Translate

Selasa, 15 November 2016

Sejarah Peperangan Tuban Mojopahit

Pemberonatakan di Kerajaan Majapahit yang pertama tercatat adalah pemberontakan atau kadang disebut juga peristiwa Ranggalawe berlangsung pada tahun saka kuda-bhumi-paksaning-wong, 1217 (1295 Masehi).

Ranggalawe adalah putra Bupati Wiraraja dari Sumenep yang berganti nama menjadi Arya Adikara. Penggantian nama  ini terjadi pada saat pengangkatan Raden Wijaya menjadi seorang raja. Raden Wijaya mengenal Ranggalawe di Majapahit. Saat itu Ranggalawe diutus mengantarkan Tribuwana dari Sumenep ke Majapahit. Tanggal dan lahir Ranggalawe belum dapat dipastikan namun diketahui dengan jelas bahwa Ranggalawe meninggal pada tahun 1295.

“Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Rangga Lawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya karena berkaitan dengan penyediaan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri atau juga mempunyai arti rangga berarti ksatria / pegawai kerajaan dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti “benang”,atau dapat juga bermakna “kekuasaan” atau kemenangan. dan Ranggalawe kemudian diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.

Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.”‎

Ranggalawe terkenal dengan dirinya grusah grusuh namun disisi lain Ranggalawe juga terkenal dengan kelantangannya. Ranggalawe adalah seseorang yang ahli siasat, pemberani, lincah, juga merupakan orang yang terampil

Pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 yakni tepatnya pada masa pemerintahan Raden Wijaya. Dalam kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa Nambi adalah anak Wiraraja adalah kesalahan, Karena menurut Kidung Sorandaka dan Kidung Panji Wijayakrama serta Kidung Harsa diuraikan bahwa Nambi adalah anak Pranaraja. Bukan anak dari Wiraraja, Dalam beberapa pertempuran peranan Nambi tidaklah begitu besar. Justru oeranana Ranggalawe lah yang begitu besar pada pertempuran pertempuran. Dalam Kidung Sorandaka Nambi diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Ranggalawe sebenarnya kecewa dengan pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi. Ranggalawe beranggapan bahwa Lembu Sora lebih pantas menjadi Patih Amangkubumi

Ranggalawe akhirnya pergi ke Majapahit dari Tuban untuk berbicara pada Raja. Ranggalawe menyatakan maksudnya ingin mempertanyakan kepada Raja perihal pengangkatan Nambi menjadi Patih Amangkubumi. Ranggalawe menganggap seseorang yang berhak menjabat sebagai Patih Amangkubumi adalah seseorang yang teramat besar jasanya dalam berbagai pertempuran sedangkan Ranggalawe melihat jasa jasa Nambi di berbagai pertempuran biasa biasa saja, justru Lembu Sora lah yang lebih berhak menjadi Patih Amangkubumi.

“Bagi patik (Dyah Kalayuda) sudah jelas bahwa usaha paduka sia sia belaka karena paduka mengangkat si Nambi menjadi Patih Amangkubumi. Jika Lembu Sora dipandang tidak memenuhi syarat tentunya patik yang harus dipertimbangkan. Bukan Nambi. Mengapa justru Nambi yang paduka angkat? Negara tidak akan baik karenanya. Tanpa Sora dan patik Negara akan runtuh”

Lembu Sora yang pada saat itu berada di tempat yang sama dengan Ranggalawe menjadi marah. Ranggalawe meneruskan ucapannya,

“Memang Dyah Kalayuda tidak rela jika si nambi yang akaan memegang pemerintahan. Paduka telah menyaksikan sendiri tindak tanduknya dahulu. Ia sangat mengecewakan, bodoh, lemah, rendah budi, penakut, tanpa perbawa. Pati ia akan merosotkan kedudukan Negara, memudarkan kedudukan paduka”.

Ranggalawe kemudian menantang Nambi untuk berkelahi. Mendengar Ranggalawe, Nambi menjadi marah. Lembu Sora akhirnya membujuk Ranggalawe supaya bersabar dan pulang ke Tuban. Akhirnya Ranggalawe luluh dan kembali ke Tuban. Sesampainya di Tuban Ranggalawe menceritakan semua yang terjadi di Istana kepada Ayahnya.

Disisi lain oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe menyusun sebuah pergerakan untuk memberontak di Tuban. Akhirnya Raja mengizinkan Nambi untuk berangkat memimpin pasukan Majapahit bersama Lembu Sora dan Keno Anabrang.

Ada kemungkinan besar Ranggalawe mendengar bahwa pasukan Majapahit akan menyerbunya. Maka ia juga bergerak ke medan perang bersama simpatisannya. Sebelum berangkat Ranggalawe memiliki firasat buruk bahwa ia akan meninggal karena ketika Ranggalawe memetik bunga di taman bersama istri istrinya, keranjang bunga disambar oleh seekor burung gagak seketika keranjang bunga tersebut terjatuh dan bunga bunga itu berserakan. Pada saat itulah Ranggalawe sadar ajalnya sudah dekat.

“Lawe bersiap siap untuk menghadapi tamu, lalu mandi, kemudian memakai busana. Untuk penghabisan kalianya pula ia mendukung putranya, Kuda Anjapiani, ditimang timangnya dan dicuminya. Kemudia ia berangkat. Kuda Anjampiani dibawa oleh inangnya ke istana neneknya sambil menangis. Anak itu dibujuknya bahwa Lawe akan menghadap paduka raja di Majapahit. Jika nanti pulang, ia akan dibelikan kereta kencana dengan kuda sembrani. Lawe lalu berangkat, lambat jalannya. Berkali kali ia menoleh hatinya penuh sendu sayu melihat dua orang istrinya yang mengikuti jejaknya dengan pandang sayang”.

Ranggalawe berangkat menuju medan perang dengan simpatisannya demikian pasukan Majapahit bersama Nambi, Kebo Anabrang, dan Lembu Sora.

Kidung Ranggalawe tentang Jalannya Pertempuran

Pagi itu Ranggalawe segera mengumpulkan seluruh pasukannya dan bersiap untuk berangkat ke Majapahit. Sang Adipati tampak gagah dengan pakaian perang yang ia gunakan pada waktu itu. Sebelum berangkat, ia memohon doa restu kepada ayahnya Arya Wiraraja dan kedua istrinya serta anak semata wayangnya (Kuda Anjampiani) yang saat itu masih berusia 5 tahun dan dalam gendongan inang pengasuhnya. Sejenak Dewi Martaraga menahan langkah sang Adipati, firasatnya mengatakan bahwa ini adalah pertemuan yang terakhir kali dangan suami tercintanya. Ranggalawe merasakan keharuan meyeruak di rongga dadanya, apalagi jika mengingat putra semata wayang yang sangat dikasihinya. Namun tekadnya sudah bulat, dengan segenap ketegaran, ia kemudian bergegas menaiki kuda kesayangannya (Nila Ambara). Pelan - pelan ia menjalankan kudanya, sementara dibelakangnya barisan Prajurit Tuban mengiringi langkahnya. Diluar regol Kadipaten, ia dicegat oleh ayah mertuanya (Ki Ageng Pelandongan), yang memintanya untuk membatalkan Rencananya. Namun hal itu tidak menggoyahkan tekad Ranggalawe yang memang berwatak keras kepala. Dengan iringan genderang perang disepanjang perjalanan, akhirnya pasukan Tuban berangkat menuju Majapahit.

Berita tentang keberangkatan pasukan Tuban segera diterima oleh Nambi melalui Prajurit Telik Sandi, dan segera ia bersiap menyambut kedatangan pasukan Tuban yang memang telah dinantikannya. Saat itu Sungai Tambak Beras dalam keadaan surut, sehingga Pasukan Majapahit dibawah pimpinan Nambi bisa menyeberang sungai tanpa adanya halangan. Setelah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam, akhirnya kedua Pasukan pun bertemu di tepi Sungai tambak Beras. Pertempuran dahsyat segera terjadi, Pasukan Tuban dangan semangat yang makantar - kantar (semangat berapi - api), merangsek fihak Majapahit. Ranggalawe dengan sigap mencari Nambi, saat bertemu mereka pun saling berhadapan. Nambi tampak gagah diatas punggung kudanya (Brahma Cikur), sementara Ranggalawe tidak kalah Perwiranya duduk diatas Punggung Nila Ambara. Perkelahian tidak bisa dielakan, Dalam sekejap saja, Ranggalawe berhasil menikam Brahma Cikur, namun Nambi mampu meloloskan diri. sementara itu pasukan Tuban berhasil membuat Pasukan Majapahit kocar - kacir dan melarikan diri ke seberang sungai. Ranggalawe ingin melakukan pengejaran, tapi ditahan oleh para pengikutnya. Akhirnya mereka pun mendirikan tenda untuk menunggu keesokan harinya.

Kabar tentang kekalahan Pasukan Majapahit saat itu juga diterima oleh Prabu Kertarajasa di Majapahit dan membuat gusar sang Raja, malam itu juga beliau segera mengumpulkan para senapatinya dan melakukan perundingan untuk langkah yang akan diambil selanjutnya.

Keesokan harinya, pasukan Segelar Sepapan telah bersiap di alun - alun Kerajaan dan mulai bergerak menuju Sungai Tambak Beras dibawah Pimpinan Langsung Sang Raja. Sesampainya di tepi sungai, pasukan Majapahit segera mendapat sambutan dari fihak Tuban yang memang sudah bersiap menuggu kedatangan mereka. Pada saat itu Pasukan Majapahit dipecah menjadi tiga bagian untuk mengepung laskar Tuban, dari jurusan Timur dipimpin oleh Mahesa Anabrang, dari jurusan barat dipimpin oleh Gagak Sarkara, dan dari utara dipimpin oleh Majang Mengkar. Sementara itu Lembu Sora diminta sang Raja untuk mendampinginya. Pertempuran sengit pun akhirnya tidak bisa terelakan, kali ini pasukan Tuban benar -benar terkepung rapat. Sementara Ranggalawe berhadapan dengan Mahesa Anabrang perkelahian antara dua orang yang pernah menjadi sahabat ini pun segera terjadi. Kuda Mahesa Anabrang berhasil ditikam, pengendaranya terjatuh tetapi luput dari tikaman. Ranggalawe melakukan pengejaran, perkelahian masih terjadi, dan kali ini Senapati yang pernah dikirim dalam "Ekspedisi Pamalayu" pada jaman "Kertanegara" , Raja terakhir "Singhasari" harus mengakui kegagahan dari Ranggalawe, dengan terpaksa akhirnya ia pun menghindarkan diri lari ke wilayah Majapahit di seberang Sungai. Pertempuran sempat tertunda dengan datangnya sang malam. Sementara itu Ranggalawe terlihat gusar karena belum sempat membinasakan lawan tandingnya.
Pada keesokan harinya Pertempuran antara kedua belah fihak pun dilanjutkan kembali. Suasana pagi itu kembali dipecahkan dengan suara dentingan senjata dan teriakan dari mereka yang meregang nyawa. Kembali Ranggalawe berhadapan dengan Mahesa Anabrang. Untuk kedua kalinya mereka bertemu kembali, dan kali ini Mahesa Anabrang sengaja memancing Ranggalawe untuk melakukan duel didalam sungai. Ranggalawe yang memang telah mendendam kepada Mahesa Anabrang tanpa pikir panjang segera mengejar lawan tandingnya. Perkelahian sengit kembali terjadi, mereka bergulat, saling piting, saling cekik, membuat air disekitar tempat mereka bertanding waktu itu muncrat bagai curahan hujan. memang sangat dahsyat perkelahian yang dilakukan kedua orang perwira ini. dilain kejap, Ranggalawe terpeleset dari atas batu cadas tempatnya berpijak, melihat hal ini Mahesa Anabrang tidak menyia - nyiakan kesempatan, segera ia meraih leher Ranggalawe dan ditenggelamkan berulang - ulang. Salah satu keahlian Mahesa Anabrang adalah ia sangat lihai berkelahi dalam air. setelah sekian jurus, tampak air disekitar tempat perkelahian telah menjadi merah karena darah. Ketika kepala Ranggalawe diangkat dari dalam air, dalam posisi terpiting diketiak Mahesa Anabrang, Ranggalawe sudah tidak bernyawa. 

Tiada tahan Lembu Sora menyaksikan peristiwa yang memilukan tersebut, bagaimana pun Lawe adalah anak Kemenakannya sendiri dan didepan matanya telah disiksa oleh lawan tandingnya. dengan sertamerta ia melompat dari seberang dan menikam Mahesa Anabrang dari belakang. Tusukan Keris Lembu Sora tepat bersarang di belikat tembus sampai ke dada, Mahesa Anabrang jatuh, Mati seketika diatas air, demikianlah Kebo Anabrang dan Ranggalawe terlihat seperti mati sampyuh di seberang sungai Tambak Beras. Peristiwa pembunuhan terhadap Mahesa Anabrang inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada Tahun saka 1300 (Korban Konspirasi Politik ke-2 dari Kalayuda).

Sementara Laskar Tuban yang menyaksikan pemimpin mereka telah mati, serentak menjadi kehilangan semangat tempurnya. Kesempatan itu tidak di sia - siakan oleh fihak Majapahit, dan belum sampai tengah hari, Pasukan Tuban berhasil ditakhlukkan. Jenasah Ranggalawe dibawa ke Pura Majapahit. Arya Wiraraja, Ki Ageng Pelandongan, kedua istri dan Anaknya Kuda Anjampiani, setelah menerima kabar tentang kematian Ranggalawe segera datang ke Majapahit. Dalam "Kidung Ranggalawe" tercantum bahwa kedua istri Ranggalawe (Dewi Mertaraga dan Dewi Tirtawati) melakukan belasungkawa dengan cara Belapati (ikut mati bersama). Setelah upacara pembakaran jenasah selesai, Arya Wiraraja kembali ke Tuban diiringi Ki Ageng pelandongan dengan membawa Kuda Anjampiani serta abu jenasah ketiga orang yang mereka kasihi untuk disemayamkan. (Tidak tercatat dalam sejarah tempat dimana abu jenasah ketiga orang ini disemayamkan, ada dugaan kuat bahwa abu jenasah ketiganya dilarung di laut Jawa. jadi patut disayangkan apabila sampai saat ini masyarakat Tuban masih mempercayai bahwa makam Ranggalawe ada di Tuban dan berada di tempat pemakaman Ranggalawe yang sekarang).‎

Setelah Peristiwa Pemberontakan tersebut, Posisi Jabatan Adipati Tuban menurut catatan yang ada digantikan oleh "Raden Haryo Siro Lawe" (1295-1306). atas kesepakatan dari fihak Majapahit. Sementara itu Kuda Anjampiani dirawat oleh kakeknya "Arya Wiraraja" dan di bawa ke Lumajang setelah mendapat separoh bagian dari wilayah  Majapahit bagian Timur (sesuai janji dari Raden Wijaya kepada Banyak Wide).  Jadi kalau pun toh masih ada "Trah" Ranggalawe, kemungkinan besar malah ada di Lumajang, bagi masyarakat Tuban yang mengaku masih ada "trah" dari Ranggalawe, mohon untuk dikoreksi kembali. ‎
Demikianlah sedikit ulasan Sejarah tentang Ranggalawe, semoga ada manfaat yang bisa kita peroleh dari ulasan cerita sejarah diatas. Akhir kata, marilah kita kembali menelusuri jejak sejarah yang pernah ada, sehingga kesimpangsiuran itu bisa kita ulas kembali dan bisa dijadikan sebagai wacana untuk generasi selanjutnya.‎

7 komentar:

  1. yah masuk akal juga sih...
    Entah memang benar ato cuman kebetulan...
    bapak saya yg menurut urutan silsilah keluarga masih ada turunan dari ranggalawe lahirnya juga di lumajang...
    😅

    BalasHapus
  2. Ada sumber sejarah kuda anjampiani dititipkan ke pertapa sakti di tuban dekat lamongan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang Kuda Anjampiani di bawa oleh kakeknya arya wiraraja dan besannya Mpu palandongan ke lumajang. Karna atas jasa2 terhadap majapahit, arya wiraraja di beri tanah perdikan di lumajang. Tp di kemudian hari ketika majapahit di bawah pemerintahan prabu Jayanegara, di angkat seorang adipati di lumajang yg bernama Pranaraja, yg merupakan tokoh asli kelahiran lumajang. Dan terjadilah tumpang tindih kekuasaan antara arya wiraraja yg di angkat oleh R. Wijaya dan Pranaraja yg di angkat oleh Jayanegara. Seabagi warga pendatang akhirnya Arya wiraraja dan mpu palandongan tersisih dan akhirnya plng kembali ke kampung halaman masing2. Arya wiraraja balik ke Sumenep dan Mpu palandongan balk ke Tuban di sertai dgn anak Ranggalawe yg bernama Kuda Anjampiani. Karna mpu palandongan adalah seorang pertapa maka sifat2 itu di turunkan ke cucunya yaitu anjampiani, yg akhirnya menjadi seorang pertapa sakti yg nantinya menjadi Guru dr seorang anak dr desa MODO lamongan, dan mencatatkan sejarah besar sebagai Rakryan Patih hamangkubhumi yg bernama PATIH GAJAH MADA. Itu yg bs saya sampaikan kepada penulis. Matur suwun.

      Hapus
    2. Kuda Anjapiani adalah putra Ranggalawe dgn isteri-1 Dewi Mertaraga (Putri Mpu Pelandongan Tuban, sedangkan isteri ke-2 Dewi Tirtawati tidak menurunkan putra karena mandul). Kuda Anjapiani setelah dewasa tetap mengabdi di Majapahit sampai diangkat menjadi pendeta Raja Tribhuwana Tunggadewi bergelar Bhagawantanarendra Mpu Soma Kepakisan juga menjadi guru spiritual Mahapatih Gajah Mada, Gajah Mada lah yang meminta dan mengusulkan melantik 4 Adipatiraja bawahan Majapahit untuk wilayah Pasuruan, Blambangan, Sumbawa (seorang putri), Bali (Ketut Kresna Kepakisan) dari putra2 gurunya Gajah Mada yaitu Mpu Soma Kepakisan agar menjadi raja bawahan Majapahit.

      Hapus
    3. Pelantikan 4 Adipati Raja Majapahit dari Putra2 Mpu Soma Kepakisan untuk wilayah Pasuruan, Blambangan, Sumbawa/Raja Dedelanata, dan Bali (Ketut Kresna Kepakisan) pada Tahun 1352.

      Hapus
  3. Selama ini anggapan bersih pada raja majapahit. Padahal secara logis, raja majapahit punya peran besar dalam penyisihan Ranggalawe. Ranggalawe atau sanak turunan dari Arya Wiraraja secara politis memang harus disingkirkan dari kerajaan Majapahit, mengingat sumpah Raden Wijaya tentang pembagian kerajaan Majapahit. Intrik politik itu tentu terkoordinasi disekitar Raden Wijaya dan orang-orangnya termasuk ahli intrik Halayuda.
    Ranggalawe tidak bisa disebut pemberontak, melainkan orang yang tidak suka pada intrik politik yang tidak benar. Dia hanya pergi ke Tuban dan tidak menyiapkan perang.
    Raja Majapahitlah yang mengibarkan bendera perang. Dalam posisi tersebut, Ranggalawe hanya membela diri dan mempertahankan Tuban dari kehancuran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Intrik politik kawan jadi lawan, karena ada hasutan Halayuda/Mahapati mengadu domba antara warga wangsa Sinelir (Keturunan Ken Dedes dgn Tunggul Ametung) melawan warga wangsa Rajasa (Keturunan Ken Dedes dgn Ken Arok)...

      Hapus