk negeri kita. Padahal telah menjadi pengetahuan jamak bahwa peci hitam merupakan salah atribut pakaian kaum muslimin negeri kita. Tidak ada pula dalil yang melarangnya. Peci hitam tidak ubahnya seperti peci putih, hijau, biru, atau warna-warna yang lainnya.
Apakah peci hitam itu dilarang karena warna hitamnya ?. Jika inii alasannya, maka salah satu sifat ‘imamah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berwarna hitam sebagaimana riwayat :
حدثنا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki pada hari penaklukan Makkah dengan memakai ‘imaamah (surban) berwarna hitam [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1358].
Bahkan para ulama kita terdahulu telah ada yang memakai peci berwarna hitam. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah rahimahullah berkata :
رأيت أبا حنيفة شيخاً يفتي الناس بمسجد الكوفة عليه قلنسوة سوداء طويلة
“Aku pernah melihat Abu Haniifah seorang syaikh yang memberikan fatwa kepada manusia di Masjid Kuufah, dimana (waktu itu) ia memakai peci hitam panjang” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/399].
حدثنا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ عَلَى الْأَوْزَاعِيِّ قَلَنْسُوَةً سَوْدَاءَ فِي أَيَّامِ ابْنِ سُرَاقَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mus-hir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid, ia berkata : “Aku pernah melihat Al-Auza’iy memakai peci hitam pada peristiwa Ibnu Suraaqah” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 368 & 2319; shahih].
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: " كُنْتُ إِذَا رَأَيْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ لا يُشْبِهُ الْقُرَّاءَ، عَلَيْهِ قَلَنْسُوَةٌ سَوْدَاءُ طَوِيلَةٌ مِمَّا يَلْبَسُ التُّجَّارُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : “Dulu jika aku melihat Daawud Ath-Thaa’iy, ia tidak menyerupai qurraa’, karena ia memakai peci hitam panjang yang dipakai para pedagang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 6/536; shahih].
Hadits, penjelasan ulama, dan contoh-contoh di atas semoga dapat menjadi kejelasan bagi kita tentang diperbolehkannya memakai peci hitam. Bagi yang lebih senang memakai peci putih haji, ya silakan. Bebas memilihnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar